• Post with SoundCloud

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Consectetur adipisicing elit

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Post With Featured Image

    iam 1989 wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing...

  • Elementum mauris aliquam ut

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

9 Cover Musik Terpopuler

0 comments
Bagi anda pecinta musik, berikut ini kami hadirkan daftar 10 musik cover yang paling populer didunia. Digarap dengan aransemen dan kualitas suara yang menawan mereka mampu menghadirkan penampilan yang tak kalah dari penyanyi aslinya, malah kadang lebih baik.

1. Boyce Avenue Cover ( A thousand Years ) Christina Perri


 2. Landslide - Fleetwood Mac (Hannah Trigwell acoustic cover ft. Nick Howard)

3. "Iris" - Goo Goo Dolls (Alex Goot + Chad Sugg COVER)

 4. The One That Got Away - Katy Perry (Cover by Tiffany Alvord & Chester See)

5. Skyscraper - Demi Lovato (Boyce Avenue feat. Megan Nicole acoustic cover)

 6. Vazquez Sounds Adele - Rolling In The Deep (Cover)

 7. Demons - Imagine Dragons (Boyce Avenue feat. Jennel Garcia acoustic cover)

 8. John Legend - All of Me (Acoustic Cover by Savannah Outen)

9. Payphone - Maroon 5 (Jayesslee Cover)

Read More »

Puisi Cinta Yang Menyentuh Hati Karya Usman Arrumy

0 comments
Puisi cinta yang menyentuh hati kali ini mempunyai kedalaman makna dan kata. Kumpulan puisi yang akan kami hadirkan dibawah ini, merupakan karya seorang pemuda yang menekuni dunia kesusastraan selama bertahun-tahun. Usman Arrumy namanya.

Selama bergelut dengan dunia sastra dia menyelami beberapa perbendaharaan kata yang kadang tak lazim digunakan oleh para sastrawan lain. Salah satu karya fenomenalnya adalah Mantra Asmara yang mampu menyihir pecinta sastra Indonesia untuk menikmati tiap helai kata yang dia sajikan.

Aku Kangen


Di kafe Cemara, di kenangan yang purba
telah kuhadapi rahasia langit dan samodra
Dan di sukmamu, Kekasih. Terpahat sabda abadi
: sebuah cinta yang mengemban amanat puisi


di hadapanmu hidupku terbuka bagai kearifan udara
kupertahankan sekian lama demi kemutlakan cinta
Kumuliakan senyummu dalam tempurung kepalaku
dan kuabdikan ingatanku untuk mengenangmu


Aku mencintaimu bukan untuk memburu sorga
juga bukan agar dapat berkelit dari neraka
Tapi semata-mata demi kehormatan seorang manusia


Aku tahu, sesungguhnya cuma hatimu
yang berkuasa menanggung kesumat-rindu
Rindu yang berasal dari kesenyapan kata-kata
yang mengada di antara sulur jarak dan sangkala


di Loka Kenangan, telah kusiasati muslihat kesunyian
kuatasi keraguan, kutaklukkan ketakutan
Tak kusangka, yang kusua justru rasa sia-sia
yang menghampar hampa bagai fatamorgana


Kerdip matamu mengingatkanku pada kefanaan kerjap bintang
yang selalu tabah mengulum malam di antara terang dan remang
Ketika kau diseberangkan takdir menjauh dari jangkauku
itulah isyarat ceruk matamu tak lagi muat menampung airmataku


Pada hari terakhir pertemuan itu
kata-katamu memanggil puisiku
seketika puisiku menafsirkan sorot matamu
Kini aku semakin tahu,
ternyata tak gampang menegakkan rindu
seperti yang kauajarkan dulu


3 July 2014. Nasr City.
Usman Arrumy* Puisi pertama di bulan Ramadhan tahun 2014.


KOPI

I

Sendirian di kafe cemara
menghalau duka-dukana

Kuterka-terka mana yang lebih getir;
Kopi yang menggenang di cangkirmu
Atau rindu yang bersarang di dadaku?

Malam menumpahkan pekatnya pada kopi
dan kopi mencurahkan daya imaji
Daya imaji mengucur jadi puisi
dan puisi berdenyut dalam nadi

Cintaku hanyut bersama arus kopi yang kautenggak
Itulah sebabnya, Kekasih.Cintaku tak akan retak
hanya karena kita berjarak

Rinduku mengalir deras bersama kopi yang kauseduh
Tak kusangka, nestapaku tumbuh justru saat kita jauh

Andai akulah cangkir itu
akan kutampung seluruh kopimu
agar kelak zuriah kita
bisa ikut merasakan getirnya

Jangan sedih, Kekasih
hanya karena kita tersisih
: asal ada secangkir kopi
kita masih punya harga diri
asal secangkir kopi tetap ada
kita tak punya alasan untuk menderita

Ketika kenangan mengguyurkan pekatnya pada kopi
kita jadi tahu bagaimana cara mensiasati gelisah ini


II

Balkon yang kini sunyi itu
pernah mempertemukan kau dan aku
Di senja yang kita keramatkan dulu
ada rindu berpaut dengan masa lalu


sesaat setelah kaureguk kopi pertama
kau menasehatiku tanpa syak-wasangka:
''Kopi yang baik adalah kopi yang dengannya
sanggup membangkitkan penyeduhnya
untuk bisa mengingat Kekasihnya''

Betapa sementara, dua cangkir kita
terbaring di meja yang sama
Kau atau aku, siapapun yang lebih dulu rindu
akan selalu menemukan sejarah dan siklus baru

jika suatu ketika, dengan cangkir yang sama
kausesap kopi itu, kuharap kau tak lupa
bahwa ampasnya telah menyimpan kenangan kita

Aku ingat, gema cecap saat kaumenyesap kopi
Seperti suara rinduku yang selalu urung berbunyi

di senja itu ada banyak hal yang gagal kusampaikan ke padamu
mungkin kata-kata telah lebih dulu mengendap di cangkir kopimu

Kesedihan seringkali datang bersama perpisahan
Nasib buruk yang wajahnya terpahat bagai nisan

Dan sadarkah kita, kelak, ada saat kau+aku akan kehabisan kopi
waktu itulah kita akan sama-sama menggigil dalam sepi
Sebab di antara kau dan aku terlanjur berjanji
bahwa harapan telah kita sebar dalam cangkir kopi


III

Kopi yang kureguk bersamamu itu
adalah kopi paling baik yang pernah kutemu

Aku suka kopi pahit
tapi mendadak menjadi legit
begitu aku menyaksikan senyummu
O, betapa masygul Ngopi denganmu

Pada tiga seduhan terakhir
kita baru merasa betapa getir
hidup yang kita hadapi
seperti kangen ini

Senyummu menyongsong penderitaanku
dan penderitaanku merdeka setelah aku menghadapmu

:Usman Arrumy

1 Mei 2014. Kafe Cemara.


KUTITIPKAN

Pada sepasang matamu
kutitipkan penglihatanku

Pada hidungmu
kutitipkan indra penciumku

Pada mulutmu
kutitipkan ucapku

Pada bibirmu
kutitipkan senyumku

Pada telingamu
kutitipkan pendengaranku

Pada tanganmu
kutitipkan elusanku

Pada kakimu
kutitipkan langkahku

Pada pundakmu
kutitipkan harapanku

Pada nadimu
kutitipkan denyutku

Pada jantungmu
kutitipkan rahasiaku

Pada hatimu
kutitipkan cintaku

Pada nyawamu
kutitipkan hidupku

Pada penamu
kutitipkan kata-kataku


KEPADA KELAK


Kutemukan tatapan zuriahku
pada sepasang matamu

Kutemukan tangis anak-cucuku
pada lelehan airmatamu

Kutemukan senyum keturunanku
pada sembir bibirmu

Kutemukan surga bagi anak-anakku
pada telapak kakimu





SENJA ITU



Setiap kali aku menghadapi puisi
Aku ingat dirimu yang menyimpan ketabahan bumi

Gerimis senja itu
rintiknya menghitung kerinduanku
Mendung yang meruyak langit itu
telah menerjemahkan kegelisahanku
Bunyi petir yang berulang memekik itu
menafsirkan suara batinku
Cahaya kilat yang berlesatan itu
telah menjelaskan percik cintaku

Setiap kali aku ditantang untuk menggubah madah
Aku ingat dirimu yang mengandung kesabaran tanah

Aku merindukanmu
seperti bumi yang telentang menanti sujudmu


Mei 2014

Read More »

Hukum Nikah Siri Tanpa Wali

0 comments
Ada banyak alasan manusia untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, tidak jarang itu semua terjadi hanya karena dorongan nafsu belaka. Seperti contohnya nikah siri tanpa wali. Dengan beralasan, "Saya belum di perbolehkan menikah oleh orang tua karena masih terlalu muda, tapi saya sudah 'kebelet', dan saya tidak mau terjerumus dalam perzinaan. Makanya saya nikah siri tanpa wali."

Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum nikah siri tanpa wali. Menurut Imam Al Qurtubi berkata dalam tafsirnya, "Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai nikah yang berlangsung tanpa wali, namun kemudian keduanya mendapat ijin dari walinya sebelum bercampur."

Imam Malik dan sahabat-sahabatnya kecuali Abdul malik berkata, "Yang demikian itu tidak apa-apa, jika memang ijin dari wali itu tidak sampai berlarut dalam jangka waktu yang lama. Baik dia sudah bercampur atau belum. Ini jika nikah itu terjadi tanpa wali dan bukan wanita itu yang menikahkannya sendiri.

Jika wanita itu menikahkan dirinya sendiri dan melakukan akad nikah tanpa wali, baik yang dekat maupun yang jauh dari kaum muslimin, dengan alasan apapun walaupun telah berjalan lama dan wanita itu telah melahirkan anak, nikah yang demikian itu tetaplah tidak sah selamanya.

Namun walau demikian, anak yang dilahirkannya adalah menjadi anaknya (sang ibu) dan baginya tidak ada hukuman. Pernikahan itu hendaknya segera difasakh. Dalam hal itu Ibnu Nafi' meriwayatkan dari imam malik ; Pernikahan semacam ini difasakh tanpa talak." Saya katakan ; Insyaallah, inilah yang benar."

Bagaimana hukumnya wanita yang dinikahkan oleh walinya yang jauh sementara yang lebih dekat hadir.

Imam Asy-Syafi'i berkata, "Nikah yang semacam ini adalah batil."
Imam Malik berkata, "Nikah yang semacam ini boleh saja."
Ibnu Abdul Barr mengatakan ; "Jika wali yang dekat tidak melakukan protes apapun dan tidak menolak atas pernikahan itu, maka pernikahan tu sah."

Namun jika dia memprotes dan wanita yang dinikahkan itu adalah wanita janda yang baligh dan yatim, serta tidak ada orang yang mendapat wasiat, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara pendapat Imam Malik dan sahabat-sahabatnya dengan sekelompok ulama Madinah. Ada diantara mereka yang mengatakan bahwa yang demikian bahwa yang demikian itu tidak apa-apa dan pernikahan tersebut dianggap sah, sebab bagaimana pun juga pernikahan itu terjadi dengan izin walinya.

Sementara yang berpendapat bahwa ini tidak boleh, adalah karena perwalian itu dilakukan secara berurutan dari yang paling dekat, meskipun dikatakan bahwa ini adalah mustahab dan bukan sesuatu yang wajib. Demikianlah madzhab Imam Malik dalam pandangan sahabat-sahabatnya. Dan inilah pendapat yang menjadi Ismail bin Ishaq dan para pengikutnya.

Read More »

Relevansi Hadis Dalam Kontek Kekinian

0 comments
Abu Syâmah al-Maqdisi, ulama hadis abad ke 12 M yang juga salah seorang murid Izz al-Din bin Abd al-Salam, menuliskan hal menarik dalam kitabnya Syarh al-Hadîs al-Muqtafâ, “menghapal sanad, mengetahui identitas perawi secara mendalam, pembedaan terhadap riwayat shahih dan tidak shahih, semua ini merupakan penekanan pembelajaran hadis oleh para sarjana hadis abad pertama: sebab tidak ada buku di tangan mereka, dan permasalahan tidak teridentifikasi dengan baik. Cukuplah pecinta ilmu menyudahi kelelahan ini, sebab buku dan karya-karya dalam bidang hadis sudah cukup lengkap dikarang.


Walaupun kemudian pernyataan ini dibantah oleh salah seorang ulama hadis kenamaan juga, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, tapi setidaknya menyiratkan satu tesis menarik: kajian hadis pada abad ke 12 M ternyata tidak bisa menciptakan inovasi yang berarti. Kodifikasi hadis baru digalakkan satu abad sepeninggal Nabi melalui beberapa fase: pertama, hadis dalam hapalan; kedua, kodifikasi hadis yang masih tercampur dengan fatwa shahabat; ketiga, kodifikasi hadis melalui pemilahan keduanya; keempat, penyeleksian hadis. Kita tahu, bahwa standarisasi hadis telah mapan pada abad ke 8 M dengan munculnya al-kutub al-sittah. Hadis yang dihimpun dalam naskah klasik ortodoks telah mengalami penyeleksian yang cukup ketat dari mata rantainya, sampai muncul asumsi, shahih Bukhari atau Muslim—meminjam istilah Mohammad Arkoun—sebagai “korpus tertutup”. Paska kodifikasi yang mapan ini, setidaknya sampai pada abad ke 12, perkembangan kajian hadis masih dinamis, sebab ia banyak mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru yang bernaung di bawah kajian hadis. Namun demikian, untuk mengetahui konteks pernyataan Abu Syamah di atas, kita perlu melihat sejenak penjelasan ini. Hadis tercakup dari dua unsur determinan: sanad dan matan. Oleh sebab itu, kajian hadis hanya berkisar pada dua hal tersebut. Secara umum inklinasi pengkaji hadis terpetakan pada empat kecenderungan; pertama, terwakili oleh para sarjana yang intens dalam “fikih dan hadis”. Sarjana dengan kecenderungan ini mampu menerawang esensi matan hadis, dan pembedaan hadis yang shahih dan tidak shahih secara jeli. Derajat ini dimiliki oleh, semisal, para imam empat madzhab, imam Ahli Bait, Bukhari, Thabari, Ibnu Khuzaimah, Dawud al-Dzahiri, dll; kedua, para sarjana yang mencukupkan pada penelitian matan semata: penjelasan terhadap struktur maupun lafaz asing (gharîb al-alfâdz) dan mengenyampingkan mata rantai; ketiga, sarjana yang fokus terhadap penelusuran sebab-sebab cacat maupun kuatnya sebuah hadis—berjibaku dalam sanad hadis; keempat, sarjana menghimpun kitab-kitab hadis, riwayat, mencari riwayat tertinggi, dan seterusnya. Dalam dinamika ilmu hadis, baik sanad maupun matan mampu mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru, seperti, ilmu rijâl dan al-jarh wa al-ta’dîl—yang berkait dengan sanad, maupun ilmu mukhtalaf al-hadîs, ilmu ilal al-hadîs, gharîb al-hadîs, dan al-nasîkh wa al-mansûkh—yang berkait dengan matan.


Kritik Abu Syamah al-Maqdisi adalah pada inklinasi ketiga. Bagaimana tidak, jika kemudian kriteria hadis sudah secara lengkap tertulis dalam buku-buku yang telah terkodifikasi, dengan masing-masing kecenderungan madzhabnya, maka aplikasi sebab-sebab cacat maupun kuatnya hadis tidak lagi berfungsi dalam ruang praksis. Maka muncul pertanyaan menarik, jika yang demikian merupakan realita ilmu hadis di abad ke 12 M, lalu bagaimana dengan abad ke 20 dan 21?


Sebetulnya geliat hadis di abad 20 cukup berkembang dibanding dua abad sebelumnya: abad 18 dan 19. Untuk mengetahui geliat hadis abad ke 20, setidaknya perlu sedikit dijabarkan pemicu perkembangan hadis di masa itu yang tidak bisa lepas dari tiga faktor determinan: pertama, munculnya geliat hadis dari pelbagai sekolah hadis (madrasat al-hadis) yang berkembang di beberapa negara. Karakteristik dari para sekolah hadis yang muncul di pelbagai negara adalah untuk menopang kecenderungan teologis maupun fikih. Di India, ada dua tokoh penting pionir penggerak dinamisasi ilmu hadis: Sayyid Shiddiq Hasan Khan al-Qannuji dan Sayyid Nadzir Husein al-Muhaddis al-Dahlawi. Menurut Rasyid Ridha, India mempunyai peran yang sangat besar dalam menghidupkan geliat hadis di awal abad 20. Tanpa mereka, niscaya ilmu hadis akan terkikis di kawasan Timur. Sedangkan di sisi lain, penguasaan sarjana di Mesir terhadap ketrampilan hadis masih sangat lemah. India, pada akhirnya melahirkan banyak sarjana hadis kaliber: kita mengenal Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq bin Amir Adzim Abadi, pengarang Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud yang terkenal itu. Kemudian Wahîd al-Zaman al-Laknawi, Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, pengarang Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, di mana beberapa bukunya yang lain telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tetapi, seperti dituturkan Sa’id Mamduh, studi hadis di tangan ulama-ulama India ini tidak mencapai titik progres yang diharapkan: sebagian besar dari mereka hanya berjibaku dalam matan, baik dari sisi nahwu, balaghah, sharaf serta makna umum (al-ma’nâ al-ijmâlî) atau hanya merangkum pelbagai kandungan kitab hadis.


Sedangkan di Mesir, dalam hal ini al-Azhar, dinamika hadis mengalami stagnasi yang signifikan paska generasi Ibnu Hajar al-Asqalani dan murid-muridnya. Studi hadis tidak se dinamis fikih maupun ushul fikih. Pemahaman terhadap hadis hanya sebagaimana yang didoktrinkan oleh para guru mereka, dan metode penafsiran yang tidak melampui penafsiran pendahulu. Kentrampilan hadis tidak berkembang di Mesir, sebagaimana perkembangan yang cukup baik di India. Fenomena demikian membuat beberapa sarjana Mesir menghendaki perubahan. Tapi pembahasan ini bukan menjadi konsen kita sekarang.


Walhasil, dalam lingkup Timur Tengah, tipologi studi hadis tak lepas dari dua arus besar: pertama, arus wahabisme, yang terepresentasikan oleh Mohammad Rashid Ridla, Nashir al-Din al-Albani, Muhammad Abd al-Raziq Hamzah, Abd al-Rahman al-Muallimi al-Yamani, dll; kedua, inklinasi non-Wahabi, yang direpresentasikan oleh Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattani, Abdullah bin Shiddiq al-Ghummari, Ahmad bin Shiddiq al-Ghummari, Zahid al-Kawtsari, Falah Abu Ghadat, dll. Dua kecenderungan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap dinamika studi hadis di pertengahan abad ke 20 dan awal abad ke 21.


Faktor kedua yang memicu perkembangan studi hadis adalah berkembangnya percetakan secara massif di awal abad ke 20. Kitab-kitab babon hadis yang pada awalnya tidak bisa diakses, dengan munculnya percetakan ini, mempermudah peminat kajian hadis untuk mempelajarinya. Menurut Mahmud al-Tannahi, ada dua negara yang berperan besar dalam mencetak kitab-kitab langka hadis: Mesir dan India. Di Mesir, pada saat itu, terdapat percetakan tua Amiriyah Bulaq. Percetakan Amiriyah merupakan percetakan pertama sekaligus tertua di Mesir; didirikan oleh Mohammad Ali pada tahun 1820 guna merubah kebodohan masyarakat Mesir. Percetakan Bulaq masih diapresiasi dengan baik, sebab ketelitian dalam verifikasi teks masih menjadi prioritas. Sekarang, Bulaq merupakan satu-satunya percetakan di Mesir yang masih menyediakan kitab Fath al-Bâri karangan Ibnu Hajar tanpa editing Abd al-Aziz bin Baz, ulama hadis kenamaan Wahabi. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’, penjelasan-penjelasan kitab hadis (syurûh), dan lain sebagainya.


Sedangkan di India, bisa dijumpai percetakan tua Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyyah yang berdiri pada tahun 1891 M. Maktabah ini menyimpan ribuan manuskrip langka kitab-kitab hadis yang diambil dari Eropa, Rusia, Iran, Turki dan Mesir sendiri. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Abi Dawud al-Thayyalisi, Sunan Kubra karangan Bayhaqi, Mustadrak alâ Shahihayn, al-Isti’âb fi Marifat al-Ashâb, Tahdzîb al-Tahdzîb, Târîkh al-Kabîr karangan Bukhari, Tadzkirat al-Huffâdz, dan lain sebagainya.


Faktor ketiga adalah munculnya fakultas-fakultas di Universitas Timur Tengah yang secara spesifik mempelajari hadis. Al-Azhar merupakan peletak pertama penjurusan semacam ini, dan seterusnya diikuti oleh universitas-universitas lain di dunia. Adanya keharusan membuat tesis maupun disertasi dalam bidang hadis merupakan salah satu faktor penting bagi dinamika ilmu hadis selanjutnya.


Tiga faktor pelecut munculnya kembali dinamika ilmu hadis menghasilkan pelbagai capaian sarjana hadis abad ke 20. Mahmud Sa’id Mamduh dalam bukunya al-Ittijâhat al-Hadîtsîyyah mengidentifikasi capaian hadis mereka dalam empat point besar: pertama, munculnya buku karangan ilmu musthalah hadîs: ilmu yang memuat kaidah penentuan sebuah hadis dikatakan shahih atau dla’if. Misal, Dzufr al-Amânî bi Syarh Mukhtashar al-Sayyid al-Jurjâni karangan Abd al-Hayy al-Laknawi. Kitab ini dicetak tahun 1886; Qawaid al-Tahdîst min Funûn Musthalah al-Hadîs karangan Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi; Tawjîh al-Nadzar ilâ Ushûl al-Atsar karangan Thahir al-Jazâirî; Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Mandzûmat al-Atsar karangan Syekh Mahfud Tremas, Indonesia; kedua, penyuntingan kitab hadis (tahqîq). Yang dimaksud tahqîq di sini adalah penelitian terhadap teks-teks kitab hadis, baik melalui penyuntingan sederhana, atau penyuntingan dengan memasukkan banyak informasi hingga identik dengan catatan pinggir (hâsyiyâh). Pada awal abad ke 20, perhatian terhadap teks kitab hadis terbatas hanya pada koreksi terhadap teks hendak diterbitkan (tashîh al-nushûsh), baru di pertengahan abad kemudian berkembang menjadi tahqîq kitab yang terkadang diterbitkan independen dari kitab: sebagaimana metode Zahid al-Kawtsari dan Ahmad Muhammad Syakir dalam menyunting teks kitab hadis; ketiga, sistematisasi kembali tata letak hadis. Sistematisasi adakalanya diselaraskan dengan urutan huruf dalam kamus, dan terkadang tematik (al-tartîb alâ al-abwâb). Sebagai misal, syekh Mansur Ali Nashif dalam kitabnya al-Tâj al-Jâmi’ li al-Ushûl. Ia mengumpulkan hadis Bukhari, Muslim, Abi Dawud, Turmudzi dan Nasai dalam satu kitab, dengan hanya menyertakan periwayat pertama saja, dan mengelempokkan hadis-hadis dalam satu bab besar: bab al-wudlu’, shawm, al-haj, dan seterusnya; keempat, membuat daftar letak hadis (fahârits) untuk memudahkan pencarian, di antaranya fihrits karangan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dan Fahârist al-Ghummariyiin.


Jika demikian, capaian hadis di abad ke 20 berkisar pada penulisan kembali karangan-karangan ulama hadis klasik dari sisi musthalah, selanjutnya merupakan upaya penjelasan lafaz melalui penyuntingan dan koreksi teks (tahqîq al-makhtûtath), sistematisasi kembali tata letak hadis, terakhir, membuat daftar isi hadis. Apa yang sudah dicapai di abad ke 20 tak berbeda dengan capaian abad setelahnya. Semisal tokoh seperti syekh Ahmad Ma’bad, Nuruddin ‘Ithr, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Hassan bin Ali al-Saqqaf, dan tokoh muda al-Azhar syekh Usamah Sayyid al-Azhari, atau dalam konteks Indonesia, Ali Musthafa Ya’qub, tanpa mengenyampingkan kepakaran mereka dalam ilmu hadis—baik riwâyah maupun dirâyah, belum menghasilkan inovasi baru dalam ilmu hadis. Karangan mereka tak pernah lepas dari “masa lalu”, dan sama sekali tak berelasi dengan realitas kecuali dalam beberapa sisi guna merespon isu keagamaan. Yang terjadi selanjutnya adalah dominasi inklinasi kajian hadis pada pengukuhan doktrin teologis, seperti perdebatan antara pakar hadis Wahabi dan Sunni.


Jika demikian, ilmu hadis seolah terlihat tak bergerak: tanpa inovasi apapun. Ilmu hadis—yang dalam sejarah perkembangannya mampu menghasilkan “ilmu independen”—dianggap telah final: “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim dengan instan tanpa perlu mengkritik atau mengembangkan lebih lanjut. Ilmu hadis dengan pernak-pernik yang melingkupinya adalah “korpus tertutup”. Hal ini berbeda dengan studi Islam yang lain, sebut saja studi al-Qur’an. Dialektika dalam studi al-Qur’an begitu terasa: pelbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan. Sebut saja dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang melakukan gebrakan dengan Mafhûm al-Nash, Muhammad Syahrur dengan al-Kitâb wa al-Qur’an, Al-Jabiri dengan Madkhal ilâ al-Qur’an, Musthafa Bauhindi dengan al-Tatsîr al-Mâsîhi, dan lain sebagainya. Pendekatan baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, historis, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Dengan demikian, diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah shâlih li kulli zamân wa makân.


Di sisi lain perkembangan teknologi telah menciptakan perpustakaan digital yang banyak dikonsumsi pelajar: Maktabah Syamilah, misalnya. Pengkaji hadis bisa tahu dengan mudah letak hadis maupun kedudukan hadis, hanya dengan menuliskan beberapa bagian lafaz dari sebuah hadis. Oleh sebab itu, daftar letak hadis (fihrist), sistematisasi (tartîb)—yang merupakan capaian para sarjana hadis abad ke 20, menjadi tidak begitu berguna sekarang. Yang tersisa hanya kemungkinan penyuntingan buku hadis yang belum dicetak, atau anggitan terhadap kaidah hadis (mushthalah). Sedangkan, penulisan mushthalah tanpa inovasi apapun, jika masih berlanjut merupakan kerja yang tidak produktif. Lantas bagaimana nasib kajian hadis ke depan? Apakah benar-benar harus selalu perpanjangan “masa lalu” tanpa berelasi dengan “masa kini”—sebagaimana Hasan Hanafi yang berani membawa ilmu kalam, ushul fikih, tasawuf, ilmu al-Qur’an, dan filsafat dari orientasi teosentris pada antroposentris? Akankah terbatas pada proyek tahqîq? Atau malah hendak melakukan penelitian kedudukan hadis yang sejatinya telah dibahas tuntas oleh ulama—tahsîl al-hâsil, guna mengukuhkan ideologi pengkaji hadis?

Read More »

Cara Mengatasi Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusi Cerdas

0 comments
Melihat realitas pendidikan di Indonesia saat ini, kiranya perlu mencari solusi atas masalah pendidikan yang semakin hari mengkerdilkan daya kreatifitas dan imajinasi anak bangsa. Pendidikan yang selama ini berjalan, dirasa sudah jauh dari cita - cita pendidikan yang selama ini kita impikan.

Pendidikan menjadi salah satu instrumen terpenting dalam membangun peradaban Bangsa. Melaluinya, kemajuan bangsa bisa terealisasikan; mandiri, progesif, demokratis dan bertanggungjawab pada negara. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional Republik Indonesia yang tertuang dalam UUD (Undang-Undang Dasar) no 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Dasar nomor 20 tahun 2003, mengembangkan pribadi yang mandiri, arif, bijaksana dan bertanggungjawab sebagai warga negara.

Pembentukan UDD di atas itu tak lepas dari ide besar Ki Hadjar Dewantoro dalam merumuskan falsafah pendidikan Bangsa Indonesia saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan pertama kali. Beliau berharap, rakyat Indonesia bisa menjadi manusia seutuhnya, merdeka sejak dalam dirinya.  Menurut beliau ada tiga hal manusia dikatakan merdeka: pertama, berdiri sendiri. Kedua, tidak tergantung pada orang lain. Ketiga, dapat mengatur diri sendiri.

Tiga dimensi manusia merdeka tersebut, sering dituturkan oleh beliau saat memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada masyarakat, saat bertutur maupun laku. Tujuannya adalah mampu membenuk watak dan jiwa manusia semangat, progesif dan merdeka, sehingga mampu untuk memberi contoh yang baik kepada generasi selanjutnya; membantu memberi semangat dan memberikan dorongan untuk selalu bergerak maju. Sehingga dinamika pembangunan bangsa dan masyarakatnya terkondisikan dengan baik sejak dalam pikirannya; selalu memberikan dukungan positif atas kreatifitas yang dibangun. Bukan menghancurkan kreatifitasnya.

Penekanan menjadi manusia merdeka seutuhnya ini, mengilhami lahirnya semboyan “ing ngarso sang tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.  Dari semboyan tersebut juga, membuat beliau terkenal sebagai bapak pendidikan nasional. Seseorang yang memperjuangkan nasib bangsa melalui pendidikan yang terstruktur, terorganisir, filosofis, mandiri, kreatif agar menjadi warga cerdas dan progesif untuk perkembangan bangsanya.
Dari makna filsofis dan berkarater tersebut, saat ini pendidikan telah memudar maknanya. Sehingga terjadi pergeseran makna pendidikan dan tujuannya. Pemahaman manusia mengenai pendidikan tidak lagi untuk menjadi makhluk sosial yang integral sebagai masyarakat dan bangsa tapi menjadi manusia individualis.

Pergeseran paradigma mengenai pendidikan inilah, meresahkan istilah pendidikan itu sendiri, apalagi digunakan untuk memperingati harinya. Masih pantaskan untuk dirayakan, sedangkan manusianya tidak lagi mengerti makna pendidikan itu sendiri.  Perihal inilah, pernah menjadi sorotan  dalam Koran Kompas, Sabtu, Mei, 2009.[1]

Untuk mendedah lebih lanjut mengenai konsep pendidikan di atas, sebagai alat rekayasa sosial dalam mencipta masyarakat integral saat membangun kemajuan bangsa, relasi kehadiran pendidikan dengan makna bangsa, negara, di sini penting untuk dihadirkan kembali. Supaya kita tidak lagi lupa makna yang dipendam oleh istilah pendidikan itu sendiri. Sehingga wujudnya pendidikan secara lembaga di ruang realitas mampu dicecap maknanya di ruang idealitas. Dan  wujud pendidikan di ruang realitas saat ini, bisa dipahami dalam laku sehari-hari manusia.

Dengan terwujudnya relasi antara idealitas dan realitas dalam praktek laku kehidupan, membangkitkah gairah onto-kritik terhadap usaha-usaha pemerintah dalam memperjuangkan sekolah wajib dua belas tahun dari zaman orde baru sampai era reformasi. Dan jembatan untuk memahamankan masyarakat  mengenai pendidikan, terbangun kesadarannya dengan baik, bahwa pendidikan bukan hanya formalitas dan latah. Tapi sebuah kesadaran untuk bergerak melaksanakan pendidikan dari jiwanya.

Makna Pendidikan Diantara Ketegangan Realitas

Pendidikan berasal dari suku kata didik mendapat imbuhan ‘pe dan an’ yang menekankan pada –peristiwa itu sendiri atau perbuatan yang dialami oleh kata pendidikan—. Sedangkan makna didik itu sendiri mempunyai makna –memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran—. Jika kata didik telah diobjektifikasi menjadi kata pendidikan, dalam kamus KBBI mempunyai arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Arti dan makna yang telah ditetapkan oleh kamus Bahasa Indonesia tersebut, memangku tanggungjawab primodial untuk diejawantahkan dalam dunia realitas material ini. Kata tersebut tidak bisa menghindar tanggungjawabnya ketika disandarkan dengan kata lain apalagi dilekatkan pada instutisi negara Republik, seperti Indonesia. Tanggungjawabnya melampui artikata tersebut, yakni membentuk manusia merdeka sejak pemikirannya.

Maka tak heran, kata tersebut menjadi pusat perhatian sejak awal berdirinya negara Indonesia; pondasi pertama dalam membangun bangsa adalah pendidikan. Sebelum dideklarasikan kemerdekaan, ide tersebut pernah didialog-kan oleh Muhammad Hatta bersama Soekarno, bahwa pertama yang harus dimerdekakan dari penjajahan adalah pemikiran masyarakatnya, yakni dengan memberikan pendidikan kepada mereka, bukan kemedekaan kontitusional.  Karena gagasan itu membutuhkan waktu lama, menurut Soekarna yang terpenting saat ini (tempo dulu) merdeka terlebih dahulu secara de facto dan de jure, baru pembangunan masyarakatnya dengan pendidikan.

Peristiwa dialog dari dua tokoh tersebut, menunjukan pendidikan adalah bekal awal menjadi manusia merdeka. Pendapat ini dikuatkan oleh Paulo Fariere dalam bukunya ‘education as the practice of fredoom’, bahwa pendidikan adalah modal penting menjadi manusia yang bebas dari segala ke-naifan, kebodohan, ketundukan dari segala hal. Dan bisa menjadi manusia yang mandiri untuk dirinya sendiri, mengatasi permasalahan dirinya, mengerti cara berprilaku baik dengan orang lain.

Peristiwa di atas dan konsep dasar Paulo Fariere mengingatkan dengan cerita Nabi Adam saat diciptakan di dunia oleh Allah SWT, terjadi proses transfer ilmu dari Yang Maha Kuasa kepada nabi Adam. Di mana semua makhluk hidup yang tercipta lebih dahulu, tidak mampu berkata apa-apa saat terjadi dialog antara Nabi Adam dengan lainnya. Sebagaimana Malaikat dan Iblis, keduanya mengakui kalau pengetahuan Nabi Adam lebih tinggi daripada mereka.
Cerita nabi Adam dengan para malaikat dan Iblis, di sini sebagai manisfestasi teologis betapa pentingnya pendidikan transfer ilmu untuk mendidik manusia berpengetahuan arif dan bijaksana. Sisi lain, sebagai sebuah objektifikasi fenomena pendidikan di beberapa negara maju. Bahwa transfer ilmu dalam kehidupan manusia adalah langkah awal membangun negara. Dengan melaksanakan pendidikan, ada transfer ilmu, ada pembentukan nalar berpikir menjadi lebih baik. Mengingat bahwa dengan nalar kritis, dengan ilmu juga, ragamnya keinginan manusia bisa terkendali karena tahu batas.  Dengan pengetahuan, batas-batas keinginan terjembatani  secara natural. Tanpa saling memerkosa hak-hak lain. Sehingga makna proses transfer ilmu untuk mendidik manusia  berbudi dan berpengetahuan diakui idealitasnya; makna untuk merdeka. Hingga cita-cita awal Ki Hadjar Dewantoro untuk pendidikan nasional terpenuhi haknya di dunia modern saat ini.

Dari deksripsi di atas, makna dasarnya untuk mengajari manusia berbudi dan berpikir kreatif, seharusnya mampu ditemukan pengaruhnya dalam kehidupan manusia Indonesia saat ini. Anak-anak SMP, SMA, tidak lagi ada tawuran. Tidak ada lagi pelecehan seksual;[2] tidak lagi ada pengaturan nilai-nilai Ujian Nasional. Akan tetapi, femonena diluar prinsip pendidikan tetap saja terjadi, fenomena tawuran antar siswa, pelecehan seksual kepada siswi dan siswa kerap berlansung. Sampai-sampai pembunuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA sering dijumpai dalam berita-beria di televisi atau pun koran. Ini menunjuk-kan bahwa makna pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantoro, tidak mampu dipahami lebih baik di zaman modern saat ini. Dan sudah saatnya, pendidikan modern saat ini dikritisi lebih lanjut konsepnya dan dampaknya, untuk membangun bangsa!

Antara Sikap dan Hak

Jika makna pendidikan mempunyai titik tekan pada proses pengubahan manusia dari tidak berbudi menjadi manusia berbudi, dari tidak kritis menjadi kritis, dari berpikir tidak kreatif menjadi berpikir kreatif, perlu ada usaha membangkitkan kembali semangat zaman manusia saat ini. Alasannya adalah makna tersebut tidak akan tersentuh sama sekali, tanpa ada usaha-usaha bersama dari para pelaksana pendididikan dan pelaku pendidikan. Yang ada hanyalah formalitas belaka.

Salah satu jalan untuk membangkitkan semangat zaman adalah mengurangi budaya hafalan dan menyusaikan materi-materi yang diajarkan di Sekolah Dasar. Karena budaya hafalan menghilangkan pengalaman bernalar manusia sejak dini dan menghilangkan rasa untuk mengenali cara pandang orang lain. Sehingga yang terjadi adalah keroposnya rasa untuk berempati pada orang lain dan jiwa untuk bernalar di saat telah lulus dari sekolah negara. Oleh karena itu, tak heran ada beberapa pandangan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia, karena di nilai kurang sesuai dengan perkembangan psikologi murid-murid.[3]

Tapi hal ini, akan berbeda jika diperbandingkan dengan sistem pendidikan di Francis dan Jerman, tahapan berpikir diperhatikan dengan baik serta penyesuaian materi terhadap psikologis murid menjadi hal penting saat terjadi belajar-mengajar. Karena tujuannya satu, untuk membangun manusia sejak dini berpikir kritis dan kreatif. Karena dengan berpikir kritis dan kreatif akan timbul pengetahuan mengenai hal yang buruk dan baik.

Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan sistem pendidikan dan sistem pengajaran di sekolah sebuah negara. Jelas membawa dampak perbedaan jelas; yaitu masyarakat di negara maju mampu menjadi sumber daya pembangunan bangsanya. Dan rasa nasionalisme mereka sangat tinggi dan kuat. Ini karena cara mereka memahami negara dan bangsa telah ada sejak bernalar. Sejak mereka dikenalkan tentang sejarah mengenai bangsa dan budaya.
Sedangkan dalam negara berkembang dan terbelangkang sering ditemukan masyarakatnya menjadi beban negara, karena cara berpikirnya tidak ditata terlebih dahulu sejak di pe-lajaran dasarnya. Mereka, masyarakat, berpangku tangan menunggu negara bergerak. Tidak bergerak dari dirinya sendiri. Kurang adanya kreatifitas dalam dirinya ketika dihadapkan pada realitas semu.

Di sini, pembetukan kurikulum di negara berkembang seperti Indonesia, patut di evaluasi kembali. Karena pendidikan ada beberapa tahap dalam pengajaran di lembaganya kurang sesuai dengan perkembangan manusia. Hingga tidak terjadi hafalisasi atas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar sampai sekolah SMA. Hingga anak-anak merasa bahwa dengan mengikuti pendidikan, mendapat perhargaan secara afektif, kognitif dan psikomotorik. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mendapat ijazah dan pekerjaan, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya.

Yang paling penting juga adalah proses mimesis oleh guru kepada anak dan lingkungan sekitar. Peniruan karakter menjadi bom atom untuk di waspadai, agar anak tidak lepas tandas diluar batas kemampuan manusia. Maka wajib bagi pendidik untuk menjaga pola intraksi yang baik agar ada asimilasi kreatifitas untuk saling melengkapi. Baik itu keluarga, atau pun pengajaran di institusi pendidikan formal.  Sehingga pendidikan  lebur dalam satu entitas merdeka, pendidikan jasmani dan rohani.

Hubungan timbal balik, peniruan, kreatifitas, menandakan keberhasilan membangun nalar dengan baik dan kesadaran awam sebagai manusia.  Sehingga tanpa ada aturan apapun yang memerintahkan dirinya, akan berkorban untuk membela kesatuan negara. Rasa nasionalisme dalam jiwa mereka lebur bersama-sama dalam pembangunan. Sebagaimana sejarah sumpah pemuda dan  reformasi di Indonesia yang di wakili oleh kalangan-kalangan terdidik. Tapi jika saat ini kalangan pendidik tidak lagi menjadi penunjang kemajuan bangsa, pergeseran pemahaman pendidikan telah mengganti penuh fungsi menjadi manusia seutuhnya; menjaga dan mengontrol keharmonisan sosial.

Maka dari sana, penghianatan tidak lagi pada makna pendidikan bangsa, tapi juga dasar falsafah bangsa-pancasila- tercerabut nilai oleh manusia modern.  Sehingga kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi kemanusiaan individualis dan pragmatis serta apatis. Oleh karena itu, agar falsafah pancasila sebagai dasar negara terealisasikan –membentuk masyarakat adil dan beradab. Mari bangun pendidikan bangsa berkarakter nasional dan lokal tapi menjangkau internasional dari diri kita masing-masing.

Kesimpulan

Untuk menjadi manusia merdeka perlu ada wadah yang akan mengelola keraguan tiap saat dalam jiwa manusia. Karena rasa ragu mempengaruhi manusia untuk bertindak tegas dan sulit menentukan sikap. Dengan berhasil mengelola rasa ragu,  keyakinan untuk memutuskan kebenaran mutlak dipertahankan. Tanpa mengenal lagi rasa takut dan di sia-siakan oleh realitas. Dan untuk mencapai semua itu tentunya dengan pendidikan mandiri sejak dalam dirinya, tidak sebuah formalitas dan rutinitas.

Dari sini, persatuan bangsa dan keadilan sosial yang beradab bisa terbangun dalam kenyataan sebenarnya. Mahasiswa tidak lagi menjadi ekor politik yang mengenduskan banyak kepentingan. Bapak guru tidak lagi mengajar sebelum mendapat gaji, tapi senantiasa berkorban untuk ilmu; pahlawan tanpa jasa. Anak-anak SD mampu mengenal etika untuk mengucapkan salam dan mengerjakan tugas dari sekolah. Serta membantu kerja bapak dan ibu ketika di rumah.

Sehingga cita-cita pendidikan menjadi manusia berbudi dan kreatif tertanam untuk memerdekakan dirinya dari jerat kolinialisme, pragmatisme orang lain dan negara lain. Keberadaannya disadari sejak awal untuk memajukan tatanan sosial dan memajukan kebudayaan serta peradaban bangsa. Bangsa tidak lagi sebuah pencitraan untuk mencari status tertinggi dan terpintar, tapi bangsa sebagai wadah untuk bekerja sama dalam segala apapun.  Dan penghargaan di setiap event lomba dari lembaga pendidikan tidak lagi hanya untuk murid berprestasi, tapi juga untuk mereka yang mampu giat belajar di sekolah meskipun tidak berprestasi tenar, sebagai cara untuk menghargai kemanusiaan dan menjadikannya manusia seutuhnya.

Dan tulisan ini untuk menyambut hari pendidikan nasional. Semoga pendidikan nasional kedepan mampu menjadi wadah untuk menggodok manusia yang benar-benar merdeka. Tidak lagi ada penjajahan berpikir dan  kreatifitas. Manusia mampu merasakan nafas alam untuk menjadi dirinya. Murni sebagai manusia tanpa dibebani kepentingan untuk menguasai satu sama lainnya. Karena kemerdekaan sesungguhnya adalah lepas dari beban untuk menjadi apapun, hanya belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi. Semua itu karena adanya pendidikan.

Read More »

Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli

0 comments
Pada kesempatan kali ini kami akan memberikan informasi mengenai pengertian globalisasi dan beragam penafsiran tentang globalisasi dari berbagai definisi para ahli.Menurut
Achmad Suparman,Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya.

Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negaradi dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat

Globalisasi Menurut Para Ahli

1. Roland Robertson, dosen sosiologi Universitas Aberdeen, salah satu penulis pertama di bidang globalisasi, mendefinisikan globalisasi pada tahun 1992 sebagai:  pemadatan dunia dan pemerkayaan kesadaran dunia secara keseluruhan.

2. Sosiolog Martin Albrow dan Elizabeth King mendefinisikan globalisasi sebagai:  semua proses yang menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal.

3. Di The Consequences of Modernity, Anthony Giddens memakai definisi berikut:      Globalisasi dapat diartikan sebagai intensifikasi hubungan sosial dunia yang menghubungkan tempat-tempat jauh sehingga peristiwa di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di tempat lain sekian kilometer jauhnya dan sebaliknya.

Essay tentang Globalisasi Dan Kisah Kesenjangan

Mempersilakan atau menghadang globalisasi boleh jadi terlihat sebagai dua perkara yang berbeda. Padahal, sama halnya dengan pilihan menjadi kapitalis atau sosialis, ternyata persoalan hidup tidak melulu melekat pada ilusi teoritis atau ideologis, tapi lebih tergantung pada kesanggupan menyadari situasi sejarah sekaligus kesanggupan untuk memberi bentuk kepadanya. Globalisasi sepenuhnya adalah situasi sejarah yang digerakkan bukan oleh dirinya tetapi oleh selaksa pikiran dan tindakan manusia. Menganjurkan globalisasi sebagai keniscayaan yang mustahil dielak, sama saja dengan khotbah tentang hari kiamat. Sementara mengutuknya, tak jauh beda dengan ajakan kembali ke zaman purba. Dua pendirian yang kelihatan berkebalikan ini ternyata sebangun dalam asumsi, yakni menempatkan manusia sebagai diri yang takluk dan lumpuh.

Selama ini, euforia dan kutukan orang terhadap globalisasi lebih sering berkubang dan dilokalisir pada wilayah fashion, mindset, selera, busana, atau bahasa. Pada dimensi gaya hidup lah, gobalisasi cenderung bermakna penyeragaman. Penyeragaman dibutuhkan agar bisnis trans-nasional makin berkibar. Sementara pada dimensi kesejahteraan, globalisasi mendorong kesenjangan. Dan demikianlah, pada jantung persoalan yang sesungguhnya, globalisasi adalah soal ekonomi. Ilustrasinya tergambar dalam statistik berikut.

Diperkirakan nilai pasar telekomunikasi dunia kini lebih dari 1 trilyun dolar AS. Angka ini niscaya tambah membengkak jika diimbuhi nilai bisnis teknologi komputer. Sementara, angka transaksi business-to-costumer (B2C) online mencapai 108 milyar dolar AS sementara business-to-business (B2B) 1.3 trilyun dolar AS. Dari sini muncul klaim bahwa globalisasi yang dipompa teknologi bisa mendongkrak kegiatan ekonomi. Sementara, pada 1960, terdapat 20% warga paling kaya menguasai 70,2% kekayaan dunia. Sementara 20% warga paling miskin hanya mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Angka ini berubah drastis pada akhir 1990 dimana 20 % warga yang paling kaya itu sudah menguasai 86 persen kemakmuran dunia, sementara seperlima yang paling miskin hanya mengais-ngais 1 persennya (Yanuar Nugroho, 2006).

Jika orang sering menyebut globalisasi berwatak boarderless, watak yang melesapkan batas teritorial negara, statistik ini nampaknya juga perlu dipertimbangkan. Tahun 1971, dari transaksi finansial global per hari yang mencapai 1,4 milyar dolar AS, 90 persennya beroperasi di sektor real. Sisa 10% berputar-putar pada saham, valas dan sebagainya. Angka itu mulai berbalik mulai tahun 1990. Hingga di tahun 2000, sekitar 95% dari transaksi finansial global yang besarnya 1,5 triliun dolar per hari, 40 persennya adalah transaksi spekulatif dengan kecepatan mondar-mandir antar negara 1-7 hari. 40 persen yang lain kecepatannya kurang dari 2 hari (B. Herry-Priyono, 2007).
Kini, globalisasi yang ditopang perkembangan TIK semakin didesakkan ke seluruh penjuru dunia. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, sudah lama mengingatkan globalisasi sebagai hubungan asimetris antar negara yang ujung-ujungnya adalah hasil keuntungan yang asimetris pula (2003). Statistik di atas menandai era di mana kegiatan ekonomi mengalami ketercerabutan dari daya hidup (survival ) komunitas. nampaknya, di situlah kemudian kita terjebak dalam dilema. Memerosokkan atau melarikan diri dari globalisasi sama-sama bukan lah jalan keluar.

Jika demikian, lantas apa makna daya saing di era globalisasi dalam konteks ekonomi? Sejauh mana kebermaknaannya bagi masyarakat Indonesia? Bukankah tingkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia semakin meningkat? Bukankah peningkatan itu berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan? Ijinkan saya menyodorkan dua asumsi pokok untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, korelasi TIK dengan ekonomi tidak berada dalam logika kausal sederhana. Tidak seperti “ada api maka langsung ada asap”, antara teknologi dan ekonomi terbentang korelasi yang berlapis-lapis. Petani kentang di dataran tinggi Dieng pernah berujar begini, “aku sudah punya imel dan pesbuk, tapi bagaimana caranya harga jual kentang bisa bagus?” Lalu, tanpa berpikir rumit, kita pun tahu, perangkat seperti telepon genggam dan komputer tidak dengan sendirinya menyejahterakan petani. Dalam praktiknya, penawaran dan permintaan bukan sesuatu yang terprogram secara otomatis lantaran di sana ada jaringan ekonomi melibatkan lebih dari sekadar kekuatan yang lebih perseorangan dan komunitas.

Gugus modal (capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) mesti padu jika yang disasar adalah keadilan ekonomi. Sementara, kita menjumpai banyak kasus di mana komunitas yang menempati suatu wilayah dengan sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi justru tidak ikut menikmati hasilnya. Demikianlah, ekonomi di era globalisasi kerap ditandai dengan kinerja modal yang mencerabut manusia dari konteks kewilayahannya. Di situ, peran negara sebenaranya sangat dibutuhkan untuk mengatur distribusi yang adil. Problemnya, negara sudah sedemikian lemah peranannya justru ketika ia sangat dibutuhkan. Dan kita tahu belaka, pelemahan negara itu sudah berlangsung sejak lama melalui deregulasi ekonomi dan kebobrokan mentalitas pejabat publik.

Kedua, pengembangan TIK di negara berkembang cenderung bias. Setidaknya ada tiga bias yang penting dalam kaitannya dengan ekonomi: bias wilayah, bias kelas, dan bias gender. Secara umum, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Kini, diperkirakan ada lebih dari 30 juta pengguna internet di Indonesia (data Internet Worldstats tahun 2009). Ini artinya hanya sekitar sepertujuh dari total populasi masyarakat Indonesia. Konsentrasinya memusat di wilayah Indonesia Barat, terutama kawasan rural pulau Jawa. Sementara dari 105.001 desa di bali dan Indonesia Timur, sebanyak 68.650 desa tak tersentuh internet (blogs.depkominfo.go.id). Dalam hal gender, data indikator telematika tahun 2005 menyebutkan pengguna internet di Indonesia lebih banyak pria (75.86%) daripada wanita (24.14%).
Situasi yang sarwa-bias itu masih diperparah dengan kecenderungan pemanfaatan produk TIK dalam wabah konsumerisme. Padahal, untuk menjadi masyarakat informasi, kultur baca-tulis adalah prasyarat mutlak. Itu pula yang antara lain membuat UU ITE hanya berbunyi pada urusan pornografi. Apa yang diatur oleh UU ITE belum lagi menjadi urusan nyata bagi masyarakat luas. Di sinilah tantangan di level social engineering ternyata lebih berat ketimbang mendesakkan mechanical engineering.

Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk berpandangan muram. Saya ikut barisan orang yang optimis dengan kekuatan ekonomi informal yang terbukti tangguh diterpa badai krisis moneter sementara ekonomi spekulatif terpuruk tak karuan. Yang ingin ditegaskan, dengan mencermati kinerja globalisasi yang bergandengan dengan nalar neoliberal, pemanfaatan TIK sungguh-sunguh mesti dihayati sebagai bagian dari kerja patriotik. Mengapa patriotik? Sederhana, makna patria adalah tanah. Menjadi patriotik adalah mengerahkan segenap upaya agar segenap sumber daya alam Indonesia sebisa mungkin diselamatkan agar tidak tercerabut dari daya hidup masyarakat Indonesia. Relakah kita jika kekayaan alam ini sekadar dikonversi menjadi angka-angka digital dalam bursa saham yang dipermainkan para spekulan?

Read More »

Peran Pemuda Dalam Pembangunan Bangsa

0 comments
Indonesia membutuhkan peran aktif pemuda dalam usaha berkelanjutan demi kemajuan dan pembangunan bangsa. Peran penting pemuda dirasa penting karena beberapa unsur dasar yang dimiliki pemuda yakni semangat berkreasi dan berinovasi. Beragam cara dilakukan untuk mengenang kembali semangat kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda tersebut. Tak ketinggalan para Mahasiswa dan Pemuda Indonesia di luar negeri. Sebuah acara akbar yang dihadiri utusan persatuan pelajar indonesia dari beberapa negara diselenggarakan di Belanda.

Dan disini, ku hanya duduk termenung, mencoba meresapi hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa 80 tahun yang lalu itu. Sebuah energi positif kaum muda yang tak terbendung mampu menorehkan tinta emas sejarah perjuangan bangsaku!!!

Jiwa muda, jiwa yang sedang tumbuh berkembang dan penuh kepekaan serta kepedulian terhadap lingkungannya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya bahkan kepada dunia luas!! Jiwa pembelajar penuh energi, agent of change, penggerak kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Itu yang ku dapat dalam pelayaran bersama bahtera logika yang ku miliki ketika mengarungi lautan hikmah sejarah. Setiap bangsa didunia ini pasti mencatat bahwa apapun bentuk kemajuan dan perkembangan yang dialami, para pemuda pastilah berada di poros terdepan perubahan itu!!

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, peristiwa sumpah pemudalah saksi besar sejarah. Kebulatan tekad dan keteguhan hati para pemuda untuk menyatakan kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa telah berhasil menggerakkan sebuah perubahan dengan hasil gemilang, KEMERDEKAAN!!

Di negeri kincir angin sana, puluhan tahun lalu para pemuda dan kaum terpelajar boemi poetra bersatu mencurahkan segenap kekuatan untuk membangun negeri tercinta. Dan dari sanalah nama Indonesia terucap mengharu biru. Sebutlah Bung Hatta, tokoh idola banyak pemuda kita, yang diidolakan karena kejeniusan dan tentunya kebersihan sikap dan prilaku politiknya yang telah turut serta menghantarkan nusantara menuju gerbang kemerdekaan!!

Kita sepakat bahwa ketika memproklamasikan kemerdekaan indonesia, Bung Karno tidaklah lagi muda, tapi kita pasti setuju bahwa tanpa semangat darah muda yang mengalir dalam diri sang proklamator itu dan (pastinya) keberanian bertindak khas kaum muda, alur sejarah negeri tercinta ini pastilah berbeda.

Disini sekali lagi ku duduk termenung, merangkai dan menata butiran hikmah perjuangan yang ku dapat dalam penggalian mutiara terpendam yang kelak akan ku kalungkan pada Ibuku, Indonesia.

Dengan indahnya Al-Qur’an bercerita tentang sosok-sosok muda pembawa pencerahan bagi umat manusia terdahulu. Tujuh orang pemuda berhati baja, berkeyakinan sempurna dan teguh dengan akhlak luhur telah menjadi sorotan sejarah perjuangan menyatakan keyakinan akan keesaan Tuhan dan kebangkitan di hari akhir.

Sekali lagi, darah muda mencatatkan harumnya dengan tindak terpuji sepanjang masa, membelah bentangan jarak dan waktu, melintasi generasi demi generasi pembawa pembaharuan, dan menyatakan keistimewaannya meski dihadapkan pada resiko kematian. Tujuh pemuda penghuni gua yang tertidur ratusan tahun dan terbangun kembali untuk menyaksikan perubahan yang terjadi dalam sistem kepercayaan kaumnya!!!

Aku belajar dan menarik kesimpulan, apakah sesungguhnya energi yang mendorong jiwa muda untuk mampu mendobrak keadaan, membawa pencerahan dan mewujudkan kebaikan bagi semua generasi??? Dan disinilah kutemukan jawabnya :

Sebuah kemajuan pastilah meletakkan pijakannya pada tiga asas utama : Moral, Intelektual dan Spiritual. Tanpa ketiga hal tersebut pastilah sebuah perubahan takkan mengarah menuju kemajuan tetapi kemunduran.

Kekuatan utama terletak pada Moral. Setiap bangsa yang beradab pastilah menempatkan moral dan etika sebagai tolak ukur utama kemajuan yang berhasil dicapainya. Karena dengan moral dan etikalah manusia mencapai ketinggian derajatnya sebagai manusia. Kita mungkin bisa bertanya apakah dengan moral kita bisa mencapai kemakmuran ekonomi?? apakah dengan etika kita bisa mengembangkan ilmu pengetahuan?? tapi pasti kita sepakat bahwa tanpa moral dan etika kita takkan pernah bisa hidup bahagia dan mulia!!!

Sejarah menyebut kemajuan yang berhasil dicapai umat manusia, mulai bangsa yunani di barat, romawi, persia, mesir kuno sampai bangsa cina di timur jauh, dengan satu istilah PERADABAN.

Peradaban adalah wujud terhalus dari kebudayaan manusia. Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dan moral adalah unsur terpenting dalam membentuk budaya. Karena segala tindak tanduk manusia selalu kembali kepada dirinya dan lingkungannya maka manusia membutuhkan suatu aturan untuk menata sikap dan prilakunya, dan itulah etika!!

Kebangkitan yang digerakkan kaum muda selalu didahului dengan kesadaran moral yang tinggi dikalangan pemuda. Tanpa moralitas yang baik, kaum muda hanya akan menyalurkan energinya pada hal-hal negatif.

Yang kedua adalah intelektual. Tanpa terbantahkan, intelejensi yang terkristalkan dalam ilmu pengetahuan telah menunjukkan kekuatan paling dahsyat yang pernah dikenal umat manusia. Sebuah energi terbesar yang pernah ada dan bahkan berani menantang kuasa Tuhan. Logika sebagai pusat kesadaran intelejensi bersama Ilmu pengetahuan sebagai kendaraannya telah memberikan hadiah terindah bagi peradaban manusia berupa kecanggihan tekhnologi dan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup.

Kebangkitan nasional indonesia dimotori oleh kaum cerdik cendikia muda yang bermoral. Sungguh ngeri membayangkan suatu gerakan yang dilakukan kaum intelek tak bermoral!! Karena tanpa moral, kekuatan intelektual hanya akan menjadi senjata pemusnah baru bagi kehidupan. Dan tanpa intelektual, moralitas hanya akan bersembunyi di relung hati terdalam manusia!!

Padanan serasi moral-intelektual tampaknya paling menjanjikan perubahan positif untuk semua orang. Karena semua hal yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kemuliaan mampu terpenuhi dengan dua asas utama tersebut. Tetapi pernahkah terdengar oleh nurani anda, jeritan moral-intelektual yang terombang-ambing di dalam ruang tak bertepi tak berujung batas bernama kehidupan ini?? Pernahkah mendengar pernyataan jujur moral-intelektual tentang keletihan dan keresahan mereka?? letih karena semakin hari manusia semakin dipenuhi tuntutan perubahan baru, letih karena sifat tidak puas manusia yang selalu ingin lebih dan lebih… serta resah mencari, hendak kemanakah semua ini menuju??

Tidak!! Moral-Intelektual tidaklah cukup untuk berdiri tegak, pantang menyerah tak mau mengalah demi menopang kehidupan manusia. Karena moralitas itu kaku dan intelektualitas itu semu!! Sedangkan hidup ini bagaikan setetes air yang turun dari langit lalu bercampur dengan tetumbuhan dan dedaunan, kemudian mengering dan hilang terbawa hembusan angin… Kehidupan ini mengalir bagaikan riak air sungai, terbawa aliran menuju lautan tak bertepi. Apalah arti moralitas dan intelektualitas jika hanya akan terhanyut pasrah mengikuti siklus kehidupan untuk kemudian hilang tak berbekas…

Ada sebuah kekuatan untuk mengarahkan dua kekuatan menuju kedamaian sejati, tempat berteduh dan bermuara seluruh aliran kehidupan dan bahkan kematian!! karena sesungguhnya, bukan hanya kehidupan yang mengalir, kematian pun sesungguhnya hanyalah sebuah gerbang menuju aliran lain dalam kehidupan!!

Kekuatan itu adalah Spiritual. Sebuah kekuatan diluar manusia, kekuatan Tuhan, yang karena kemurahan hatiNya kekuatan itu diberikan kepada makhluk yang membutuhkan dan menginginkannya. Spiritualitas, kekuatan Tuhan dalam diri manusia yang terkadang bisa membuat manusia berpikir dirinyalah Sang Pencipta itu!!!

Khazanah penyimpan mutiara itu telah ku temukan, namun tampaknya membutuhkan waktu seluruh hidupku ini untuk menyelaminya dan merangkai, menata serta menikmati keindahannya. Beruntunglah aku yang masih dialiri darah, semangat dan vitalitas pemuda. Karena tanpa energi muda, rasanya aku ingin orang lain saja yang merangkai keindahan mutiara itu untuk kemudian ku nikmati.. Dan lebih beruntung lagi karena bumi tempatku berpijak ini, telah melahirkan sosok-sosok penggenggam kemilau cahaya moral-intelektual-spiritual yang berhasil menebarkan pesona keindahan dalam sejarah umat manusia. Bumi para Nabi!!

Subhanallah.. Wal hamdulillah… Wa lailaha illallah.. Allahu Akbar!!!

Kini, aku ingin berbagi kepada semua jiwa muda yang sedang tumbuh dimanapun ia berada. Aku ingin mengajak jiwa muda untuk terus semangat dan berani dalam menempuh perjuangan di ruang kehidupan. Aku ingin meyakinkan jiwa muda, bahwa untuk mewujudkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup di masa mendatang, tidak hanya bagi kita namun juga bagi semua orang yang kita cintai adalah dengan kekuatan moral-intelektual-spiritual!!

Untukmu dunia tempat kami berpijak, nantikan perubahan demi perubahan yang kan kami gerakkkan!! jadilah saksi bagi setiap langkah pencerahan yang kami lakukan!! hingga kelak kau akan bersaksi di hadapan Sang Pencipta bahwa kami Generasi Muda telah turut serta memakmurkanmu, sesuai amanatNya, KHALIFATULLAH FIL ARDH. (Agen Tuhan dalam memakmurkan bumi).

Untukmu ibu pertiwi, anak-anak kandungmu kan kembali ke tanah mereka dilahirkan, kelak, membawa angin segar untuk menyuburkan dan memeliharamu sampai akhir masa. Untukmu ibu, dari anakmu di rantau jauh!!

Read More »