Cerpen Kehidupan Gadis - Gadis Mall


Cerpen kehidupan kali ini akan bercerita tentang liku-liku kehidupan gadis mall.cerpen yang memberikan anda gambaran tentang pergaulan gadis-gadis masa kini. Gaya hidup gadis mall mungkin sangat bervariatif. Langsung saja simak cerpen berikut

 Gadis - Gadis Mall


Aku semakin yakin bahwasannya dosa terbesar anak manusia adalah diam.  Menutup mulut atas apa yang jelas-jelas tampak, mereka menganggap apa yang dilihatnya sebatas wawasan, bukan tanggungjawab. Jangankan bertindak, mengangkat suara pun tidak. Mereka hanya menggelengkan kepala, entah tidak percaya atau sekedar prihatin sejenak, selepas itu kembali diam. Membatukan segala, menghancurkan segala, mendurhakakan segala. Dosa dari segala dosa. Diam.

Perkenalkan, namaku Cinta. Tidak perlu kalian tanyakan kenapa orangtuaku menamaiku demikian. Barangkali sebagian dari kalian merasa geli bila namaku disebutkan, atau mungkin timbul kesan menggairahkan, seksi, sintal, dan sensual. Bagiku tidak begitu penting. Maaf, betul, bagiku kesan kalian tidak begitu penting. Seperti apapun kesan yang muncul dalam benak kalian, yang jelas keistimewaanku melebihi apa yang mampu kalian bayangkan. Bahkan, tidak jarang aku berpikir kenapa Tuhan menganugerahkan kecantikan sempurna ini kepadaku bila Ia mencatatku ke dalam golongan orang-orang yang diam. Ah, semoga saja tidak! Setidaknya dengan bercerita seperti ini, aku mulai mengusir diam jauh-jauh dari kehidupan, dan berani berbuat sekecil apapun tindakan.

Terlepas dari kecantikan dan kesintalan fisik yang kumiliki, terus terang, kadang-kadang aku juga merasa geli dengan namaku sendiri: Cinta.

Mumpung belum terlalu jauh aku bercerita, kalian bisa berhenti di sini dan mulai menyelesaikan urusan lain yang lebih penting. Aku tidak keberatan. Sama sekali tidak keberatan. Namun bila memang membaca cerita ini adalah pilihan, baik kebutuhan atau sekedar keingin-tahuan, aku ingin mengajukan sedikit permintaan: Aku mohon dengan sangat selama membaca ini, sebisa mungkin bayangkanlah betapa cantiknya diriku, bertubuh semampai, berdada montok, berpantat semok, berkulit putih, bibir tipis, gigi rapi dan bersih, hidung mancung, pipi lesung, alis tajam, rambut halus dan berombak, berpostur cukup tinggi. Semua kesempurnaan yang dimiliki ratu-ratu yang kalian baca dari dongeng-dongeng, ada padaku. Sebisa mungkin bayangkankanlah! Atau bila kesusahan, tentu otak kalian menyimpan paras paling cantik dari seorang gadis, anggap saja dia Cinta, diriku, orang yang sedang bercerita pada kalian saat ini. Namun perlu aku ulangi, sehebat apapun fantasi kalian, kecantikanku yang sesungguhnya melampaui apa yang mampu kalian bayangkan. Silahkan tidak percaya! Toh, secantik apapun diriku tidak akan berlangsung lama, seperti halnya segala ciptaan.

Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku mengajukan permintaan tersebut, tidak perlu aku paparkan lebih jauh, tapi bila kalian meluangkan waktu dan merasa nyaman mengikuti cerita ini, di akhir cerita kalian akan menemukan jawabannya. Aku yakin akan hal itu. Baiklah, kemudian, seperti yang telah kukemukakan di awal tadi, aku memiliki keyakinan bahwasannya dosa terbesar anak manusia adalah diam. Kalian mungkin terkejut dan tidak percaya, itu hak kalian, namun dari keyakinan tersebut aku ingin memulai cerita ini. Sekali lagi silahkan berlalu, sebelum menyesal sudah membuang waktu dengan cerita murahan seperti ini.

“Cin, entar sore anterin guwe ke Mobile Shop, ya! Guwe penasaran dengan BB model terbaru, katanya sih Touch Screen. Kalau harga dan modelnya cocok, aku sudah bosan dengan BB yang ini.”

Yang barusan kalian dengar adalah suara Kasih, penghuni kamar sebelah. Tidak terhitung berapa kali ia ganti ponsel dalam setahun, demikian juga dengan komputer-lipatnya. Separuh hidupnya berada di dunia maya, ia betah berjam-jam menundukkan kepala sembari memainkan dua jempolnya pada tombol-tombol ponsel, dalam keadaan demikian, bisa dipastikan telinganya tertutup rapat mendengarkan lagu-lagu R&B terbaru. Kamar Kasih penuh dengan benda-benda mewah. Sejak kecil ia selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Bukan sekedar dimanja, tapi benar-benar dimanja. Ketika ia minta kamera saku, ayahnya membelikannya DSLR. Ingin ini diberi segini, ingin itu mendapat segitu. Dan seterusnya…

“Kita lihat saja nanti,” jawabku, “soalnya kalau jadi si Lovi mau ngajak guwe lihat pameran busana musim panas di mall.”

Lovi juga teman setempat-tinggal, hobinya pasaran, tidak ada unsur unik sama sekali. Ia suka dandan, koleksi pakaian mewah, parfumnya berderet, lipstik warna-warni, jumlah tas dan sepatunya tidak terhitung. Ia paling betah berlama-lama di depan cermin, bahkan kalau perlu, membaca pun harus di depan cermin, supaya sesekali  bisa memuji kecantikannya sendiri dengan menggerak-gerakkan kedua bibirnya.

“Cin, entar malam tidak usah masak! Restoran Itali buka cabang baru di daerah Downtown, katanya sih menunya lebih banyak dari yang biasa kita kunjungi.  Sepulang dari Mobile Shop atau pameran busana kita bisa rame-rame kesana! Guwe yang traktir, deh!”

Nah, yang baru saja bersuara namanya Missy. Ia memiliki postur tubuh paling besar di antara kita, tentu kebutuhan konsumsinya lebih banyak. Wisata kuliner adalah hobi yang paling digemari. Ia mampu menyebutkan sembilan jenis makanan dari negara berbeda dalam waktu sembilan detik. Berat badan tidak begitu penting baginya, kepuasan lidah dan perut adalah segala-galanya. Ia merasa hidupnya seimbang karena seiring kecintaannya terhadap makanan ia juga terbilang piawai memainkan peralatan dapur. Betul, kami bertiga mengakui kelezatan masakan-masakannya. Aku sendiri heran, ia hafal lebih dari sepuluh resep masakan terkenal di dunia.

Mudah-mudahan Tuhan memaafkanku lantaran becerita pada kalian tentang pribadi orang lain. Baik itu pribadi buruk maupun sebaliknya. Perlu diketahui, kita berempat terbilang pelajar berprestasi karena kerajinan kita dalam belajar, kita juga muslimah yang taat dengan perintah-perintah agama menurut batas pemahaman kita masing-masing, tidak pernah berniat berbuat jahat pada orang lain, tidak suka mengganggu ketentraman orang lain; ungkapan sederhananya, tidak peduli dengan urusan orang lain. Ah, semoga aku tidak bermuluk-muluk bercerita tentang orang-orang di sekelilingku, ada hal yang jauh lebih penting untuk kusampaikan selain kehidupan pop kami. Atau lebih mudahnya, kalian bisa menyebut kami Gadis-Gadis Mall: Sekumpulan gadis yang tidak memiliki banyak kepentingan dengan kehidupan luar, lebih suka dengan kemewahan dan memanjakan diri sendiri ketimbang mencampuri nasib orang lain, kepentingan kita adalah diri kita sendiri, kita tidak punya tanggung jawab apa-apa kecuali memenuhi kebutuhan masing-masing. Kita adalah gadis-gadis diam.

Menyedihkan sekali, diriku adalah pendosa terhebat di mataku sendiri.

Diam adalah emas, kata mereka. Bukan diam semacam ini yang kumaksudkan, melainkan diam adalah sumber malapetaka. Aku selalu membenarkan ungkapan orang bijak bahwasannya segala bentuk peperangan, penindasan, pemerasan, bencana kelaparan, buta huruf, dan berbagai kecacatan sosial yang terjadi, bukan semata akibat ulah tangan orang-orang tidak baik; namun, lebih, dikarenakan, sikap, diam, orang baik-baik. Lalu, bagaimana aku bisa menganggap diam itu perkara wajar, sementara ia adalah dosa terbesar umat manusia? Sejak dahulu nabi-nabi selalu menekankan, bahwa sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik budi pekertinya dan yang bisa memberi manfaat bagi orang lain; cinta sejati terletak pada uluran tangan seseorang ketika ia memberikan apa yang paling ia cintai kepada orang lain yang jelas-jelas lebih membutuhkan; surga paling indah dijanjikan pada mereka yang menyantuni anak yatim dengan penuh kasih-sayang; Tuhan akan membalas pahala berlipat-lipat pada mereka yang memberi makan orang-orang kelaparan; pada mereka yang membebaskan budak; pada mereka yang menyisihkan harta miliknya untuk kepentingan masyarakat; pada mereka yang berjuang demi negara; pada mereka yang mati membela kebenaran; pada mereka yang bertindak demi kepentingan bersama. Bukan pada mereka yang diam, atau orang baik-baik yang mementingkan diri sendiri.

Maaf, sekali lagi maaf, kalau aku terlalu berapi-api dalam bercerita. Jalan terbaik adalah, barangkali, anggap saja aku ini orang gila yang ngomong sendiri tidak jelas kemana arahnya, atau si bodoh yang tengah menceritakan kebodohannya, atau mungkin lebih tepatnya gadis lugu yang belajar marah dengan cara mengutuk dirinya sendiri. Ah, entah, mungkin luapanku yang berapi-api sejak tadi dikarenakan saat ini aku sedang datang bulan. Kita kaum hawa mudah kesal dalam keadaan begini. Harap maklum! Toh, sejak awal tadi sudah kusarankan segera meninggalkan cerita ini kalau ada kesibukan yang lebih penting.

Oke, sepertinya kalian tidak merencanakan apa-apa saat ini dan memilih mengikuti kelanjutan cerita ini. Terima kasih! Supaya adil, sebagai ganti, aku akan menceritakan sesuatu yang beberapa waktu lalu kudengar dari Kasih, tentang fakta yang pernah menghebohkan dunia media beberapa tahun silam. Atau barangkali kalian sudah lama mendengarnya? Kalau memang demikian, izinkan gadis bodoh ini kembali memutar kenangan yang dulu pernah meracuni ingatan kalian:

Tahun 1993, ketika terjadi bencana kelaparan hebat di Sudan, dunia terhibur oleh sebuah foto yang diambil Kevin Carter, seorang wartawan asal Afrika Selatan. Foto tersebut memperlihatkan seorang gadis kecil kelaparan, sementara tidak jauh di belakangnya, seekor burung pemakan bangkai berparuh tajam tampak berang menunggu kematian gadis tersebut. Diberitakan, gadis malang tersebut tengah berada dalam perjalanannya menuju perkemahan yang membagikan bahan pangan. Ia tampak merangkak, untuk berdiri tegak saja tidak mampu, sementara lokasi perkemahan masih berkisar satu kilometer di depannya. Sungguh mengerikan! Betapa menakutkan!

Setelah bercerita kepadaku sambil memperlihatkan foto tersebut dari sebuah majalah, Kasih tidak memberi komentar apa-apa kecuali: “Lihat Cin, tidak salah guwe menekuni seni fotografi. Foto tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hal yang benar-benar nyata, ia merekam kejadian dengan jujur. Suatu saat guwe yakin bisa memperoleh kesempatan merekam kejadian fenomenal semacam ini.”

Setelah itu Kasih kembali tersenyum asik dengan ponsel dan sederet lagu R&B-nya, sama sekali tidak sadar kalau cerita dan gambar yang ia perlihatkan telah membangun sungai kecil yang mengalir dari sudut kedua mataku. Kemudian, setelah kutelisik, nama Kevin Carter semakin tenar setelah karya tersebut mendapat penghargaan bergengsi. Ia mengaku setelah mengambil foto tersebut berlalu begitu saja, mencari sasaran lain. Namun sejak saat itu, ia tidak mampu berdamai dengan pikirannya sendiri, mungkin karena ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anak itu kemudian. Entah, barangkali lebih tepatnya ia menyesal telah diam. Bagaimana ia bisa berdamai dengan pikirannya sendiri-ketika depresi tidak lagi dapat dihindari, kecemasan-kecemasan, penyesalan, juga keprihatinan? Faktor-faktor kejiwaan inilah yang kemudian dijadikan praduga sementara orang atas keputusannya bunuh diri tiga bulan setelah menerima penghargaan. Kutipan dari catatan harian yang ia tinggalkan: “Saya berharap semoga selanjutnya manusia semakin peka terhadap dunia di sekeliling mereka, tidak mudah terbutakan oleh kepentingan dan kesenangan diri sendiri.”

Kisah di atas adalah satu dari sekian kejadian serupa yang tidak terhitung, terjadi dari waktu ke waktu, hari demi hari, baik siang maupun malam. Di setiap tempat, di segala penjuru, di sekitar sini, di sekeliling kalian, tidak jauh dari kasur empuk yang tengah kurebahi, dekat dengan kursi goyang yang kalian duduki. Dalam berbagai bentuk, dengan bermacam gaya. Kalau kalian tidak percaya, silahkan keluar membawa kamera, dengan segera kalian akan menjadi seorang Kevin Carter yang profesional. Kemudian, keputusan tetap milik kalian, selamanya diam, semakin peka, atau mulai melakukan tindakan? Ah, sudahlah! Sepertinya ceritaku semakin ngelantur, sebenarnya bukan ini yang hendak kusampaikan, aku hanya ingin menceritakan BETAPA DIAMNYA DIRIKU DAN TEMAN-TEMANKU DI SINI, BETAPA BELANJA BAGI KITA TELAH MENJADI CANDU. Kekayaan orang tua telah membentuk pribadi manja dalam diri kita. Betul-betul manja. KITA DIKELILINGI BARANG-BARANG YANG KITA INGINKAN, BUKAN YANG KITA BUTUHKAN.

Betapa besar dosa diam yang telah kuperbuat. Betapa sungguh di dalam harta yang kumiliki terdapat hak milik orang lain, tentu pada waktuku pula terdapat jatah untuk berbagi tangan dengan orang lain.

Benda-benda elektronik yang kumiliki, pakaian-pakaian mewah, peralatan rias yang berjajar rapi, berbagai model sepatu, pernik-pernik, hingga hal-hal kecil di luar kebutuhan namun terlanjur kubeli; tidak hanya memperlihatkan betapa cantik diriku, namun juga menampakkan betapa diam hidupku. Lalu pada tanah mana lagi aku harus berpijak? Pada bahu siapa aku harus bersandar ketika penderitaan orang lain turut aku rasakan? Ah, sungguh, ajarkan padaku sebaik-baik cara mengusir diam!

Aku sangat meyakini bahwasannya kebaikan serta keunggulan manusia tidak ditentukan dari agama yang dipeluk, jabatan yang disandang, ras atau warna kulit, budaya, apalagi pandangan berpolitik; namun keduanya akan tampak dari sejauh mana seseorang berbakti dan berkorban demi kepentingan bersama.

“Cin, ngelamun mulu sih lu kerjaannya! Ke Mobile Shop-nya sekarang saja, yuk! Biar entar sore guwe bisa ikutan kalian nge-mall.”

Pembaca yang budiman, maaf, sayang sekali aku harus pergi, semoga lain waktu bisa kembali bercerita pada kalian.

1 comments:

Cerpen Cinta Yang menginspirasi

Cerpen cinta yang menginspirasi kali ini akan bercerita tentang pesona gadis yang luar biasa, namanya nazly. perjalanan hidup di enam negara memberinya berbagai pelajaran hidup dan bagaimana kita lebih bijak menjalani hidup.Menurutnya seorang wanita harus mempunyai andil dalam pergolakan ranah keilmuan,soial dan budaya. oke langsung  saja,berikut ini adalah cerpen cinta yang semoga saja memberi anda semua inspirasi

  

Nazly

Pesona kecantikannya sungguh luarbiasa. Orang lain, khususnya perempuan, memiliki seribu alasan untuk sekedar cemburu dengan yang dimilikinya. Tubuh semampai, paras memukau, bibir tipis, bermata terang, sepasang tangannya bak pualam yang halus. Namun melebihi itu semua, apa yang tersimpan dalam kepalanya jauh lebih elok dan memikat. Keseharinnya diliputi keanggunan, kebersahajaan, kebajikan, serta kebijaksanaan. Bahasa yang halus adalah sahabat baik baginya, topik pembicaraan yang beraneka ragam menjadi pelangi di tempat tinggalnya, lawan diskusinya sudah tentu betah berlama-lama mendudukkan permasalahan ke hadapannya.

Nazly Fadhil, demikian ia kerap dipanggil.

Diceritakan ia mampu berbicara enam bahasa, sudah tentu pergaulannya luar biasa. Jaringannya begitu luas, ia boleh dibilang satu-satunya wanita yang paling dekat dengan tokoh-tokoh besar pada zamannya. Ia mampu berbincang panjang dengan mereka menggunakan bahasa tutur secara fasih yang mencerminkan pengalaman serta pengetahuan luasnya. Dialah yang pertama kali mendirikan salon budaya di Mesir, sebut saja Muhammad Abduh dan Qasim Amin, dua di antara sekian banyak tokoh yang begitu rajin mendatangi salon tersebut dari waktu ke waktu.

Melalui agenda-agenda salon budaya yang ia dirikan, ia bukan hanya menerangi gelapnya ruang sosial pada waktunya, namun juga memberi peta yang gamblang tentang generasi-generasi berikutnya. Sebagai seorang tokoh, ia terbilang lahir sebelum waktunya. Sumbangan pencerahan yang ia persembahkan di dunia intelektual maupun seni-kebudayaan bisa dijadikan teladan, bahwasannya, pada kondisi paling kritis sekalipun, seorang wanita sudah seharusnya turut bersuara dalam ranah yang bergengsi, ranah keilmuan berikut pergolakan pemikiran yang ada di dalamnya.

Dalam catatan harian SaadZaghloul Pasha, ia digambarkan sebagai sosok wanita sangat terdidik dan berbudaya yang begitu aktif menjalankan perannya dalam setiap adegan kebudayaan. Lebih dari itu, ia digambarkan sebagai warga negara yang cinta mati terhadap tanah airnya, siap melawan beraneka serangan yang menghantam negaranya.


I. Perancis

Cerita tentang Nazly Fadhil bermula dari ayahnya, sosok yang paling mempengaruhi kepribadiannya dan yang telah memberinya jalan untuk ditempuh sepanjang hidup. Ayahnya adalah Pangeran Mustafa Bahjat Fadhil, anak dari Ibrahim Pasha yang tidak lain adalah putera Muhamad Ali Pasha, pendiri dinasti Alawiya. Nazly lahir pada tahun 1853 dengan nama Nazly Zainab, ia memiliki sepuluh saudara dan merupakan perempuan yang paling tua di antara lima saudarinya. Ia satu-satunya puteri dari Dal Azad Hanim, satu dari sekian banyak istri ayahnya. Hanim sendiri lahir di Istambul pada tahun 1837, betul, ia baru berusia enammbelas tahun ketika melahirkan Nazly.Tidak dapat dilacak lebih jauh kenpa Hanim tidak mampu menghadirkan adik untuk Nazly hingga meninggalnya di usia empatpuluh delapan, pada tahun 1885.

Dalam masa-masa pertumbuhannya, Nazly sudah disuguhkan dengan dua pemandangan yang berbeda, barat dan timur. Mesir sebagai tanah airnya, dan belahan Turki sebagai negara kedua baginya.

Singkat cerita, pernikahan pertama Nazly terjadi pada tahun 1873 dengan seorang laki-laki yang tigapuluhtahun lebih tua darinya, Khalil Pasha Sharif. Sang suami sendiri adalah seorangyang berbudaya dan berwawasan internasional, ia sempat belajar di Perancis sebagai salah satu delegasi yang dikirim oleh Muhammad Ali Pasha, kakek Nazly Fadhil. Seusai dari Perancis ia bergabung dengan kesatuan diplomasi dalam pemerintahan Muhammad Ali Pasha dan mulai aktif di dunia perpolitikan. Mertua Nazly adalah Muhammad Sharif Pasha, seorang wali di Levant pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha (bukan Muhammad Sharif Pasha seorang perdana mentri yang sering kita dengar).

Pada tahun 1876, suaminya terpilih sebagai Menteri Keadilan, baru setahun kemudian ia menjabat sebagai duta besar di Perancis. Di sana, jelas ia bukan sekedar istri seorang duta, namun juga sebagai ‘pelajar’ yang terpesona oleh kemegahan Paris dengan segala kemewahan yang disajikan. Perancis adalah frase penting dalam membangun karakter seorang Nazly Fadhil, dengan cepat ia memperkaya pengetahuan dan mengenal berbagai budaya asing.

Di kota yang gemerlap cahaya tersebut Nazly mulai memperkaya dirinya dengan buku-buku bacaan, ia juga kerap menjadi pendengar yang baik di kuliah-kuliah umum, bahkan sesekali menyempatkan waktu berkomunikasi dengan orang asing secara terbuka. Pada waktu itu, di Paris, salon-salon sastra sudah sangat populer, begitu juga kafe-kafe budaya, siapapun tahu kota tersebut menjadi pusat perkumpulan para cendekiawan, politisi, budayawan, serta sastrawan yang kerap mendiskusikan isu-isu kebudayaan, seni, juga politik. Nazly sadar betul bahwasannya peran daripada salon-salon semacam itu sangat vital dalam membangun peradaban dan iklim kehidupan yang diidamkan, oleh karenanya seiring berjalannya waktu sesekali ia memberanikan diri mengundang kaum terdidik yang dikenalnya untuk berkunjung ke kediamannya, sekedar makan malam yang selalu berujung pada obrolan-obrolan hangat yang sarat dengan wacana-wacana penting.


II. Mesir

Sepulang dari Perancis, Nazly tampil jauh lebih memukau dibanding ketika masih perawan dulu. Dengan cita rasa berbahasa yang tinggi ia mampu berkomunikasi menggunakan Bahasa Arab, Turki, Inggris, dan Perancis dengan cakap, ia juga leluasa berbicara ala orang Jerman dan Italia. Kehadirannya sanggup mengimbangi isu-isu yang dibicarakan lawan bicaranya, terutama menyoal kemesiran selaku latar belakang identitasnya.

Nazly tinggal di sebuah rumah di belakang Keraton Abidin, tepatnya di jalan La Companie. Kediamannya dihiasi taman cukup luas yang sebelumnya dikenal dengan Villa Henry. Ia melengkapinya dengan perabot-perabot yang indah, sedikit menyerupai kediaman Louis XV.

Bukan sebuah kebetulan, rumah tersebut sebelumnya adalah kediaman Sir Henry Layard, seorang arkeolog terkenal yang nantinya menjabat sebagai duta besar Inggris untuk Turki Usmani. Nazly sering berjumpa dengannya ketika mereka sama-sama di Turki, Sir Henry terpana dengan kecerdasan dan kegigihan Nazly dalam menggali pengetahuan. Dikabarkan Sir Henry menganggap Nazly seperti anak kandung sendiri, oleh karenanya dengan senang hati turut menyokong cita-cita luhur Nazly, sokongan moral maupun modal.

Di kediaman tersebut Nazly secara aktif menjalankan roda kebudayaan yang pengaruh pemikirannya masih terasa hingga detik ini. Kecerdasannya bagai magnit yang mampu menarik kaki Jamaluddinal-Afghani untuk menginjak lantai halamannya, demikian juga Muhammad Abduh,Saad Zaghloul, Qasim Amin, dan tokoh-tokoh ulung pada masanya. Salon di kediaman tersebut juga menarik perhatian sederet sahabat dekat Nazly yang berkebangsaan Inggris seperti Lord Cromer dan Herbert Kitchener. Tanpa menyebut kecantikan Nazly, tamu-tamu yang datang dari berbagai latar keilmuan yang berbeda-beda tersebut terpana dengan kecemerlangan ide-ide Nazly yang dibalut dengan selera humor yang tinggi.

Syeikh Muhammad Abduh baru mengenal Nazly sepulangnya dari perantauan pada tahun 1888. Boleh jadi ia mendapat cerita tentang wanita luar biasa ini dari gurunya, Syeikh Jamaluddinal-Afghani, terutama sejak Nazly mendukung pergerakannya yang bernama al-Urwahal-Wustqa sejak ia masih di Paris. Mendengar kehebatan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, si cerdik Nazly mengirim undangan khusus untuknya supaya berkenan mendatangi salon kebudayaan di kediamannya. Sejak saat itu persahabatan mereka terjalin erat penuh keakraban, selama bertahun-tahun, hingga Sang Syeikh meninggal dunia pada tahun 1905.

Adakah persahabatan yang lebih mesra dibanding interaksi berbentuk diskusi-diskusi hangat dan perdebatan-perdebatan demi tercapainya solusi suatu permasalahan?

Sejarawan meyakini bahwasannya Nazly Fadhil telah berhasil mendorong Syeikh Muhammad Abduh untuk lebih mendalami lagi literatur Perancis. Syeikh Mustafa Abd al-Raziq, yang mana ayahnya adalah sahabat dekat Muhammad Abduh, dalam sebuah risalah menulis bahwasannya Nazly mempunyai pengaruh luar biasa dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, menjadikannya lebih terang dan renyah dibaca. Nazly juga membuka cakrawala baru bagi Muhammad Abduh seperti pandangannya mengenai lukisan, ukiran, dan berbagai karya seni lain untuk dipelajari dan patut diapresiasi nilai-nilai kebudayaannya. Berawal dari sana, Muhammad Abduh menggunakan legitimasinya selaku mufti Mesir memberikan fatwa “halal” pada karya-karya seni tersebut.

Siapa sangka artikel-artikel awalyang ditulis Qasim Amin, seorang pelopor pergerakan pembebasan kaum wanita di Mesir, berupa serangan telak terhadap kaum Hawa di negaranya. Amin kembali keKairo setelah beberapa tahun belajar di Perancis, ia membuat sebuah perbandingan radikal antara perempuan Mesir dengan mereka yang berlatar belakang Perancis, kemudian menumpahkan ide-ide radikalnya dalam surat kabar al-Muayyid. Ia sungguh merendahkan status sosial kaum hawa Mesir, dan memaksa mereka untuk berdiam diri di rumah dan melarangnya turut andil di segala ruang kemasyarakatan.

Tentu artikel-artikel tersebut berhasil membuat ‘gemas’ seorang Nazly Fadhil. Ia pun meminta Muhammad Abduh untuk mengundang Qasim Amin berkunjung ke salonnya guna mempresentasikan artikel-artikel ‘nakal’ tersebut langsung di hadapannya. Qasim Amin mendapati dirinya begitu kecil di hadapan Nazly Fadhil, wanita luar biasa yang mampu berdiskusi dengan santun sembari mengetengahkan sanggahan-sanggahannya dengan penuh percaya diri, didukung logika yang tinggi pada setiap pendapat-pendapatnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi seorang Nazly Fadhil untuk merubah pola pikir Qasim Amin yang masih perlu diperluas lagi.

Setelah perkenalan dan presentasi tersebut, secara tidak langsung Qasim Amin menjadikan Nazly Fadhil sebagai contoh, bahwasannya, dalam kondisi paling kritis sekalipun seorang wanita sangat mampu berperan memperbaiki keadaan, atau menjadi sosok yang mereka cita-citakan.Ia juga semakin yakin, bahwa pola masyarakat yang kolot yang telah membentuk kepribadian perempuan menjadi jauh terbelakang, bukan dikarenakan faktor biologisnya.

Nazly Fadhil adalah bukti nyata, bahwasannya pada titik tertentu seorang muslimah siap bersaing dengan laki-laki dalam bermacam hal, bahkan mengunggulinya.

Berawal dari sana Qasim Amin mulai memperjuangkan upaya pembebasan perempuan dari bermacam diskriminasi, ia menulis dua buku terkenalnya, Takhrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah. Baik Nazly Fadhil maupun Muhammad Abduh, dua-duanya sangat berperan dalam pemikiran-pemikiran Qasim Amin yang masih terus dikaji sampai saat ini.

Di salon budaya yang dijalankan Nazly Fadhil, argumentasi-argumentasi rasional jauh lebih diutamakan dibanding retorika berbau emosional. Tentu.


III. Tunisia

Nazly mulai menginjakkan kakinya di Tunisia pada tahun 1896 untuk mengunjungi salah satu saudarinya, Ruqayyah, selaku istri dari salah seorang pembesar Tunisia, Thohir bin Ayad. Sebelumnya ketika masih di Perancis, Nazly sudah menjalin persahabatan dengan beberapa orang Tunisia. Kunjungannya ke sana bukan sekedar bertatap muka dengan Ruqayyah, tetapi juga menyambung tali dengan kawan-kawan lamanya, di sana pula ia bertemu dengan Khalil Buhajeb yang kemudian menjadi suaminya. Semenjak Khalil Pasha Sharif meninggal dunia pada tahun 1879 (setelah enam tahun berumah tangga dengan Nazly), Nazly berkali-kali menolak lamaran para petinggi negara untuk dijadikan istri mereka, barulah di Tunisia ia mengenal seorang hakim terkenal, pembaharu sekaligus penasehat negara, Syeikh Salim Buhajib, yang kemudian menjadi ayah mertuanya.

Pernikahan berlangsung meriah pada 5 April, 1900, ketika umur Nazly terhitung empat puluh tujuh tahun. Tidak seperti pernikahan sebelumnya dimana suaminya tigapuluh tahun lebih tua dari Nazly, kali ini suami keduanya justru duapuluh tahun lebih muda darinya.

Peran yang dimainkan Nazly di Tunisia sangat penting bagi perkembangan status kaum wanita di sana, kala itu pendidikan perempuan hanya sebatas di lembaga-lembaga pendidikan asing; sebagai konsekuensinya, perempuan yang beruntung memperoleh pendidikan hanya akan berwawasan kebarat-baratan tanpa pondasi keislaman yang kuat. Menyadari hal ini Nazly jelas tergugah untuk melakukan sesuatu, setidaknya para perempuan yang terdidik di Tunisia minimal bisa seperti dia, berwawasan luas mengenai perkembangan dunia barat tanpa mengesampingkan identitasnya selaku pemeluk agama Islam.

Upaya yang dilakukan Nazly teramat cerdik dalam permasalahan ini, tanpa perlu bertahun-tahun memperjuangkan nasib pendidikan negara suaminya, ia cukup  memperkenalkan pendidikan di Mesir pada salah seorang yang memiliki tanggung jawab. Pada tahun 1907, bersama suaminya ia mengundang seorang tokoh pembaharu Tunisia bernama al-Bashir Safar untuk berkunjung ke Mesir. Di Kairo, ia diperkenalkan dengan sejumlah tokoh berikut sekolahan-sekolahan perempuan yang nanti akan memancingnya supaya mengobarkan semangat pendidikan bagi kaum perempuan di negaranya. Al-Bashir Safar terpana dengan ide-ide Nazly Fadhil, sebagaimana keterpanaannya terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Qasim Amin.

Sepulangnya dari Mesir, di Tunisia al-Bashir Safar tidak perlu menunggu lama untuk mendirikan sekolahan pertama bagi perempuan yang bisa dimasuki oleh berbagai elemen masyarakat, tanpa meninggalkan kajian keislaman demi membangun karakter keberagamaan mereka.


IV. Sayonara

Sultan Hussein menjenguk ranjang sekarat Nazly pada 28 Desember 1913, hari itu mereka menghabiskan waktu bersama sampai pukul 7:30 petang, ia mengabarkan bahwa kesehatan Nazly tidak begituparah, akan tetapi semangat juang untuk hidupnya terlihat lemah. Nazly berucap padanya bahwa dirinya akan meninggal di bulan Desember, seperti mendiang ibunya. Menjelang subuh beberapa jam setelah itu, jantung Nazly kembali melemah, menurut cerita yang tersebar, ia menutup mata dengan tangannya sendiri ketika menghembuskan nafas yang terakhir kali.

Beriring suara musik yang dimainkan beberapa bala tentara, warga Mesir berbondong-bondong memberikan penghormatan terakhir untuk Nazly, mengantarkannya dari Keraton Abidin sampai tanah yang menyambut jasadnya di area pemakaman keluarga Muhammad Ali di dekat Masjid Imam Syafi’i.

Tamatlah riwayat Nazly Fadhil, seorang pejuang yang namanya tidak begitu dikenal oleh sejarawan, barangkali karena ia tidak memiliki karya tulis. Kita bahkan tidak menemukan namanya dalam jajaran tokoh wanita yang memperjuangkan hak-hak mereka semisal Fatma Ismail, Safiah Zaghloul, Huda Sya’rawi, Nabawiyah Musa, Siza Nabrawi, dan lain-lain. Namun dari uraian singkat di atas bisa kita simpulkan perannya yang luar biasa dalam pemikiran keagamaan maupun kebudayaan. Perjuangannya bukan melawan kediktatoran maupun okupasi asing, namun membenahi masyarakat secara keseluruhan, melawan cara pandang budaya yang buruk dan tradisi yang berlebihan. Ia berjuang melawan mereka yang membatasi ruang gerak kaum hawa, melawan cakrawala sempit dan ide yang dibikin-bikin, karena ia sadar, potensi kaum hawa bisa mencapai titik yang luar biasa.

Saat ini, apakah masyarakat dunia sudah tidak memerlukan seorang Nazly Fadhil?


0 comments:

Hukum Riba Dalam Islam

Dengan semakin majunya transaksi ekonomi akhir-akhir ini,kiranya perlu untukmengetahui bagaiman hukum riba menurut pandangan islam.secara umum transaksi keuangan dianggap sah menurut syariat jika tidak mengandung unsur tertentu seperti riba (bunga), gharar (tipu muslihat), qimâr (judi) dan lain sebagainya. Maya menambahkan bahwa, larangan atas riba ini bukan hanya terdapat dalam Islam, tapi juga terdapat dalam semua agama samawi, dan terekam dalam sejarah sepanjang tradisi peradaban manusia. Lalu apa riba itu?
Sekilas Definisi Riba Antar Mazhab


Selanjutnya Maya memulai dengan pembahasan tentang definisi riba. Secara etimologi riba berarti pertumbuhan atau tambahan (ziyâdah). Sebagaimana firman Allah swt. Dalam QS. Al-Hijr : 05:

(اهتزت وربت)  yang artinya: menjadi subur dan menumbuhkan. Yakni tumbuh dan berkembang.
Sedangkan menurut istilah para Imam mazhab fikih Islam sebagai berikut:

1. Syafi’iah: mengatakan bahwa riba adalah akad atas imbalan tertentu, tidak sama dalam ukuran syariat ketika akad, atau dengan penagguhan antara kedua belah pihak atau salah satunya.
2. Hanafiah: mengemukakan bahwa riba adalah tambahan atas harta pokok (modal) tanpa penyeimbang yang bernilai dalam kaca mata syariat, yang disyaratkan oleh salah satu pihak pelaku akad dalam pengembalian.
3. Hanabilah: berpendapat bahwa riba adalah tambahan dalam suatu tertentu.

Apakah semua tambahan atas harta pokok dinamakan riba?Jawabannya tidak, sebab tambahan yang diberikan oleh peminjam dengan kerelaan hati tanpa persyaratan tergolong akhlak mulia yang dianjurkan, termasuk ihsan (berbuat baik) atau ‘husnul qadha’ (baik dalam membayar). Jelas mahasiswa jurusan Syari’ah Islamiyah tingkat 4 ini dengan penuh semangat.

Sekilas Hukum Riba


Haram hukumnya jika pada suatu transaksi terdapat praktek riba. Hal ini telah tertera pada nash Alquran Sunnah, Ijmak ulama dan Qiyas. Sebenarnya, diharamkannya riba melalui Alqur’an secara gradual. Tapi akan kami sebutkan ayat dari fase pengharam terakhir saja.

Al quran: ”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah swt. dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS.Al-Baqarah:278-279)

As Sunnah: “Dari Ubadah bin as-shamit berkata,Rasulullah saw. bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang satu jenis, sama(kadarnya), dan ada serah terima, maka jika bagian-bagiannya (yang diperjualbelikan) berbeda, juallah sesuai dengan yang kamu kehendaki jika ada serah terima.”


Macam-macam Riba


Riba fadli: Riba fadhli adalah pertukaran dua barang ribawi yang sejenis dengan ada kelebihan atau tambahan pada salah satunya

Riba Nasi’ah: pertukaran dua barang ribawi yang satu jenis maupun beda jenis, dengan menangguhkan penyerahan keduanya atau salah satunya. Baik tambahan itu berupa nominal maupun rill (nyata), jenis riba nasi’ah banyak terjadi di bank konvesional pada zaman modern ini.

Adapun menurut Syafi’iyah riba terbagi menjadi tiga: riba fadl, nasi’ah, dan yad. Riba yad adalah pembelian barang dengan menangguhkan penyerahan salah satu barang atau keduanya tanpa menyebutkan waktunya, atau pertukaran barang berlain jenis seperti gandum dan kurma tanpa diserahkan pada saat akad. Jenis ini (yad) termasuk riba nasi’ah menurut Hanafiah, yaitu syarat penyerahan barang pada saat akad, di dalamnya ada penangguhan dalam penyerahan salah satu barang atau keduanya. Dalilnya:

 Yang artinya: Dari Umar bahwa Nabi saw. Bersabda: emas dengan emas riba kecuali sini dan sini, yakni ambillah dan berikanlah. (HR.Bukhori dan Muslim)

Kesimpulan: Riba nasi’ah adalah penangguhan hutang dengan penambahan atas jumlah asalnya (ini adalah riba jahiliah), atau penangguhan penyerahan atas salah satu barang ribawi sejenis. Adapun riba fadhl adalah penambahan pada salah satu barang ribawi yang sejenis maupun beda jenis diserahkan secara langsung pada akad.

Barang-barang yang Mengandung Unsur Riba


Jumhur ulama sepakat komoditas yang mengandung unsur riba terdapat pada enam jenis barang yaitu: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam. Sebagian ulama membatasi riba hanya pada enam barang tersebut. Namun mayoritas ulama berpendapat riba juga terjadi pada selain enam barang tersebut, asalkan didalamnya mengandung ‘illat (sebab) salah satu barang yang disebutkan dalam hadis diatas, hal itu karena hukum berdasarkan kesamaan sebab didalamnya. Dari sini para ulama secara panjang lebar membahas ‘illat (baranng ribawi untuk tolak ukur (qiyâs) barang-barang lainnya yang tidak disebutkan dalam hadis.

Sementra, ‘illat (sebab) riba adalah: sifat yang terdapat pada barang yang sesuai dengan barang ribawi yaitu (emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam). Para Ulama berbeda pendapat dalam sifat barang yang melanggar hukum.

Hanafiah: mengatakan bahwa ‘illat (sebab) riba fadhl adalah takaran atau timbangan pada barang sejenis. Adapun illat pada emas dan perak adalah timbangan dan sejenis. Maka tidak termasuk illat riba apabila tidak terdapat dua sifat yaitu kadar dan sejenis. Maka dari itu, barang sejenis (yang ditakar dan ditimbang) merupakan barang ribawi.
Lalu, maya melanjutkan, sesungguhnya illat pada riba nasi’ah atau riba jahiliah adalah salah satu sifat yang terdapat pada illat riba fadhl yaitu takaran atau timbangan yang sama dan satu jenis

Malikiyah: mengatakan bahwa illat diharamkannya penambahan pada emas dan perak adalah merupakan (tsamaniyah mutlaqah) atau alat tukar untuk barang-barang lainnya.

Illat ribawi dalam barang selain emas dan perak adalah al iqtiyat wa a liddikhor (dapat dijadikan bahan makanan pokok dan dapat disimpan).

Syafi’iyyah mengatakan bahwa illat ribawi pada emas dan perak adalah mata uang ( tsamaniyah muqoyyadah, atau dalam kata lain illat ribawi dalam alat tukar dan mata uang hanya terdapat dalam emas dan perak, tidak mencakup hal selainnya)atau alat tukar. Adapun illat pada empat barang sisanya (gandum, jewawut, kurma dan garam) adalah (at thu'm) makanan yakni bahan makanan, bahan makanan meliputi tiga hal yaitu Makanan pokok, buah-buahan, bumbu-bumbuan dan obat-obatan.

Hanabilah mengatakan bahwa ada tiga riwayat dalam illat riba, riwayat yang paling masyhur adalah seperti mazhab Abu Hanifah yakni takaran atau timbangan dengan barang sejenis merupakan illat riba, riwayat kedua sama dengan pendapat madzhab syafi’iyyah, dan riwayat ketiga yaitu illat ribawi yang terdapat pada selain emas dan perak adalah makanan yang ditakar dan ditimbang, maka tidak ada riba pada makanan yang tidak ditakar dan ditimbang seperti semangka, buah pir, apel dll. Dan tidak pula pada barang yang tidak dimakan seperti besi, timah dll.
Dzohiriyyah mengatakan bahwa illat riba tidak masuk dalam ranah qiyas, yakni khusus pada barang yang disebutkan dalam hadis saja.

Kesimpulan: illat ribawi yang terdalam dalam bahan makanan menurut imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal adalah takaran dan timbangan, menurut imam Malik adalah bahan makanan yang dapat disimpan dan dijadikan bahan makanan pokok, dan menurut imam Syafi’i adalah makanan.

Illat ribawi dalam emas dan perak menurut madzhab Hanafi adalah dapat ditimbang, menurut madzhab maliki adalah alat ukar secara mutlak dan menurut madzhab Syafi'i adalah keistimewaan yang terdapat dalam emas dan perak yang dapat dijadikan standar nilai dan alat tukar menukar.

Syarat-syarat Pertukaran antara Barang Ribawi engan yang Lain


Kesamaan antara kedua barang yakni takaran dengan takaran, timbangan dengan timbangan dan jumlah dengan jumlah.

Adanya barang saat akad, agar tidak menangguhkan penyerahan salah satu barang dari majlis akad, yakni tidak menyebutkan penangguhan dalam akad serah terima, agar menyerahkan kedua barang pada saat akad sebelum salah satu pihak meninggalkan yang lain.

Adapun pertukaran antara kedua barang berlainan jenis seperti emas dan perak dibolehkan dengan syarat adanya barang dan adanya serah terima pada waktu akad, tidak disyaratkan sama dalam jumlah.

Walhasil, transaksi barang ribawi dibagi menjadi tiga. Pertama, Transaksi barang ribawi satu jenis, misalkan beras dengan beras, uang rupiah dengan uang rupiah. Dalam transaksi tersebut diatas ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: sama dalam nominal (alat tukar),  sama dalam jumlah banyak sedikitnya (ditimbang/diakar), dan kedua barang tersebut diserahkan dalam tempat transaksi alias tidak ditangguhkan. Kedua, transaksi barang ribawi beda jenis, misalkan uang dengan beras, gandum dengan garam. dalam transaksi yang kedua ini hanya disyaratkan terjadinya penyerahan dalam tempat transaksi agar terhindar dari riba yad. Ketiga, transaksi barang ribawi dengan barang-barang non ribawi, tidak disyaratkan ketiga hal tersebut.

Riba pada Perbankan Konvensional


Riba pada perbankan konvensional dapat masuk kategori riba nasi'ah, riba fadl, ataupun juga riba yad, tergantung dari deskripsi transaksi yang ada dalam bank yang bersangkutan. Kurang tepat jika kita mengatakan bahwa riba yanga ada dalam bank konvensional hanya riba nasi'ah saja. Transaksi utang-piutang dalam bank dengan adanya syarat dari bank untuk mengembalikan uang dalam jumlah lebih banyak masuk dalam riba fadl. Jika pihak nasabah tidak mampu mengembalikan uang yang dihutang dalam tempo yang telah ditentukan dan pihak bank menambahkan nominal tertentu sebagai sangsi akan keterlambaan pengembalian uang, maka riba ini termasuk riba nasi'ah. Dan jika penyerahan uang tidak dilakukan dimajlis akad, misalkan saja penyerahan uang kepada nasabah ditangguhkan dua hari setalah kesepakatan maka masuk dalam kategori riba yad.

Hikmah Diharamkannya Riba


Sangat jelas, banyak kemudlaratan yang ada pada transaksi yang didalamnya menerapkan praktek-praktek riba. Diantaranya,

Riba menyebabkan permusuhan antar individu dan menghilangkan jiwa tolong menolong antar sesama. Padahal Islam sangat mendorong adanya perbuatan tolong menolong sesama manusia.

Riba mendorong terbentuknya kelas elite yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta seperti vampir yang setiap saat mengisap orang lain
Riba merupakan perantara terjadinya penjajahan dibidang ekonomi dimana si kaya menidas si miskin
Dalam segi moral riba dapat menimbulkan sifat egois dan invidualis, bakhil, cemas dan gelisah, dan materialistik.

Penutup

Riba adalah suatu perkara yang dipraktekan oleh masyarakat  semenjak zaman jahiliah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang secara tegas mengharamkan riba. Riba dapat diartikan dengan tambahan yang disyaratkan dalam trasaksi bisnis tanpa adanya usaha dan penyeimbang yang dibenarkah syariah terhadap penambahan tersebut. Penambahan diatas menunjukkan bahwa dengan segala macam bentuknya, termasuk sistem bunga bank yang berlaku saat ini adalah haram.

Riba pada umumnya dan sisitem bunga bank pada khususnya telah menimbulkan beberapa dampak negativ diantaranya menghancurkan prinsip-prinsip Islam dalam hak kepemilikan, merusak moralitas, melahirkan benih kebencian dan permusuhan, kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin, monopoli sumber dana. Semua akibat tersebut telah memicu ketidak stabilan ekonomi.

Sebagaimana yang pernah diulas sebelumnya riba dan bunga bank adalah racun perekonomian, yang dapat merusak, menghancurkan dan mematikan siapapun yang menggunakannya, oleh karena itu kita harus menghilangkan racun pada perekonomian ini.Hal ini merupakan tugas umat Islam dalam mengupayakan terwujudnya sistem perekonomian syariat yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Wallahu a’la wa a’lam

0 comments:

Alexandria; Kemolekan Pengantin Mediterania

Mendengar kata Alexandria, yang terbayang pertama kali dalam pikiran penulis adalah sosok Alexander Agung dari Macedonia. Seorang raja terbesar Yunani yang telah menaklukkan hampir separuh dunia. Namanya sering diidentikkan dengan Dzul Qornain yang disebutkan dalam al-Qur'an. Hal itu telah menjadi perdebatan para sejarahwan Muslim. Ada yang mengatakan bahwa Dzul Qornain tidak lain adalah Alexander itu sendiri. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan Ibnu Hisyam (w. 218 H/834 M) yang dinisbatkan kepada catatan sejarahwan Islam pertama kali; Ibnu Ishaq, mengenai sejarah turunnya surat al-Kahfi. Kutipan pernyataannya itu dapat dijumpai di catatannya; Sirah Ibnu Hisyam sebagai berikut; "Dzul Qornain adalah Alexander Agung, raja Persia dan Yunani. Atau raja Timur dan Barat.  Sebab itulah dia dinamai Dzul Qornain (Raja yang memiliki 2 mahkota)." Pernyataan ini diikuti oleh para failusuf Islam; seperti al-Farabi, Ibn Sina dan al-Kindi yang notabene adalah pengagum karya-karya Aristoteles yang juga diduga kuat menjadi penasehat sang raja.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Dzul Qornain bukan lah Alexander the Great yang selama ini diyakini oleh kebanyakan orang. Pendapat tersebut dimotori oleh Abu al-Kalam Azaad; seorang cendikiawan Islam India yang lahir pada kesepuluh akhir abad ke-19. Dia mengatakan bahwa raja Cyrus Agung dari Persia lah yang karakteristiknya sesuai dengan Dzul Qornain yang ada di dalam al-Qur'an. Pendapatnya itu juga diamini oleh dua pemimpin tertinggi (Grand Syeikh) al-Azhar;  Syeikh Mutawally Sya'rawy (w. 1998 M) dan Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi (w. 2010).

Terlepas dari perdebatan di atas, Alexander Agung lah yang telah meninggalkan bukti-bukti sejarah autentik di Mesir yang bertahan hingga saat ini. Bukti-bukti tersebut adalah simbol betapa Alexandria pada dahulu kala pernah menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Sehingga dengan menginjakkan kaki di kota itu, seolah-olah pembaca akan dibawa kembali ke era hellenistik. Sebuah era di mana filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan serta segala macam kebudayaannya mulai menyebar dan berasimilasi ke negara-negara taklukkan sang raja, dan Alexandria sebagai ibukotannya.

Untuk mengenal lebih dalam tentang itu, maka pada bulan Juli lalu, Tebuireng Center periode 2011-2012 mengadakan sebuah agenda acara wisata ilmiah ke kota ini. Sehingga, selain bisa menikmati keeksotisan dan kemegahan kota yang dikelilingi oleh hamparan laut Mediterania, penulis juga mendapatkan beberapa informasi menarik tentang sejarah, legenda, ilmu pengetahuan yang tidak hanya didapat melalui peninggalan-peninggalan Alexander Agung saja, tetapi juga melalui peninggalan-peninggalan dinasti-dinasti lain yang pernah berkuasa.

II 
Sabtu tanggal 14 Juli kami berangkat dari sekretariat TC (Tebuireng Center) yang terletak di distrik 10th (Hay Asyir) ke stasiun kereta api kota Ramses. Kami serombongan yang berjumlah sekitar 17 orang berharap-harap tidak ketinggalan kereta menuju Alexandria, karena jika mengikuti jadwal keberangkatan yang tertera di tiket, kami telah kehilangan 5 menit. Beruntung sekali bapak penjaga stasiun bilang bahwa kereta yang kami nanti-nanti belum datang. Setelah sekitar 3 menit, kerata yang kami tunggu tiba, perasaan kami pun lega. Entah kenapa kereta yang kami naiki diberi nama Faransawi, atau kereta Perancis. Barangkali modelnya, jenis atau pembuatnya adalah dari perancis, kami tidak tahu. Selain Faransawi, ada juga kereta yang namanya Turbine, dan Isbania (Spanyol) yang tentunya dengan pelayanan dan fasilitas berbeda. Dan ada juga, kereta yang jenisnya sama dengan kereta KRL di Indonesia. Setelah memasuki gerbong, kami menentukan tempat duduk masing-masing sesuai dengan nomer yang ada di tiket. Penulis sendiri mendapatkan tempat duduk di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan.

Jarak tempuh antara Kairo dan Alexandria sekitar 220 km dengan 5 stasiun setiap propinsi yang kami singgahi. Waktu untuk menghabiskan jarak tersebut sekitar 5 jam. Sambil menikmati pemandangan pedesaan yang sama sekali berbeda dengan kebisingan kota Kairo, penulis mencari-cari informasi tentang sejarah Alexandria.

Selain menjadi propinsi terbesar kedua setelah Kairo, Alexandria juga menjadi gerbang peradabaan dan kekayaan bangsa Mesir. Kota tersebut adalah pelabuhan terbesar yang ada di sepanjang 32 km pantai laut Mediterania. Ia tidak hanya menangani hampir 80% ekspor dan impor negara, tetapi juga menjadi simbol kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban. Di dalamnya akan kita jumpai Alexandria bibliotika, salah satu perpustakaan tertua dan terbesar yang pernah ada di dunia. Gara-gara perpustakaan ini, Alexandria mendapat prediket sebagai salah satu kota dari tujuh keajaiban dunia kuno. Ada yang bilang Alexander Agung sendiri yang meletakkan batu pondasi perpustakaan tersebut. Akhirnya terbayang dalam pikiran penulis, bagaimana buku dan ilmu pengetahuan, kedudukannya penting sekali dalam penaklukkan dunia, seperti Alexander yang memperhatikan buku-bukunya. Selain perpustakaan ini, terdapat sebuah katakombe (bangunan bawah tanah) yang diberi nama Saradib Kom el Shoqafa. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada masa abad pertengahan, yaitu ketika dinasti Nerva-Antonin dari Romawi berkuasa (Abad kedua Masehi). Dengan adanya katakombe ini, Alexandria juga mendapatkan kehormatan dipanggil sebagai salah satu kota dari tujuh keajaiban dunia abad pertengahan. Maka wajar jika kota ini dijuluki; "pengantin laut Mediterania." Karena menjadi pengantin adalah menjadi raja sebab  diistimewakan, serta menjadi penghubung berkumpulnya berbagai peradaban.

Sambil menikmati matahari yang seolah-olah jatuh ke hamparan ladang yang hijau propinsi Tanta. Penulis melanjutkan pencarian informasi tentang berdirinya kota yang juga pernah menjadi ibukota pertama dalam sejarah Mesir kuno sebelum dinasti Islam berkuasa atasnya.

Didirikan pada tahun 331 sebelum Masehi oleh raja Alexander dengan Dinocrates sebagai kepala arsitekturnya. Sang raja menjadikan namanya sendiri sebagai nama kota yang baru ia dirikan. Sebelum menginjakkan kaki dan membangun kota tersebut, Alexandria adalah sebuah kota kecil yang bernama Rhacotis. Dengan didirikannya kota baru ini, raja Alexander menaruh harapan besar bahwa Alexandria akan mampu menggantikan kota Naukratis yang ada di Yunani sebagai pusat kebudayaan Hellenistik. Hal itu barangkali karena letak geografisnya yang dikelilingi laut Mediterania; laut yang menghubungkan belahan bumi Barat dan Timur. Dan juga diharapkan, Alexandria mampu menjadi penghubung antara Yunani dan lembah sungai Nil yang makmur. Beberapa bulan setelah pendirian kota, Alexander meninggalkan Mesir dan kekuasaan atasnya diserahkan sementara kepada Cleomenes yang ditunjuk sebagai penguasa wilayah Arab. Saat Alexander meninggal dunia pada usia yang cukup muda; 32 tahun di atas tahta Nebucadnezar II di Babylonia, kekuasaannya diteruskan oleh salah satu jenderalnya; Ptolemy. Ptolemy ini lah yang kemudian mendirikan dinasti Ptolemik (305-30 SM) yang juga dikenal dengan dinasti Hellenistik kedua atau juga bisa disebut dengan dinasti ke-Fir'aun-an terakhir yang ada di Mesir.

Sekitar pukul 21.00 waktu setempat, kami telah sampai di penginapan. Beruntung, penginapan yang kami huni dekat sekali dengan pantai. Setelah makan malam usai, kami pun istirahat supaya bisa menyongsong mentari pagi menyembul dari balik laut yang terbentang.

Pukul setengah lima pagi, penulis sudah tak tahan ingin menyusuri pantai Alexandria seraya melihat matahari terbit. Sekitar 15 menit dari penginapan, penulis telah sampai di pinggir pantai dengan jalan kaki. Namun sayang, kami hanya bisa duduk-duduk di atas batas pembatas antara pantai dan jalan raya, karena untuk memasuki pantai harus mengeluarkan beberapa kocek uang kepada penguasa kedai. Apalah nasib, tak dapat melihat mentari,  maka suara deburan ombak sebagai pengganti.

Suara-suara deburan ombak itu mengingatkan kami kepada dentuman-dentuman meriam yang meletus pada Perang Terakhir antara Republik Romawi dengan dinasti Ptolemik (30 SM). Sebuah perang yang di dalamnya tidak hanya mengandung unsur kekuasaan belaka, tetapi juga ada intrik politik serta kisah percintaan antara Mark Anthony dan ratu Cleopatra VII. Kisah sang ratu ini yang sering diceritakan dalam novel dan film-film.

Berbicara tentang Cleopatra VII memang tidak akan ada habisnya. Bagaimana kecantikan dan kecerdikannya mampu meluluhkan hati Mark Anthony yang dengan segenap jiwa dan raga mau membelanya. Saat para senator republik Romawi mendeklarasikan perang kepada  dinasti Ptolemik Mesir, Mark Anthony beserta pasukannya memberontak keputusan itu dan berperang membela pihak Cleopatra. Akhirnya perang pun meletus di atas teluk Ionian yang juga bagian dari laut Mediterania yang dikenal dengan battle of Actium  (Actium, salah satu daerah kekuasaan Romawi yang terletak di Yunani). Perang ini dimenangkan oleh kubu Republik Romawi yang dipimpin oleh Octavianus (63 SM-14 M). Sebab kekalahan ini lah Cleopatra VII dan Mark Anthony berkomitmen untuk melakukan bunuh diri, sebelum kemudian dinasti Ptolemik dianeksasi oleh kekuasaan Romawi.

Setelah kemenangannya itu pada tahun 31 SM, Octavianus mendirikan dinasti kekaisaran Romawi menggantikan sistem Republik yang telah berlangsung hampir 500 tahun. Octavianus kemudian mengganti namanya dengan Augustus lalu menjadikan Mesir sebagai salah satu provinsi kerajaan Romawi yang dikenal dengan Aegyptus.

Karena menjadi salah satu pelabuhan inti yang ada di laut Mediterania, Alexandria tidak hanya dihuni oleh penduduk pribumi Mesir saja, tetapi juga dihuni oleh orang-orang Yunani, serta orang-orang Yahudi yang diduga sudah ada sejak masa Alexander berkuasa (sekitar awal abad ketiga sebelum Masehi). Di Alexandria ini orang-orang Yahudi diberi kesempatan untuk menerjemahkan kitab sucinya yang berbahasa Hebrew ke bahasa Yunani  (penerjemahan ini dikenal dengan istilah Septuaginta) yang nantinya banyak dikutip dalam kitab Perjanjian Baru. Pada masa kerajaan Romawi berkuasa di Mesir, seringkali terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi. Tercatat terdapat tiga kali gelombang peperangan; perang Yahudi-Romawi pertama (66-73 M), Perang Kitos (115-117 M), pemberontakan Bar Kokhba (132-135 M). Pada peperangan tersebut banyak korban berjatuhan dari pihak Romawi dan Yahudi serta tempat-tempat peribadatan. Hal itu membuat geram pemerintahan Romawi sehingga memutuskan untuk melakukan genosida secara besar-besaran terhadap penduduk Yahudi yang tinggal di wilayah Yudea serta melarang untuk memeluk agama Yahudi di seluruh kekuasaan kekaisaran Romawi.

Selain katakombe kom el-shoqafa, salah satu peninggalan penting kekaisaran Romawi di Alexandria yang masih ada hingga saat ini adalah altar teater Roma. Altar ini diperkirakan selesai dibangun pada awal abad ke-4 Masehi. Ditemukan kembali secara kebetulan di kawasan Kom el-Dikkah saat melakukan penggalian tanah tempat didugannya jasad Alexander the Great dikubur. Penggalian ini dilaksanakan oleh delegasi arkeolog Polandia pada tahun 1960.
Setelah sekitar 649 tahun berkuasa atas Mesir, kekaisaran Romawi jatuh di tangan dinasti Sassanid pada tahun 619 M. Namun sayangnya kekuasaan dinasti ini tidak berlangsung cukup lama, karena Heraklius, kaisar Bizantium yang menjadi kelanjutan dari kekaisaran Romawi terakhir mampu merebut kembali daerah kekuasaannya yang ada di Mesir pada tahun 629 M.

Pada masa kekuasaan Byzantium yang hampir satu dekade ini, sebenarnya ada motif luhur yang ingin direalisasikan oleh raja Heraklius. Hal tersebut mengingat bahwa keputusan konsili Kalsedonia yang memenangkan kesepakatan gereja Byzantium pada tahun 451 M telah melahirkan protes besar-besaran dari kubu gereja-gereja timur (dikenal dengan paham Myaphisitisme) yang berpusat di Mesir. Akhirnya muncul niat mulia dari raja Heraklius untuk menyatukan dua kubu gereja yang sedang bertikai ini, terutama Alexandria yang menjadi tempat penyebaran paham Kristen Ortodok tersebut. Sehingga raja pun memberikan mandat untuk tidak melakukan kekerasan kepada para paus Myapisite yang sebagian besar tinggal di Alexandria. Namun sayang, niat yang begitu luhur itu sulit terealisasi di alam realita. Raja Heraklius lebih mengedepankan orang-orang Kristen Byzantium yang berbahasa Yunani dalam pemerintahannya daripada orang-orang Kristen Ortodok Mesir yang berbahasa lokal.

Salah satu peninggalan dinasti Byzantium yang masih bisa kita nikmati di Mesir ini adalah menara Babel yang terletak di Fustat, Ibukota Mesir kedua yang bersebelahan dengan masjid 'Amr bin Ash.

Di bawah perintah khalifah Umar bin Khattab, pada bulan Desember tahun 639 M, panglima 'Amr bin 'Ash bersama 4.000 pasukannya menuju Mesir. Pasukan ini diberi nama pasukan Rashidun yang kebanyakan berasal dari kabilah 'Ak. Al-Kindi mengatakan kebanyakan pasukan tersebut berasal dari kabilah Ghafik. Selain orang-orang Arab dikatakan bahwa pasukan ini juga terdiri dari orang-orang Byzantium dan Persia yang sudah memeluk Islam. Menyadari perintahnya yang dipikir ceroboh karena mengharapkan Mesir yang luas itu dapat ditaklukkan dengan hanya 4.000 pasukan, Khalifah Umar memerintahkan 'Amr melalui sahabat 'Uqbah untuk kembali pulang, seraya menulis sebuah nota catatan;
"Jika Anda menerima surat ini ketika Anda telah menyeberang perbatasan Mesir, maka Anda boleh melanjutkan tugas. Semoga Allah selalu memberkati Anda, dan saya pun akan mengirimkan bala bantuan yang mungkin diperlukan."

Sahabat 'Uqbah menjumpai pasukan 'Amr bin Ash saat mereka ada di daerah Rafah, sebuah daerah yang berdekatan dengan perbatasan Mesir. Menebak isi yang mungkin ada di dalam surat tersebut, 'Amr memerintahkan para pasukannya untuk mempercapat langkah. Berbalik ke arah 'Uqbah, 'Amr bin 'Ash berkata kepadanya bahwa ia akan menerima surat itu jika para pasukan telah menyelesaikan perjalanan pada hari itu. Sahabat 'Uqbah pun menyutuinya dan ikut berbaris bersama para pasukan. Pada malam hari, pasukan berhenti untuk bermalam di Shajaratein, sebuah lembah kecil yang terletak di dekot kota el-'Arish. 'Amr mengetahui bahwa mereka sudah berada jauh melewati perbatasan Mesir, lalu kemudian dia mendekati 'Uqbah dan menerima surat tersebut. Setelah membaca surat, disepakati bahwa surat telah diterima dan dibaca di tanah Mesir. Kemudian sahabat 'Amr pun membalas surat Khalifah Umar;
"Kami telah membaca surat Paduka ketika telah mencapai perbatasan Mesir. Maka izinkan kami memenuhi takdir kami untuk melanjutkan mencari rahmat Allah."

Pada bulan Maret 641 M, pasukan Rashidun berhasil menaklukkan Mesir setelah 14 bulan mengepung kota Alexandria. Pada pengepungan ini, dikabarkan bahwa Raja Heraklius telah meminta bala bantuan ke Konstantinopel. Namun saat mempersiapkan pasukan tersebut, Heraklius telah meninggal dunia, sehingga bantuan pun gagal terlaksana. Setelah pasukan Byzantium tak berkutik dan Mesir sudah dikuasai sepenuhnya, 'Amr bin 'Ash memindah pusat pemerintahan dari Alexandria ke Fustat.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi saja. Matahari mulai meninggi dan teriknya kian terasa. Penulis segera melangkahkan kaki menuju penginapan untuk mengikuti rombongan yang hendak mengunjugi benteng Qaytbay dari dinasti Islam Mamaluk, lalu kemudian dilanjutkan mengunjungi makam Imam al-Busyiri; pengarang sya'ir burdah sekaligus makam gurunya; Syeikh Abu al-Abbas al-Mursy yang juga menjadi murid kesayangan sultan al-awliya'; Imam Abu al-Hasan al-Syadzily.

0 comments:

Selayang Pandang Sastra Angkatan Balai Pustaka


Pada Kesempatan kali ini penulis hendak mengulas tentang karya sastra angkatan balai pustaka.Sebenarnya angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka” pada tahun 1920-1950. Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel, dan drama) dan puisi yang menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang mungkin pada masa itu terlalu memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti kehidupan cabul, dan dianggap memiliki misi politis. Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan bahasa sunda, dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak, dan bahasa Madura.


A.      Pendahuluan

Pada diskusi yang lalu (24 Maret 2013) kita telah sedikit banyak meraba sejarah lahir dan berkembangnya sastra Melayu sebagai cikal bakal sastra Indonesia modern. Pijakan hal itu  adalah usaha para kritikus sastra, terutama dari H.B. Jassin yang memandang perlu adanya periodesasi sastra Nusantara.

Namun demikian, periodesasi sastra, terlepas dari penting tidaknya usaha ini dilakukan, telah memberikan kesan bahwa pemetaan sejarah sastra di Indonesia hanya didasarkan kepada pembabakan waktu muncul dan berkembangnya karya sastra saja. Ini bagi penulis akan menyempitkan gerak untuk menelaah sejarah sastra secara keseluruhan, dan bahkan bisa jadi akan mempersempit makna pluralitas yang menjadi pedoman rakyat Indonesia dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam bersastra dan menelaahnya. Karena harus kita sadari bahwa bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu telah memiliki kekayaan sastra dan sastrawan yang begitu melimpah. Kekayaan ini telah menjadi salahsatu faktor penting pembentukan jati diri bangsa. Bukankah slogan negara kita yang berbunyi; "Bhineka Tunggal Ika" diambil dari mahakarya sastra; Kakawin Sutasoma yang disusun oleh Mpu Tantular?[1] Sayangnya, mahakarya sebesar ini akan sulit sekali ditempatkan, bahkan bisa jadi tidak memiliki tempat dalam penelitian sejarah sastra yang menggunakan periodesasi a la H.B. Jassin. Maka, dikhawatirkan dengan adanya pemahaman yang seperti ini, pemetaan sastra Indonesia yang hanya melalui pembababakan zaman, akan menghilangkan kekayaan yang telah lama kita miliki.

Jika kita mau membandingkan usaha H.B Jassin dengan usaha para kritikus Arab tentang pemetaan sejarah sastra, akan kita dapati beberapa perbedaan. Salahsatunya bisa kita jumpai melalui upaya Ibnu Salam al-Jamhi yang mengklasifikasikan sastra Arab dengan tiga pendekatan. 1.) Melalui pembabakan waktu; yang dibagi menjadi sastra era Jahiliyyah (sebelum kedatangan Islam), dan sastra yang muncul setelah kedatangan Islam. 2.) Melalui klasifikasi tempat di mana sastra lahir. 3.) Melalui jenis-jenis karya sastra atau motif dan temanya; haja', ghazal, dsb.[2]

Upaya Ibnu Salam ini ternyata hampir sama dengan apa yang telah dilakukan oleh A. Teeuw yang memaparkan metode penelitian sejarah sastra melalui empat pendekatan; 1.) Pendekatan sejarah umum, 2.) Pendekatan dengan mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dari keduanya, 3.)  Sejarah bahan-bahan dengan penelitian sumber-sumber (pendekataan ini seringkali memusatkan perhatian kepada motif atau tema yang ada dalam karya sepanjang zaman.) dan, 4.) Lebih melihat kepada asal-usul karya sastra daripada struktur dan fungsinya.[3]

Tentu kesemua usaha di atas memiliki sisi-sisi kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam artian jika kita menelaah sejarah sastra se-Indonesia dengan semua pendekataan yang ada, kita tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Tetapi sejatinya, usaha-usaha tersebut haruslah diapresiasi dengan selalu melakukan tela'ah terus menerus terhadap karya sastra dengan semua sisi-sisi pendekatannya. Karena pada kenyataannya, perkembangan karya sastra dan kritik sastra di Indonesia tidak berjalan dengan seimbang. Bahkan boleh dikata bangsa Indonesia masih belum memiliki teori-teori sastra tersendiri dalam menela'ah karya sastranya.[4]

Sungguh ironi bukan?! Bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan sastra serta sastrawan yang begitu melimpah, tetapi tidak memliki alat untuk mengaji dan menganalisanya. Jika W.S. Rendra mendefinisikan kesusastraan sebagai ekspresi yang mengungkapkan liku-liku pikiran, batin, dan naluri manusia. Maka, bagaimana mungkin kita bisa memahami liku-liku pikiran, batin dan naluri bangsa Indonesia tanpa memiliki alat pemahaman dan analisa terhadap kesusastraannya sendiri? Lebih jauh lagi Rendra menyatakan bahwa bangsa Indonesia memang sudah mampu melahirkan karya tulis yang unggul sejak abad ke-10 Masehi. Yang berarti Indonesia telah lebih dulu mengenal sastra daripada bangsa-bangsa Eropa. Tapi sayangnya, pendekatan pemahaman ilmiah-analitis terhadap karya-karya kesusastraan terlambat dikenal oleh bangsa kita.[5]

Periodesasi sastra menurut kacamata H.B. Jassin dipilih sebagai metode pengajian sejarah sastra dalam diskusi ini, barangkali salahsatunya adalah karena disamping memudahkan kita melihat peta sejarah sastra Indonesia, kita juga akan mudah melihat pergolakan-pergolakan serta perubahan-perubahan sosial-budaya-politik Indonesia yang menjadi anasir penting dalam pembentukan karya sastra. Lebih dari itu, periodesasi sastra H.B. Jassin ini lah yang menurut kami sedikit lebih komprehensif dan gamblang menggambarkan pergerakan sastra Indonesia daripada periodesasi sastra yang dicetuskan para kritikus sastra lainnya.[6]

Setelah kita mendiskusikan tahapan sastra Indonesia yang pertama, yaitu sastra Melayu atau sastra lama. Maka, pada diskusi kali ini kita akan membahas tentang sastra Indonesia modern yang ditandai dengan kemunculan angkatan Balai Pustaka (era 1920-an).

Pembahasan tentang sastra angkatan Balai Pustaka dalam makalah ini tidak akan lepas dari; 1.) Sejarah berdirinya Balai Pustaka dan faktor-faktornya. 2.) Pengaruh 'asing' terhadap sastra Balai Pustaka 3.) Menentukan karakteristik sastra Balai Pustaka dengan tela'ah Poskolonialisme. 5.) Tokoh-tokoh sastra dan karya-karyanya. 6.) Penutup.

B.      Sejarah Berdirinya Balai Pustaka dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya

1.     Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya Balai Pustaka
Awalnya adalah sebuah keinginan pemerintah Hindia-Belanda untuk mendirikan perpustakaan yang menyediakan beberapa buku pilihan bagi warga pribumi sebagai akibat dari politik etis yang dicetuskan Van Deventer.

Keinginan ini kemudian direalisasikan pemerintah melalui Departemennya van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Urusan Pendidikan dan Agama) dengan membentuk sebuah komite yang diberi nama Commissie voor Inlandsche School en Volklectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada tanggal 14 September 1908. Salahsatu tugas komite tersebut adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam menyeleksi dan memilah naskah-naskah yang akan diterbitkan sebagai buku bacaan untuk perpustakaan dan masyarakat.

Dalam beberapa tahun kemudian komite ini mengalami perkembangan pesat sehingga memerlukan kantor tersendiri untuk menampung kegiatannya. Akhirnya pada tanggal 22 September 1917, pemerintah Hindia-Belanda menjadikannya sebagai sebuah badan usaha penerbitan milik pemerintah yang diganti nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkslectuur) atau yang kemudian disebut dengan 'Balai Pustaka.'

Di samping memilah dan menyeleksi naskah-naskah yang diterbitkan, badan usaha ini juga melakukan penterjemahan dan penyaduran beberapa karya sastra Eropa, mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda.[7] Salah satu tujuan dari penterjemahan ini adalah 'membelandakan' cara berpikir orang-orang pribumi. Maksudnya adalah membuat citra 'mesias' pemerintah Hinda-Belanda di mata kaum pribumi dengan hadir sebagai penolong mereka dari lembah kebodohan dan keterbelakangan. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan I.J. Brugmans; "Peradaban 'Barat' harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.[8]"    

Tujuan pencitraan 'mesias' ini juga bisa kita jumpai di berbagai macam karya sastra yang lahir saat itu. Di mana orang-orang Belanda dihadirkan sebagai sosok penolong yang baik hatinya, sedang pihak pribumi yang menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat dicitrakan sebagai orang yang serakah, fanantik, dan culas hati. Contoh kasusnya bisa kita lihat dalam novel 'Sitti Nurbaya' karya Marah Rusli di mana Syamsul Bahri seorang pemuda yang sudah tersentuh oleh pendidikan Belanda dianggap sebagai orang yang berpikiran maju dan selaras dengan modernitas. Bagaimana dalam novel itu, dengan pendidikan dari Belanda, Syamsul Bahri akan bisa terangkat martabatnya dan akan dengan mudah mengatasi persoalan-persoalan hidup yang dijalani;…"Anak laki-laki yang dipanggilnya Sam oleh temannya tadi, adalah Syamsul Bahri, anak Sultan Mahmud Syah, Penghulu di Padang; seorang yang berpangkat dan berbangsa tinggi. Anak ini duduk di kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang. Oleh sebab ia seorang anak yang pandai, gurunya telah memintakan kepada Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.[9]"  

Sedang sosok datuk Meringgih, seorang saudagar pribumi dicitrakan sebagai sorang yang kikir, gila perempuan, dan buruk hatinya. Berikut salahsatu penggalan yang menggambarkan sosoknya; "….Sungguhpun Datuk Meringgih seorang yang kaya raya, tetapi tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon khabarnya, tatkala mudanya ia sangat miskin. Bagaimana ia menjadi kaya sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri. Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu, ialah ia sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah ia rasanya berbunuhan. Jika ia hendak mengeluarkan duitnya, dibolak-baliknya uang itu beberapa kali….Hanya untuk satu perkara saja ia tidak bakhil, yaitu untuk perempuan.[10]"  

Pencitraan yang digambarkan di atas ternyata tidak hanya kita jumpai di roman Sitti Nurbaya saja, tetapi juga terdapat di kebanyakan karya sastra angkatan Balai Pustaka lainnya. seperti; Azab dan Sengsara (1920), Muda Taruna (1922), Asmara Jaya (1928), Sengsara Membawa Nikmat, dan Salah Asuhan.

Selain bertujuan menghadirkan citra 'mesias', hadirnya Balai Pustaka juga diharapkan mampu meminimalisir semangat nasionalisme rakyat Indonesia yang digemborkan melalui bacaan-bacaan swasta berbahasa melayu pasar/rendah. Bagaimana bacaan-bacaan swasta yang kebanyakan diterbitkan oleh orang-orang peranakan terutama peranakan Tionghoa dibredel dan dilarang beredar oleh pemerintah Hindia-Belanda, serta menjadikan buku-buku dan karya sastra yang legal terbit adalah dari penerbitan Balai Pustaka saja. Pemerintah waktu itu memang sengaja membangun citra bahwa peranan penerbit swasta sebagai; "Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit yang tidak bertanggungjawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar.[11]" Jadi, penjamin mutu bahan bacaan dan karya sastra waktu itu semua berpusat kepada Balai Pustaka. 

Dari pemaparan di atas, akhirnya muncul kejanggalan dalam benak penulis, kenapa kemunculan Balai Pustaka yang sifatnya 'politis', dan digunakan sebagai alat serta tunduk kepada kekuasaan kolonial dijadikan H.B. Jassin sebagai penanda kemunculan sastra Indonesia modern? Bukankah pada waktu itu karya-karya sastra yang lebih nasionalis lebih banyak berserakan di luar Balai Pustaka? Dan juga bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra swasta adalah bahasa yang lebih dikenal akrab di masyarakat dan digunakan oleh hampir semua penerbit dan surat kabar waktu itu daripada bahasa Melayu Tinggi yang dipakai Balai Pustaka yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja, yaitu kalangan menengah ke atas[12]?

Setidaknya ada beberapa hipotesa yang bisa kami tawarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama: Terlepas dari tujuan-tujuan politis tadi, penggunaan bahasa Melayu di dalam terbitan Balai Pustaka, jika ditinjau dari pembinaan dan pengembangan bahasa, Balai Pustaka telah merintis pemasyarakatan bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal munculnya bahasa Indonesia. Berkaitan dengan itu, H.B. Jassin menggambarkan kaitan antara bahasa Indonesia dengan Balai Pustaka sebagai berikut;
"Bahasa Melayu modern adalah bahasa Melayu Balai Pustaka yang berdasarkan bahasa Melayu Klasik. Bahasa Melayu modern inilah yang disebut orang kemudian juga bahasa Indonesia modern atau bahasa Indonesia saja. Antara bahasa Melayu Balai Pustaka dan bahasa Melayu persuratkabaran yang sebelum perang seolah-olah ada perbatasan. Perbatasan itu kemudian lambat laun menghilang dengan adanya sikap demokratis dalam penggunaan bahasa, sehingga penggunaan bahasa Balai Pustaka sesudah perang tak ada lagi bedanya dengan bahasa Indonesia yang dipakai di luarnya.[13]"

Kedua: Mau tidak mau harus diakui bahwa kemunculan Balai Pustaka merupakan tanda semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang semakin menggelora. Semangat inilah yang pada nantinya merumuskan Indonesia sebagai sebuah kesatuan yang disebut negara.  Semangat ini mulanya dipicu melalui buah pikir anak-anak bangsa yang ingin bangkit dari ketertindasan yang dituangkan melalui surat kabar dan karya sastra, salahsatunya melalui surat kabar Medan Prijaji yang merupakan surat kabar pribumi pertama di Indonesia. Sehingga, melihat itu pihak kolonial Belanda ketakutan dan harus mewaspadai segala gerak-gerik yang dilakukan orang-orang pribumi dengan mendirikan sebuah badan yang bisa mengontrol buah pikiran tersebut. Ketakutan pemerintah Belanda akan semangat nasionalisme ini dapat kita saksikan dalam 'Tetralogi Buru' karangan Pramudya Ananta Toer.

Pada era Balai Pustaka, semangat nasionalisme tidak lagi bersifat kedaerahan. Tetapi sudah menyeluruh ke Nusantara. Meskipun kebanyakan tema-tema yang diangkat dalam sastra Balai Pustaka adalah tema dan latarnya kedaerahan, pemberontakan terhadap adat istiadat, kawin paksa, dsb. tetapi sesungguhnya tokoh-tokoh yang dihadirkan adalah 'karikaturis.' Dengan tokoh-tokoh 'karikaturis' ini para sastrawan Balai Pustaka mamanfaatkan keberadaan lembaga tersebut untuk menyelusupkan ideologi kebangsaan mereka[14]. Semangat Ideologi ini salahsatunya bisa kita saksikan melalui puisi karya M. Yamin, angkatan Balai Pustaka yang lahir pada tahun 1903, sebagai berikut.

INDONESIA TUMPAH DARAHKU[15]

Bersatu kita teguh
Bercerai kita runtuh

Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
…….

Ketiga: Meski pada perkembangannya, bahasa Melayu dibagi menjadi 2 oleh pemerintah Hindia-Belanda guna mempermulus tujuan-tujuan liciknya, sesungguhnya bahasa Melayu tinggi yang dipakai Balai Pustaka dan Melayu rendah yang digunakan persuratkabaran adalah dari sumber yang sama. Sehingga kedua pengguna bahasa ini tidak risih disatukan dalam satu wadah; Sumpah Pemuda. Karena pada kenyataannya kongres pemuda yang dilaksanakan pada tahun 1928 itu tidak hanya diikuti oleh organisasi-organisasi yang berbahasa Melayu tinggi dari pribumi saja, tetapi ada juga organisas-organisasi kaum peranakan yang menggunakan bahasa Melayu Pasar.

Masyarakat Tionghoa juga dicatat sebagai salahsatu peserta dalam kongres tersebut, diantaranya adalah; Keww Tiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. Serta patut dicatat juga Johan Muhammad Tjia yang berpartisipasi sebagai panitia yang memprakarsai munculnya Sumpah Pemuda sebagai perwakilan Jong Islametien Bond. Inilah yang dimaksud Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan bahwa perbedaan antara bahasa Indonesia dan ragam bahasa yang disebut sebagai bahasa Melayu Tionghoa hanya bersifat temporer dan sangat kecil. Perbedaan terbesar di antara keduanya hanya  pada ejaan, tetapi perbedaan ini pun berangsur-angsur menghilang.[16]
Di sinilah penulis semakin memahami sebuah slogan yang berbunyi; "Proses kemajuan tidak bisa dihalang-halangi oleh kekuatan."
2.       Faktor-faktor yang Memengaruhi Berdirinya Balai Pustaka
Setelah membincang tentang latar belakang dan motif didirikannya Balai Pustaka, dapat disimpulkan ada dua faktor yang memengaruhi berdirinya lembaga penerbitan tersebut;
a.       Politik Etis
Politik etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa[17]. Salahsatu pencetus politik ini adalah Conrad Theodor van Deventer, seorang ahli hukum Belanda. Kartini memainkan peran yang sangat penting bagi van Deventer untuk merealisasikan pemikirannya tersebut. Selain alasan kemanusiaan tentang ketertinggalan penduduk pribumi yang menopang kemajuan negeri induk, van Deventer meyakinkan publik Belanda bahwa cara itu juga akan membebaskan mereka dari kemungkinan kebangkrutan yang dialami kolonial Spanyol pada awal abad ke-19 di benua Amerika[18].

Dikisahkan dalam perjalanan hidupnya di Indonesia, van Deventer pernah bertemu Kartini sebelum dia dipingit ke Jepara. Dari Kartinilah van Deventer bersama isterinya mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang diberi nama Yayasan Kartini (1913) dan kemudian Sekolah Kartini (1915) yang menampung ribuan perempuan pribumi dalam pendidikan modern di Hindia-Belanda.

Salahsatu isi dari pemikiran politik etis adalah edukasi, di mana pemerintahan Hindia-Belanda diwajibkan untuk memperluas bidang pengajaran dan pendidikan bagi pribumi. Maka dibukalah sekolah, perpustakaan, penerbitan dan otomatis Balai Pustaka termasuk di dalamnya.

Meski politik etis ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, tapi pada kenyataannya terjadi beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pemerintah Hindia-Belanda. Memang para pribumi diizinkan untuk bersekolah, tetapi perlakuan antara anak totok Belanda, peranakan, dan pribumi dibeda-bedakan. Seolah-olah ada perbedaan kasta di dalamnya. Perlakuan ini tidak sesuai dengan slogan kebangkitan Eropa; Liberte, Egalite, Fraternite yang dielu-elukan Belanda. Perlakuan diskriminasi ini bisa kita lihat dalam salah satu surat Kartini;
"Orang-orang Belanda itu mentertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang kepada kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusahan terhadap kami. Tapi memang tidak setiap guru dan murid membenci kami. Banyak juga yang mengenal dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi kepada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak menerimanya.[19]"

Tidak berhenti di situ saja, pendirian sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya didirikan oleh pemerintah kolonial untuk bisa mendapatkan pegawai yang murah, yang dengan sukarela mau mengabdi kepadanya. Dikatakan juga bahwa pendirian Balai Pustaka juga memiliki banyak perhubungan dengan riwayat pengajaran di Indonesia. Balai Pustaka Sewajarnya (1908-1942) mengatakan; "Asal mula mendirikan sekolah-sekolah di Jawa bukanlah karena hendak memberi pengajaran yang selayaknya kepada rakyat, melainkan hanya memenuhi kebutuhan pemerintah dalam di dalam soal pegawai negeri, dengan putusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, Gubernur Jenderal diberi kuasa: "Akan mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia, f25000,- banyaknya dalam setahun untuk belanja sekolah-sekolah buat orang Jawa, terutama akan mendidik mereka yang akan jadi pegawai negeri."[20]"

Barangkali bagi Kartini dan para sastrawan Balai Pustaka pada zamannya menghadapi dilema yang sulit di atasi. Di satu sisi mereka bisa saja dikatakan penghianat karena dianggap telah berkomplot dengan orang-orang Belanda. Tapi di sisi lain, bukankah untuk mengetahui bahaya modernitas yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda; sang srigala berbulu domba, adalah dengan mendekati dan mengenalinya?

Sebenarnya sosok Kartini dan para sastrawan pra kemerdekaan, termasuk sastrawan Balai Pustaka telah disimbolkan dalam sosok Minke di 'Tetralogi Bumi Manusia' karya Pramudya. Minke seorang pemuda pribumi namun sudah mendapat didikan Belanda, jiwanya terombang-ambing di dalam ganasnya arus modernitas, banyak ajaran-ajaran kebaikan di dalamnya tapi sayangnya tidak diimbangi dengan tindakan yang nyata, hukum hanya diperuntukkan untuk melindungi segelintir orang, hukum yang memihak kepada kekuasaan bukan kepada kepentingan dan cita-cita bersama, membuatnya berfikir kembali bahwa jiwa, hati nurani, dan raganya haruslah untuk rakyat. Lebih jelasnya Pram menyatakan dalam pengantar memoar Panggil Aku Kartini Saja; ”Dalam hal ini patut pula diperingatkan, bahwa dugaan yang bukan-bukan itu tidak lain daripada anakronisme historik, karena nasionalisme pertama-tama, yang timbul di negeri-negeri jajahan, selamanya hasil daripada perkenalan dari dekat dengan dunia Barat yang menjajahnya, karena nasionalisme sampai pada waktu itu merupakan pengertian dan istilah yang khas Barat. Maka penguasaan asal pengertian dan istilah ini mau tak mau juga mesti melewati pergaulan dengan Barat.[21]"
b.      Keberadaan Sastra Oposisi
Faktor kedua yang memengaruhi munculnya Balai Pustaka, adalah keberadaan surat kabar dan sastra-sastra oposisi yang lebih dulu ada. Sebenarnya keberadaan sastra inilah yang memiliki peranan penting dalam mengobarkan api semangat kebangsaan rakyat Indonesia. Bahasa yang dipakainya adalah bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari.

Kebanyakan sastra-sastra oposisi ini dihasilkan oleh orang-orang peranakan terutama peranakan Tionghoa. Bahkan ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Claudine Salmon, seorang pakar dari Perancis yang mengatakan bahwa novel Indonesia yang pertama kali bukanlah 'Azab dan Sengsara' karya Mirari Siregar, angkatan Balai Pustaka, tetapi novel yang sudah terbit 35 tahun sebelumnya, 'Tjit Liap Seng (Bintang Tuju)' karya Lie Kim Hok seorang peranakan Tionghoa asal Bogor[22]. Namun, pada perkembangannya sastra-sastra tersebut dimarginalkan karena politik pemerintah kolonial. Kebijakan politik ini bisa kita lihat melalui pernyataan Dr. D.A.R. Rinkes, kepala Balai Pustaka pertama; "….janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik…hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tau membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.[23]"

Keberadaan sastra oposisi yang dimarginalkan ini dihidupkan kembali oleh Pram dengan usaha mengumpulkan karya-karya tersebut yang diberi judul 'Antologi Indonesia Tempoe Doeloe.' Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah usaha untuk mengurai kembali secara tidak langsung politik sastra di masa lalu. Pramudya memunculkan kembali nama-nama penulis yang sekarang ini terlupakan dan tak tercatat dalam sejarah sastra.

Dalam antalogi tersebut Pramoedya menghadirkan beberapa nama pengarang beserta karyanya seperti; F. Wiggers dengan karangannya; 'Soeropati Hakim Pengadilan.' Tio Le Soei dengan; 'Peter Elberveld' (Satoe Kedjadian jang Betoel di Betawi). F.D.J. Pangemanan yang menulis dua cerita, yaitu; 'Tjerita Rossina' dan 'Tjerita si Jonat'. G. Francis dengan kisahnya yang terkenal 'Tjerita Njai Dasima' serta H. Kommer dengan cerita 'Kong Ho Nio' dan 'Tjerita Nji Paina' yang kesemuanya berkarya di awal abad ke-20[24].

Sayangnya, sastra-sastra oposisi ini tidak mendapatkan tempat di dalam kajian sejarah sastra Indonesia. Bahkan orang sekelas A. Teeuw dan H.B. Jassin tidak menyinggungnya. Apalagi sistem pengajaran pelajaran Indonesia telah banyak mengadopsi cara-cara yang dipakai pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga, sastra model seperti ini akan selalu dimarginalkan di negerinya sendiri, bahkan tidak dikenal. Padahal kalau kita mau membaca sejarah dengan jeli, banyak para pendiri bangsa kita, terutama Bung Karno sering juga membaca sastra-sastra model ini. Semoga saja usaha yang dilakukan orang-orang semacam Pramoedya membuat kita menyikapi sejarah sastra secara adil dengan menghadirkan karya-karya yang memang ada pada masanya.
C.      Pengaruh 'Asing' Terhadap Sastra Balai Pustaka
Sejarah sastra di Indonesia bahkan di dunia tidak akan lepas dari pengaruh-pengaruh 'asing' yang menyertainya. Itu dikarenakan sistem sastra dalam suatu bahasa tertentu sifatnya adalah terbuka terhadap anasir-anasir 'luar' yang bersinggungan dengannya.

Pada diskusi yang lalu, kita telah membaca dan membahas bagaimana sastra Melayu banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan Islam yang berkuasa[25]. Bahkan memengaruhi bentuk-bentuk karya sastranya. Jenis sastra pantun, talibun, gurindam, peribahasa, hikayat, dsb. Semuanya adalah hasil dari pengaruh kebudayaan Islam terhadap sastra Melayu.

Berbeda dengan sastra Melayu, sastra Balai Pustaka mengalami perubahan yang drastis dari akarnya. Perubahan ini terjadi karena bangsa Indonesia sudah dikenalkan dengan unsur-unsur modernitas dan pemikiran yang terjadi di Eropa. Pergerakan Cina yang dipelopori Dr. Sun Yat Sen, dan negara-negara jajahan lain yang ingin merdeka pun juga memiliki peran yang signifikan.

Dalam prosa, Jenis roman adalah karya sastra yang diidentikkan dengan angkatan Balai Pustaka, dan penggunaan tulisan Latin sudah mulai menyebar menggantikan aksara Jawi atau huruf pegon yang dipakai dalam sastra Melayu. Roman menggantikan jenis prosa hikayat, dongeng, sage, wira carita. Jenis roman sendiri merupakan hasil dari gerakan romantisme yang muncul di Eropa pada abad ke-18. Ciri-ciri dari sastra romantisme salah satunya adalah menonjolkan perasaan daripada rasio, realisme-historis, kembali ke alam, membangkitkan rasa nasionalisme, penerimaan terhadap nilai-nilai kelas menengah ke bawah, dsb.  Sebab ini lah roman sangat cocok sekali ditulis pada era imperialisme-kolonialisme sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap penindasan. Pengenalan sastrawan Balai Pustaka kepada jenis roman bisa jadi karena mereka lebih banyak bergumul dengan terjemahan-terjemahan sastra Eropa.

Namun demikian, boleh dikata perubahan bentuk sastra Melayu ke ide-ide romantik di Indonesia sudah dimulai sejak masa sastra peralihan yang dipelopori Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1769-1854). Perubahan itu bisa kita lihat dengan membandingkan isi yang dipakai dalam sastra Melayu dengan sastra yang dipakainya, sebagai berikut[26];

Sastra Melayu
Berkisah tentang sesuatu yang fantastis; penuh keajaiban, dunia yang antah berantah dan tokoh-tokoh yang hidupnya seperti dewa.
Pusat penceritaan adalah istana atau orang-orang istana.

Sastra Peralihan
Berkisah tentang realitas sehari-hari. Tokohnya orang-orang biasa, termasuk pengarang. Peristiwa yang diceritakana adalah peristiwa yang menarik.
Pusat penceritaannya adalah orang-orang biasa.

Di dalam puisi, angkatan Balai pustaka dianggap sebagai cikal bakal munculnya puisi baru. Pada angkatan ini mulai terjadi pembaruan puisi, baik dari segi bentuk, isi, maupun bahasa. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kelompok pemuda yang mulai tidak menyukai puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu. Para pemuda menganggap puisi lama yang bersifat statis itu tidak sesuai dengan jiwanya yang bersifat dinamis dan ingin bebas. Mereka menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya. Ada tiga orang yang dianggap sebagai perintis puisi baru, yaitu Mr. Moh. Yamin, Rustam Effendi, dan Sanusi Pane.

Puisi angkatan Balai Pustaka ini cenderung beraliran romantik dan impresionisme. Dalam aliran romantik, perasaan lebih ditonjolkan, sedangkan pertimbangan rasio sering dinomorduakan. Kecenderungan isi puisi yang beraliran romantik adalah menggambarkan keindahan alam, gunung, dan sebagainya. Sebagai contoh, kumpulan puisi “Tanah Air” yang ditulis oleh Moh. Yamin. Dalam puisi tersebut, Yamin melukiskan secara emosional kecintaannya pada tanah airnya. Sedangkan dalam aliran impresionisme, pengarang mengolah kesan-kesan yang timbul dari kenyataan di dalam batinnya, kemudian pengarang membuat pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam puisi. Sebagai contoh puisi yang menggunakan aliran ini adalah puisi “Teratai” karangan Sanusi Pane. Dari segi isi, puisi angkatan Balai Pustaka cenderung berisi tentang ungkapan perasaan pribadi seorang menusia (pengarang)[27].

Untuk lebih jelasnya mari kita bandingkan contoh jenis puisi yang dipakai dalam sastra Melayu dengan sastra Balai Pustaka.

Petikan Syair Dagang
Oleh; Hamzah Fansuri

Hai sekalian kita yang kurang
nafsumu itu lawan berperang
jangan hendak lebih baiklah kurang
janganlah sama dengan orang

Amati-amati membuang diri
menjadi dagang segenap diri
baik-baik engkau fikiri
supaya dapat emas sendiri

Dengan puisi 'Sajak' Karya Sanusi Pane;

SAJAK

Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya.
Tanya pertama ke luar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengingat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam, bukan nan dicari
Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani

D.      Tela'ah Poskolonialisme Sebagai Salahsatu Metode Pendekatan Sastra Balai Pustaka
Sastra Balai Pustaka adalah sastra yang lahir di era kolonialisme. Sastra Indonesia yang lahir di era kolonialisme tidak akan lepas dari pengaruh pemerintah Hindia-Belanda yang sedang berkuasa saat itu. Kolonialisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai penguasaan suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Di sini mengindikasikan bahwa kolonialisme selalu menyinggung  tentang bangsa penjajah dan yang dijajah, atau tidak keluar dari dominasi. Penjajahan Belanda atas Indonesia tidak hanya berhubungan dengan sumber daya alam yang dimilikinya, namun juga konstruksi budaya dan identitasnya. Jadi, watak dan karekter anak bangsa yang salahsatunya digambarkan dalam karya sastra mereka tak pernah lepas dari keterpengaruhan ini.

Sudah sewajarnya jika karya-karya yang lahir di era kolonialisme ini ditela'ah dengan menggunakan kacamata poskolonialisme. Tela'ah Poskolonial menjadi populer setelah dikenalkan oleh Edward Said setelah menerbitkan bukunya yang berjudul Orientalisme pada tahun 1978. Tela'ah poskolonial mencoba mengungkapkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan pada saat atau setelah kolonialisme. Poskolonial berusaha membangkitkan kesadaran bahwa dalam narasi oriental tersembunyi ideologis yang secara terus-menerus memisahkan dunia Barat dengan dunia Timur[28].

Poskolonial sangat relevan untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji dalam poskolonial sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan di antaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan; perbudakan penduduk, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural lain[29].

Karakteristik yang terdapat dalam karya sastra era kolonialisme tidak lepas dari 2 unsur yang saling berkaitan, yaitu; 1). Hegemoni, dan 2). Mimikri. Hegemoni adalah kekuasaan yang dicapai melalui kombinasi paksaan dan kerelaan antara kolonial dan bangsa jajahannya. Sedang mimikri atau tindakan menirukan yaitu tindakan menirukan suatu kelompok dalam bangsa terjajah yang mirip dengan penjajah tetapi masih beda dengan penjajah.
Dalam analisanya tentang hegemoni, Gramsci menjabarkan tentang karakteristiknya yang tidak bisa keluar dari lima hal;
  1. Anarkisme; yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan dan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu pemerintahan beserta perangkatnya harus dihilangkan. Dalam perkembangannya anarkisme dibagi menjadi dua; anarkisme positif dan anarkisme negative.
  2. Feodalisme; sebuah bentuk hubungan sosio-ekonomis dengan pola hubungan tuan-hamba yang menghubungkan sistem kepemilikan budak dan penumpukan kekayaan.
  3. Humanisme; menganggap individu rasional sebagai nilai yang paling tinggi. Humanisme dapat diartikan sebagai yang berorientasi kepada sesame, bersifat manusiawi. Menekankan hubungan yang seimbang antar sesame.
  4. Militerisme; diartikan sebagai suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanan dari kekuatan militernya.
  5. Otoritarianisme; adalah pandangan yang mendukung ketaatan buta terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan dan pengaruh hidup (keyakinan politis) yang benar.
Sedang mimikri, menggambarkan sebuah proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna dengan kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang 'tidak tepat' dan 'salah tempat'. Dengan demikian mimikri menjadi strategi kebudayaan yang memungkinkan adanya proses transformasi budaya luar untuk memberi pengayaan terhadap budaya lokal[30].

Jadi menurut pemaparan di atas, maka karakteristik yang terdapat di dalam karya-karya Balai Pustaka selalu berkaitan dengan kedua unsur tersebut. Untuk lebih jelasnya Anda bisa menerapkan teori di atas dalam Siti Nurbaya karya Marah Rusli misalnya, atau Salah Asuhan, Belenggu, Sengsara Membawa Nikmat atau puisi-puisi karya Sanusi Pane, M. Yamin, dsb. Atau bisa Anda gunakan terhadap roman-roman Pramudya Ananta Toer, karena kebanyakan karya sastranya bersettingkan zaman penjajajahan. Selamat mencoba!
E.       Tokoh-tokoh Angkatan Balai Pustaka dan Karya-karyanya
Pada bagian ini, penulis hanya bisa menghadirkan dua jenis karya sastra yang berkembang di era Balai Pustaka; yaitu Roman dan Puisi saja. Kami belum berani mengulas secara mendalam apakah cerpen atau naskah sudah mulai dikenal pada masa itu. Atau apakah jenis puisi stanza atau soneta sudah marak. Ini dikarenakan keterbatasan kemampuan kami dalam membaca literatur-literatur yang ada. Atau barangkali dari literatur-literaturnya yang tidak tersedia.

Berikut beberapa tokoh sastrawan Balai Pustaka beserta karya-karyanya;
  1. Bidang prosa (baca roman) :
    1. Marah Rusli [Siti Nurbaya-1922, La Hami-novel-1952, Anak dan Kemanakan-1956, Memang Jodoh-otobiografi, Gadis yang Malang-terjemahan-1922].
    2. Merari Siregar [Azab dan Sengsara-novel-1920, Cerita Si Jamin dan Si Johan-saduran-1918].
    3. Nur Sutan Iskandar [Apa Dayaku karena Aku Perempuan-1922, Cinta yang Membawa Maut-1926].
    4. Aman Datuk Madjoindo [Si Cebol Rindukan Bulan-novel-1932, Menembus Dosal-1932].
    5. I Gusti Nyoman Panji Tisna [Ni Rawit Ceti Penjual Orang-1935, Sukreni Gadis Bali-1935].
    6. Suman Hs [Kasih tak Terelai-novel-1929, Percobaan Setia-1931].
    7. Abdul Muis [Salah Asuhan-novel-1928, Pertemuan Jodoh-1933]
    8. Tulis Sutan Sati [Sengsara Membawa Nikmat-1928, Memutuskan Pertalian-1932]
  2. Bidang Puisi:
    1. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. [Tanah Air, 1922, Indonesia Tumpah Darahku, 1928].
    2. Sanusi Pane [Sajak, Teratai, Taj Mahal, Kepada Krysna, Wijaya Kesuma, Arjuna, Kembang Melati, Melati, Tanah Bahagia, Majapahit, Candra, Candi Mendut, Kesadaran, Pagi].
    3. Roestam Efendi [Percikan Permenungan, 1926].

F.       Penutup
Bahwasanya usaha untuk menela'ah karya sastra dari berbagai pendekatannya seharusnya disemarakkan secara terus menerus. Ini dikarenakan, sastra selain berfungsi sebagai media perekam sebuah peristiwa, ia juga menjadi saksi pergolakan-pergolakan zaman. Sastra tidak hanya menawarkan plot, penokohan, setting, rima, irama, dsb. Tetapi ia juga menyajikan sebuah gambaran sosial, ekonomi, politik, agama, bahkan juga mimpi. Penela'ahan ini lah barangkali yang dimaksud Bung Karno dengan slogannya; "JASMERAH!" Jangan Lupa Sejarah! Karena dengan menela'ah sastra, kita tidak hanya memperhatikan atau tahu ilmu pengetahuan tentang sejarah saja, tetapi kita juga akan mengetahui bagaimana gambaran pergolakan zaman yang dihadapi bangsa serta memahami bahkan menentukan kemana bangsa kita harus melangkah. Lalu bagaimana mungkin kita bisa mengetahui, memahami, dan menentukan jika tidak tahu alatnya?

*Disampaikan pada diskusi SAMAS (Sajak Masisir) 31 Maret 2013

[1] Bunyi dari kutipan slogan tersebut berasal dari pupuh 139, bait 5, yang berbunyi;
Jawa Kuna
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Alih bahasa
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu,, tidak ada kebenaran yang mendua.
Lebih lengkapnya lihat di; wikipedia.org, Kakawin Sutasoma

[2] Mandur, Muhammad. El-Naqd el-Manhaji Inda el-Arab, Maktabah el-Usrah, Kairo, 2007, hal.12-13

[3] A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya, Jakarta Pusat, 1984. Hal. 311-318.

[4] Lihat, sastra-indonesia.com ; Sejarah Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia, Maman S. Mahayana. Dibaca pada 29-03-2013 Pukul; 07:38 WK.

[5] Lihat, wawancara 'Pikiran Rakyat' dengan W.S. Rendra di; kisahmuallaf.wordpress.com ; Rendra; Islam itu Agama yang Sempurna. Dibaca pada 29-03-2013, pukul; 08:05 WK.

[6] Menurut B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu (1) Sastra lama.purba, (2) Sastra pengaruh Hindu dan Arab, (3) Sastra Indonesia baru, dan (4) Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih bisa dirinci menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, dan (c) Pujangga Baru
Menurut Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi 2. yaitu sastra lama dan (2) sastra baru. Sastra lama mencakup (a. dinamisme, (b) Hinduisme, (c) Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru dibedakan menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, (c) Pujangga Baru, dan (c) Sastra angkatan 45.
Menurut JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Sastra Melayu, dan (2) Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu dibedakan menjadi 3 (a) Purba, (b) Hindu/Islam, (c) Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi (a) Balai Pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angk. 45, dan (d) sesudah Angk. 45.
Menurut Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni (1) sastra lama (…. – 1920), (2) Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan (3) Sastra Indonesia Modern (1945 – …..)
Menurut HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni (1) Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan (2) Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian (a) Balai pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angkatan 45, dan (d) Angkatan 66.
Lain Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia menjadi 2, yakni (1) sastra Melayu atau sastra lama, dan (2) sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi 2 yaitu (a) masa kebangkitan, dan (b) masa perkembangan. Masa kebangkitan masih dirinci menjadi 3 (i) periode 20, (ii) periode 33, dan (iii) periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2, yaitu (i) periode 45 dan (ii) periode 50
Ajib Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu (1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan. Masa kelahiran dirinci menjadi 3 yaitu (a) awal abad XX s/d 1933, (b) 1933-1942, dan (c) 1942 – 1945. Sedangkan masa perkembangan dibedakan juga menjadi 3, yaitu (a) 1945 – 1953, (b) 1953 – 1960, dan (c) 1960 – ….
lebih lengkapnya bisa dilihat di; mbahnur.wordpress.com/2010/02/11/periodisasi-sastra-indonesia/

[7] lihat, wikipedia.org, Balai Pustaka

[8]Maman S. Mahayana; Politik dalam Sastra Zaman Balai Pustaka; mahayanamahadewa.com, dalam-sastra-zaman-balai-pustaka

[9] Rusli, Marah, Siti Nurbaya, Kasih tak Sampai. Balai Pustaka (pdf), hal. 12

[10] Ibid. hal. 16.

[11] Maman S. Mahayana. Loc. cit

[12] melayuonline.com, latar belakang sejarah kesusastraan melayu masa pengaruh tionghoa

[13] M. Moeliono, Anton. Tela'ah Bahasa dan Sastra. Yayasan Obor Indonesia(google books), hal. 260.

[14] Maman S. Mahayana. Loc. cit

[15] Sumber: Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air, Oyon Sofyan, editor halaman 15

[16] melayuonline.com, loc. cit

[17] wikipedia.org, Politik_Etis

[18] loka-majalah.com, archives/642

[19]  Toer, Pramudya Ananta, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, Utan Kayu, Jakarta Timur, cet. 4, 2009, hal. 62.

[20] Maman S. Mahayana, Loc. cit

[21] Toer, Pramudya Ananta, Op cit, hal, 13-14.

[22] goodreads.com, sastra indonesia awal

[23] Maman S. Mahayana. Loc. Cit

[24] sastra-perlawanan.blogspot.com, archive 2009_03_01

[25] Umar, Abdullah, Sastra Melayu dan Perannya dalam Revitalisas Kesusasteraan Indonesia, bag. C. Islam Sebagai Awal Penggerak Transfigurasi Kesusasteraan Melayu. Disampaikan pada 24-03-2013.

[26] lokalbahasasastra.blogspot.com, kesusastraan-peralihan-kesusastraan

[27] naszinsky.blogspot.com, v-behaviorurldefaultvmlo_02

[28] Yunita, Vivi, dkk. Unsur Poskolonial dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Padang, hal. 2

[29]  Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Tekhnik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postsrukturalisme Wacana Naratif. Denpasar : Pustaka Pelajar.

[30] Yunita, Vivi dkk. Op cit. hal. 3

0 comments: