Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli

Pada kesempatan kali ini kami akan memberikan informasi mengenai pengertian globalisasi dan beragam penafsiran tentang globalisasi dari berbagai definisi para ahli.Menurut
Achmad Suparman,Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya.

Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negaradi dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat

Globalisasi Menurut Para Ahli

1. Roland Robertson, dosen sosiologi Universitas Aberdeen, salah satu penulis pertama di bidang globalisasi, mendefinisikan globalisasi pada tahun 1992 sebagai:  pemadatan dunia dan pemerkayaan kesadaran dunia secara keseluruhan.

2. Sosiolog Martin Albrow dan Elizabeth King mendefinisikan globalisasi sebagai:  semua proses yang menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal.

3. Di The Consequences of Modernity, Anthony Giddens memakai definisi berikut:      Globalisasi dapat diartikan sebagai intensifikasi hubungan sosial dunia yang menghubungkan tempat-tempat jauh sehingga peristiwa di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di tempat lain sekian kilometer jauhnya dan sebaliknya.

Essay tentang Globalisasi Dan Kisah Kesenjangan

Mempersilakan atau menghadang globalisasi boleh jadi terlihat sebagai dua perkara yang berbeda. Padahal, sama halnya dengan pilihan menjadi kapitalis atau sosialis, ternyata persoalan hidup tidak melulu melekat pada ilusi teoritis atau ideologis, tapi lebih tergantung pada kesanggupan menyadari situasi sejarah sekaligus kesanggupan untuk memberi bentuk kepadanya. Globalisasi sepenuhnya adalah situasi sejarah yang digerakkan bukan oleh dirinya tetapi oleh selaksa pikiran dan tindakan manusia. Menganjurkan globalisasi sebagai keniscayaan yang mustahil dielak, sama saja dengan khotbah tentang hari kiamat. Sementara mengutuknya, tak jauh beda dengan ajakan kembali ke zaman purba. Dua pendirian yang kelihatan berkebalikan ini ternyata sebangun dalam asumsi, yakni menempatkan manusia sebagai diri yang takluk dan lumpuh.

Selama ini, euforia dan kutukan orang terhadap globalisasi lebih sering berkubang dan dilokalisir pada wilayah fashion, mindset, selera, busana, atau bahasa. Pada dimensi gaya hidup lah, gobalisasi cenderung bermakna penyeragaman. Penyeragaman dibutuhkan agar bisnis trans-nasional makin berkibar. Sementara pada dimensi kesejahteraan, globalisasi mendorong kesenjangan. Dan demikianlah, pada jantung persoalan yang sesungguhnya, globalisasi adalah soal ekonomi. Ilustrasinya tergambar dalam statistik berikut.

Diperkirakan nilai pasar telekomunikasi dunia kini lebih dari 1 trilyun dolar AS. Angka ini niscaya tambah membengkak jika diimbuhi nilai bisnis teknologi komputer. Sementara, angka transaksi business-to-costumer (B2C) online mencapai 108 milyar dolar AS sementara business-to-business (B2B) 1.3 trilyun dolar AS. Dari sini muncul klaim bahwa globalisasi yang dipompa teknologi bisa mendongkrak kegiatan ekonomi. Sementara, pada 1960, terdapat 20% warga paling kaya menguasai 70,2% kekayaan dunia. Sementara 20% warga paling miskin hanya mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Angka ini berubah drastis pada akhir 1990 dimana 20 % warga yang paling kaya itu sudah menguasai 86 persen kemakmuran dunia, sementara seperlima yang paling miskin hanya mengais-ngais 1 persennya (Yanuar Nugroho, 2006).

Jika orang sering menyebut globalisasi berwatak boarderless, watak yang melesapkan batas teritorial negara, statistik ini nampaknya juga perlu dipertimbangkan. Tahun 1971, dari transaksi finansial global per hari yang mencapai 1,4 milyar dolar AS, 90 persennya beroperasi di sektor real. Sisa 10% berputar-putar pada saham, valas dan sebagainya. Angka itu mulai berbalik mulai tahun 1990. Hingga di tahun 2000, sekitar 95% dari transaksi finansial global yang besarnya 1,5 triliun dolar per hari, 40 persennya adalah transaksi spekulatif dengan kecepatan mondar-mandir antar negara 1-7 hari. 40 persen yang lain kecepatannya kurang dari 2 hari (B. Herry-Priyono, 2007).
Kini, globalisasi yang ditopang perkembangan TIK semakin didesakkan ke seluruh penjuru dunia. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, sudah lama mengingatkan globalisasi sebagai hubungan asimetris antar negara yang ujung-ujungnya adalah hasil keuntungan yang asimetris pula (2003). Statistik di atas menandai era di mana kegiatan ekonomi mengalami ketercerabutan dari daya hidup (survival ) komunitas. nampaknya, di situlah kemudian kita terjebak dalam dilema. Memerosokkan atau melarikan diri dari globalisasi sama-sama bukan lah jalan keluar.

Jika demikian, lantas apa makna daya saing di era globalisasi dalam konteks ekonomi? Sejauh mana kebermaknaannya bagi masyarakat Indonesia? Bukankah tingkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia semakin meningkat? Bukankah peningkatan itu berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan? Ijinkan saya menyodorkan dua asumsi pokok untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, korelasi TIK dengan ekonomi tidak berada dalam logika kausal sederhana. Tidak seperti “ada api maka langsung ada asap”, antara teknologi dan ekonomi terbentang korelasi yang berlapis-lapis. Petani kentang di dataran tinggi Dieng pernah berujar begini, “aku sudah punya imel dan pesbuk, tapi bagaimana caranya harga jual kentang bisa bagus?” Lalu, tanpa berpikir rumit, kita pun tahu, perangkat seperti telepon genggam dan komputer tidak dengan sendirinya menyejahterakan petani. Dalam praktiknya, penawaran dan permintaan bukan sesuatu yang terprogram secara otomatis lantaran di sana ada jaringan ekonomi melibatkan lebih dari sekadar kekuatan yang lebih perseorangan dan komunitas.

Gugus modal (capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) mesti padu jika yang disasar adalah keadilan ekonomi. Sementara, kita menjumpai banyak kasus di mana komunitas yang menempati suatu wilayah dengan sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi justru tidak ikut menikmati hasilnya. Demikianlah, ekonomi di era globalisasi kerap ditandai dengan kinerja modal yang mencerabut manusia dari konteks kewilayahannya. Di situ, peran negara sebenaranya sangat dibutuhkan untuk mengatur distribusi yang adil. Problemnya, negara sudah sedemikian lemah peranannya justru ketika ia sangat dibutuhkan. Dan kita tahu belaka, pelemahan negara itu sudah berlangsung sejak lama melalui deregulasi ekonomi dan kebobrokan mentalitas pejabat publik.

Kedua, pengembangan TIK di negara berkembang cenderung bias. Setidaknya ada tiga bias yang penting dalam kaitannya dengan ekonomi: bias wilayah, bias kelas, dan bias gender. Secara umum, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Kini, diperkirakan ada lebih dari 30 juta pengguna internet di Indonesia (data Internet Worldstats tahun 2009). Ini artinya hanya sekitar sepertujuh dari total populasi masyarakat Indonesia. Konsentrasinya memusat di wilayah Indonesia Barat, terutama kawasan rural pulau Jawa. Sementara dari 105.001 desa di bali dan Indonesia Timur, sebanyak 68.650 desa tak tersentuh internet (blogs.depkominfo.go.id). Dalam hal gender, data indikator telematika tahun 2005 menyebutkan pengguna internet di Indonesia lebih banyak pria (75.86%) daripada wanita (24.14%).
Situasi yang sarwa-bias itu masih diperparah dengan kecenderungan pemanfaatan produk TIK dalam wabah konsumerisme. Padahal, untuk menjadi masyarakat informasi, kultur baca-tulis adalah prasyarat mutlak. Itu pula yang antara lain membuat UU ITE hanya berbunyi pada urusan pornografi. Apa yang diatur oleh UU ITE belum lagi menjadi urusan nyata bagi masyarakat luas. Di sinilah tantangan di level social engineering ternyata lebih berat ketimbang mendesakkan mechanical engineering.

Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk berpandangan muram. Saya ikut barisan orang yang optimis dengan kekuatan ekonomi informal yang terbukti tangguh diterpa badai krisis moneter sementara ekonomi spekulatif terpuruk tak karuan. Yang ingin ditegaskan, dengan mencermati kinerja globalisasi yang bergandengan dengan nalar neoliberal, pemanfaatan TIK sungguh-sunguh mesti dihayati sebagai bagian dari kerja patriotik. Mengapa patriotik? Sederhana, makna patria adalah tanah. Menjadi patriotik adalah mengerahkan segenap upaya agar segenap sumber daya alam Indonesia sebisa mungkin diselamatkan agar tidak tercerabut dari daya hidup masyarakat Indonesia. Relakah kita jika kekayaan alam ini sekadar dikonversi menjadi angka-angka digital dalam bursa saham yang dipermainkan para spekulan?

0 comments:

Peran Pemuda Dalam Pembangunan Bangsa

Indonesia membutuhkan peran aktif pemuda dalam usaha berkelanjutan demi kemajuan dan pembangunan bangsa. Peran penting pemuda dirasa penting karena beberapa unsur dasar yang dimiliki pemuda yakni semangat berkreasi dan berinovasi. Beragam cara dilakukan untuk mengenang kembali semangat kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda tersebut. Tak ketinggalan para Mahasiswa dan Pemuda Indonesia di luar negeri. Sebuah acara akbar yang dihadiri utusan persatuan pelajar indonesia dari beberapa negara diselenggarakan di Belanda.

Dan disini, ku hanya duduk termenung, mencoba meresapi hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa 80 tahun yang lalu itu. Sebuah energi positif kaum muda yang tak terbendung mampu menorehkan tinta emas sejarah perjuangan bangsaku!!!

Jiwa muda, jiwa yang sedang tumbuh berkembang dan penuh kepekaan serta kepedulian terhadap lingkungannya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya bahkan kepada dunia luas!! Jiwa pembelajar penuh energi, agent of change, penggerak kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Itu yang ku dapat dalam pelayaran bersama bahtera logika yang ku miliki ketika mengarungi lautan hikmah sejarah. Setiap bangsa didunia ini pasti mencatat bahwa apapun bentuk kemajuan dan perkembangan yang dialami, para pemuda pastilah berada di poros terdepan perubahan itu!!

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, peristiwa sumpah pemudalah saksi besar sejarah. Kebulatan tekad dan keteguhan hati para pemuda untuk menyatakan kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa telah berhasil menggerakkan sebuah perubahan dengan hasil gemilang, KEMERDEKAAN!!

Di negeri kincir angin sana, puluhan tahun lalu para pemuda dan kaum terpelajar boemi poetra bersatu mencurahkan segenap kekuatan untuk membangun negeri tercinta. Dan dari sanalah nama Indonesia terucap mengharu biru. Sebutlah Bung Hatta, tokoh idola banyak pemuda kita, yang diidolakan karena kejeniusan dan tentunya kebersihan sikap dan prilaku politiknya yang telah turut serta menghantarkan nusantara menuju gerbang kemerdekaan!!

Kita sepakat bahwa ketika memproklamasikan kemerdekaan indonesia, Bung Karno tidaklah lagi muda, tapi kita pasti setuju bahwa tanpa semangat darah muda yang mengalir dalam diri sang proklamator itu dan (pastinya) keberanian bertindak khas kaum muda, alur sejarah negeri tercinta ini pastilah berbeda.

Disini sekali lagi ku duduk termenung, merangkai dan menata butiran hikmah perjuangan yang ku dapat dalam penggalian mutiara terpendam yang kelak akan ku kalungkan pada Ibuku, Indonesia.

Dengan indahnya Al-Qur’an bercerita tentang sosok-sosok muda pembawa pencerahan bagi umat manusia terdahulu. Tujuh orang pemuda berhati baja, berkeyakinan sempurna dan teguh dengan akhlak luhur telah menjadi sorotan sejarah perjuangan menyatakan keyakinan akan keesaan Tuhan dan kebangkitan di hari akhir.

Sekali lagi, darah muda mencatatkan harumnya dengan tindak terpuji sepanjang masa, membelah bentangan jarak dan waktu, melintasi generasi demi generasi pembawa pembaharuan, dan menyatakan keistimewaannya meski dihadapkan pada resiko kematian. Tujuh pemuda penghuni gua yang tertidur ratusan tahun dan terbangun kembali untuk menyaksikan perubahan yang terjadi dalam sistem kepercayaan kaumnya!!!

Aku belajar dan menarik kesimpulan, apakah sesungguhnya energi yang mendorong jiwa muda untuk mampu mendobrak keadaan, membawa pencerahan dan mewujudkan kebaikan bagi semua generasi??? Dan disinilah kutemukan jawabnya :

Sebuah kemajuan pastilah meletakkan pijakannya pada tiga asas utama : Moral, Intelektual dan Spiritual. Tanpa ketiga hal tersebut pastilah sebuah perubahan takkan mengarah menuju kemajuan tetapi kemunduran.

Kekuatan utama terletak pada Moral. Setiap bangsa yang beradab pastilah menempatkan moral dan etika sebagai tolak ukur utama kemajuan yang berhasil dicapainya. Karena dengan moral dan etikalah manusia mencapai ketinggian derajatnya sebagai manusia. Kita mungkin bisa bertanya apakah dengan moral kita bisa mencapai kemakmuran ekonomi?? apakah dengan etika kita bisa mengembangkan ilmu pengetahuan?? tapi pasti kita sepakat bahwa tanpa moral dan etika kita takkan pernah bisa hidup bahagia dan mulia!!!

Sejarah menyebut kemajuan yang berhasil dicapai umat manusia, mulai bangsa yunani di barat, romawi, persia, mesir kuno sampai bangsa cina di timur jauh, dengan satu istilah PERADABAN.

Peradaban adalah wujud terhalus dari kebudayaan manusia. Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dan moral adalah unsur terpenting dalam membentuk budaya. Karena segala tindak tanduk manusia selalu kembali kepada dirinya dan lingkungannya maka manusia membutuhkan suatu aturan untuk menata sikap dan prilakunya, dan itulah etika!!

Kebangkitan yang digerakkan kaum muda selalu didahului dengan kesadaran moral yang tinggi dikalangan pemuda. Tanpa moralitas yang baik, kaum muda hanya akan menyalurkan energinya pada hal-hal negatif.

Yang kedua adalah intelektual. Tanpa terbantahkan, intelejensi yang terkristalkan dalam ilmu pengetahuan telah menunjukkan kekuatan paling dahsyat yang pernah dikenal umat manusia. Sebuah energi terbesar yang pernah ada dan bahkan berani menantang kuasa Tuhan. Logika sebagai pusat kesadaran intelejensi bersama Ilmu pengetahuan sebagai kendaraannya telah memberikan hadiah terindah bagi peradaban manusia berupa kecanggihan tekhnologi dan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup.

Kebangkitan nasional indonesia dimotori oleh kaum cerdik cendikia muda yang bermoral. Sungguh ngeri membayangkan suatu gerakan yang dilakukan kaum intelek tak bermoral!! Karena tanpa moral, kekuatan intelektual hanya akan menjadi senjata pemusnah baru bagi kehidupan. Dan tanpa intelektual, moralitas hanya akan bersembunyi di relung hati terdalam manusia!!

Padanan serasi moral-intelektual tampaknya paling menjanjikan perubahan positif untuk semua orang. Karena semua hal yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kemuliaan mampu terpenuhi dengan dua asas utama tersebut. Tetapi pernahkah terdengar oleh nurani anda, jeritan moral-intelektual yang terombang-ambing di dalam ruang tak bertepi tak berujung batas bernama kehidupan ini?? Pernahkah mendengar pernyataan jujur moral-intelektual tentang keletihan dan keresahan mereka?? letih karena semakin hari manusia semakin dipenuhi tuntutan perubahan baru, letih karena sifat tidak puas manusia yang selalu ingin lebih dan lebih… serta resah mencari, hendak kemanakah semua ini menuju??

Tidak!! Moral-Intelektual tidaklah cukup untuk berdiri tegak, pantang menyerah tak mau mengalah demi menopang kehidupan manusia. Karena moralitas itu kaku dan intelektualitas itu semu!! Sedangkan hidup ini bagaikan setetes air yang turun dari langit lalu bercampur dengan tetumbuhan dan dedaunan, kemudian mengering dan hilang terbawa hembusan angin… Kehidupan ini mengalir bagaikan riak air sungai, terbawa aliran menuju lautan tak bertepi. Apalah arti moralitas dan intelektualitas jika hanya akan terhanyut pasrah mengikuti siklus kehidupan untuk kemudian hilang tak berbekas…

Ada sebuah kekuatan untuk mengarahkan dua kekuatan menuju kedamaian sejati, tempat berteduh dan bermuara seluruh aliran kehidupan dan bahkan kematian!! karena sesungguhnya, bukan hanya kehidupan yang mengalir, kematian pun sesungguhnya hanyalah sebuah gerbang menuju aliran lain dalam kehidupan!!

Kekuatan itu adalah Spiritual. Sebuah kekuatan diluar manusia, kekuatan Tuhan, yang karena kemurahan hatiNya kekuatan itu diberikan kepada makhluk yang membutuhkan dan menginginkannya. Spiritualitas, kekuatan Tuhan dalam diri manusia yang terkadang bisa membuat manusia berpikir dirinyalah Sang Pencipta itu!!!

Khazanah penyimpan mutiara itu telah ku temukan, namun tampaknya membutuhkan waktu seluruh hidupku ini untuk menyelaminya dan merangkai, menata serta menikmati keindahannya. Beruntunglah aku yang masih dialiri darah, semangat dan vitalitas pemuda. Karena tanpa energi muda, rasanya aku ingin orang lain saja yang merangkai keindahan mutiara itu untuk kemudian ku nikmati.. Dan lebih beruntung lagi karena bumi tempatku berpijak ini, telah melahirkan sosok-sosok penggenggam kemilau cahaya moral-intelektual-spiritual yang berhasil menebarkan pesona keindahan dalam sejarah umat manusia. Bumi para Nabi!!

Subhanallah.. Wal hamdulillah… Wa lailaha illallah.. Allahu Akbar!!!

Kini, aku ingin berbagi kepada semua jiwa muda yang sedang tumbuh dimanapun ia berada. Aku ingin mengajak jiwa muda untuk terus semangat dan berani dalam menempuh perjuangan di ruang kehidupan. Aku ingin meyakinkan jiwa muda, bahwa untuk mewujudkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup di masa mendatang, tidak hanya bagi kita namun juga bagi semua orang yang kita cintai adalah dengan kekuatan moral-intelektual-spiritual!!

Untukmu dunia tempat kami berpijak, nantikan perubahan demi perubahan yang kan kami gerakkkan!! jadilah saksi bagi setiap langkah pencerahan yang kami lakukan!! hingga kelak kau akan bersaksi di hadapan Sang Pencipta bahwa kami Generasi Muda telah turut serta memakmurkanmu, sesuai amanatNya, KHALIFATULLAH FIL ARDH. (Agen Tuhan dalam memakmurkan bumi).

Untukmu ibu pertiwi, anak-anak kandungmu kan kembali ke tanah mereka dilahirkan, kelak, membawa angin segar untuk menyuburkan dan memeliharamu sampai akhir masa. Untukmu ibu, dari anakmu di rantau jauh!!

0 comments: