• Post with SoundCloud

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Consectetur adipisicing elit

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Post With Featured Image

    iam 1989 wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing...

  • Elementum mauris aliquam ut

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

Showing posts with label Opini. Show all posts

Peran Pemuda Dalam Pembangunan Bangsa

0 comments
Indonesia membutuhkan peran aktif pemuda dalam usaha berkelanjutan demi kemajuan dan pembangunan bangsa. Peran penting pemuda dirasa penting karena beberapa unsur dasar yang dimiliki pemuda yakni semangat berkreasi dan berinovasi. Beragam cara dilakukan untuk mengenang kembali semangat kebangkitan nasional yang dipelopori kaum muda tersebut. Tak ketinggalan para Mahasiswa dan Pemuda Indonesia di luar negeri. Sebuah acara akbar yang dihadiri utusan persatuan pelajar indonesia dari beberapa negara diselenggarakan di Belanda.

Dan disini, ku hanya duduk termenung, mencoba meresapi hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa 80 tahun yang lalu itu. Sebuah energi positif kaum muda yang tak terbendung mampu menorehkan tinta emas sejarah perjuangan bangsaku!!!

Jiwa muda, jiwa yang sedang tumbuh berkembang dan penuh kepekaan serta kepedulian terhadap lingkungannya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya bahkan kepada dunia luas!! Jiwa pembelajar penuh energi, agent of change, penggerak kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Itu yang ku dapat dalam pelayaran bersama bahtera logika yang ku miliki ketika mengarungi lautan hikmah sejarah. Setiap bangsa didunia ini pasti mencatat bahwa apapun bentuk kemajuan dan perkembangan yang dialami, para pemuda pastilah berada di poros terdepan perubahan itu!!

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, peristiwa sumpah pemudalah saksi besar sejarah. Kebulatan tekad dan keteguhan hati para pemuda untuk menyatakan kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa telah berhasil menggerakkan sebuah perubahan dengan hasil gemilang, KEMERDEKAAN!!

Di negeri kincir angin sana, puluhan tahun lalu para pemuda dan kaum terpelajar boemi poetra bersatu mencurahkan segenap kekuatan untuk membangun negeri tercinta. Dan dari sanalah nama Indonesia terucap mengharu biru. Sebutlah Bung Hatta, tokoh idola banyak pemuda kita, yang diidolakan karena kejeniusan dan tentunya kebersihan sikap dan prilaku politiknya yang telah turut serta menghantarkan nusantara menuju gerbang kemerdekaan!!

Kita sepakat bahwa ketika memproklamasikan kemerdekaan indonesia, Bung Karno tidaklah lagi muda, tapi kita pasti setuju bahwa tanpa semangat darah muda yang mengalir dalam diri sang proklamator itu dan (pastinya) keberanian bertindak khas kaum muda, alur sejarah negeri tercinta ini pastilah berbeda.

Disini sekali lagi ku duduk termenung, merangkai dan menata butiran hikmah perjuangan yang ku dapat dalam penggalian mutiara terpendam yang kelak akan ku kalungkan pada Ibuku, Indonesia.

Dengan indahnya Al-Qur’an bercerita tentang sosok-sosok muda pembawa pencerahan bagi umat manusia terdahulu. Tujuh orang pemuda berhati baja, berkeyakinan sempurna dan teguh dengan akhlak luhur telah menjadi sorotan sejarah perjuangan menyatakan keyakinan akan keesaan Tuhan dan kebangkitan di hari akhir.

Sekali lagi, darah muda mencatatkan harumnya dengan tindak terpuji sepanjang masa, membelah bentangan jarak dan waktu, melintasi generasi demi generasi pembawa pembaharuan, dan menyatakan keistimewaannya meski dihadapkan pada resiko kematian. Tujuh pemuda penghuni gua yang tertidur ratusan tahun dan terbangun kembali untuk menyaksikan perubahan yang terjadi dalam sistem kepercayaan kaumnya!!!

Aku belajar dan menarik kesimpulan, apakah sesungguhnya energi yang mendorong jiwa muda untuk mampu mendobrak keadaan, membawa pencerahan dan mewujudkan kebaikan bagi semua generasi??? Dan disinilah kutemukan jawabnya :

Sebuah kemajuan pastilah meletakkan pijakannya pada tiga asas utama : Moral, Intelektual dan Spiritual. Tanpa ketiga hal tersebut pastilah sebuah perubahan takkan mengarah menuju kemajuan tetapi kemunduran.

Kekuatan utama terletak pada Moral. Setiap bangsa yang beradab pastilah menempatkan moral dan etika sebagai tolak ukur utama kemajuan yang berhasil dicapainya. Karena dengan moral dan etikalah manusia mencapai ketinggian derajatnya sebagai manusia. Kita mungkin bisa bertanya apakah dengan moral kita bisa mencapai kemakmuran ekonomi?? apakah dengan etika kita bisa mengembangkan ilmu pengetahuan?? tapi pasti kita sepakat bahwa tanpa moral dan etika kita takkan pernah bisa hidup bahagia dan mulia!!!

Sejarah menyebut kemajuan yang berhasil dicapai umat manusia, mulai bangsa yunani di barat, romawi, persia, mesir kuno sampai bangsa cina di timur jauh, dengan satu istilah PERADABAN.

Peradaban adalah wujud terhalus dari kebudayaan manusia. Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dan moral adalah unsur terpenting dalam membentuk budaya. Karena segala tindak tanduk manusia selalu kembali kepada dirinya dan lingkungannya maka manusia membutuhkan suatu aturan untuk menata sikap dan prilakunya, dan itulah etika!!

Kebangkitan yang digerakkan kaum muda selalu didahului dengan kesadaran moral yang tinggi dikalangan pemuda. Tanpa moralitas yang baik, kaum muda hanya akan menyalurkan energinya pada hal-hal negatif.

Yang kedua adalah intelektual. Tanpa terbantahkan, intelejensi yang terkristalkan dalam ilmu pengetahuan telah menunjukkan kekuatan paling dahsyat yang pernah dikenal umat manusia. Sebuah energi terbesar yang pernah ada dan bahkan berani menantang kuasa Tuhan. Logika sebagai pusat kesadaran intelejensi bersama Ilmu pengetahuan sebagai kendaraannya telah memberikan hadiah terindah bagi peradaban manusia berupa kecanggihan tekhnologi dan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup.

Kebangkitan nasional indonesia dimotori oleh kaum cerdik cendikia muda yang bermoral. Sungguh ngeri membayangkan suatu gerakan yang dilakukan kaum intelek tak bermoral!! Karena tanpa moral, kekuatan intelektual hanya akan menjadi senjata pemusnah baru bagi kehidupan. Dan tanpa intelektual, moralitas hanya akan bersembunyi di relung hati terdalam manusia!!

Padanan serasi moral-intelektual tampaknya paling menjanjikan perubahan positif untuk semua orang. Karena semua hal yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kemuliaan mampu terpenuhi dengan dua asas utama tersebut. Tetapi pernahkah terdengar oleh nurani anda, jeritan moral-intelektual yang terombang-ambing di dalam ruang tak bertepi tak berujung batas bernama kehidupan ini?? Pernahkah mendengar pernyataan jujur moral-intelektual tentang keletihan dan keresahan mereka?? letih karena semakin hari manusia semakin dipenuhi tuntutan perubahan baru, letih karena sifat tidak puas manusia yang selalu ingin lebih dan lebih… serta resah mencari, hendak kemanakah semua ini menuju??

Tidak!! Moral-Intelektual tidaklah cukup untuk berdiri tegak, pantang menyerah tak mau mengalah demi menopang kehidupan manusia. Karena moralitas itu kaku dan intelektualitas itu semu!! Sedangkan hidup ini bagaikan setetes air yang turun dari langit lalu bercampur dengan tetumbuhan dan dedaunan, kemudian mengering dan hilang terbawa hembusan angin… Kehidupan ini mengalir bagaikan riak air sungai, terbawa aliran menuju lautan tak bertepi. Apalah arti moralitas dan intelektualitas jika hanya akan terhanyut pasrah mengikuti siklus kehidupan untuk kemudian hilang tak berbekas…

Ada sebuah kekuatan untuk mengarahkan dua kekuatan menuju kedamaian sejati, tempat berteduh dan bermuara seluruh aliran kehidupan dan bahkan kematian!! karena sesungguhnya, bukan hanya kehidupan yang mengalir, kematian pun sesungguhnya hanyalah sebuah gerbang menuju aliran lain dalam kehidupan!!

Kekuatan itu adalah Spiritual. Sebuah kekuatan diluar manusia, kekuatan Tuhan, yang karena kemurahan hatiNya kekuatan itu diberikan kepada makhluk yang membutuhkan dan menginginkannya. Spiritualitas, kekuatan Tuhan dalam diri manusia yang terkadang bisa membuat manusia berpikir dirinyalah Sang Pencipta itu!!!

Khazanah penyimpan mutiara itu telah ku temukan, namun tampaknya membutuhkan waktu seluruh hidupku ini untuk menyelaminya dan merangkai, menata serta menikmati keindahannya. Beruntunglah aku yang masih dialiri darah, semangat dan vitalitas pemuda. Karena tanpa energi muda, rasanya aku ingin orang lain saja yang merangkai keindahan mutiara itu untuk kemudian ku nikmati.. Dan lebih beruntung lagi karena bumi tempatku berpijak ini, telah melahirkan sosok-sosok penggenggam kemilau cahaya moral-intelektual-spiritual yang berhasil menebarkan pesona keindahan dalam sejarah umat manusia. Bumi para Nabi!!

Subhanallah.. Wal hamdulillah… Wa lailaha illallah.. Allahu Akbar!!!

Kini, aku ingin berbagi kepada semua jiwa muda yang sedang tumbuh dimanapun ia berada. Aku ingin mengajak jiwa muda untuk terus semangat dan berani dalam menempuh perjuangan di ruang kehidupan. Aku ingin meyakinkan jiwa muda, bahwa untuk mewujudkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup di masa mendatang, tidak hanya bagi kita namun juga bagi semua orang yang kita cintai adalah dengan kekuatan moral-intelektual-spiritual!!

Untukmu dunia tempat kami berpijak, nantikan perubahan demi perubahan yang kan kami gerakkkan!! jadilah saksi bagi setiap langkah pencerahan yang kami lakukan!! hingga kelak kau akan bersaksi di hadapan Sang Pencipta bahwa kami Generasi Muda telah turut serta memakmurkanmu, sesuai amanatNya, KHALIFATULLAH FIL ARDH. (Agen Tuhan dalam memakmurkan bumi).

Untukmu ibu pertiwi, anak-anak kandungmu kan kembali ke tanah mereka dilahirkan, kelak, membawa angin segar untuk menyuburkan dan memeliharamu sampai akhir masa. Untukmu ibu, dari anakmu di rantau jauh!!

Read More »

Peran Pemuda Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

0 comments
Pemuda sebagai generasi penerus bangsa, seharusnya mempunyai andil dalam upaya pemeberantasan berbagai tindak pidana korupsi di Indonesia. keterlibatan pemuda diharapkan dapat menciptakan kehidupan sosial yang dilandasi dengan rasa amanah, jujur dan bertanggung jawab.

”Hasrat tertinggi lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia adalah membuktikan praktek kejahatan laten yang telah membudaya kenyataannya mampu hilang di muka bumi negeri ini” (KPK)

Ini yang mendorong pihak-pihak terkait seperti KPK menyelenggarakan ToT (Training of Trainer) bekerjasama dengan pihak akademisi seperti universitas-universitas seluruh Indonesia untuk bagaimana melibatkan para pemuda yang diwakili oleh mahasiswa dalam peran sertanya sebagai sumbangsih bagi kemaslahatan bangsa dan negara.

Kegiatan training ini dilakukan selama empat hari secara berturut-turut. Berawal dari ratusan mahasiswa yang mendaftar sebagai calon peserta ToT Anti Korupsi KPK dengan syarat administrasi pembuatan artikel dan pengisian formulir biodata , 35 mahasiswa akhirnya lulus terpilih sebagai peserta resmi yang kemudian berhak mengikuti pelatihan selanjutnya.

Ke-35 mahasiswa ini di perkecil menjadi tujuh kelompok yang masing-masing terdiri dari lima orang. Pelatihan ini pun sama sekali tidak dipungut biaya sedikitpun alias gratis.

Praktek Lapangan
Pelatihan ToT Anti Korupsi KPK secara komplit untuk pertama kalinya di Indonesia ini dalam tingkat mahasiswa, karena melibatkan peserta secara langsung untuk terjun praktek lapangan yang tidak dilakukan di kampus-kampus sebelumnya.

Hal tersebut yang kemudian menjadikan pelatihan kali ini begitu menantang. Setelah adanya Briefing tugas dan pembekalan materi dari tim KPK pada hari pertama, selanjutnya para peserta dilepas untuk melaksanakan tugas ke tempat yang disinyalir berpotensi koruptif pada hari itu juga dan hari kedua secara langsung.

Sebelumnya peserta telah diberi pembekalan teknik dan standar investigasi di lapangan yang bagi mahasiswa hal ini merupakan pengetahuan baru untuk pertama kalinya.
Kemudian masing-masing kelompok di sebar ke beberapa titik yang berpotensi terjadi praktek korupsi, seperti kantor Samsat, Pos Retribusi, Kantor Kecamatan, Pengadilan Negeri, Kantor Catatan Sipil, dan bahkan lingkungan kampus sekalipun.

Ada banyak cerita yang berkesan dan menarik dari masing-masing kelompok dalam proses perjalanan melaksanakan tugas ini. Mulai dari mempraktekkan Undercover (penyamaran), prosedur investigasi, pencarian informasi sebanyak-banyaknya, maupun kebingungan dalam memutuskan target siapa saja yang harus diwawancarai untuk memperoleh akses informasi.

Dari sinilah yang kemudian mulai memunculkan hal-hal yang unik dan seru melalui proses pembelajaran yang tidak didapatkan oleh para peserta, yang umumnya terdiri dari semester satu, tiga, dan lima dalam pendidikan formal maupun perkuliahan sebelumnya. Karena penugasan ini sifatnya praktek secara langsung di lapangan sebagaimana KPK, maka masing-masing kelompok dituntut untuk bagaimana berfikir kreatif baik penggunaan cara maupun prosedur pelaksanaan demi kesuksesan penugasan.

Memasuki hari ketiga, informasi, bukti, dan bahan-bahan dugaan indikasi kejahatan korupsi yang telah diperoleh masing masing kelompok selanjutnya disusun menjadi sebuah laporan. Penyusunan laporan tentunya mendapat arahan langsung dari tim KPK yang pada hari itu juga harus dipresentasikan.

Proses penyusunan laporan, para peserta selain harus kreatif, mereka juga dituntut berfikir cepat dalam menuangkan hasil investigasi dalam bentuk tulisan. Tidak cukup sampai di situ, pemutaran hasil video (camera) tersembunyi, rekaman pembicaraan rahasia, dan pemerolehan barang bukti yang terkait indikasi bentuk kejahatan korupsi juga dihadirkan dalam penyampaian presentasi.

Pengalaman seperti inilah yang paling berkesan dari para peserta ToT Anti Korupsi KPK. Pelatihan yang selain sarat dengan bagaimana harus berfikir kreatif dan bertindak cepat, juga yang menjadi sangat penting adalah mereka memperoleh wawasan baru mengenai korupsi dan cara penaggulangannya yang tidak banyak oleh masyarakat umum mengetahuinya saat ini

Bahkan yang lebih membanggakan lagi, para peserta juga ternyata berhasil bersentuhan langsung merasakan bentuk-bentuk praktek kecurangan, penyimpangan, pelanggaran, dan penyalah-gunaan jabatan terkait kejahatan korupsi yang sebenarnya dapat ditindak secara hukum.

Generasi Bebas dari Korupsi
Pelatihan ToT Anti Korupsi KPK ternyata tidak hanya membuka mata kepala para peserta melalui pengalaman praktek lapangan secara langsung, tetapi juga membuka mata hati bagaimana merasakan betapa kejahatan korupsi di Indonesia begitu menggelisahkan. Rasanya ingin menjerit sebagai bentuk perlawanan melihat banyak terjadi ketidak-adilan, ketidak-jujuran, penyelewengan, dan penyalah-gunaan wewenang hampir di semua lini kehidupan dan lingkungan sekitar kita.

Dari sinilah langkal awal peran serta mahasiswa secara aktif terlihat konkrit dan menegaskan peran pemuda sebagai pembaharu (agent of change). Setelah pelatihan tingkat pertama ini selesai, diharapkan minimal para peserta mempunyai wawasan mengenai korupsi bagi dirinya untuk kemudian mau berbagi pengetahuan dengan lingkungan sekitar bahwa kejahatan laten ini sangat berbahaya dan dampaknya luar biasa.

Dalam tataran praktis, pelatihan anti korupsi kali ini akhirnya melahirkan semacam komunitas CPA (Community of People for Againts-Corruptions) yang bertugas mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan ke SMU-SMU sebagai bentuk kepanjangan tangan dari KPK setiap tiga bulan sekali. Bahkan komunitas ini juga dapat melakukan kegiatan pengawasan di kampus masing-masing, yang sebagaimana diketahui bahwa lembaga pendidikan dianggap lahan ”basah”, namun sulit untuk di tindak karena wilayah ini di luar kewenangan KPK.

Ini saatnya mewujudkan generasi Indonesia bebas dari korupsi. Saat ini Indonesia memiliki kurang lebih sumber daya manusia 140-150 juta usia muda, antara 12 sampai 20 tahun. Untuk menciptakan generasi emas (golden generation) tahun 2020 nantinya, perlu dipersiapkan mulai sekarang dengan langkah yang jelas. Dari output komunitas-komunitas kecil hasil pelatihan ToT Anti Korupsi KPK baik di kampus-kampus maupun sekolah-sekolah, diharapkan mampu menyebar dengan basis sharing (berbagi) wawasan mengenai bentuk kejahatan korupsi dan dampaknya untuk membawa langkah Indonesia menuju mimpi nyata. Mimpi untuk membuktikan bahwa kejahatan yang tidak hanya merugikan orang banyak tapi juga negara dan dianggap budaya kenyataannya mampu hilang di muka bumi negeri ini.

Terinspirasi oleh film Laskar Pelangi, agaknya Indonesia harus dikembalikan pada ruh aslinya. Bahwa Kita harus mulai banyak memberi daripada menerima, mensyukuri atas apa yang ada dan berbagi untuk bersama-sama menggapai mimpi mewujudkan kebahagiaan umat manusia.

Meminjam istilah Renald Kassali, mari kita tanamkan kata-kata di bawah nanti sebagai perenungan dan menyadarkan nurani bahwa kita semua bagian dari negeri tercinta ini. Satu kata terindah, maaf. Dua kata terindah, terima kasih. Tiga kata terindah, negeriku dalam kesulitan. Empat kata terindah, negeriku sulit untuk berubah. lima kata terindah, aku ada untuk membantu negeriku.

Read More »

Pluralisme di Indonesia

0 comments
Pluralisme, selama ini bangsa kita terlalu takut dan bahkan antipati dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan mereka dengan istilah ini. Saya sedikit tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi Media Indonesia dengan judul “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah” terlebih setelah sebelumnya saya membaca Catatan Pinggir dari Gunawan Muhammad di Tempo Interaktif dengan judul “Roh, Api, Kata Bung Karno”. Dua tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa kita yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.

Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik antar tokoh bangsa. Bung Karno sebagai presiden pertama kita sudah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika kita tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama. Namun sayang, beliau lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri. Namun spirit itu tidaklah mati begitu saja.

Dua organisasi yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia mengedepankan tenggangrasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya, ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara terjadi di mana-mana di pelosok negeri. Patut disayangkan bukan?

Tapi satu hal yang saya soroti kali ini adalah dua kutub yang senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa yang multi-kultural.

Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang rahmatan li al ‘alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal bangsa kita sebagai agama yang toleran dan pluralis. Tidak ada penghinaan terhadap agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam di masyarakat Indonesia.

Seiring tumbuhnya Islam di Indonesia, paham-paham lain masuk ke dalam masyarakat seperti paham wahabisme dan salafisme dari jazirah Arab. Namun rasanya masyarakat kita tidak mudah ditembus dan dipengaruhi oleh dua paham ini. Dan terbukti nyata paham ini butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa terserap oleh masyarakat kita. Dan kini dua paham itu telah tampil mencengkeram sebagian dari bangsa kita dan merusak kedamaian beragama yang sudah berjalan ratusan tahun di bumi Indonesia. Namun benar apa yang ditulis Media Indonesia di Editorialnya bahwa kita masih boleh berharap banyak pada dua pengawal sejati pluralisme di Indonesia, NU dan Muhammadiyah.

Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan lima agama di dalamnya tanpa ada tenggangrasa antar umat beragama di dalamnya. Tidak akan ada kedamaian dan kenteteraman dalam menjalankan ibadah ketika nilai-nilai “lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan bangsa kita. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama mungkin bisa jadi bangsa kita akan menjadi bangsa barbar yang beringas. Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang menghendaki hal seperti ini.

Read More »

SI,PKI Dan Kesalehan Sosial

0 comments
Kejanggalan itu konon ada kaitannya dengan surga. Rumah ukhrowy hunian para hamba ‘taat’ ini menjadi terma penting agama, iman. Maka setiap muslim dituntut untuk menyakini keberadaannya, lalu minimal menjadikannya tendensi dalam setiap praktik hidup. Kenapa minimal? Barangkali olehkarena terminologi ikhlas—yang dalam pengertian sufistik menjadi pondasi segala laku manusia–, menuntut keterlepasan amal dari segala tendensi pada selainNya. Tentu tendensi ketuhanan dalam pada ini tidak bisa dimaknai secara ekstrim, lalu menafikan signifikansi bias sosial praktik manusia itu. Tapi sejarah menyaksi yang ekstrim ini,

1921. Kala itu, tuntutan untuk setiap pribumi hanya satu: bersetekad melawan kapitalisme. Kuasa kolonial tidak menjanjikan suatu apa, selain hanya kenelangsaan. Ruang gerak pribumi terdikte untuk ‘menghidupi’ hasrat koloni, dan—yang paling mendasar—untuk mengakui kekuasaan the other itu. Setelah sekian lama terkekang, rakyat memberi respon: setiap pribadi melebur dalam komunitas-komunitas, mengukuhi identitas beserta hak-haknya. Tercetuslah cita-cita itu: melawan. Akan tetapi, setiap proses peleburan pribadi–sekalipun demi cita-cita bersama melawan the other—tak pernah terlepas dari “latar”. Dalam diskursus filsafat analitik, artikulasi “latar” merujuk pada pra-nalar yang merupakan bentukan budaya—yang lokal sekalipun. Maka dalam proses afiliasi individu ke dalam komunitas, pada titik tertentu akan melewati masa ‘kemelut’ inter-personal samasekali. Kemudian berkembang menuju ruang yang lebih besar: antar komunitas. Pada masanya ‘kemelut’ ini pun mengalami kontraksi:

Dalam salahsatu pidato yang disampaikan pada Kongres Komunis Internasional ke-4, Tuan Tan menganjurkan kerjasama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Meskipun gagasan ini tidak mendapat dukungan, demikian Seri Buku Tempo: Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan menuliskan, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Di kemudian hari, sengketa antara SI dan PKI menjadi tajuk harian rakyat, mengarutkan semangat perlawanan mereka terhadap kolonial. PKI yang menyerap semangat revolusioner dari Marxisme-Leninisme ini bertentang-paham dengan Sarekat Islam yang menjadikan agama sebagai latar pergerakan.

--“Apa yang mereka (pemerintah) katakan kepada kaum tani muslim yang sederhana?” kata Tuan Tan menirukan propaganda kolonial terkait isu Pan-Islamisme, “Mereka bilang: lihat, komunis tidak hanya memecah-belah, mereka juga ingin merusak agama kalian!”

Mereka, lanjutnya, kemudian berpikir: saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya harus kehilangan surga?—


***
Sejarah senantiasa hadir tak utuh: proses skriptualisasi selalu mengemban kesan reduktif, bahkan intriktif. Namun demikian, perbedaan tonggak epistemik antara Marxisme dan agama tak menafikan potensi kontradiksi tersebut: yang pertama meng’kultus’kan dinamika material –olehkarena itu mengemban kesan positivistik, dan historisitas sebagai obyek kaji nalar; sementara yang kedua cenderung spiritualistik, dan mengimani yang transendental sebagai subyek yang memiliki kuasa absolut. Dan pada saat yang sama masing-masing SI dan PKI satu dalam cita: keadilan yang membumi, serta terciptanya stabilitas sosial. Masing-masing keduanya mengandaikan realitas sosial yang saleh. Dan untuk membuka pintu kesalehan ini hanya ada satu kunci: lepas dari kuasa kolonial kapitalis!

Tapi rupanya propaganda kolonial itu berhasil: kesejalanan yang pernah terjalin, yang bahkan terhitung sejak 1916 itu, tiba-tiba lekang. Premis kesalehan sosial dipertentangkan dengan dogmatisme golongan. Premis itu, yang berangkat dari kesepadanan nilai etika, terjungkal: kembali teruang dalam pandora runyam ideologis. Saya katakan runyam karena, ideologi intim dengan capaian individu atau kelompok terkait perumusan asas pergerakan dan tolak ukur nilai hidup. Sementara itu, realitas obyektif adalah arsiteksi homogenitas sosial yang tak bakal mengandaikan kuasa diktatoris dari kelompok atau bahkan ideologi tertentu manapun. Olehdari itu, realitas obyektif atau al-‘Alam al-Kharijy ini, selamanya akan bersifat kompromistis: persepakatan-persepakatan komunal yang mewujud dalam bentuk norma sosial.

Dari sudut pandang yang paling linear, norma-norma merupakan kandungan dasari budaya. Dan dalam perjalanannya, budaya memiliki perangai yang unik: ia adaptif, sekaligus “defensif” terhadap nilai-nilai baru yang datang kemudian.

***

Ekstrimisme yang aktual mengisi rubrik keseharian masyarakat belakangan ini menjadi replika kuasa diktatorianyang menggejala dalam ruang sosial: ideologi.Terbukti –salahsatunya, dengan kian maraknya praktik-praktik massif-radikal yang mengatasnamakan agama oleh kelompok tertentu. Pola perilaku dan pergerakan kelompok ini destruktif terhadap nilai-nilai budaya: kontra homogenitas. Sesuai dengan watak dan perangainya, budaya juga sekaligus memiliki sifat “melawan” terhadap pelbagai pemaksaan: diwakili oleh para tuannya, lalu terjadilah clash itu, kekerasan-kekerasan, dan konflik. Kemudian,

adakah ideologi –sistem keyakinan dan visi hidup itu, akan selamanya dinamis dalam “ruang”-nya sendiri yang privatif?

Pertanyaan ini barangkali tak berlebihan, meski terkesan menuntut pertanggungjawaban atas kinerja ideologi dalam ruang sosial. Kesalehan sosial sebagai representasi praktik nalar etik sekalipun, menjadi yang mustahil terwujud olehsebab dogmatisme carapandang atas nilai.Dogmatis, karena personifikasi ideologi dalam diri para penganutnya potensial terjadi secara literer. Terlebih pada ideologi keagamaan: agama yang dirujukkan pada Yang transenden membawa nilai-nilai ideal yang absolut. Maka proses pemaknaannya kemudian bersifat referensial-historis: kembali pada metode dan praktik Nabi sebagai media tranformasi nilai ketuhanan menuju ruang sosial manusia, ummat. Pada sementara yang lain, agama—dalam pada ini Islam, memiliki tradisi kualifikasi teks untuk menguji validitas dan kontekstualisasinya menurut kacamata kesejarahan.

Potret perhelatan antar ideologi antara tahun 1920-1930 dalam sejarah bangsa, yang kerap disebut dengan a decade of ideology, membidik pula langkah arif-solutif Soekarno. Bahwa masing-masing ideologi—Nasionalis, Marxisme-Leninis, dan Islamis, memiliki titik tolak dan prinsip nilai yang berbeda tak semestinya lalu mengaburkan visi bersama masyarakat: kesatuan bangsa dan kemerdekaan. Praksisnya, ideologi tak selamanya harus tertutup hanya sebagai sistematisasi keyakinan sekaligus tujuan-akhir aktifitas hidup. Akan tetapi, ia mengandaikan realitas sosial ideal sehingga menuntut adanya komunikasi dan interaksi intensif dengan budaya serta masyarakatnya. Inilah “kesalehan”—ia sebagai istilah non-ideologis, mengacu pada terciptanya keadilan, keselarasan, dan stabilitas dalam seluruh segmentasi hidup masyarakat.[]

Read More »

Bagaimana Cara Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia

0 comments
Bagaimana Cara meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia kiranya urgent untuk diperbincangkan dan dicari jalan keluarnya.Fenomena rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sendiri , sangat berpengaruh besar pada kemampuan bangsa mewarnai kancah persaingan global. Pendidikan sebagai proses pembentukan peradaban manusia yang humanis bercorak modernis kandas ketika dihadapkan pada rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenyam pendidikan. Sikap statis dan apatis rakyat Indonesia dalam memaknai kemajuan bangsa lain semakin memperlebar jurang pemisah antara kategori bangsa maju dan terbelakang. Hal itu terlihat dari relatif rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia dan relatif rendahnya angka daya saing bangsa. Realitas pendidikan Indonesia saat ini berada pada fase intellectual deadlock, diindikasikan dengan minimnya upaya pembaharuan. Konsentrasi pembaharuan sebenarnya bukan hanya pada sistem, manajemen, maupun birokrasi tetapi lebih pada upaya mensinergikan paradigma bangsa, bersatu untuk bangkit dari keterpurukan.
Dalam tinjauan komparatif, pendidikan di negara maju didesain sebagai investasi yang berorientasi futuristik. Kiranya sangat urgent, negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasehat peneliti Mc Dougall: invest in man not in plan. Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus merenovasi kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara komprehensif dan mendasar. Sudah saatnya keterbelakangan ini menjadi awal lahirnya revolusi, menatap dunia dengan terbuka tanpa menghilangkan identitas bangsa, karena hakikat Revolusi menghendaki suatu upaya rekontruksi, reinterpretasi dan reformasi. Revolusi senantiasa mesra dilekatkan dengan dialektika, logika, romantika dan spirit progresivitas menuju perubahan ke arah yang lebih baik.
Kesadaran vis a vis Tuntutan
Belantika pendidikan Indonesia membutuhkan dua perkara, yaitu kesadaran dan gagasan. Sebagai kesadaran, setelah enam puluh lima tahun Indonesia merdeka, makna kemerdekaan hanya dipahami sebatas lepas dari jeratan kolonial bukan semangat menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Dalam arti dhohiriah dan ma’nawiyah, dan tersadar bahwa kita berada dalam dunia baru, semakin terbuka dan banyak pembaharu. Sebagai sebuah gagasan, kenyataan akan akutnya kondisi bangsa yang mencakup dimensi teritori, ekonomi, edukasi, sosial, hingga budaya, selayaknya menggugah kesadaran kita untuk berperan aktif dan berfikir progresif lewat ide imajinatif demi meningkatkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dua hal itulah yang menjadikan eksistensi pendidikan benar-benar ada. Karenanya, kemajuan pendidikan mungkin ada ketika ia masih dipikirkan, dialami dan dikerjakan bersama oleh masyarakatnya. Mungkin ini syarat sebuah kemajuan. Seperti perkataan John F. Kennedy “Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh.”
Sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 2 adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman . Bila dicermati lebih mendalam, visi dan misi pendidikan Indonesia hanya sebatas utopia dan gagasan filosofis tanpa adanya implementasi praktis. Pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan diselenggarakan dan orientasinya sering menimbulkan multi-interpretasi di kalangan pakar pendidikan. Kekaburan paradigma ini menyebabkan operasi pendidikan kita mengalami misplacement, tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat pendukungnya. Secara struktural, politik pendidikan kita, dari masa ke masa dijalankan dengan naluri dan spekulasi para penguasa, dan tidak mengacu kepada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pendidikan dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error, hit and run, dan kick and rush, sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam operasionalisasinya. Kaidah think globally dan act locally yang ditawarkan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, setidaknya menjadi gerbang pembaharuan akan bagaimana masyarakat berfikir global dan terbuka serta tetap mempertahankan budaya lokal dari pengaruh destruktif.
Potret Suram Pendidikan di Indonesia
Berawal dari rasa kepedulian, saya mencoba mengkritisi pendidikan Indonesia dari berbagai aspek dan dimensi yang meliputinya. Ketertinggalan bangsa Indonesia dari Negara tetangga, sedikit banyak telah mengusik kewibawaan nama besar Indonesia di mata dunia. Melihat realita yang ada, pendidikan sebagai media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia harus sesegera mungkin diberdayakan dan dioptimalisasikan. Namun, impian tidak selalu rukun dengan kenyataan. Pendidikan di tanah air sampai saat ini masih tertimbun berjuta problematika. Meskipun berganti aparat birokrat dan orde pemerintahan, dunia pendidikan tak kunjung lepas dari permasalahan klasik baik menyangkut masalah kualitas, kurangnya pemerataan pendidikan, kasus korupsi dana pendidikan hingga terputusnya daya jelajah intelektual kaum terpelajar. Hal itu seharusnya menjadi renungan kita bersama dalam merealisasikan amanat UUD 1945 dalam usaha mencerdaskan bangsa.
Perlu disadari, Indonesia saat ini sedang dan dalam penjajahan multimedia yang diprakarsai oleh negara-negara maju seperti Amerika dan sekutunya demi melanggengkan kebodohan di Indonesia yang terkordinir secara sistematis . Konspirasi ini berjalan cukup mulus dan terorganisir, terbukti dari rendahnya presentase kaum terdidik bangsa baik secara kualitas maupun moralitas. Berdasarkan laporan UNDP sebagai institusi inisiator dan penyelenggara survey Human Development Index (HDI)tahun 2009, menempatkan Indonesia pada urutan ke 111 dari 184 negara. Dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (66), Filipina (105) Singapore (23) dan Jepang (10) , posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Selain itu Peringkat daya saing Indonesia berdasarkan data IMD World Competitiveness Yearbook 2009 masih berada di urutan ke 51. Berdasarkan riset IMD tersebut, Indonesia memperoleh nilai 55,47. Sedangkan peringkat pertama masih ditempati Amerika Serikat (AS) dengan skor 100. Meski demikian, peringkat daya saing Indonesia tersebut masih tertinggal dibanding negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (3), Malaysia (18), Thailand (26) dan filipina (43). Sungguh realitas yang teramat tragis disaksikan.
Selain angka kualitas pendidikan yang rendah, maraknya penyelewengan dana pendidikan semakin memperparah impian bangsa bangkit dari ketertinggalan. Temuan tindak korupsi hampir merata mulai dari atasan hingga bawahan. Menurut Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara di taksir mencapai Rp. 243,3 miliar . Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan penyimpangan dalam sistem pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2,2 triliun di bidang pendidikan ungkap Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin. Dalam wawancara saya dengan Kepala Sekolah SD Negeri Narukan Bapak Mundakir SPd, beliau mengungkapkan bahwa indikasi penyelewengan dana BOS telah menjadi sebuah kewajaran, hal itu terlihat dari laporan administrasi yang dibuat-buat, dan terjadinya simbiosis mutualisme antara Pemerintah Kabupaten dengan Sekolah untuk memangkas dana pendidikan, tentunya dengan peran lobi di dalamnya. Kenyataaan inilah yang membuat negeri ini mengalami stagnansi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Analogi logisnya, pendidik juga perlu mendapat pendidikan.
Tantangan krusial menuju masyarakat peduli pengetahuan adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Sehebat apapun peralatan tekhnologi, jumlah dana melimpah, manajemen tertata rapi, tapi SDM tidak memadai, semua itu bisa jadi barang basi. Demikian halnya, mengenai masalah moral. Apabila iptek diibaratkan sebagai pisau dengan dua sisi, maka hanya SDM yang sadar etika saja yang dapat menghindari terjadinya moral hazard. Dengan demikian, pengembangan SDM yang berkualitas secara intelektual dan moral spiritual adalah masalah yang sangat urgen. Fenomena tawuran antar pelajar, kasus narkoba, pergaulan bebas yang berbuntut HIV Aids adalah indikasi terputusnya jaringan emosional antara anak didik dan pendidik. Melihat hal ini kiranya perlu adanya reformasi metodologi pembelajaran yang lebih menekankan pendekatan holistik, pro-actine sosial skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning emotional kepada siswa. Bukan sekedar teoritik tematik, karena intisari sebuah pendidikan adalah moral dan intelektual. Pakar pendidikan, Arief Rachman, menambahkan, sistem pendidikan yang keliru memang memperparah kondisi. Peran lembaga pendidikan dirasa kurang menerapkan program pembinaan untuk membentuk manusia terpelajar atau intelektual. Sekolah tidak bisa membentuk intelektual rendah hati, cerdas serta berkemampuan menyelesaikan masalah dengan dialog dan logika. Disinalah kontribusi masyarakat dan lembaga pendidikan berperan. Untuk lebih memudahkan mencari solusi permasalahan, saya memakai istilah revolusi SISMAPA (sistem, Manajemen dan Paradigma).
Pertama: Revolusi Sistem
Membincangkan sistem pendidikan kerap kali kita dibenturankan dengan apa yang disebut kordinasi dan birokrasi. Sistem pendidikan yang seharusnya mengedepankan keterampilan dan kompetensi semakin tereduksi menjadi pencapaian berbasis nilai. Definisi keberhasilan proses pendidikan sendiri hanya diukur dengan angka-angka kuantitatif baik perorangan maupun persentase kelulusan. Akibatnya pendidikan hanya menjunjung tinggi supremasi otak sehingga mengabaikan unsur hati dan kepedulian. Seperti tutur Romo Mangun “sudah selama 30 tahun lebih anak-anak kita dianiaya setiap hari oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai anak sebagai anak.” Di negara berlandaskan asas demokratis seperti Indonesia, pendidikan seharusnya lebih diarahkan menjadi motor penggerak bagi terbentuknya jiwa demokrasi: kebebasan, keadilan, persamaan, dan dialog. Menurut John S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan, “pendidikan demokratis” sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model pendidikan harus “disesuaikan” dengan aneka perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, kemampuan), dan “keberbagian” (sharing), di mana yang berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum. Dalam konteks otonomi daerah dan demokrasi, penghargaan akan “perbedaan” (kebutuhan, kecerdasan, kompetensi), “diversitas” (daerah, alam, dan wilayah), dan “pluralitas” (suku, bahasa, agama, ras) seharusnya menjadi fondasi “ideologi pendidikan.” Segala bentuk penyeragaman, homogenisasi, dan standardisasi tidak boleh dilakukan secara sepihak menggunakan otoritas kekuasaan, tetapi diperbincangkan dan dikomunikasikan dalam ruang publik demokratis (Jurgen Habermas) guna mencapai konsensus bersama. Dari sinilah system pendidikan perlu diarahkan pada pendalaman substansi bukan hanya memperindah sisi luarnya.
Kedua: Revolusi manajemen
Secara etimology manajemen berasal dari kata manage yang berarti “to conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary), yang berarti “Mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “manajemen” diartikan sebagai “Proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran.” Adapun secara terminology, oleh para ahli telah memberikan tafsiran yang beragam, dengan formulasi yang berbeda pula. Menurut George R. Terry,(1986): Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari akumulasi tindakan: Perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain. Sedangkan menurut (Boone & Kurtz, 1984: 4) Manajemen is the use of people and other resources to accomplish objective. Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip serta fungsi-fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan terlihat dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Oteng Sutisna (1989: 382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga bidang perhatian dan kepentingan yaitu: (1) setting Administrasi pendidikan (geografi, demografi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan pembangunan); (2) pendidikan (bidang garapan Administrasi); dan (3) substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya, asas-asasnya, dan prilaku administrasi). Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dunia pendidikan, (1) evaluasi pendidikan dan (2) pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia. Dari dua hal ini ketika kita tarik ke dalam menejemen pendidikan yang berjalan di Indonesia, ada beberapa fenomena menarik yang sangat menonjol dewasa ini, diantaranya ialah: a) pendidikan kita tidak mendewasakan anak didik, b) pendidikan kita telah kehilangan objektivitasnya, c) pendidikan kita tidak menumbuhkan pola berpikir, d) pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, e) pendidikan kita dirasa membelenggu, f) pendidikan kita belum mampu membangun individu belajar, g) pendidikan kita dirasa linier-indroktinatif, h) pendidikan kita belum mampu menghasilkan kemandirian, dan i) pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik.
Fenomena tersebut di atas, itu semua adalah tentang evaluasi dari pendidikan kita yang ada sekarang ini. Sedangkan pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia dirasa selain merupakan tuntutan kebutuhan di atas, juga dibutuhkan adanya (1) “peace education” pendidikan yang damai / menyejukkan; (2) pendidikan yang mampu membangun kehidupan demokratik; (3) pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat menjunjung tinggi HAM, dan (4) pendidikan yang mampu membangun keutuhan pribadi manusia berbudaya.
Persoalan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut persoalan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen pendidikan. Mengenai mutu pendidikan menurut Paul Suparno adalah masalah mengenai kurikulum, proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu guru, sarana dan prasarana. Termasuk pemerataan pendidikan adalah masih banyaknya anak sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di sekolah. Sedang persoalan manajemen pendidikan adalah menyangkut segala macam pengaturan pendidikan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan transparansi agar kualitas dam pemerataan pendidikan dapat terselesaikan. Terobosan baru manajemen Pendidikan Indonesia perlu di dasarkan pada planning, organizing, actuating, dan controling. Adalah sistem manajemen yang sangat luar biasa ketika itu dilaksanakan dengan sempurna.
Ketiga: Revolusi Paradigma
Pendidikan Nasional Indonesia seharusnya di bangun di atas landasan yang kuat dan bervisi jelas. Pandangan masyarakat akan Pendidikan yang di dasarkan pada orientasi dunia kerja telah menggrogoti nilai suci tujuan pendidikan. Dalam dunia pendidikan telah muncul tiga paradigma dalam pengembangan keilmuan dan proses pendidikannya. paradigma konservatisme dan liberalisme cukup mengilhami saya menawarkan sebuah paradigma . Dalam buku berjudul Celoteh Tentang Zaman yang Berubah karya Prof. DR. N. Driyarkara, S.J. (I, 2007) Masih soal dunia pendidikan. Pak Nala merasa heran dengan para sarjana yang mendem ngelmu (mabuk dengan ilmu) sehingga tak mampu menyelesaikan problem-problem nyata di masyarakat. Bahkan Pak Nala merasa kasihan dengan banyak orang yang mendewa-dewakan ijazah. Celakanya, para pembesar di negeri ini tak luput dari jenis manusia seperti itu. Ijazah sarjana dianggap mencukupi segala kebutuhan dan bisa menjawab semua persoalan. Menurut M.J. Langeveld (1999) pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.
Kesimpulan
Fenomena keterpurukan pendidikan di negara kita yang sangat kompleks dan heterogen, hendaknya dicermati secara teliti oleh masyarakat, terkhusus Mahasiswa dalam mencari solving problem. Fungsi agent of social change yang melekat pada jati diri mahasiswa saat ini hendaklah termaknai bukan sebatas slogan-slogan demonstrasi saja, namun suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan bangsa, dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Sehingga manajemen dan paradigma antar mahasiswa, masyarakat dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan suatu argumen dan saran sebagai solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan.
Sudah menjadi keharusan bagi seseorang atau kelompok mahasiswa untuk berperan aktif dalam menyoroti kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, mengingat tuntutan status sosial yang strategis bagi mahasiswa dari pada elemen masyarakat lainnya, dan ini bukan berarti mahasiswa bergerak atau aktif dalam melakukan kontrol sosial yang berkembang dengan tanpa ideologi dan orientasi perjuangan yang jelas. Mahasiswa harusnya peka menyelami konsep perubahan masyarakat, kebangkitan masyarakat, kritik sosial politik yang ideologis.

Oleh karenanya mahasiswa dalam memahami peranannya dalam peningkatan mutu kualitas pendidikan di Indonesia sepatutnya memiliki kerangka acuan dan pegangan paradigma. Seperti perkataan John F Kennedy “Don’t ask what your country give to you but ask what you do to your country”. Dari kutipan di atas, paradigma berfikir mahasiswa seharusnya terbangun kokoh dalam usaha mengartikulasikan daya intelektual ke arah perbaikan bangsa. Dengan diimbangi daya saing yang komunikatif serta daya sanding yang kompetitif.

Read More »