Relevansi Hadis Dalam Kontek Kekinian

Abu Syâmah al-Maqdisi, ulama hadis abad ke 12 M yang juga salah seorang murid Izz al-Din bin Abd al-Salam, menuliskan hal menarik dalam kitabnya Syarh al-Hadîs al-Muqtafâ, “menghapal sanad, mengetahui identitas perawi secara mendalam, pembedaan terhadap riwayat shahih dan tidak shahih, semua ini merupakan penekanan pembelajaran hadis oleh para sarjana hadis abad pertama: sebab tidak ada buku di tangan mereka, dan permasalahan tidak teridentifikasi dengan baik. Cukuplah pecinta ilmu menyudahi kelelahan ini, sebab buku dan karya-karya dalam bidang hadis sudah cukup lengkap dikarang.


Walaupun kemudian pernyataan ini dibantah oleh salah seorang ulama hadis kenamaan juga, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, tapi setidaknya menyiratkan satu tesis menarik: kajian hadis pada abad ke 12 M ternyata tidak bisa menciptakan inovasi yang berarti. Kodifikasi hadis baru digalakkan satu abad sepeninggal Nabi melalui beberapa fase: pertama, hadis dalam hapalan; kedua, kodifikasi hadis yang masih tercampur dengan fatwa shahabat; ketiga, kodifikasi hadis melalui pemilahan keduanya; keempat, penyeleksian hadis. Kita tahu, bahwa standarisasi hadis telah mapan pada abad ke 8 M dengan munculnya al-kutub al-sittah. Hadis yang dihimpun dalam naskah klasik ortodoks telah mengalami penyeleksian yang cukup ketat dari mata rantainya, sampai muncul asumsi, shahih Bukhari atau Muslim—meminjam istilah Mohammad Arkoun—sebagai “korpus tertutup”. Paska kodifikasi yang mapan ini, setidaknya sampai pada abad ke 12, perkembangan kajian hadis masih dinamis, sebab ia banyak mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru yang bernaung di bawah kajian hadis. Namun demikian, untuk mengetahui konteks pernyataan Abu Syamah di atas, kita perlu melihat sejenak penjelasan ini. Hadis tercakup dari dua unsur determinan: sanad dan matan. Oleh sebab itu, kajian hadis hanya berkisar pada dua hal tersebut. Secara umum inklinasi pengkaji hadis terpetakan pada empat kecenderungan; pertama, terwakili oleh para sarjana yang intens dalam “fikih dan hadis”. Sarjana dengan kecenderungan ini mampu menerawang esensi matan hadis, dan pembedaan hadis yang shahih dan tidak shahih secara jeli. Derajat ini dimiliki oleh, semisal, para imam empat madzhab, imam Ahli Bait, Bukhari, Thabari, Ibnu Khuzaimah, Dawud al-Dzahiri, dll; kedua, para sarjana yang mencukupkan pada penelitian matan semata: penjelasan terhadap struktur maupun lafaz asing (gharîb al-alfâdz) dan mengenyampingkan mata rantai; ketiga, sarjana yang fokus terhadap penelusuran sebab-sebab cacat maupun kuatnya sebuah hadis—berjibaku dalam sanad hadis; keempat, sarjana menghimpun kitab-kitab hadis, riwayat, mencari riwayat tertinggi, dan seterusnya. Dalam dinamika ilmu hadis, baik sanad maupun matan mampu mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru, seperti, ilmu rijâl dan al-jarh wa al-ta’dîl—yang berkait dengan sanad, maupun ilmu mukhtalaf al-hadîs, ilmu ilal al-hadîs, gharîb al-hadîs, dan al-nasîkh wa al-mansûkh—yang berkait dengan matan.


Kritik Abu Syamah al-Maqdisi adalah pada inklinasi ketiga. Bagaimana tidak, jika kemudian kriteria hadis sudah secara lengkap tertulis dalam buku-buku yang telah terkodifikasi, dengan masing-masing kecenderungan madzhabnya, maka aplikasi sebab-sebab cacat maupun kuatnya hadis tidak lagi berfungsi dalam ruang praksis. Maka muncul pertanyaan menarik, jika yang demikian merupakan realita ilmu hadis di abad ke 12 M, lalu bagaimana dengan abad ke 20 dan 21?


Sebetulnya geliat hadis di abad 20 cukup berkembang dibanding dua abad sebelumnya: abad 18 dan 19. Untuk mengetahui geliat hadis abad ke 20, setidaknya perlu sedikit dijabarkan pemicu perkembangan hadis di masa itu yang tidak bisa lepas dari tiga faktor determinan: pertama, munculnya geliat hadis dari pelbagai sekolah hadis (madrasat al-hadis) yang berkembang di beberapa negara. Karakteristik dari para sekolah hadis yang muncul di pelbagai negara adalah untuk menopang kecenderungan teologis maupun fikih. Di India, ada dua tokoh penting pionir penggerak dinamisasi ilmu hadis: Sayyid Shiddiq Hasan Khan al-Qannuji dan Sayyid Nadzir Husein al-Muhaddis al-Dahlawi. Menurut Rasyid Ridha, India mempunyai peran yang sangat besar dalam menghidupkan geliat hadis di awal abad 20. Tanpa mereka, niscaya ilmu hadis akan terkikis di kawasan Timur. Sedangkan di sisi lain, penguasaan sarjana di Mesir terhadap ketrampilan hadis masih sangat lemah. India, pada akhirnya melahirkan banyak sarjana hadis kaliber: kita mengenal Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq bin Amir Adzim Abadi, pengarang Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud yang terkenal itu. Kemudian Wahîd al-Zaman al-Laknawi, Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, pengarang Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, di mana beberapa bukunya yang lain telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tetapi, seperti dituturkan Sa’id Mamduh, studi hadis di tangan ulama-ulama India ini tidak mencapai titik progres yang diharapkan: sebagian besar dari mereka hanya berjibaku dalam matan, baik dari sisi nahwu, balaghah, sharaf serta makna umum (al-ma’nâ al-ijmâlî) atau hanya merangkum pelbagai kandungan kitab hadis.


Sedangkan di Mesir, dalam hal ini al-Azhar, dinamika hadis mengalami stagnasi yang signifikan paska generasi Ibnu Hajar al-Asqalani dan murid-muridnya. Studi hadis tidak se dinamis fikih maupun ushul fikih. Pemahaman terhadap hadis hanya sebagaimana yang didoktrinkan oleh para guru mereka, dan metode penafsiran yang tidak melampui penafsiran pendahulu. Kentrampilan hadis tidak berkembang di Mesir, sebagaimana perkembangan yang cukup baik di India. Fenomena demikian membuat beberapa sarjana Mesir menghendaki perubahan. Tapi pembahasan ini bukan menjadi konsen kita sekarang.


Walhasil, dalam lingkup Timur Tengah, tipologi studi hadis tak lepas dari dua arus besar: pertama, arus wahabisme, yang terepresentasikan oleh Mohammad Rashid Ridla, Nashir al-Din al-Albani, Muhammad Abd al-Raziq Hamzah, Abd al-Rahman al-Muallimi al-Yamani, dll; kedua, inklinasi non-Wahabi, yang direpresentasikan oleh Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattani, Abdullah bin Shiddiq al-Ghummari, Ahmad bin Shiddiq al-Ghummari, Zahid al-Kawtsari, Falah Abu Ghadat, dll. Dua kecenderungan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap dinamika studi hadis di pertengahan abad ke 20 dan awal abad ke 21.


Faktor kedua yang memicu perkembangan studi hadis adalah berkembangnya percetakan secara massif di awal abad ke 20. Kitab-kitab babon hadis yang pada awalnya tidak bisa diakses, dengan munculnya percetakan ini, mempermudah peminat kajian hadis untuk mempelajarinya. Menurut Mahmud al-Tannahi, ada dua negara yang berperan besar dalam mencetak kitab-kitab langka hadis: Mesir dan India. Di Mesir, pada saat itu, terdapat percetakan tua Amiriyah Bulaq. Percetakan Amiriyah merupakan percetakan pertama sekaligus tertua di Mesir; didirikan oleh Mohammad Ali pada tahun 1820 guna merubah kebodohan masyarakat Mesir. Percetakan Bulaq masih diapresiasi dengan baik, sebab ketelitian dalam verifikasi teks masih menjadi prioritas. Sekarang, Bulaq merupakan satu-satunya percetakan di Mesir yang masih menyediakan kitab Fath al-Bâri karangan Ibnu Hajar tanpa editing Abd al-Aziz bin Baz, ulama hadis kenamaan Wahabi. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’, penjelasan-penjelasan kitab hadis (syurûh), dan lain sebagainya.


Sedangkan di India, bisa dijumpai percetakan tua Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyyah yang berdiri pada tahun 1891 M. Maktabah ini menyimpan ribuan manuskrip langka kitab-kitab hadis yang diambil dari Eropa, Rusia, Iran, Turki dan Mesir sendiri. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Abi Dawud al-Thayyalisi, Sunan Kubra karangan Bayhaqi, Mustadrak alâ Shahihayn, al-Isti’âb fi Marifat al-Ashâb, Tahdzîb al-Tahdzîb, Târîkh al-Kabîr karangan Bukhari, Tadzkirat al-Huffâdz, dan lain sebagainya.


Faktor ketiga adalah munculnya fakultas-fakultas di Universitas Timur Tengah yang secara spesifik mempelajari hadis. Al-Azhar merupakan peletak pertama penjurusan semacam ini, dan seterusnya diikuti oleh universitas-universitas lain di dunia. Adanya keharusan membuat tesis maupun disertasi dalam bidang hadis merupakan salah satu faktor penting bagi dinamika ilmu hadis selanjutnya.


Tiga faktor pelecut munculnya kembali dinamika ilmu hadis menghasilkan pelbagai capaian sarjana hadis abad ke 20. Mahmud Sa’id Mamduh dalam bukunya al-Ittijâhat al-Hadîtsîyyah mengidentifikasi capaian hadis mereka dalam empat point besar: pertama, munculnya buku karangan ilmu musthalah hadîs: ilmu yang memuat kaidah penentuan sebuah hadis dikatakan shahih atau dla’if. Misal, Dzufr al-Amânî bi Syarh Mukhtashar al-Sayyid al-Jurjâni karangan Abd al-Hayy al-Laknawi. Kitab ini dicetak tahun 1886; Qawaid al-Tahdîst min Funûn Musthalah al-Hadîs karangan Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi; Tawjîh al-Nadzar ilâ Ushûl al-Atsar karangan Thahir al-Jazâirî; Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Mandzûmat al-Atsar karangan Syekh Mahfud Tremas, Indonesia; kedua, penyuntingan kitab hadis (tahqîq). Yang dimaksud tahqîq di sini adalah penelitian terhadap teks-teks kitab hadis, baik melalui penyuntingan sederhana, atau penyuntingan dengan memasukkan banyak informasi hingga identik dengan catatan pinggir (hâsyiyâh). Pada awal abad ke 20, perhatian terhadap teks kitab hadis terbatas hanya pada koreksi terhadap teks hendak diterbitkan (tashîh al-nushûsh), baru di pertengahan abad kemudian berkembang menjadi tahqîq kitab yang terkadang diterbitkan independen dari kitab: sebagaimana metode Zahid al-Kawtsari dan Ahmad Muhammad Syakir dalam menyunting teks kitab hadis; ketiga, sistematisasi kembali tata letak hadis. Sistematisasi adakalanya diselaraskan dengan urutan huruf dalam kamus, dan terkadang tematik (al-tartîb alâ al-abwâb). Sebagai misal, syekh Mansur Ali Nashif dalam kitabnya al-Tâj al-Jâmi’ li al-Ushûl. Ia mengumpulkan hadis Bukhari, Muslim, Abi Dawud, Turmudzi dan Nasai dalam satu kitab, dengan hanya menyertakan periwayat pertama saja, dan mengelempokkan hadis-hadis dalam satu bab besar: bab al-wudlu’, shawm, al-haj, dan seterusnya; keempat, membuat daftar letak hadis (fahârits) untuk memudahkan pencarian, di antaranya fihrits karangan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dan Fahârist al-Ghummariyiin.


Jika demikian, capaian hadis di abad ke 20 berkisar pada penulisan kembali karangan-karangan ulama hadis klasik dari sisi musthalah, selanjutnya merupakan upaya penjelasan lafaz melalui penyuntingan dan koreksi teks (tahqîq al-makhtûtath), sistematisasi kembali tata letak hadis, terakhir, membuat daftar isi hadis. Apa yang sudah dicapai di abad ke 20 tak berbeda dengan capaian abad setelahnya. Semisal tokoh seperti syekh Ahmad Ma’bad, Nuruddin ‘Ithr, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Hassan bin Ali al-Saqqaf, dan tokoh muda al-Azhar syekh Usamah Sayyid al-Azhari, atau dalam konteks Indonesia, Ali Musthafa Ya’qub, tanpa mengenyampingkan kepakaran mereka dalam ilmu hadis—baik riwâyah maupun dirâyah, belum menghasilkan inovasi baru dalam ilmu hadis. Karangan mereka tak pernah lepas dari “masa lalu”, dan sama sekali tak berelasi dengan realitas kecuali dalam beberapa sisi guna merespon isu keagamaan. Yang terjadi selanjutnya adalah dominasi inklinasi kajian hadis pada pengukuhan doktrin teologis, seperti perdebatan antara pakar hadis Wahabi dan Sunni.


Jika demikian, ilmu hadis seolah terlihat tak bergerak: tanpa inovasi apapun. Ilmu hadis—yang dalam sejarah perkembangannya mampu menghasilkan “ilmu independen”—dianggap telah final: “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim dengan instan tanpa perlu mengkritik atau mengembangkan lebih lanjut. Ilmu hadis dengan pernak-pernik yang melingkupinya adalah “korpus tertutup”. Hal ini berbeda dengan studi Islam yang lain, sebut saja studi al-Qur’an. Dialektika dalam studi al-Qur’an begitu terasa: pelbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan. Sebut saja dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang melakukan gebrakan dengan Mafhûm al-Nash, Muhammad Syahrur dengan al-Kitâb wa al-Qur’an, Al-Jabiri dengan Madkhal ilâ al-Qur’an, Musthafa Bauhindi dengan al-Tatsîr al-Mâsîhi, dan lain sebagainya. Pendekatan baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, historis, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Dengan demikian, diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah shâlih li kulli zamân wa makân.


Di sisi lain perkembangan teknologi telah menciptakan perpustakaan digital yang banyak dikonsumsi pelajar: Maktabah Syamilah, misalnya. Pengkaji hadis bisa tahu dengan mudah letak hadis maupun kedudukan hadis, hanya dengan menuliskan beberapa bagian lafaz dari sebuah hadis. Oleh sebab itu, daftar letak hadis (fihrist), sistematisasi (tartîb)—yang merupakan capaian para sarjana hadis abad ke 20, menjadi tidak begitu berguna sekarang. Yang tersisa hanya kemungkinan penyuntingan buku hadis yang belum dicetak, atau anggitan terhadap kaidah hadis (mushthalah). Sedangkan, penulisan mushthalah tanpa inovasi apapun, jika masih berlanjut merupakan kerja yang tidak produktif. Lantas bagaimana nasib kajian hadis ke depan? Apakah benar-benar harus selalu perpanjangan “masa lalu” tanpa berelasi dengan “masa kini”—sebagaimana Hasan Hanafi yang berani membawa ilmu kalam, ushul fikih, tasawuf, ilmu al-Qur’an, dan filsafat dari orientasi teosentris pada antroposentris? Akankah terbatas pada proyek tahqîq? Atau malah hendak melakukan penelitian kedudukan hadis yang sejatinya telah dibahas tuntas oleh ulama—tahsîl al-hâsil, guna mengukuhkan ideologi pengkaji hadis?

0 comments:

Cara Mengatasi Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusi Cerdas

Melihat realitas pendidikan di Indonesia saat ini, kiranya perlu mencari solusi atas masalah pendidikan yang semakin hari mengkerdilkan daya kreatifitas dan imajinasi anak bangsa. Pendidikan yang selama ini berjalan, dirasa sudah jauh dari cita - cita pendidikan yang selama ini kita impikan.

Pendidikan menjadi salah satu instrumen terpenting dalam membangun peradaban Bangsa. Melaluinya, kemajuan bangsa bisa terealisasikan; mandiri, progesif, demokratis dan bertanggungjawab pada negara. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional Republik Indonesia yang tertuang dalam UUD (Undang-Undang Dasar) no 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Dasar nomor 20 tahun 2003, mengembangkan pribadi yang mandiri, arif, bijaksana dan bertanggungjawab sebagai warga negara.

Pembentukan UDD di atas itu tak lepas dari ide besar Ki Hadjar Dewantoro dalam merumuskan falsafah pendidikan Bangsa Indonesia saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan pertama kali. Beliau berharap, rakyat Indonesia bisa menjadi manusia seutuhnya, merdeka sejak dalam dirinya.  Menurut beliau ada tiga hal manusia dikatakan merdeka: pertama, berdiri sendiri. Kedua, tidak tergantung pada orang lain. Ketiga, dapat mengatur diri sendiri.

Tiga dimensi manusia merdeka tersebut, sering dituturkan oleh beliau saat memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada masyarakat, saat bertutur maupun laku. Tujuannya adalah mampu membenuk watak dan jiwa manusia semangat, progesif dan merdeka, sehingga mampu untuk memberi contoh yang baik kepada generasi selanjutnya; membantu memberi semangat dan memberikan dorongan untuk selalu bergerak maju. Sehingga dinamika pembangunan bangsa dan masyarakatnya terkondisikan dengan baik sejak dalam pikirannya; selalu memberikan dukungan positif atas kreatifitas yang dibangun. Bukan menghancurkan kreatifitasnya.

Penekanan menjadi manusia merdeka seutuhnya ini, mengilhami lahirnya semboyan “ing ngarso sang tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.  Dari semboyan tersebut juga, membuat beliau terkenal sebagai bapak pendidikan nasional. Seseorang yang memperjuangkan nasib bangsa melalui pendidikan yang terstruktur, terorganisir, filosofis, mandiri, kreatif agar menjadi warga cerdas dan progesif untuk perkembangan bangsanya.
Dari makna filsofis dan berkarater tersebut, saat ini pendidikan telah memudar maknanya. Sehingga terjadi pergeseran makna pendidikan dan tujuannya. Pemahaman manusia mengenai pendidikan tidak lagi untuk menjadi makhluk sosial yang integral sebagai masyarakat dan bangsa tapi menjadi manusia individualis.

Pergeseran paradigma mengenai pendidikan inilah, meresahkan istilah pendidikan itu sendiri, apalagi digunakan untuk memperingati harinya. Masih pantaskan untuk dirayakan, sedangkan manusianya tidak lagi mengerti makna pendidikan itu sendiri.  Perihal inilah, pernah menjadi sorotan  dalam Koran Kompas, Sabtu, Mei, 2009.[1]

Untuk mendedah lebih lanjut mengenai konsep pendidikan di atas, sebagai alat rekayasa sosial dalam mencipta masyarakat integral saat membangun kemajuan bangsa, relasi kehadiran pendidikan dengan makna bangsa, negara, di sini penting untuk dihadirkan kembali. Supaya kita tidak lagi lupa makna yang dipendam oleh istilah pendidikan itu sendiri. Sehingga wujudnya pendidikan secara lembaga di ruang realitas mampu dicecap maknanya di ruang idealitas. Dan  wujud pendidikan di ruang realitas saat ini, bisa dipahami dalam laku sehari-hari manusia.

Dengan terwujudnya relasi antara idealitas dan realitas dalam praktek laku kehidupan, membangkitkah gairah onto-kritik terhadap usaha-usaha pemerintah dalam memperjuangkan sekolah wajib dua belas tahun dari zaman orde baru sampai era reformasi. Dan jembatan untuk memahamankan masyarakat  mengenai pendidikan, terbangun kesadarannya dengan baik, bahwa pendidikan bukan hanya formalitas dan latah. Tapi sebuah kesadaran untuk bergerak melaksanakan pendidikan dari jiwanya.

Makna Pendidikan Diantara Ketegangan Realitas

Pendidikan berasal dari suku kata didik mendapat imbuhan ‘pe dan an’ yang menekankan pada –peristiwa itu sendiri atau perbuatan yang dialami oleh kata pendidikan—. Sedangkan makna didik itu sendiri mempunyai makna –memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran—. Jika kata didik telah diobjektifikasi menjadi kata pendidikan, dalam kamus KBBI mempunyai arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Arti dan makna yang telah ditetapkan oleh kamus Bahasa Indonesia tersebut, memangku tanggungjawab primodial untuk diejawantahkan dalam dunia realitas material ini. Kata tersebut tidak bisa menghindar tanggungjawabnya ketika disandarkan dengan kata lain apalagi dilekatkan pada instutisi negara Republik, seperti Indonesia. Tanggungjawabnya melampui artikata tersebut, yakni membentuk manusia merdeka sejak pemikirannya.

Maka tak heran, kata tersebut menjadi pusat perhatian sejak awal berdirinya negara Indonesia; pondasi pertama dalam membangun bangsa adalah pendidikan. Sebelum dideklarasikan kemerdekaan, ide tersebut pernah didialog-kan oleh Muhammad Hatta bersama Soekarno, bahwa pertama yang harus dimerdekakan dari penjajahan adalah pemikiran masyarakatnya, yakni dengan memberikan pendidikan kepada mereka, bukan kemedekaan kontitusional.  Karena gagasan itu membutuhkan waktu lama, menurut Soekarna yang terpenting saat ini (tempo dulu) merdeka terlebih dahulu secara de facto dan de jure, baru pembangunan masyarakatnya dengan pendidikan.

Peristiwa dialog dari dua tokoh tersebut, menunjukan pendidikan adalah bekal awal menjadi manusia merdeka. Pendapat ini dikuatkan oleh Paulo Fariere dalam bukunya ‘education as the practice of fredoom’, bahwa pendidikan adalah modal penting menjadi manusia yang bebas dari segala ke-naifan, kebodohan, ketundukan dari segala hal. Dan bisa menjadi manusia yang mandiri untuk dirinya sendiri, mengatasi permasalahan dirinya, mengerti cara berprilaku baik dengan orang lain.

Peristiwa di atas dan konsep dasar Paulo Fariere mengingatkan dengan cerita Nabi Adam saat diciptakan di dunia oleh Allah SWT, terjadi proses transfer ilmu dari Yang Maha Kuasa kepada nabi Adam. Di mana semua makhluk hidup yang tercipta lebih dahulu, tidak mampu berkata apa-apa saat terjadi dialog antara Nabi Adam dengan lainnya. Sebagaimana Malaikat dan Iblis, keduanya mengakui kalau pengetahuan Nabi Adam lebih tinggi daripada mereka.
Cerita nabi Adam dengan para malaikat dan Iblis, di sini sebagai manisfestasi teologis betapa pentingnya pendidikan transfer ilmu untuk mendidik manusia berpengetahuan arif dan bijaksana. Sisi lain, sebagai sebuah objektifikasi fenomena pendidikan di beberapa negara maju. Bahwa transfer ilmu dalam kehidupan manusia adalah langkah awal membangun negara. Dengan melaksanakan pendidikan, ada transfer ilmu, ada pembentukan nalar berpikir menjadi lebih baik. Mengingat bahwa dengan nalar kritis, dengan ilmu juga, ragamnya keinginan manusia bisa terkendali karena tahu batas.  Dengan pengetahuan, batas-batas keinginan terjembatani  secara natural. Tanpa saling memerkosa hak-hak lain. Sehingga makna proses transfer ilmu untuk mendidik manusia  berbudi dan berpengetahuan diakui idealitasnya; makna untuk merdeka. Hingga cita-cita awal Ki Hadjar Dewantoro untuk pendidikan nasional terpenuhi haknya di dunia modern saat ini.

Dari deksripsi di atas, makna dasarnya untuk mengajari manusia berbudi dan berpikir kreatif, seharusnya mampu ditemukan pengaruhnya dalam kehidupan manusia Indonesia saat ini. Anak-anak SMP, SMA, tidak lagi ada tawuran. Tidak ada lagi pelecehan seksual;[2] tidak lagi ada pengaturan nilai-nilai Ujian Nasional. Akan tetapi, femonena diluar prinsip pendidikan tetap saja terjadi, fenomena tawuran antar siswa, pelecehan seksual kepada siswi dan siswa kerap berlansung. Sampai-sampai pembunuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA sering dijumpai dalam berita-beria di televisi atau pun koran. Ini menunjuk-kan bahwa makna pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantoro, tidak mampu dipahami lebih baik di zaman modern saat ini. Dan sudah saatnya, pendidikan modern saat ini dikritisi lebih lanjut konsepnya dan dampaknya, untuk membangun bangsa!

Antara Sikap dan Hak

Jika makna pendidikan mempunyai titik tekan pada proses pengubahan manusia dari tidak berbudi menjadi manusia berbudi, dari tidak kritis menjadi kritis, dari berpikir tidak kreatif menjadi berpikir kreatif, perlu ada usaha membangkitkan kembali semangat zaman manusia saat ini. Alasannya adalah makna tersebut tidak akan tersentuh sama sekali, tanpa ada usaha-usaha bersama dari para pelaksana pendididikan dan pelaku pendidikan. Yang ada hanyalah formalitas belaka.

Salah satu jalan untuk membangkitkan semangat zaman adalah mengurangi budaya hafalan dan menyusaikan materi-materi yang diajarkan di Sekolah Dasar. Karena budaya hafalan menghilangkan pengalaman bernalar manusia sejak dini dan menghilangkan rasa untuk mengenali cara pandang orang lain. Sehingga yang terjadi adalah keroposnya rasa untuk berempati pada orang lain dan jiwa untuk bernalar di saat telah lulus dari sekolah negara. Oleh karena itu, tak heran ada beberapa pandangan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia, karena di nilai kurang sesuai dengan perkembangan psikologi murid-murid.[3]

Tapi hal ini, akan berbeda jika diperbandingkan dengan sistem pendidikan di Francis dan Jerman, tahapan berpikir diperhatikan dengan baik serta penyesuaian materi terhadap psikologis murid menjadi hal penting saat terjadi belajar-mengajar. Karena tujuannya satu, untuk membangun manusia sejak dini berpikir kritis dan kreatif. Karena dengan berpikir kritis dan kreatif akan timbul pengetahuan mengenai hal yang buruk dan baik.

Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan sistem pendidikan dan sistem pengajaran di sekolah sebuah negara. Jelas membawa dampak perbedaan jelas; yaitu masyarakat di negara maju mampu menjadi sumber daya pembangunan bangsanya. Dan rasa nasionalisme mereka sangat tinggi dan kuat. Ini karena cara mereka memahami negara dan bangsa telah ada sejak bernalar. Sejak mereka dikenalkan tentang sejarah mengenai bangsa dan budaya.
Sedangkan dalam negara berkembang dan terbelangkang sering ditemukan masyarakatnya menjadi beban negara, karena cara berpikirnya tidak ditata terlebih dahulu sejak di pe-lajaran dasarnya. Mereka, masyarakat, berpangku tangan menunggu negara bergerak. Tidak bergerak dari dirinya sendiri. Kurang adanya kreatifitas dalam dirinya ketika dihadapkan pada realitas semu.

Di sini, pembetukan kurikulum di negara berkembang seperti Indonesia, patut di evaluasi kembali. Karena pendidikan ada beberapa tahap dalam pengajaran di lembaganya kurang sesuai dengan perkembangan manusia. Hingga tidak terjadi hafalisasi atas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar sampai sekolah SMA. Hingga anak-anak merasa bahwa dengan mengikuti pendidikan, mendapat perhargaan secara afektif, kognitif dan psikomotorik. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mendapat ijazah dan pekerjaan, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya.

Yang paling penting juga adalah proses mimesis oleh guru kepada anak dan lingkungan sekitar. Peniruan karakter menjadi bom atom untuk di waspadai, agar anak tidak lepas tandas diluar batas kemampuan manusia. Maka wajib bagi pendidik untuk menjaga pola intraksi yang baik agar ada asimilasi kreatifitas untuk saling melengkapi. Baik itu keluarga, atau pun pengajaran di institusi pendidikan formal.  Sehingga pendidikan  lebur dalam satu entitas merdeka, pendidikan jasmani dan rohani.

Hubungan timbal balik, peniruan, kreatifitas, menandakan keberhasilan membangun nalar dengan baik dan kesadaran awam sebagai manusia.  Sehingga tanpa ada aturan apapun yang memerintahkan dirinya, akan berkorban untuk membela kesatuan negara. Rasa nasionalisme dalam jiwa mereka lebur bersama-sama dalam pembangunan. Sebagaimana sejarah sumpah pemuda dan  reformasi di Indonesia yang di wakili oleh kalangan-kalangan terdidik. Tapi jika saat ini kalangan pendidik tidak lagi menjadi penunjang kemajuan bangsa, pergeseran pemahaman pendidikan telah mengganti penuh fungsi menjadi manusia seutuhnya; menjaga dan mengontrol keharmonisan sosial.

Maka dari sana, penghianatan tidak lagi pada makna pendidikan bangsa, tapi juga dasar falsafah bangsa-pancasila- tercerabut nilai oleh manusia modern.  Sehingga kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi kemanusiaan individualis dan pragmatis serta apatis. Oleh karena itu, agar falsafah pancasila sebagai dasar negara terealisasikan –membentuk masyarakat adil dan beradab. Mari bangun pendidikan bangsa berkarakter nasional dan lokal tapi menjangkau internasional dari diri kita masing-masing.

Kesimpulan

Untuk menjadi manusia merdeka perlu ada wadah yang akan mengelola keraguan tiap saat dalam jiwa manusia. Karena rasa ragu mempengaruhi manusia untuk bertindak tegas dan sulit menentukan sikap. Dengan berhasil mengelola rasa ragu,  keyakinan untuk memutuskan kebenaran mutlak dipertahankan. Tanpa mengenal lagi rasa takut dan di sia-siakan oleh realitas. Dan untuk mencapai semua itu tentunya dengan pendidikan mandiri sejak dalam dirinya, tidak sebuah formalitas dan rutinitas.

Dari sini, persatuan bangsa dan keadilan sosial yang beradab bisa terbangun dalam kenyataan sebenarnya. Mahasiswa tidak lagi menjadi ekor politik yang mengenduskan banyak kepentingan. Bapak guru tidak lagi mengajar sebelum mendapat gaji, tapi senantiasa berkorban untuk ilmu; pahlawan tanpa jasa. Anak-anak SD mampu mengenal etika untuk mengucapkan salam dan mengerjakan tugas dari sekolah. Serta membantu kerja bapak dan ibu ketika di rumah.

Sehingga cita-cita pendidikan menjadi manusia berbudi dan kreatif tertanam untuk memerdekakan dirinya dari jerat kolinialisme, pragmatisme orang lain dan negara lain. Keberadaannya disadari sejak awal untuk memajukan tatanan sosial dan memajukan kebudayaan serta peradaban bangsa. Bangsa tidak lagi sebuah pencitraan untuk mencari status tertinggi dan terpintar, tapi bangsa sebagai wadah untuk bekerja sama dalam segala apapun.  Dan penghargaan di setiap event lomba dari lembaga pendidikan tidak lagi hanya untuk murid berprestasi, tapi juga untuk mereka yang mampu giat belajar di sekolah meskipun tidak berprestasi tenar, sebagai cara untuk menghargai kemanusiaan dan menjadikannya manusia seutuhnya.

Dan tulisan ini untuk menyambut hari pendidikan nasional. Semoga pendidikan nasional kedepan mampu menjadi wadah untuk menggodok manusia yang benar-benar merdeka. Tidak lagi ada penjajahan berpikir dan  kreatifitas. Manusia mampu merasakan nafas alam untuk menjadi dirinya. Murni sebagai manusia tanpa dibebani kepentingan untuk menguasai satu sama lainnya. Karena kemerdekaan sesungguhnya adalah lepas dari beban untuk menjadi apapun, hanya belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi. Semua itu karena adanya pendidikan.

0 comments: