Contoh Surat Lamaran Kerja

Contoh surat lamaran kerja kali ini akan memberikan informasi yang anda butuhkan sebelum anda melamar pekerjaan baik di instansi pemerintahan maupun swasta. Hal mendasar yang perlu anda ketahui terlebih dahulu yaitu anda harus menjelaskan secara detail tentang kemampuan yang anda miliki, bahwa anda layak secara kualitas untuk bisa diterima dan bergabung di perusahaan tersebut. Loyalitas dan kemauan untuk mau bekerja keras,tentunya menjadi perhatian yang signifikan bagi sebuah perusahaan.


Berikut ini tata cara penulisan surat lamaran kerja

1.  Biodata diri

     Nama Lengkap
     Tempat dan Tanggal Lahir
     Alamat
     Telepon / HP / FB/Whatsup
     Status

 2. Strata Pendidikan

* Anda harus mencantumkan data akademis anda misalnya SD/SMP/SMA/S1/S2 ataupun Doktor
* Anda bisa menambahkan ijasah dan sertifikat pelatihan maupun kursus yang sudah anda ikuti
* Pengalaman kerja,hendaknya sesuai keahlian yang anda miliki


  3. Lampiran Surat Lamaran Pekerjaan

*  Daftar Riwayat Hidup atau CV (Curriculum Vitae) atau Resume Foto copy Ijazah terakhir
*  Foto copy sertifikat kursus/pelatihan
* Pas Foto terbaru
* Mencantumkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)
*Surat Keterangan Kesehatan dari Dokter


Contoh Lengkap surat Lamaran Pekerjaan


Semarang, 15 Desember 2012
Hal : Lamaran Pekerjaan
Kepada Yth.,
Manajer Surat Kabar
PT. Suara Merdeka

Jl. Pedurungan no.19 lt 9
Semarang
Dengan hormat,
Sehubungan dengan penawaran lowongan pekerjaan dari PT.Suara Merdeka ,seperti yang termuat di harian Suara Merdeka tanggal 13 October  2013. Saya tertarik mengajukan diri untuk bergabung ke dalam Tim Design Web dan Developer di PT.Suara Merdeka.
Data singkat saya, seperti berikut ini.
Nama                                              : Jolodong Bodong
Tempat Tanggal Lahir                  : Rembang, 24 Januari  1988
Pendidikan Akhir                          : Sarjana Tekhnologi dan Informatika Universitas Gadjah Mada
Alamat                                            : Jl. Parengan  No.2  Rembang
No Telp.                                          : 081235698764
Saya memiliki kondisi kesehatan yang sangat baik, dan dapat berbahasa Inggris dengan baik secara lisan maupun tulisan. Pengalaman mengoperasikan  web design dan developer hampir 3 tahun . Saya telah terbiasa bekerja dengan menggunakan komputer. Terutama mengoperasikan aplikasi paket Microsoft Office, seperti Excel, Word, Acces, PowerPoint, OutLook, juga internet, maupun surat-menyurat dalam Bahasa Inggris.
Sebagai bahan pertimbangan, saya lampirkan :
1.      Daftar Riwayat Hidup.
2.      Foto copy ijazah S-1 dan transkrip nilai.
3.      Foto copy sertifikat kursus/pelatihan.
4.      Pas foto terbaru.
Saya berharap Bapak/Ibu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan kesempatan wawancara, sehingga saya dapat menjelaskan secara lebih terperinci tentang potensi diri saya.
Demikian surat lamaran ini, dan terima kasih atas perhatian Bapak/Ibu.
Hormat saya,
Jolodong Bodong


Berikut ini adalah tips-tips sebelum anda melamar pekerjaan

1. Impresif dan Percaya Diri

Tampilkan jati diri kita secara menarik. Isi surat hendaknya dapat memunculkan kesan simpatik, tidak terlalu arogan tetapi juga tidak terlalu merendah. Untuk Menarik minat calon atasan, Kesan pertama sangat penting. Usahakan untuk menyusun surat yang ketika seseorang mulai membacanya, akan langsung tertarik untuk mengetahui lebih lanjut seperti apakah kriteria kita Menyebutkan kualifikasi yang diraih Prestasi kerja maupun pengalaman yang sukses harus disebutkan, untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai prestasi dan pengalaman yang patut dipertimbangkan. 

2. Menggunakan bahasa yang mudah dibaca, ringkas,padat  dan jelas

Gunakan bahasa yang sederhana dan ringkas. Kita mempunyai kesempatan untuk menjabarkan semuanya dalam kesempatan wawancara. Untuk saat ini, buatlah penjelasan yang singkat tetapi efektif. Kalimat yang efektif Hindari kalimat yang tidak efektif, kalimat yang diulang-ulang tanpa alasan, ejaan yang salah, maupun penggunaan tata bahasa yang buruk. Yang sering terjadi adalah penggunaan kata keterangan yang berulang-ulang, atau kata sambung yang berulang-ulang, yang menyebabkan kalimat terasa janggal, yang persis seperti kalimat yang sedang anda baca saat ini, yang menggunakan kata sambung “yang” secara berulang-ulang dan berlebihan. 

3. Tujuan dan alasan melamar Cantumkan tujuan dan alasan kita melamar. 

Biasanya tujuan yang sering disebutkan dalam surat lamaran adalah bahwa kita mempunyai kemampuan dan pengalaman yang memadai dalam bidang pekerjaan tertentu, dan dengan bergabungnya kita ke suatu perusahaan akan dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi perusahaan tersebut. 

4. Kerapihan 

Gunakan kertas yang bagus, bersih dan rapih, tidak kusut, tidak tebal dan tidak mudah terkoyak. Jangan menulis atau mencetak dengan tinta yang terlalu tipis agar surat lamaran mudah dibaca, dan hindari penggunaan tip-ex.

Semoga Lamaran anda diterima dan hidup anda berubah menjadi lebih baik

0 comments:

Moderatisme Islam

Kita sering mendengar terma Moderatisme Islam didengungkan,tapi, apakah sebenarnya Moderatisme Islam itu? Dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah Ma’alim wa Manarat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi memaparkan bagaimana “fenomena moderatisme” menggeliat dalam beragam diskursus Islam, dan digadang oleh ulama-ulama sepanjang zaman.Namun ternyata buku itu belum memberikan definisi yang komperhensif terhadap makna Moderatisme Islam itu. Disana hanya dipaparkan beragam contoh sikap-sikap moderat dalam diskursus akidah, fikih, tafsir, hadits, dan sikap politik. Disamping disebutkan sejumlah ulama yang berpaham moderat, sejak era Nabi, hingga era kontemporer sekaligus argumen moderatisme itu sendiri.

Dari data-data parsial disana, setidaknya kita bisa mendefinisikan Moderatisme Islam. Ia adalah sikap mengamalkan ajaran Islam sebagaimana digariskan para ulama sepanjang zaman dalam beragam diskursus ilmu sambil memperhatikan tujuan-tujuan syariat(maqashid as-syari’ah) dan tangga prioritas (sullam al-awlawiyyat).

Definisi ini sepertinya cukup mewakili karena dalam agama yang bersumber dari dua wahyu: Al-Qur’an dan hadits, Islam harus dipahami melalui pemahaman yang telah diwariskan sahabat dari Rasulullah. Pemahaman-pemahaman ini di era kodifikasi ilmu mengalami pembakuan, sehingga membuatnya menjadi pelbagai ilmu yang sampai sekarang masih terus dipelajari umat Islam. Dari sini, memahami Al-Qur’an dan hadits harus melalui piranti ilmu-ilmu ini, bukan dengan pemahaman telanjang dan seadanya.  

Satu contoh, diskursus ushul fikih. Sejarah mencatat, Imam as-Syafi’i dengan ar-Risalah-nya dianggap sebagai mu’assis (pencetus) pertama ilmu ushul fikih—disamping ada beberapa klaim dari Syi’ah yang menisbatkan pada Ja’far as-Shadiq atau beberapa ulama Hanafiyyah yang menisbatkan pada Imam Abu Hanifah. Meski demikian, Imam as-Syafi’i bukanlah benar-benar “mencipta” (yashna’) dari nol ilmu ini, melainkan hanya “menemukan dan mengkodifikasikan” (yaktasyif wa yudawwin). Ini dibuktikan dalam kitabal-Faqih wa al-Mutafaqqih karya al-Khatib al-Baghdadi yang banyak sekali mensanadkan terma-terma khas, ‘am, mujmal, muqayyad, naskh, muthlaq, mubayyan, dsb kepada beberapa nama sahabat. Artinya, terma-terma ini sekaligus pengertiannya—meski dengan bentuk yang sangat sederhana dan hanya kasuistik—sudah dikenal para sahabat, meski belum terkodifikasi rapi dalam satu buku. Ini mengapa para ulama menegaskan bahwa meski as-Syafi’i adalah pencetus ushul fikih, tapi praktek mengamalkan ushul fikih untuk memahami Al-Qur’an dan hadits sudah dilakukan sejak era awal Islam. Bahwa banyak pemahaman radikal dan menyimpang terhadap kedua sumber ini karena tak mengindahkan piranti ilmu ini. Ini salah satu poin pentingnya.

Maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat perlu juga diperhatikan karena saat seseorang mendalami turats untuk berusaha memahami argumen agama dan beragam diskursusnya, ia akan dihadapkan banyak pilihan. Beragam pilihan ini karena karakter teks agama mayoritas multi-tafsir—meski masih dengan batasan yang ditolerir bahasa dan kaedah. Ini pada gilirannya menciptakan banyak sekali pilihan pendapat yang ditelorkan para ulama dari beragam madzhab. Saat mengamalkannya, apa yang dilakukan orang ini? Tanpa mempertimbangkan maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyatapapun pilihan dia akan terlihat asing dan tak sesuai zaman. Bukankah syariat digadang sebagai shalih li kulli zaman wa makan (sesuai di segala ruang-waktu)?

Setidaknya, Moderatisme Islam bisa disorot dalam dua diskursus: akidah dan fikih. Dalam diskursus akidah, kita akan menemukan bahwa kecenderungan moderat di tubuh umat Islam adalah kecenderungan mayoritas, persis apa yang diramalkan Nabi SAW jauh kala. “Kukuhilah golongan mayoritas!” Ini terjadi secara historis dan karena karakter dalil agama itu sendiri. Secara historis, kita akan selalu mendapati bahwa golongan Ahlussunnah wal Jama’ah selalu golongan mayoritas. Karena itu sepertinya tidak terlalu salah jika Aswaja diidentikkan dengan paham moderat itu sendiri.

