• Post with SoundCloud

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Consectetur adipisicing elit

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Post With Featured Image

    iam 1989 wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing...

  • Elementum mauris aliquam ut

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Cerpen Kehidupan Gadis - Gadis Mall

1 comments

Cerpen kehidupan kali ini akan bercerita tentang liku-liku kehidupan gadis mall.cerpen yang memberikan anda gambaran tentang pergaulan gadis-gadis masa kini. Gaya hidup gadis mall mungkin sangat bervariatif. Langsung saja simak cerpen berikut

 Gadis - Gadis Mall


Aku semakin yakin bahwasannya dosa terbesar anak manusia adalah diam.  Menutup mulut atas apa yang jelas-jelas tampak, mereka menganggap apa yang dilihatnya sebatas wawasan, bukan tanggungjawab. Jangankan bertindak, mengangkat suara pun tidak. Mereka hanya menggelengkan kepala, entah tidak percaya atau sekedar prihatin sejenak, selepas itu kembali diam. Membatukan segala, menghancurkan segala, mendurhakakan segala. Dosa dari segala dosa. Diam.

Perkenalkan, namaku Cinta. Tidak perlu kalian tanyakan kenapa orangtuaku menamaiku demikian. Barangkali sebagian dari kalian merasa geli bila namaku disebutkan, atau mungkin timbul kesan menggairahkan, seksi, sintal, dan sensual. Bagiku tidak begitu penting. Maaf, betul, bagiku kesan kalian tidak begitu penting. Seperti apapun kesan yang muncul dalam benak kalian, yang jelas keistimewaanku melebihi apa yang mampu kalian bayangkan. Bahkan, tidak jarang aku berpikir kenapa Tuhan menganugerahkan kecantikan sempurna ini kepadaku bila Ia mencatatku ke dalam golongan orang-orang yang diam. Ah, semoga saja tidak! Setidaknya dengan bercerita seperti ini, aku mulai mengusir diam jauh-jauh dari kehidupan, dan berani berbuat sekecil apapun tindakan.

Terlepas dari kecantikan dan kesintalan fisik yang kumiliki, terus terang, kadang-kadang aku juga merasa geli dengan namaku sendiri: Cinta.

Mumpung belum terlalu jauh aku bercerita, kalian bisa berhenti di sini dan mulai menyelesaikan urusan lain yang lebih penting. Aku tidak keberatan. Sama sekali tidak keberatan. Namun bila memang membaca cerita ini adalah pilihan, baik kebutuhan atau sekedar keingin-tahuan, aku ingin mengajukan sedikit permintaan: Aku mohon dengan sangat selama membaca ini, sebisa mungkin bayangkanlah betapa cantiknya diriku, bertubuh semampai, berdada montok, berpantat semok, berkulit putih, bibir tipis, gigi rapi dan bersih, hidung mancung, pipi lesung, alis tajam, rambut halus dan berombak, berpostur cukup tinggi. Semua kesempurnaan yang dimiliki ratu-ratu yang kalian baca dari dongeng-dongeng, ada padaku. Sebisa mungkin bayangkankanlah! Atau bila kesusahan, tentu otak kalian menyimpan paras paling cantik dari seorang gadis, anggap saja dia Cinta, diriku, orang yang sedang bercerita pada kalian saat ini. Namun perlu aku ulangi, sehebat apapun fantasi kalian, kecantikanku yang sesungguhnya melampaui apa yang mampu kalian bayangkan. Silahkan tidak percaya! Toh, secantik apapun diriku tidak akan berlangsung lama, seperti halnya segala ciptaan.

Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku mengajukan permintaan tersebut, tidak perlu aku paparkan lebih jauh, tapi bila kalian meluangkan waktu dan merasa nyaman mengikuti cerita ini, di akhir cerita kalian akan menemukan jawabannya. Aku yakin akan hal itu. Baiklah, kemudian, seperti yang telah kukemukakan di awal tadi, aku memiliki keyakinan bahwasannya dosa terbesar anak manusia adalah diam. Kalian mungkin terkejut dan tidak percaya, itu hak kalian, namun dari keyakinan tersebut aku ingin memulai cerita ini. Sekali lagi silahkan berlalu, sebelum menyesal sudah membuang waktu dengan cerita murahan seperti ini.

“Cin, entar sore anterin guwe ke Mobile Shop, ya! Guwe penasaran dengan BB model terbaru, katanya sih Touch Screen. Kalau harga dan modelnya cocok, aku sudah bosan dengan BB yang ini.”

Yang barusan kalian dengar adalah suara Kasih, penghuni kamar sebelah. Tidak terhitung berapa kali ia ganti ponsel dalam setahun, demikian juga dengan komputer-lipatnya. Separuh hidupnya berada di dunia maya, ia betah berjam-jam menundukkan kepala sembari memainkan dua jempolnya pada tombol-tombol ponsel, dalam keadaan demikian, bisa dipastikan telinganya tertutup rapat mendengarkan lagu-lagu R&B terbaru. Kamar Kasih penuh dengan benda-benda mewah. Sejak kecil ia selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Bukan sekedar dimanja, tapi benar-benar dimanja. Ketika ia minta kamera saku, ayahnya membelikannya DSLR. Ingin ini diberi segini, ingin itu mendapat segitu. Dan seterusnya…

“Kita lihat saja nanti,” jawabku, “soalnya kalau jadi si Lovi mau ngajak guwe lihat pameran busana musim panas di mall.”

Lovi juga teman setempat-tinggal, hobinya pasaran, tidak ada unsur unik sama sekali. Ia suka dandan, koleksi pakaian mewah, parfumnya berderet, lipstik warna-warni, jumlah tas dan sepatunya tidak terhitung. Ia paling betah berlama-lama di depan cermin, bahkan kalau perlu, membaca pun harus di depan cermin, supaya sesekali  bisa memuji kecantikannya sendiri dengan menggerak-gerakkan kedua bibirnya.

“Cin, entar malam tidak usah masak! Restoran Itali buka cabang baru di daerah Downtown, katanya sih menunya lebih banyak dari yang biasa kita kunjungi.  Sepulang dari Mobile Shop atau pameran busana kita bisa rame-rame kesana! Guwe yang traktir, deh!”

Nah, yang baru saja bersuara namanya Missy. Ia memiliki postur tubuh paling besar di antara kita, tentu kebutuhan konsumsinya lebih banyak. Wisata kuliner adalah hobi yang paling digemari. Ia mampu menyebutkan sembilan jenis makanan dari negara berbeda dalam waktu sembilan detik. Berat badan tidak begitu penting baginya, kepuasan lidah dan perut adalah segala-galanya. Ia merasa hidupnya seimbang karena seiring kecintaannya terhadap makanan ia juga terbilang piawai memainkan peralatan dapur. Betul, kami bertiga mengakui kelezatan masakan-masakannya. Aku sendiri heran, ia hafal lebih dari sepuluh resep masakan terkenal di dunia.

Mudah-mudahan Tuhan memaafkanku lantaran becerita pada kalian tentang pribadi orang lain. Baik itu pribadi buruk maupun sebaliknya. Perlu diketahui, kita berempat terbilang pelajar berprestasi karena kerajinan kita dalam belajar, kita juga muslimah yang taat dengan perintah-perintah agama menurut batas pemahaman kita masing-masing, tidak pernah berniat berbuat jahat pada orang lain, tidak suka mengganggu ketentraman orang lain; ungkapan sederhananya, tidak peduli dengan urusan orang lain. Ah, semoga aku tidak bermuluk-muluk bercerita tentang orang-orang di sekelilingku, ada hal yang jauh lebih penting untuk kusampaikan selain kehidupan pop kami. Atau lebih mudahnya, kalian bisa menyebut kami Gadis-Gadis Mall: Sekumpulan gadis yang tidak memiliki banyak kepentingan dengan kehidupan luar, lebih suka dengan kemewahan dan memanjakan diri sendiri ketimbang mencampuri nasib orang lain, kepentingan kita adalah diri kita sendiri, kita tidak punya tanggung jawab apa-apa kecuali memenuhi kebutuhan masing-masing. Kita adalah gadis-gadis diam.

Menyedihkan sekali, diriku adalah pendosa terhebat di mataku sendiri.

Diam adalah emas, kata mereka. Bukan diam semacam ini yang kumaksudkan, melainkan diam adalah sumber malapetaka. Aku selalu membenarkan ungkapan orang bijak bahwasannya segala bentuk peperangan, penindasan, pemerasan, bencana kelaparan, buta huruf, dan berbagai kecacatan sosial yang terjadi, bukan semata akibat ulah tangan orang-orang tidak baik; namun, lebih, dikarenakan, sikap, diam, orang baik-baik. Lalu, bagaimana aku bisa menganggap diam itu perkara wajar, sementara ia adalah dosa terbesar umat manusia? Sejak dahulu nabi-nabi selalu menekankan, bahwa sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik budi pekertinya dan yang bisa memberi manfaat bagi orang lain; cinta sejati terletak pada uluran tangan seseorang ketika ia memberikan apa yang paling ia cintai kepada orang lain yang jelas-jelas lebih membutuhkan; surga paling indah dijanjikan pada mereka yang menyantuni anak yatim dengan penuh kasih-sayang; Tuhan akan membalas pahala berlipat-lipat pada mereka yang memberi makan orang-orang kelaparan; pada mereka yang membebaskan budak; pada mereka yang menyisihkan harta miliknya untuk kepentingan masyarakat; pada mereka yang berjuang demi negara; pada mereka yang mati membela kebenaran; pada mereka yang bertindak demi kepentingan bersama. Bukan pada mereka yang diam, atau orang baik-baik yang mementingkan diri sendiri.

Maaf, sekali lagi maaf, kalau aku terlalu berapi-api dalam bercerita. Jalan terbaik adalah, barangkali, anggap saja aku ini orang gila yang ngomong sendiri tidak jelas kemana arahnya, atau si bodoh yang tengah menceritakan kebodohannya, atau mungkin lebih tepatnya gadis lugu yang belajar marah dengan cara mengutuk dirinya sendiri. Ah, entah, mungkin luapanku yang berapi-api sejak tadi dikarenakan saat ini aku sedang datang bulan. Kita kaum hawa mudah kesal dalam keadaan begini. Harap maklum! Toh, sejak awal tadi sudah kusarankan segera meninggalkan cerita ini kalau ada kesibukan yang lebih penting.

Oke, sepertinya kalian tidak merencanakan apa-apa saat ini dan memilih mengikuti kelanjutan cerita ini. Terima kasih! Supaya adil, sebagai ganti, aku akan menceritakan sesuatu yang beberapa waktu lalu kudengar dari Kasih, tentang fakta yang pernah menghebohkan dunia media beberapa tahun silam. Atau barangkali kalian sudah lama mendengarnya? Kalau memang demikian, izinkan gadis bodoh ini kembali memutar kenangan yang dulu pernah meracuni ingatan kalian:

Tahun 1993, ketika terjadi bencana kelaparan hebat di Sudan, dunia terhibur oleh sebuah foto yang diambil Kevin Carter, seorang wartawan asal Afrika Selatan. Foto tersebut memperlihatkan seorang gadis kecil kelaparan, sementara tidak jauh di belakangnya, seekor burung pemakan bangkai berparuh tajam tampak berang menunggu kematian gadis tersebut. Diberitakan, gadis malang tersebut tengah berada dalam perjalanannya menuju perkemahan yang membagikan bahan pangan. Ia tampak merangkak, untuk berdiri tegak saja tidak mampu, sementara lokasi perkemahan masih berkisar satu kilometer di depannya. Sungguh mengerikan! Betapa menakutkan!

Setelah bercerita kepadaku sambil memperlihatkan foto tersebut dari sebuah majalah, Kasih tidak memberi komentar apa-apa kecuali: “Lihat Cin, tidak salah guwe menekuni seni fotografi. Foto tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hal yang benar-benar nyata, ia merekam kejadian dengan jujur. Suatu saat guwe yakin bisa memperoleh kesempatan merekam kejadian fenomenal semacam ini.”

Setelah itu Kasih kembali tersenyum asik dengan ponsel dan sederet lagu R&B-nya, sama sekali tidak sadar kalau cerita dan gambar yang ia perlihatkan telah membangun sungai kecil yang mengalir dari sudut kedua mataku. Kemudian, setelah kutelisik, nama Kevin Carter semakin tenar setelah karya tersebut mendapat penghargaan bergengsi. Ia mengaku setelah mengambil foto tersebut berlalu begitu saja, mencari sasaran lain. Namun sejak saat itu, ia tidak mampu berdamai dengan pikirannya sendiri, mungkin karena ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anak itu kemudian. Entah, barangkali lebih tepatnya ia menyesal telah diam. Bagaimana ia bisa berdamai dengan pikirannya sendiri-ketika depresi tidak lagi dapat dihindari, kecemasan-kecemasan, penyesalan, juga keprihatinan? Faktor-faktor kejiwaan inilah yang kemudian dijadikan praduga sementara orang atas keputusannya bunuh diri tiga bulan setelah menerima penghargaan. Kutipan dari catatan harian yang ia tinggalkan: “Saya berharap semoga selanjutnya manusia semakin peka terhadap dunia di sekeliling mereka, tidak mudah terbutakan oleh kepentingan dan kesenangan diri sendiri.”

Kisah di atas adalah satu dari sekian kejadian serupa yang tidak terhitung, terjadi dari waktu ke waktu, hari demi hari, baik siang maupun malam. Di setiap tempat, di segala penjuru, di sekitar sini, di sekeliling kalian, tidak jauh dari kasur empuk yang tengah kurebahi, dekat dengan kursi goyang yang kalian duduki. Dalam berbagai bentuk, dengan bermacam gaya. Kalau kalian tidak percaya, silahkan keluar membawa kamera, dengan segera kalian akan menjadi seorang Kevin Carter yang profesional. Kemudian, keputusan tetap milik kalian, selamanya diam, semakin peka, atau mulai melakukan tindakan? Ah, sudahlah! Sepertinya ceritaku semakin ngelantur, sebenarnya bukan ini yang hendak kusampaikan, aku hanya ingin menceritakan BETAPA DIAMNYA DIRIKU DAN TEMAN-TEMANKU DI SINI, BETAPA BELANJA BAGI KITA TELAH MENJADI CANDU. Kekayaan orang tua telah membentuk pribadi manja dalam diri kita. Betul-betul manja. KITA DIKELILINGI BARANG-BARANG YANG KITA INGINKAN, BUKAN YANG KITA BUTUHKAN.

Betapa besar dosa diam yang telah kuperbuat. Betapa sungguh di dalam harta yang kumiliki terdapat hak milik orang lain, tentu pada waktuku pula terdapat jatah untuk berbagi tangan dengan orang lain.

Benda-benda elektronik yang kumiliki, pakaian-pakaian mewah, peralatan rias yang berjajar rapi, berbagai model sepatu, pernik-pernik, hingga hal-hal kecil di luar kebutuhan namun terlanjur kubeli; tidak hanya memperlihatkan betapa cantik diriku, namun juga menampakkan betapa diam hidupku. Lalu pada tanah mana lagi aku harus berpijak? Pada bahu siapa aku harus bersandar ketika penderitaan orang lain turut aku rasakan? Ah, sungguh, ajarkan padaku sebaik-baik cara mengusir diam!

Aku sangat meyakini bahwasannya kebaikan serta keunggulan manusia tidak ditentukan dari agama yang dipeluk, jabatan yang disandang, ras atau warna kulit, budaya, apalagi pandangan berpolitik; namun keduanya akan tampak dari sejauh mana seseorang berbakti dan berkorban demi kepentingan bersama.

“Cin, ngelamun mulu sih lu kerjaannya! Ke Mobile Shop-nya sekarang saja, yuk! Biar entar sore guwe bisa ikutan kalian nge-mall.”

Pembaca yang budiman, maaf, sayang sekali aku harus pergi, semoga lain waktu bisa kembali bercerita pada kalian.

Read More »

Cerpen Cinta Penuh Inspirasi

0 comments
Cerpen cinta penuh inspirasi kali ini akan menyajikan sebuah cerpen yang bernuansa romantisme dan perjuangan cinta. Dengan menulis cerpen anda akan bebas berekspresi dan bebas mengungkapkan segala kegundahan hati. Cerpen merupakan media bagi para pecinta dunia tulis.Karena mereka percaya bahwa dengan menulis cerpenlah mereka ada.

Silahkan baca cerpen cinta di bawah ini dengan seksama. Dan semoga ada sepenggal kisah yang bisa memotivasi anda dalam setiap kehidupan anda. Cerpen yang pertama akan bercerita tentang cinta yang tak nyata. Selamat membaca




Praha Dan Sebuah Lukisan

Sudah lama aku tidak merasakan rasa ini. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir aku merasa tertarik dengan wanita. Semenjak penghianatan yang sangat memalukan itu, aku benar-benar tidak bisa percaya lagi dengan wanita. Aku lebih memilih mengasingkan diri ke kota lain. Aku senang dengan Praha. Kota tua yang eksotis. Di sana aku merasa seperti orang bohemian abad kesembilan masehi. Di sana pula aku bisa menulis sepuas hatiku. Tak ada lagi urusan pemerintahan yang perlu aku tangani. Tak ada pula urusan bisnis yang perlu aku kerjakan. Temanku kini hanya buku diary dan sebuah pena. Aku lebih suka menulis di atas kertas dari pada di komputer. Setidaknya bau kertas dan tinta terus merangsangku untuk terus menulis.

Akhir pekan kemarin menjadi sebuah titik perubahan dalam kehidupanku. Setelah bertahun-tahun aku menanggung derita cinta, kini aku justru merasakan cinta itu lagi. Terasa indah namun sedikit absurd. Kali ini anda salah tebak jika menganggap aku baru saja bertemu dengan wanita.

Sebuah pameran lukisan di salah satu sudut Praha menjadi awal semuanya. Aku bertemu dengan sebuah lukisan indah di salah satu pojok ruang pameran. Warnanya berpadu indah walau sangat sederhana. Kurasa pencampuran warnanya tidak terlalu rumit. Goresannya pun tidak terlalu muluk-muluk. Semua dari lukisan itu nampak natural. Dan aku jatuh cinta pada seorang gadis yang ada di dalam lukisan itu. Dia berkerudung hitam, wajahnya sendu dan damai, sorot matanya tajam menelanjangi siapa saja yang beradu tatap dengannya.

Pasti tidak akan ada yang percaya kalau aku masih waras saat aku bilang aku jatuh cinta pada lukisan itu. Namun setidaknya aku bahagia dipertemukan takdir dengan sosok perempuan yang ada di dalam lukisan itu. Sosok itu begitu damai dan teduh. Aku merasa ada kenyamanan tingkat tinggi jika menghabiskan waktu bersama perempuan itu. Dan tentunya aku tidak akan pulang kecuali membawa lukisan itu. Setelah membelinya aku seperti mendapat isteri baru.

Di flat lukisan itu aku pajang di kamar tidurku. Aku yakin dia akan selalu terjaga saat aku tertidur, dan dia selalu mengawasiku bahkan ketika aku berganti pakaian sekalipun. Dia telah masuk ke dalam wilayah hidupku yang paling pribadi. Seperti yang aku prediksikan, gadis dalam lukisan itu telah membuat kehidupanku lebih nyaman bahkan sangat nyaman. Aku rasa aku sudah tidak perlu lagi mencari sosok manusia berlabel wanita. Gadis dalam lukisan itu sudah segalanya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, aku semakin mencintai gadis itu, aku pun memberinya nama Shara. Aku yakin aku akan bahagia dengan Shara. Biar apapun kata orang padaku. Hidup dengan Shara selalu jujur, tidak ada kebohongan dan penghianatan. Dia setia dan aku pun demikian. Mungkin seperti inilah sampel pasangan ideal menurut nalarku walau banyak yang meragukan kewarasanku.

Sore di akhir pekan ini aku ingin menikmati secangkir Cappuccino ditemani alunan Jazz yang mengalun indah dari pemusik-pemusik indie. Dalam pada itu rasa kesepian melilitku dengan amat sangat. Shara tidak bisa ikut denganku menghabiskan akhir pekan ini. Aku merenung sendiri sementara hatiku ada di rumah memeluk Shara kuat-kuat. Namun aku juga malas untuk berada di flat berdua dengan Shara tanpa bisa melihat pertujukan musik Jazz di pinggiran sungai Vltava.

Tengah asik aku dibuai alunan jazz mataku tiba-tiba menangkap bayangan seorang perempuan yang rasanya aku sangat mengenalnya.

“Shara?” bisikku pada diriku sendiri.

Aku mencoba mengejar perempuan itu. Dia berjalan cukup cepat. Aku harus sedikit mempercepat jalanku agar jangan sampai kehilangan jejaknya. Sementara fisikku terus berburu sosok perempuan itu, otakku terjebak dalam dua dimensi yang sangatlah berbeda. Maya metafisika dan realitas material. Perempuan itu benar-benar seperti Shara. Aku tidak mungkin salah. Tapi bagaimana Shara bisa keluar dari dalam lukisan?

“Shara!!” kali ini suaraku keras memanggil perempuan itu. Sementara itu dia semakin tidak peduli. Dia tetap pada jalannya. Dia berjalan semakin cepat. Kakinya yang jenjang berjalan lincah dengan balutan sepasang bot hitam berhak tinggi.

Aku terus mengejarnya hingga akhirnya aku sampai di sebuah lobi hotel. Dia dijemput seorang lelaki berjas hitam. Nampaknya dia kekasihnya. Namun lelaki itu lebih pantas jadi ayahnya. Dari roman mukanya lelaki itu berumur sekitar setengah abad lebih. Dan perempuan muda yang aku klaim sebagai Shara nampaknya tidak lebih dari dua puluh lima tahun.

Aku urung untuk memanggilnya kembali. Aku merasa bukan apa-apanya gadis itu dan tidak ada hak bagiku untuk mencegah langkahnya. Gadis itu pun lenyap ditelan sebuah lift yang membawanya entah ke lantai berapa. Aku sendiri meninggalkan lobi hotel dengan sejuta rasa penasaran. Siapa gadis itu? Apakah dia benar-benar Shara? Gadis itu hidup di alam nyata, sementara Shara adalah gadis imajiner yang aku buat sendiri dengan inspirasi sebuah lukisan.

Tapi gadis itu benar-benar mirip dengan gadis imajiner yang ada dilukisan itu. Semua benar-benar mirip kecuali tidak adanya kerudung yang menutupi rambutnya. Gadis yang baru saja aku lihat tidak memakai kerudung dan pakaiannya cukup terbuka, sementara gadis imajiner yang ada di lukisan memakai kerudung dan berbaju rapat ala gadis-gadis muslim. Apakah gadis itu adalah model dari lukisan itu? Absurd.

Esok harinya aku berniat mencari sang pelukis lukisan itu. Aku ingin bertanya siapa model dari lukisan itu? Apakah hanya imajiner sang pelukis ataukah benar-benar menggunakan model? Jika benar menggunakan model aku ingin bertemu dengan modelnya itu. Dan dengan begitu aku bisa memecahkan misteri antara gadis itu dan gadis berkerudung yang ada di lukisan itu.

Sudah lama aku tidak merasakan semangat hidup seperti sekarang. Semua nampak cerah dan memancarkan harapan. Aku rasa aku sudah tersesat di antara tautan beberapa dimensi. Aku tenggelam ke dalam imajinasiku sendiri namun aku terseret oleh kenyataan yang tiba-tiba menghadirkan sebuah paparan absurd yang membuat sudut pandangku tentang dunia berubah beberapa derajat kiranya. Yang jelas dan yang pasti aku menemukan kembali kerinduanku. Seperti dulu saat pertama aku mengenal perempuan.

@@@

Panitia pameran menunjukkan padaku sebuah alamat. Sebuah desa yang cukup jauh dari Praha. “Kau akan menemui seorang pelukis tua di sana.” Kata seorang pantian pameran yang berhasil aku temui. Dengan sebuah Land Cruiser aku pergi ke sana. Menempuh lima jam dari kota Praha akhirnya aku sampai di sebuah desa sejuk. Penduduknya rata-rata adalah petani barley (semacam sereal). Setelah bertanya kepada penduduk setempat sejam kemudian aku baru menemukan rumah sang pelukis lukisan gadis berkerudung itu.

Aku baru tahu ternyata dia berprofesi sebagai petani barley juga. Melukis hanya hobinya. Dia mengikutsertakan lukisannya itu atas saran salah seorang kerabatnya. Dan kebetulan lukisan itu dibeli olehku. Sejak aku membelinya baru kali ini aku melihat langsung pelukis lukisan itu. Panitia pun dulu bilang cuma lukisan itu yang tidak didampingi oleh pelukisnya. Wajar, untuk ke Praha dia mungkin harus menjual separuh hasil panennya. Namun beruntung lukisannya terbeli olehku dengan harga lumayan tinggi, sepuluh ribu Koruna. Namun tak nampak Pak Tua itu gembira dengan penjualan lukisannya. Di rumahnya sama sekali tidak ada perabot yang mewah kecuali sebuh televisi hitam putih tua berukuran empat belas inci. Lantas kenapa Pak Tua itu tidak membelanjakan uang hasil penjualan lukisan itu?

“Sungguh lukisan itu hanya berasal dari imajinasiku saja. Aku tidak punya model untuk membuat lukisan.” Begitu jawabannya saat aku tanya soal model lukisannya yang telah aku beli.

“Tapi beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang gadis dan dia sangat mirip dengan sosok yang ada di dalam lukisan itu.” Aku mencoba menyudutkan.

“Ya mungkin saja hanya kebetulan anak muda. Dunia ini kan penuh dengan kebetulan. Iya kan?”

“Tapi apa kau tak tahu sama sekali perihal gadis yang kau lukis itu?”

“Yang aku tahu hanya melukiskan apa yang ada di dalam khayalanku.” Kali ini Pak Tua itu menjawab dengan lebih tegas. Aku sendiri menyerah menanyainya soal jati diri perempuan di dalam lukisan itu.
Aku hendak pergi kala dia mencegahku dengan sebuah kalimat “Dulu aku punya anak gadis kecil.”
Aku berhenti melangkah dan berbalik lagi dengan raut muka berisyaratkan tanya.

“Kami adalah keluarga muslim, mengungsi dari Bosnia menuju Ceko. Kami terusir dari negeri kami karena sebuah peperangan yang seharusnya tak perlu ada. Peperangan yang kental aroma ambisi namun diatasnamakan kesucian.”

Pak Tua itu tertegun sejenak. Aku sendiri hanya bisa mengikuti nuansa sendu dan melankolis itu dengan melempar tatapan kosong ke tanaman barley yang sedang ranum di sawah depan rumah Pak Tua itu.
“Lalu anak gadismu itu?” tanyaku.

“Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Dan jika dia masih hidup tentu dia sudah menjadi gadis dewasa seperti gadis yang ada dilukisan yang kau beli itu.”

“Jadi gadis yang ada di lukisan itu adalah imajinasimu tentang rupa anakmu, lantas dimana dia sekarang?”

“Ya begitulah. Dia meninggalkan aku sejak dia masih berumur sepuluh tahun. Dia ikut dengan ibunya ke Praha.”

“Kalau boleh tahu kenapa mereka meninggalkan dirimu seorang diri?”

“Karena aku miskin.”

“Hanya karena itu?”

Pak Tua itu mengangguk sambil tersenyum. Kurasakan ada guris perih yang terbuka lagi. Aku merasa bersalah telah mengungkit masa lalunya. Tentu nasibnya tidak jauh beda denganku. Bedanya dia ditinggalkan isteri dan anaknya karena miskin, sedang aku ditinggalkan hanya karena aku tak mampu memenuhi kebutuhan biologis isteriku. Namun hakikatnya sama perihnya.
“Maafkan aku yang sudah mengungkit masa lalumu.”

“Oh tidak, sungguh tidak. Kau punya hak untuk tahu karena kau telah membeli lukisan itu.” Kata Pak Tua itu sambil terkekeh. Sepertinya dia sudah tidak menganggap luka itu sebagai sebuah kesakitan. Tidak seperti aku yang masih mengutuki diri dengan segala kelemahan diriku sebagai penyebab luka masa laluku.

“Kalau boleh kutahu siapa nama anakmu itu?”

“Shara.”

Konyol rasanya. Nama itu sama dengan nama yang aku berikan kepada gadis di dalam lukisan itu. Oh benarkah dunia ini penuh dengan kebetulan?

Aku kembali ke Praha dengan perasaan yang kacau balau tidak karuan. Aku ingin sedih mengetahui realita di balik lukisan itu tapi juga lega karena telah menemukan jawaban dari sebagian pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaranku. Sesampai di Praha aku kembali menghabiskan waktu dengan menulis, menatap sedih lukisan yang aku beri nama Shara, nama yang sama dengan nama anak gadis si Pak Tua itu.

Sore sudah hampir habis ketika aku duduk menikmati secangkir cappucinno di café pingiran sungai Vltava. Aku melihat matahari sudah lelah menyinari daratan Eropa. Cahayanya yang nampak murung ditingkahi awan-awan kecil yang berkejaran. Aku sejenak tenggelam dalam putaran otakku. Aku masih mencoba mengkompromikan antara fakta dan imajinasi. Namun lagi-lagi faktor kebetulan menjadi penengah di antaranya. Sungguh membuatku sangat tidak puas. Kejadian-kejadian dalam hidupku seperti sebuah skenario yang sudah selesai ditulis namun belum kutahu akhirnya. Dan setiap kejadian menjadi seperti slide yang diputar dan menawar misteri-misteri yang rumit.

Saat aku tengah berdiskusi dengan otak, hati, dan naluriku, mataku kembali menangkap sekelebat sosok yang kemarin aku kejar. “Shara?” bisikku. Benarkah itu Shara? Benarkah itu gadis multi-dimensi yang telah mendorongku untuk pergi ke sebuah desa yang jauh di pelosok Ceko?

Aku pun mengejarnya. Aku harap pertanyaan terakhirku bisa terjawab dengan bisa bicara langsung pada gadis itu. Aku pun mengejarnya. Kali ini tidak terlalu susah mengejarnya karena dia berjalan pelan. Aku pun berhasil menghentikan langkahnya. Dia tersenyum ramah padaku. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, dan pupil matanya hitam layaknya wanita asia. Oh sempurna sekali gadis ini.

“Apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?” tanya gadis itu.

“Pernah namun kita tidak sampai berkenalan. Saat itu kau sudah harus masuk ke hotel dengan pacarmu.”

“Pacar?”

“Ya mungkin begitu.”

“Aku tidak pernah punya pacar.”

“Lantas lelaki yang membawamu ke dalam hotel beberapa hari yang lalu itu?”

“Itu langgananku.” Jawaban lugas dan begitu polos. Aku sendiri hanya bisa tersenyum. Ternyata dia seorang pelacur.

Akhirnya aku bawa dia ke flatku di sebuah apartemen mewah di tepian sungai Vltava. Dia kagum dengan flatku. Walau pun dia sering menginap di hotel mewah namun dia belum pernah diajak tidur di sebuah flat pribadi.

Aku pun menunjukkan lukisan karya Pak Tua si petani barley kepada gadis itu. Dia seperti baru saja diperlihatkan foto dirinya. Namun wajahnya masih nampak datar walau sempat bilang “wow” padaku.

“Imajinasimu hebat. Aku belum pernah secara sengaja menjadi modelmu namun kau bisa melukis diriku dengan sempurna.” Komentar gadis itu tentang lukisan itu.

“Bukan aku yang melukis.”

“Lantas?”

“Seorang Pria Tua petani barley di pinggiran Ceko adalah pelukisnya.”

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Nampak dia tidak tertarik lagi untuk mengetahui sang pelukis lukisan itu. Dia pun menuju kamar mandi dan beberapa menit kemudian keluar dengan hanya memakai pakaian tidur. Aku rasa dia sudah tidak mengenakan apapun kecuali pakaian tidur itu. Dia pun duduk di bibir ranjang dengan menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Tungkai dan sebagian pahanya nampak terbuka. Cukup menggoda. Apalagi saat dia melempar sebuah senyuman khas pelacur. Nuansa erotis pun berhasil dia ciptakan.

“Aku seorang pelacur, tugasku hanya menghibur dan memuaskan nafsu pengguna jasaku. Jadi tunggu apa lagi? Bersenang-senanglah malam ini.” Kata gadis itu menggodaku.

“Aku bebas melakukan apa saja bukan asal aku membayarmu?”

Dia menjawab dengan anggukan tak ketinggalan, senyumnya yang menggoda.

“Kalau begitu kau tidurlah dulu aku belum mau melakukan apapun di saat hari masih cukup sore begini.” Aku mencoba beralasan untuk menutupi segala kelemahan diriku sendiri, aku memang seorang penderita lemah syahwat.

“Baiklah jika itu maumu. Aku tidur dengan telanjang, jika nanti kau sudah siap kau boleh langsung melakukannya tanpa harus membangunkanku.”

Kali ini aku yang mengangguk tanda mengiyakan.

Malam mulai merambat naik di kota Praha. Sungai Vltava nampak memantulkan sinar rembulan yang purnama. Lampu-lampu penerang jalan juga terefleksi di permukaan airnya yang jernih bak cermin. Aku duduk di sebuah kursi goyang sambil menatap tubuh pelacur yang belum sempat aku tanyai namanya. Mungkin begitulah dunia pelacur, identitas tak seberapa penting, yang penting adalah uang dan kepuasan. Aku tak bisa membayangkan berapa lelaki yang sudah meniduri gadis ini. Malang benar, kecantikan yang seharusnya tidak bisa diharga dengan apapun, kini justru tergadai dengan harga yang murah.

Sesekali aku berpaling ke arah lukisan itu. Lukisan yang menggambarkan sosok gadis dari keluarga Muslim lengkap dengan kerudungnya. Gadis itu menebarkan harmoni indah dalam penglihatankan. Kudapatkan sebuah keteduhan yang tiada duanya. Aku bahkan seperti melihat surga dalam sosok itu.
Berbalik arah saat aku kembali memandang gadis pelacur yang tidur telanjang di atas kasurku. Dia cantik namun hanya membiaskan nuansa erotis birahi saja. Walau dia sangat mirip dengan gadis yang ada di lukisan itu namun dia tetaplah tidak bisa menghadirkan keteduhan seperti yang dipancarkan oleh gadis dalam lukisan itu. Namun melihat tidurnya rasa ibaku terbangkitkan. Wajahnya yang begitu menggoda kala terjaga berubah menjadi wajah polos yang seakan tidak punya dosa. Seharusnya gadis itu bisa merasakan cinta, kedamaian, dan kebahagiaan dalam hidupnya. Kenapa dia harus berjuang sendiri di atas dunia ini? Apakah tidak ada lelaki yang peduli padanya. Apakah para lelaki hanya melihat elok tubuhnya saja sementara mereka melupakan hakikat sejati dari gadis itu, yaitu wanita?

Aku pun tertidur terlelap terbuai mimpi di atas kursi goyangku. Aku masuk ke dalam dimensi lain dari hdiup ini. Inilah dimensi paling ideal, setidaknya menurutku. Setelah merenungi makna cinta, birahi, dan kebahagiaan, aku akhirnya terlempar ke dunia paling sempurna yang menghilangkan semua aturan dan hukum sebab akibat. Itulah mimpi.

“Jangan bergerak!!!” suara gertakan keras khas polisi membangunkanku. Barusan tadi aku merasakan damai yang tak terkira di alam mimpi, lantas kini aku dihadapkan pada mozaik paling keras dalam kehidupan manusia. Aku dituduh membunuh dan korbannya adalah gadis pelacur yang tidur di ranjangku. Aku yang merasa tidak melakukan apa-apa pun mengelak dari tuduhan itu. Namun sebuah paparan nyata di depanku membuatku diam seribu bahasa. Pelacur itu sudah mati bersimbah darah dengan luka tusukan di sekujur tubuh tak terkira banyaknya. Sementara lukisan gadis berkerudung itu sudah hancur tercabik-cabik. Aku hilang kesadaran. Aku kehilang dua dimensi yang selama ini menemaniku. Cinta dan syahwat kini sudah tidak lagi memperebutkanku. Mereka berdua sudah memilih jalan masing-masing. Dan aku ditinggalkan begitu saja dan dibiarkan diborgol petugas kepolisian.

"Bila sudah lelah mencintai kenyataan maka cintailah khayalanmu sendiri..."


Untuk Kamu Ayunda Venezia

Aku pergi. Maaf. Aku harus angkat kaki dari kenyamanan dan kenyataan. Aku tak lagi seperti dulu. Makasih atas semua yang pernah kau lukis dalam hari-hariku. Itu sesuatu yang tak akan pernah dapat terlupakan, dan aku tak akan bisa membalas itu semua. Canda tawa, senyum sinis, riak-riak kecil kecemburuan, semuanya adalah hal yang tak akan mudah tercecer di sepanjang perjalanan. Tapi sesuatu telah terjadi, dan aku dihadapkan pada dua pilihan. Mengikuti aliran konservatisme, yang aku sendiri muak telah sekian lama berada di dalamnya, atau terbang bebas, dengan resiko terjatuh jauh sewaktu-waktu.

Aku memilih yang kedua, itu alasan jelas mengapa aku meninggalkanmu. Karena mulai hari ini aku terlanjur memasuki dunia imajiner, aku tak ingin kau terbawa kesana. Itu dunia percobaan, yang sewaktu-waktu bisa mengamuk tanpa sebab yang jelas. Kamu terlalu sempurna. Aku tak ingin memberimu harapan yang hanya sebatas harapan, dan kenyataannya aku belum bisa melangkah kemana-mana. Aku meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi sayang sama kamu. Justru itu karena aku tak mau kamu kenapa-napa. Aku selalu mendoakan kamu tetap dalam keadaan baik di luar sana.

Sekali lagi maaf, kalau selama ini aku hanya menjadi "iklan" dalam hidupmu. Aku belum mampu memberi yang terbaik. Aku belum bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Sebaliknya, kau telah memberikan pengaruh besar dalam hidupku. Berkali-kali kau menerbitkan secercah asa dalam pekat kegelapanku. Dan aku akui, itu semua karena aku, bahkan sampai detik ini, masih labil. Kau menunjukkanku arti kedewasaan, perjuangan, ketahanan hidup, apapun. Kalau aku boleh bilang dengan bahasaku sendiri, itu bukan sekedar "survive", tapi "life yang sesuangguhnya". Sayangnya aku belum bisa melakukannya. Bodoh ya aku?.

Satu lagi, aku bukan seperti yang kamu lihat. Dulu aku memang agak berkarakter. Tapi pelan-pelan aku melemah tertelan waktu. Masih banyak hal-hal yang kamu tidak tau tentang aku, karena memang aku tak ingin seorangpun tau. Putaran roda kehidupan menghadapkanku pada pilihan yang dilematis. Aku tau kamu pastinya tak ingin sesuatu seperti ini terjadi. Tapi dunia terlanjur mempunyai hukumnya sendiri. Jikapun akhirnya kita harus berjalan sendiri-sendiri, mungkin takdir sedang menuntun kita untuk menapak arah yang lebih baik. Aku sendiri tak tau apa yang akan terjadi nanti, besok, besoknya lagi, dan seterusnya.

Sudahlah. Biarkan mozaik-mozaik kisah kita tersimpan rapi di bawah debunya masing-masing. Aku tak mau berandai-andai. Ini soal realistis atau bukan. Bukankah kamu yang dulu mengajarkan untuk tetap berpikir realistis dalam keadaan apapun. Aku pergi, tanpa meninggalkan kebencian sedikitpun. Karena aku pergi bukan karena mencari kesenanganku sendiri. Tapi aku beranjak lebih karena aku tak ingin melukai atau mengecewakan orang-orang yang ada di sekitarku, orang-orang yang menyayangiku. Biarlah aku karam dalam lautan takdirku sendiri. Sekali lagi, maafkan aku.

Karya : Luqman el hakim


    Teruntuk Selma Azlic

Aku rindu kamu. Aku rindu canda tawamu yang memecah keheningan. Aku rindu celotehanmu yang mengusir kepenatan. Apa kau di sana baik-baik saja?, aku harap begitu, atau lebih dari itu. Aku rindu senyummu yang kadang setengah sinis itu. Aku rindu kau menertawakan kebodohanku, lalu kau mengajariku dan ternyata kamu sama-sama bodohnya, lalu kita tertawa lepas seolah-olah tak ada orang lain yang memperhatikan. "kalau ada yang terganggu, nanti tinggal minta maaf aja", ucapmu enteng.

Aku rindu kamu. Aku rindu semua tentang kamu, kau tau itu?. Setiap jengkal lantai yang pernah kau injak, masih ada tandanya disini. Bahkan mereka masih tertata rapi. Setiap waktu setiap saat dirimu berdansa di dalamnya. Dansa yang aku anggap ramai, bahkan ketika orang lain sedang di cekam ketakutan sekalipun. Jejak-jejak yang pernah kau lalui, kursi dimana kita terbiasa duduk santai di atasnya, menjemput senja, mengantar matahari pulang ke peraduannya, semua masih sama. Bahkan meja yang tempo dulu pernah kau tumpahkan kopi pekat padanya, hari ini bekasnya masih tertera.

Aku merindukanmu. Apa kabarmu sekarang?. Sedang apa?. Masih ingat aku-kah?. Kalau tak bersamaku, kamu bersama siapa?. Masih suka mengagetkan dengan menepuk bahu-kah?. Lantas siapa sekarang yang kamu kagetkan?. Dandananmu masih serapi dulukah?. Apa ada yang berubah dengan dirimu?. Sedewasa apa kau sekarang?. Masih semangat seperti dulu, atau malah tambah enerjik lagi?. Kurang lebih pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang menggelayut dan rela antri ribuan kilometer untuk disampaikan padamu, yang entah lewat mana aku harus melayangkannya. Aku tak tau. Jujur aku kembali buram semenjak kepulanganmu. Tapi pada suatu waktu, seseorang harus kembali ke asalnya masing-masing bukan?.

Tapi sampai sekarang ada yang belum hilang. Di sini (menunjuk dada). Ada yang masih membekas. Ada banyak memori yang tertinggal. Mengapa tak sekalian kau membawanya pergi jauh?. Mengapa kau meninggalkannya?. Mengapa?. Kau pernah hadir dalam hidupku, cukup lama. Sampai-sampai, kala itu, aku sangat terbiasa denganmu, dan tak pernah mampu memikirkan apa jadinya kalau kita harus terpisah satu sama lain. Ah, kala itu, kalau membicarakan tentangnya tak akan berujung. Air mukamu saja itu sudah cukup mampu memadamkan api emosi yang entah seberapa besarpun kobarannya. Kau bukan orang sombong, tapi kau tak pernah menghindar dari tantangan. Kau banyak mengajariku tentang bagaimana cara menganyam molekul-molekul kehidupan, sehingga menjadi satu kesatuan yang indah dan berwarna, atau apalah, aku bahkan tak menemukan diksi yang tepat untuk menyebutnya.

Apapun itu, aku merindukanmu. Kau pernah meramaikan hidupku. Kita pernah dekat, sangat dekat, lebih dari sekedar sahabat, entah apa pastinya, itu juga aku tak tau. Yang jelas, di saat aku sedang terlempar ke dalam zona paling naif seperti sekarang ini, dimana aku sama sekali tak bisa membangkitkan motivasi dari diriku sendiri, aku selalu membayangkan kau sedang duduk di sampingku, mengumbar senyum dan berucap singkat, "kehilangan orang yang kita sayangi itu adalah bagian dari hidup. Kamu harus bisa menghidupkan duniamu sendiri, dan aku yakin kamu pasti bisa".

Karya : Luqman el hakim

Semoga cerpen diatas, bermanfaat bagi sahabat semua

Read More »