Secara karakter dalil, akan kita temui sebuah pergolakan dalam tubuh Islam soal wahyu vs akal. Setidaknya ada tiga kelompok yang dilibatkan disini: Aswaja (Asy’ariyah dan Matudridiyyah), Muktazilah dan Hasyawiyyah. Pengelompokan ini terjadi saat prosesi memahami dalil agama seputar akidah. Saat menemui ayat-ayat sifat, misalnya, mereka yang menolak sama sekali kandungannya—meski tertulis dalam Al-Qur’an—karena dianggap bertentangan dengan akal adalah kelompok Muktazilah. Mereka yang menerima mutlak tanpa syarat apapun dan menafsirkannya apa adanya sebagaimana “terpahami” lewat lahiriah teks adalah kaum Hasyawiyyah. Sedang kelompok moderat—yang berusaha menengahi kedua kecenderungan paradoks di atas, disamping memahami teks agama dengan seluruh disiplin ilmunya—adalah mereka yang kita kenal Aswaja yang dalam sejarahnya melebur menjadi dua kelompok: Asy’ariyah dan Maturidiyyah. Mereka ini tetap menerima ayat-ayat sifat tanpa menolaknya, sekaligus tak menafsirkannya secara literal—karena justru itu bertentangan dengan ayat lain dan akal sehat—melainkan mentakwilnya dengan kaedah yang telah ditentukan ilmu tafsir dan balaghah.

 Ali Sami an-Nassyar dalam Nasy’at al-Fikr al-Falsafi—sebuah karya paling komperhensif tentang sejarah pembentukan sekte-sekte dalam Islam—bertutur menarik bahwa sejatinya ketiga kelompok ini “bersumber” dari satu tokoh yang sangat populer: Hasan al-Basri. Seorang tabi’in ini sangat sentral jika kita membincang sejarah pembentukan sekte-sekte dalam Islam karena mayoritas sekte Islam yang dikenal sejarah muncul di majlis taklimnya.

Washil bin Atha’, pendiri Muktazilah, sejatinya salah seorang murid Hasan al-Bashri. Ia keluar dari majlis al-Bashri karena tak sepakat dengan pendapat gurunya seputarmurtakib al-kabirah (pelaku dosa besar). Baginya, si pelaku tak cukup hanya dicap fasik melainkan harus berada di al-manzilah bain al-manzilatain (tempat antara surga dan neraka); dia bukan ahli surga sekaligus bukan ahli neraka.

Hasyawiyyah tergelari demikian—Hasyawiyyah berasal dari kata hasyw yang berarti pinggiran—karena mereka adalah kelompok yang tak setuju atas Hasan al-Bashri di tengah majlisnya, kemudian membentuk halaqah sendiri tak memperhatikan keterangan sang guru. Lantas, Hasan al-Bashri menyuruh mereka minggir dan keluar dari majlis. Mayoritas murid Hasan al-Bashri yang tetap berada di majlis nantinya dalam sejarah menjelma sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Demikian.

Diskursus fikih juga tersemai disana kecenderungan moderat. Satu topik yang menarik disorot adalah soal bermadzhab. Semua ulama sepakat bahwa mereka yang mampu memahami secara langsung Al-Qur’an dan hadits dengan beragam pirantinya disebutmujtahid, dan ia dilarang taqlid pendapat mujtahid lain. Selain mereka disebut muqallid,yakni mereka yang tak mampu memahami secara langsung Al-Qur’an dan hadits karena berbagai keterbatasan. Mereka ini diaharuskan bertanya kepada mujtahid.

Dalam catatan sejarah, madzhab-madzhab fikih berkembang karena golongan jenis kedua ini. Pada era keemasan madzhab ditemukan lebih dari sepuluh madzhab yang berkembang. Semuanya memiliki perintis dan pengikutnya. Dalam perkembangannya, hanya empat madzhab besar yang sampai sekarang terus diamalkan oleh para pengikutnya. Yakni: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Para ulama menyebut keempat madzhab ini sangat populer hingga mencapai derajat seperti hadits mutawatir yang validitasnya sangat tinggi.

Setelah era keemasan madzhab, masuklah era dimana ijtihad dalam fikih seolah berhenti. Para orientalis menyebutnya sebagai era kemunduran fikih. Namun, oleh para ulama, terhentinya perkembangan madzhab fikih bukan sepenuhnya dipicu “kemalasan”—jika ini tepat digunakan—melainkan karena karakter dalil agama sudah mencapai kata final dalam interpretasinya yang terbatas (lintiha’ al-qismah al-‘aqliyyah). Benar, bahwa Al-Qur’an dan hadits memiliki lafal yang multi-interpretasi yang berpotensi memunculkan banyak madzhab. Namun perlu dicatat, kemultitafsiran ini terbatasi dan terikat oleh: kaedah-kaedah baku gramatikal bahasa Arab, diskursus ushul fikih, diskursus ilmu hadits, dsb. Tegasnya, Al-Qur’an dan hadits layak terus ditafsirkan dan ditelorkan madzhab-madzhab baru disana dengan tetap berlandaskan kaedah yang telah disepakati para ulama sepanjang zaman.

Sebuah bukti dapat ditemukan dari catatan Taj ad-Din as-Subki dalam Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra. Penulis Jam’ al-Jawami’ ini bertanya pada ayahnya, Taqiy ad-Din as-Subki, “Mengapa ulama semacam al-Juwaini, al-Ghazali, an-Nawawi, ar-Rafi’i, dsb tak berijtihad mandiri saja, malah mengikat diri dengan madzhab Syafi’i?” Beliau menjawab, “Ada perbedaan mendasar antara mengikuti (al-iqtida’) dan mengambil inspirasi (ihtida’).Para ulama di atas memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid mutlak, namun mereka terbatasi oleh fakta bahwa apapun yang mereka telurkan, rata-rata telah dikatakan oleh ulama sebelumnya. Sehingga memang tak dibutuhkan lagi madzhab baru”.

Kejadian serupa juga dialami as-Suyuthi. Ia menuturkan dalam kitab otobiografi pribadinya, at-Tahadduts bi an-Ni’mah, bahwa dirinya tak bertaklid pada Imam Syafi’i, melainkan ijtihad dia kebetulan sama persis dengan as-Syafi’i. Karenanya, tak perlu lagi ada penisbatan madzhab baru jika esensinya sama. Fakta-fakta inilah yang mendasari perkembangan pesat kaedah-kaedah fatwa dan pengambilan hukum yang terbangun dalam tiap madzhab.

Kemudian pada gilirannya perkembangan madzhab ini berkulminasi pada aturan baku soal bagaimana seorang muqallid mengambil hukum fikih dari mujtahid yang dipilihinya: apakah harus tetap satu imam, atau boleh berpindah-pindah tergantung kebutuhan? Dalam kasus ini setidaknya ada tiga madzhab yang berkembang. Talfiq—dalam pengertian menggabungkan pendapat beberapa imam mujtahid dalam hukum—menjadi titik kontroversi para ulama fikih.

Madzhab pertama, melarang seorang muqallid untuk berpindah-pindah madzhab. Alasan madzhab ini karena bagi seorang muqallid, semua madzhab tetaplah sama. Tak ada yang lebih rajih (kuat) dari madzhab lain bagi dia. Toh, ia tak mampu menimbang mana yang lebih rajih dibanding yang lain. Disamping, perpindahan ke madzhab lain terkesan meremehkan dan menghilangkan status taklif padanya (tatabbu’ ar-rukhash). Madzhab kedua, membolehkannya. Toh, karena semua madzhab sama, tak ada larangan berarti untuk pindah ke yang lain selama itu dibutuhkan oleh seorang muqallid. Madzhab ketiga, membolehkannya dengan syarat tidak dalam satu qadliyyah (paket kasus fikih).

Pandangan Moderatisme Islam dalam bermadzhab disini muncul. Oleh para ulama kontemporer, semisal Wahbah az-Zuhaili, Yusuf al-Qaradhawi, Ali Jum’ah, dll, mereka membolehkan adanya talfiq ini. Toh, perkembangan zaman begitu pesat hingga jika seorang muqallid hanya harus ikut satu madzhab akan mengalami banyak kesukaran beragama. Pendapat ini sepertinya lebih cocok untuk diterapkan di era sekarang melihatmaqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat. Sesuai dengan tujuan syariat karena dalam agama sama sekali tak diharuskan ikut pendapat yang sulit jika kebutuhan mendesak. “Allah SWT tak membebani seorang hamba kecuali apa yang ia mampu”, demikian bunyi ayat. Cocok dengan tangga prioritas karena daripada seorang mukallafterjatuh pada kemaksiatan dan kesukaran beragama, lebih baik dicarikan pendapat yang lebih mudah diamalkannya.

Dalam kasus kontemporer di Indonesia, paham moderatisme ini perlu dikembangkan. Ini karena banyak sekali aktivitas ormas-ormas Islam yang tak mengindahkan kaedah dalam mengamalkan ajaran agama. Bahwa ada banyak kaedah dalam mengamalkan ajaran agama yang jika diabaikan akan menimbulkan kerancuan dan anomali perilaku.

Bernahi-munkar adalah ajaran Islam, siapapun yang tak bernahi-munkar berarti telah tercabut sebagian imannya terhadap Islam. Namun bagaimana aplikasinya yang sesuai kaedah para ulama? Apakah dengan penghancuran warung-warung yang buka di siang Ramadan? Bukankah orang musafir, wanita hamil, anak-anak kecil, tak diwajibkan berpuasa, hingga mungkin saja butuh makan di warung saat Ramadan? Bukankah si penjual adalah orang-orang miskin yang jika warungnya dihancurkan akan memunculkan kemiskinan ganda? Apakah Islam menganjurkan pemeluknya untuk mencipta kemiskinan dan membunuh orang-orang miskin? Apakah Islam mengajarkan, untuk menghapus kemungkaran harus dengan mencipta kemungkaran serupa, atau bahkan lebih parah?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya yang lebih dahulu dijawab mereka yang ingin bernahi munkar. Toh, banyak sekali kaedah para ulama yang perlu diterapkan dalam aplikasinya. Sehingga, paham Moderatisme Islam dalam kasus-kasus seperti ini adalah dengan sungguh-sungguh memahami ajaran para ulama dan mengamlkannya dengan bijaksana sesuai maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat.  

Jika demikian, sebagai seorang Azhari kita perlu terus mengembangkan paham moderatisme ini sebagai sebuah bagian penyebaran ajaran Islam yang bukan saja tak radikal dan fundamental, melainkan selalu sesuai di setiap zaman

“Seorang pelajar atau terdidik harus sudah bersikap adil sejak dari alam pikiran”

-Pramoedya Ananta Toer-


0 comments:

Makna Ketakutan (Khauf ) dalam Persepsi Imam Ghazali di Ihya Ulumuddîn

Sebagai seorang teosof (teolog sekaligus sufi), Al-Ghazali mempunyai konsentrasi yang lebih terhadap kebahagiaan akhirat. Berekspedisi menggeluti berbagai macam ilmu, dari metode rasionalitas sampai ke metode intuisi, Al-Ghazali mendapuk kehidupan akhirat sebagai tujuan manusia yang sebenarnya. Hal ini mulai kentara melalui karya-karyanya pasca skeptis selama 2 bulan. Lebih jauh lagi, ia menyatakan kenikmatan yang tak ada bandingannya, adalah saat-saat bertemu dengan Sang Pencipta kelak di akhirat.

Perhatian lebih terhadap kehidupan akhirat ini terlihat jelas pada muqadimah kitab Ihya Ulumuddîn. Dengan persepektif kehidupan akhirat sebagai pondasi, ia membagi kitab tersebut menjadi empat bagian yang kesemuanya ditujukan untuk kebahagiaan di dunia sebagai buahnya, dan di akhirat sebagai tujuan utamanya.

Empat bagian ini tidak bisa terlepas dari pembagian Al-Ghazali terhadap ilmu itu sendiri. Ia membagi ilmu yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan akhirat menjadi dua: ilmu muâmalah, dan ilmu mukâsyafah. Ilmu mukâsyafah sejatinya yang menjadi ilmu hakikat, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang tertentu (khawâs dan para ârifîn). Selain itu, ilmu mukâsyafah ini hanya diterangkan secara implisit oleh nabi sebagai pembawa risalahnya.

Sedangkan di dalam ihya’, seluruh pembahasannya hanya khusus pada ilmu-ilmumuâmalah (praktis). Karena ilmu muâmalah ini lah yang bisa dijangkau oleh seluruh kalangan umat. Ia kembali membagi ilmu muâmalah itu menjadi dua : ilmu dzhaîr dan ilmubathin, ilmu tentang keadaan-keadaan hati dan akhlaq.

Al-Ghazali membagi lagi ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia (ilmudzâhir) menjadi dua: perbuatan yang berkaitan dengan ibadah, dan perbuatan yang berkaitan dengan adat. Adapun ilmu batin, ia menggolongkannya menjadi akhlak terpuji(mahmûd) kemudian mengistilahkannya dengan munjiyât, dan akhlak yang tercela(madzmûm) dengan istilah muhlikât.

Pembagian ilmu yang bercabang-cabang ini memiliki posisi penting untuk memetakan jenis ilmu, agar supaya tidak terjebak pada pengeneralisiran ilmu. Dalam bagian munjiyâtyang masih berada pada kategori ilmu batin yang terpuji, terdapat suatu keadaan hati  yaitu ketakutan (khauf) yang akan menjadi pokok bahasan tulisan singkat ini.

Imam Ghazali mendefinisikan khauf sebagai suatu keadaan terluka dan terbakarnya hati yang disebabkan datangnya sesuatu yang tidak disenangi, sebagai konsekwensi atas apa yang telah diperbuat pada waktu yang akan datangn. Di sini, khauf mempunyai posisi seperti raja’ (pengharapan) yang bersifat maqâm dan hâl. Disebut maqâm, jika mempunyai sifat yang tetap  dalam diri. Dan dikatakan hâl jika berupa sifat yang muncul dan cepatnya hilang dari diri.

Hati yang takut ini terkadang berupa pengetahuan atas sebab-sebab yang mengkibatkan pada sesuatu tidak disenangi. Sebagaimana seseorang yang telah membunuh akan merasa takut melihat balasan yang berupa pembunuhan atas dirinya (qishâs) misalnya. Pengetahuan tentang akibat dari pembunuhan inilah yang disebut ilmu yang menimbulkan terluka dan terbakarnya hati dan takut. Begitu juga dengan pengetahuan tentang akibat dari perbuatan maksiat yang akan dibalas dengan seberat-berat azab di dunia ataupun di akhirat.
Semakin banyak pengetahuan tentang akibat yang akan diperoleh, semakin kuat pula rasa takut yang akan timbul. Semakin banyak pengetahuan tentang pedihnya azab yang akan turun kepada para pelaku maksiat, semakin kuat rasa takut untuk menjauhi maksiat tersebut.

Demikian juga dengan sedikitnya pengetahuan. Selanjutnya, rasa takut tersebut dianalogikan dengan cambuk untuk mempercepat jalan keledai. Dengan cambukan yang kuat, keledai bisa berjalan dengan cepat. Aplikasinya ada pada amal manusia. Rasa takut berfungsi untuk meningkatkan amal soleh seorang hamba. Cambuk rapuh yang tidak bisa membuat suatu kemajuan pada amal, hanya berupa rasa takut yang sia-sia atau bisa juga disebut dengan takut yang pura-pura.

Terkadang, ketakutan itu muncul bukan karena pengetahuan tentang akibat perbuatan. Rasa takut itu bisa juga datang karena suatu sifat yang membuatnya menjadi hal yang menakutkan. Seperti kuku dan taring yang ada pada harimau. Sifat dari kuku dan taring yang pada umunya untuk menyerang mangsa inilah yang menyebabkan harimau ditakuti. Sifat-sifat Allah yang berupa al-Qahâr, al-Jabbâr, Syadidul Adzâb yang merupakan wujud dari sifat yang membuat-Nya menjadi dzat yang ditakuti.

Terkadang juga, rasa takut timbul dari sesuatu yang tercipta sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagaimana banjir yang akan merusak dan menenggelamkan bangunan-bangunan. Begitu juga dengan kebakaran, gunung meletus, gempa bumi dan semua jenis bencana alam.
Demikianlah yang seharusnya diaplikasikan pada rasa takut kepada Allah. Baik terhadap sifat-sifat yang menjadikannya ditakuti berupa ancaman-ancaman siksa yang pedih maupun pada diri-Nya yang memang pantas untuk ditakuti mengingat Dia-lah yang maha berkehendak.

Seandainya Dia mengahancurkan seluruh alam raya dan mengazab semua makhluq yang ada di dalamnya, tidak ada yang bisa mencegah-Nya, Dia maha berkuasa. {لا يسأل عما يفعل وهم يسألون} maka akan menjadi kuatlah rasa takut kepada Allah. Orang yang paling takut terhadap Allah adalah orang yang mengetahui Tuhannya dan dirinya sendiri. Dalam hal ini, nabi Muhammad Saw. Menamakan dirinya sebagai orang yang paling menakuti Tuhannya: {انا أخوفكم لله} begitu juga firman Allah : {انما يخشى الله من عباده العلماء} .

Ketika telah sempurna pengetahuan (makrifat) tentang Allah, akan mewariskan/menghasilkan kuatnya rasa takut kepada-Nya. Kuatnya rasa takut tersebut akan membekas dari hati menuju ke tubuh yang akan menghasilkan airmata, atau lebih dahsyat lagi, berupa kematian sebab ketakutan. Dari tubuh, kemudian menuju ke perbuatan berupa penjauhan diri dari perbuatan maksiat dan mematuhi segala perintah-Nya. Orang yang telah merasa takut seperti ini dikenal dengan sebutan wara.

Dikatakan: orang yang takut bukanlah orang yang mengusap airmatanya, melainkan yang menjauhi larangan-larangan-Nya. Abu al-Qâsim al-Hâkim berkata: “orang yang takut pada sesuatu akan bersegera menjauhinya, sedangkan orang yang takut pada Allah akan bersegera menuju kepada-Nya, dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Al-fadhli bin ‘Iyadh pun ikut berargumen: “ketika engkau ditanya: apakah kau takut kepada Tuhanmu? Jika kau menjawab: tidak, maka, kau telah kafir. Dan jika kau menjawab: iya, maka sungguh kau telah berbohong.” Dari sinilah, ketakutan itu diibaratkan dengan cambuk yang akan membangkitkan semangat untuk beramal.

Setelah melalui tubuh, kemudian rasa takut kepada Allah tersebut berujung pada sifat. Dengan kondisi yang demikian, maka mulai muncullah sifat khusyûk, hina dan rendah diri kepada-Nya. Tingkatan wara’ yang bertambah dengan semakin kuatnya rasa takut sehingga menjauhi hal-hal yang syubhat, tidak jelas halal-haramnya, disebut dengantaqwa. Dan ketika khauf itu bertambah lagi sehingga segala konsentrasi dari kehidupannya hanyalah Allah, kemudian meninggalkan segala perkara dunia, pada tingkatan inilah seseorang baru bisa disebut sebagai al-shidq. Takutnya orang terhadap suatu kemaksiatan, biasa terdapat pada orang-orang saleh. Sedangkan takutnya parashiddiqîn, adalah takutnya mereka kepada Allah setelah mengenal-Nya, bukan karena ancaman-ancaman dibalik perbuatan dosa.

Seandainya para pelaku kemaksiatan itu mengetahui (ma’rifât) pada Allah, niscaya mereka juga tidak akan takut dengan azab-Nya. Mereka akan takut disebabkanma’rifâtullâh itu sendiri. Itulah sebabnya hal yang paling ditakuti oleh orang yang arif billahadalah tertutupnya hijab antara dia dengan Allah. Yang dimaksud takut kepada Allah menurut tingkatan para arifin ini adalah bukan takut terhadap Allah sebagai zat yang menakutkan, akan tetapi mereka takut akan tertutupnya hijab antara dia dengan Allah.

Yang perlu diingat, tidak semua khauf itu terpuji. Al-Ghazali memaparkan; terkadang rasa takut itu lemah, rasa takut yang lemah ini sangat sedikit manfaatnya, hanya mengingatkan sebentar kemudian kembali ke keadaan lupa. Menangis sebentar, kemudian maksiat kembali dijalankan. Analoginya seperti sebuah cambuk yang tidak berpengaruh pada keledai. Cambukan tersebut tidak bisa mempercepat gerak keledai karena keroposnya kayu yang digunakan. Rasa takut yang seperti inilah yang dianggap sebagai rasa takut yang sia-sia.

Ada pula yang berlebihan (ifrâth). Rasa takut yang berlebihan ini akan menghasilkan sebuah keputus asaan. Karena begitu besarnya rasa takut yang dialami, orang yang begitu takut tersebut hanya bisa diam, putus asa tanpa perbuatan nyata untuk bergerak lebih dinamis. Karena dahsyatnya, rasa takut ini bisa juga menyebabkan kematian. Sebagaimana cambukan yang seharusnya untuk mendidik, terlalu keras ditujukan kepada seorang anak kecil yang tentu saja bisa mengakibatkan kematian. Takut yang berlebihan ini disifati dengan takut yang tercela.

Demikianlah tulisan singkat ini membahas tentang khauf dalam kacamata Imam Al-Ghazali. Seperti disebutkan di awal tulisan ini, bahwa paling nikmatnya sesuatu adalah kebahagiaan bertemu dengan Allah. Dan segala sesuatu yang bisa menjadi jalan (wasilah)untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan perkara yang bernilai positif. Dan khaufadalah salah satu dari wasilah-wasilah itu. {فاعتبروا يا أولول ألباب}[]

0 comments:

Peran Ibadah dalam Psikologi Manusia Menurut Imam Ghazali

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembaharuan bangsa arab khususnya (dan umat Islam umumnya) telah mengalami stagnasi sejak abad 13 M. Menurut para sejarawan, masa kejumudan ini berlangsung sejak abad 13 M (sejak mangkatnya sang maestro Ibn Khaldun) dengan magnum opusnya yang monumental, Al-Muqaddimah hingga akhir abad ke 19 M. Masa kevakuman dan kejumudan pemikiran yang begitu lama itu memberikan dampak yang keras bagi umat Islam pada zaman modern sekarang ini, terutama ketika  Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat diberbagai lini kehidupan dan selalu mengadakan pembaharuan. Beberapa tahun lalu, terjadi sebuah kejadian spektakuler, 30 negara eropa membentuk supranation EU (Europe Union) yang meleburkan sistem politik dan ekonomi.

Persatuan Eropa merupakan trobosan baru bagi sejarah Eropa, berbagai kemajuan diraih  Eropa yang menjadikannya qu’batu al-qusod bagi para sarjana dunia yang ingin mendalami dan mengembangkan keilmuanya. Begitu juga dalam percaturan di dunia politik dan ekonomi, Eropa  menjadi tolok ukur dunia.

Pembaharuan bangsa Arab yang kian lama kian meredup, ditambah trauma anti-eropa yang berlebihan menjadikan hubungan bilateral negara-negara Timur Tengah dengan Eropa merenggang. Contoh kecil: Maroko, misalnya, sejak merdeka hingga sekarang belum pernah menjalin hubungan bilateral yang berarti dengan negara Eropa manapun, padahal secara geografis  Maroko berbatasan dengan Eropa, tepatnya Spanyol.

Walaupun demikian bangsa Arab memiliki kelebihan dibanding bangsa Eropa, yang akan dibahas panjang lebar dalam artikel ini. Penulis tidak ingin membahas panjang kemajuan ataupun pembaharuan bangsa Eropa, tetapi penulis mencoba ingin  mengkaji kembali subjek dari pembaharu itu sendiri.

Jika dilihat dari beberapa negara-negara maju, bukan hanya di Eropa tapi juga negara-negar di benua Asia; realita yang terjadi adalah, ketika manusia  mencapai depresi tingkat tinggi, tidak bisa mengendalikan dirinya, menjadi stres,gila dan tidak jarang yang bunuh diri. Puncak keberhasilanmateril  yang diperoleh manusia tidak cukup menyeimbangkan kebutuhan  manusia mencapai keadaan yang memberikan ketenangan jasmani dan rohani,  tanpa ada rasa takut dan khawatir pada semua yang dimiliki.

Manusia  ciptaan Tuhan yang paling sempurna,  kompleks,  antik, dan sukar memahaminya secar utuh. Unsur manusia bukan hanya pada  jasmani, tetapi didalamnya terdapat rohani. Bukan hanya pada jasad yang terlihat oleh kasat mata, tetapi juga ada nyawa hanya didapati oleh rasa. Kalau kita lihat dari kacamata Islam bahwa asal-usul  penciptaan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah hal itu tertera dalam Al-quran  :

وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون (الذاريات :56 )
 “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku”

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa ibadah memiliki korelasi yang sangat erat dengan manusia dalam kehidupannya, tak terkecuali kebahagiaan yang merupakan dambaan  dari tujuan  perjalanan hidup manusia. 

Mungkin penulis akan mencoba menguraikan defenisi ma’na ibadah dan bahagia itu sendiri; pertama,  difinisi ibadah secara terminologi adalah menyembah, sedangkan secara istilah adalah segala pekerjaan yang diniatkan untuk Allah Swt. baik secara lisan maupun amal perbuatan.  Contoh secara lisan, mengucapkan perkataan-perkatan yang baik dengan niat menjalankan printah Allah Swt., adalah ibadah. Contoh dari amal perbuatan, hal-hal yang remeh  seperti makan dengan niat menjaga tubuh agar selalu sehat sehingga dapat  menjalankan perintah-perintah Allah dan lain sebagainya adalah ibadah.

Kedua,  menurut Imam Al-Ghazali pencapaian  kebahagiaan itu berbeda-beda sesuai dengan subjeknya. Binatang mencapai kebahagiaan dengan cara makan, minum, tidur dan kawin. Tumbuhan mencapi kebahagiaanya dengan cara berfotosintesis. Setan mencapai kebahagiaanya dengan cara bertengkar, berbuat makar dan menipu. Malaikat berbahagia dengan melihat keindahan Tuhanya, tidak dengan amarah dan syahwat.

Secara sekilas, dua  definisi di atas tidak berkorelasi, berdiri sendiri-sendiri. Tetapi penulis tidak berhenti di sini, mencoba menganalisa lebih lanjut, dan menemukan efek dan makna dari penggabungan kata ibadah dan bahagia dalam pemahaman yang lebih jelas.

Manusia  menjalankan ibadahnya berbeda-beda sesuai  tingkat keilmuanya, dan ibadah  memberikan pengaruh besar dalam  bangunan akidah  pada keesaaan sang pencipta. Menurut Imam Ghazali; ibadah merupakan buah dari ilmu, semakin dalam ilmu yang dimiliki, semakin berarti ibadah yang dijalankan. Yang demikian itu, ditegaskan Al-Quran "tidak sama" antara orang-orang alim dari orang-orang yang bodoh l

:قل هل يستوي الاعمي والبصير (الانعام: 50)

وما يستوي الاعمى والبصير (فاطر: 19)


Lalu dimanakah perbedaaan antara orang alim dan jahil? Bukankah mereka sama-sama menjalankan ibadah? Bukankah mereka sholat lima waktu setiap hari, puasa selama  Ramadhan, mengeluarkan zakat setiap tahun, pergi haji ke Makkah dan lain sebagainya ?

Tentunya kita tidak melupakan tulisan di atas, bahwasanya manusia terdiri dari dua unsur; jasmani dan rohani, jasad dan ruh, dan masing-masing  unsur memiliki kebutuhan yang berbeda. Orang yang alim mampu menyeimbangkan, mengolah dan memenuhi kebutuhan kedua unsur tersebut,  tidak timpang, mensejajarkan dan menyamaratakan langkah keduanya tanpa  persinggungan, kontra yang berdampak pada kerusakan jiwa ataupunkeimanan manusia ketika ia menemui titik dramatis dalam hidupnya. Ada peran iman dan tawakal di sana. Dan ini menjadi solusi pada apa yang  terjadi di negara-negara maju. Dalam hal ini tidak mudah bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh lagi, untuk mencari titik temu yang dapat menyatukan dan dapat menjadikanya sebagai perekat antar kedua unsur tersebut.

Kembali sebab utama hilangnya kebahagiaan manusia adalah karena diakibatkan rasa kehawatiran dan takut. ini terjadi pada 3 keadaan; pertama, ketika manusia merasa telah tercukupi semua kebutuhannya,  ia akan merasakan khawatir akan kehilangan apa yang telah ia miliki, takut terambil, rusak dan hancur. Kedua,  merasa khawatir akan tidak kembalinya  kebahagiaan yang dieroleh. Ketiga, memiliki semuanya tetapi tidak pernah merasa memiliki semuanya. 

Dari pemetaan di atas  bisa kita bisa meraba dimanakah inti-inti  masalah dan bagaimana  manusia dapat mencapai pada  kebahagiaan yang hakiki. Dan diantara solusi terpenting adalah kembali pada hati, Aqidah dan tauhid, dan amal shaleh, semuanya akan menjadi tameng penjaga dari godaan dan rayuan gemerlapnya kemewahan duniawi,  hal ini akan membawa manusia pada keadaan yang aman, tenang dan tentram tanpa merasa khawatir dan takut dengan hiruk-pikuk dunia yang terkadang  brutal.

Teringat dengan kisahnya Muadz bin Jabal ketika ditanya seorang sahabat tentang keadaan dua orang, yang satu melakukan banyak amal saleh tetapi berakidah lemah, yang kedua sedikit melakukan amal saleh tapi berakidah kuat. Muadz bin Jabal menjawabnya dengan bijak: orang yang banyak beramal saleh, akidahnya akan bertambah dengan amal saleh yang dikerjakannya. Sementara orang yang kedua, akidahnya akan semakin lemah dengan lemahnya amal saleh yang ia kerjakan.

Dari kisah ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa akidah seseorang dan keyakinan terhadap Allah Yang Esa bisa tumbuh dan semakin kuat dengan amal saleh yang dilakukan, karena amal sholeh adalah bukti pengabdian hamba yang tunduk dan patuh kepada Tuhannya []

0 comments: