• Post with SoundCloud

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Consectetur adipisicing elit

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Post With Featured Image

    iam 1989 wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing...

  • Elementum mauris aliquam ut

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

Showing posts with label Edukasi. Show all posts

Cara Mengatasi Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusi Cerdas

0 comments
Melihat realitas pendidikan di Indonesia saat ini, kiranya perlu mencari solusi atas masalah pendidikan yang semakin hari mengkerdilkan daya kreatifitas dan imajinasi anak bangsa. Pendidikan yang selama ini berjalan, dirasa sudah jauh dari cita - cita pendidikan yang selama ini kita impikan.

Pendidikan menjadi salah satu instrumen terpenting dalam membangun peradaban Bangsa. Melaluinya, kemajuan bangsa bisa terealisasikan; mandiri, progesif, demokratis dan bertanggungjawab pada negara. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional Republik Indonesia yang tertuang dalam UUD (Undang-Undang Dasar) no 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Dasar nomor 20 tahun 2003, mengembangkan pribadi yang mandiri, arif, bijaksana dan bertanggungjawab sebagai warga negara.

Pembentukan UDD di atas itu tak lepas dari ide besar Ki Hadjar Dewantoro dalam merumuskan falsafah pendidikan Bangsa Indonesia saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan pertama kali. Beliau berharap, rakyat Indonesia bisa menjadi manusia seutuhnya, merdeka sejak dalam dirinya.  Menurut beliau ada tiga hal manusia dikatakan merdeka: pertama, berdiri sendiri. Kedua, tidak tergantung pada orang lain. Ketiga, dapat mengatur diri sendiri.

Tiga dimensi manusia merdeka tersebut, sering dituturkan oleh beliau saat memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada masyarakat, saat bertutur maupun laku. Tujuannya adalah mampu membenuk watak dan jiwa manusia semangat, progesif dan merdeka, sehingga mampu untuk memberi contoh yang baik kepada generasi selanjutnya; membantu memberi semangat dan memberikan dorongan untuk selalu bergerak maju. Sehingga dinamika pembangunan bangsa dan masyarakatnya terkondisikan dengan baik sejak dalam pikirannya; selalu memberikan dukungan positif atas kreatifitas yang dibangun. Bukan menghancurkan kreatifitasnya.

Penekanan menjadi manusia merdeka seutuhnya ini, mengilhami lahirnya semboyan “ing ngarso sang tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.  Dari semboyan tersebut juga, membuat beliau terkenal sebagai bapak pendidikan nasional. Seseorang yang memperjuangkan nasib bangsa melalui pendidikan yang terstruktur, terorganisir, filosofis, mandiri, kreatif agar menjadi warga cerdas dan progesif untuk perkembangan bangsanya.
Dari makna filsofis dan berkarater tersebut, saat ini pendidikan telah memudar maknanya. Sehingga terjadi pergeseran makna pendidikan dan tujuannya. Pemahaman manusia mengenai pendidikan tidak lagi untuk menjadi makhluk sosial yang integral sebagai masyarakat dan bangsa tapi menjadi manusia individualis.

Pergeseran paradigma mengenai pendidikan inilah, meresahkan istilah pendidikan itu sendiri, apalagi digunakan untuk memperingati harinya. Masih pantaskan untuk dirayakan, sedangkan manusianya tidak lagi mengerti makna pendidikan itu sendiri.  Perihal inilah, pernah menjadi sorotan  dalam Koran Kompas, Sabtu, Mei, 2009.[1]

Untuk mendedah lebih lanjut mengenai konsep pendidikan di atas, sebagai alat rekayasa sosial dalam mencipta masyarakat integral saat membangun kemajuan bangsa, relasi kehadiran pendidikan dengan makna bangsa, negara, di sini penting untuk dihadirkan kembali. Supaya kita tidak lagi lupa makna yang dipendam oleh istilah pendidikan itu sendiri. Sehingga wujudnya pendidikan secara lembaga di ruang realitas mampu dicecap maknanya di ruang idealitas. Dan  wujud pendidikan di ruang realitas saat ini, bisa dipahami dalam laku sehari-hari manusia.

Dengan terwujudnya relasi antara idealitas dan realitas dalam praktek laku kehidupan, membangkitkah gairah onto-kritik terhadap usaha-usaha pemerintah dalam memperjuangkan sekolah wajib dua belas tahun dari zaman orde baru sampai era reformasi. Dan jembatan untuk memahamankan masyarakat  mengenai pendidikan, terbangun kesadarannya dengan baik, bahwa pendidikan bukan hanya formalitas dan latah. Tapi sebuah kesadaran untuk bergerak melaksanakan pendidikan dari jiwanya.

Makna Pendidikan Diantara Ketegangan Realitas

Pendidikan berasal dari suku kata didik mendapat imbuhan ‘pe dan an’ yang menekankan pada –peristiwa itu sendiri atau perbuatan yang dialami oleh kata pendidikan—. Sedangkan makna didik itu sendiri mempunyai makna –memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran—. Jika kata didik telah diobjektifikasi menjadi kata pendidikan, dalam kamus KBBI mempunyai arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Arti dan makna yang telah ditetapkan oleh kamus Bahasa Indonesia tersebut, memangku tanggungjawab primodial untuk diejawantahkan dalam dunia realitas material ini. Kata tersebut tidak bisa menghindar tanggungjawabnya ketika disandarkan dengan kata lain apalagi dilekatkan pada instutisi negara Republik, seperti Indonesia. Tanggungjawabnya melampui artikata tersebut, yakni membentuk manusia merdeka sejak pemikirannya.

Maka tak heran, kata tersebut menjadi pusat perhatian sejak awal berdirinya negara Indonesia; pondasi pertama dalam membangun bangsa adalah pendidikan. Sebelum dideklarasikan kemerdekaan, ide tersebut pernah didialog-kan oleh Muhammad Hatta bersama Soekarno, bahwa pertama yang harus dimerdekakan dari penjajahan adalah pemikiran masyarakatnya, yakni dengan memberikan pendidikan kepada mereka, bukan kemedekaan kontitusional.  Karena gagasan itu membutuhkan waktu lama, menurut Soekarna yang terpenting saat ini (tempo dulu) merdeka terlebih dahulu secara de facto dan de jure, baru pembangunan masyarakatnya dengan pendidikan.

Peristiwa dialog dari dua tokoh tersebut, menunjukan pendidikan adalah bekal awal menjadi manusia merdeka. Pendapat ini dikuatkan oleh Paulo Fariere dalam bukunya ‘education as the practice of fredoom’, bahwa pendidikan adalah modal penting menjadi manusia yang bebas dari segala ke-naifan, kebodohan, ketundukan dari segala hal. Dan bisa menjadi manusia yang mandiri untuk dirinya sendiri, mengatasi permasalahan dirinya, mengerti cara berprilaku baik dengan orang lain.

Peristiwa di atas dan konsep dasar Paulo Fariere mengingatkan dengan cerita Nabi Adam saat diciptakan di dunia oleh Allah SWT, terjadi proses transfer ilmu dari Yang Maha Kuasa kepada nabi Adam. Di mana semua makhluk hidup yang tercipta lebih dahulu, tidak mampu berkata apa-apa saat terjadi dialog antara Nabi Adam dengan lainnya. Sebagaimana Malaikat dan Iblis, keduanya mengakui kalau pengetahuan Nabi Adam lebih tinggi daripada mereka.
Cerita nabi Adam dengan para malaikat dan Iblis, di sini sebagai manisfestasi teologis betapa pentingnya pendidikan transfer ilmu untuk mendidik manusia berpengetahuan arif dan bijaksana. Sisi lain, sebagai sebuah objektifikasi fenomena pendidikan di beberapa negara maju. Bahwa transfer ilmu dalam kehidupan manusia adalah langkah awal membangun negara. Dengan melaksanakan pendidikan, ada transfer ilmu, ada pembentukan nalar berpikir menjadi lebih baik. Mengingat bahwa dengan nalar kritis, dengan ilmu juga, ragamnya keinginan manusia bisa terkendali karena tahu batas.  Dengan pengetahuan, batas-batas keinginan terjembatani  secara natural. Tanpa saling memerkosa hak-hak lain. Sehingga makna proses transfer ilmu untuk mendidik manusia  berbudi dan berpengetahuan diakui idealitasnya; makna untuk merdeka. Hingga cita-cita awal Ki Hadjar Dewantoro untuk pendidikan nasional terpenuhi haknya di dunia modern saat ini.

Dari deksripsi di atas, makna dasarnya untuk mengajari manusia berbudi dan berpikir kreatif, seharusnya mampu ditemukan pengaruhnya dalam kehidupan manusia Indonesia saat ini. Anak-anak SMP, SMA, tidak lagi ada tawuran. Tidak ada lagi pelecehan seksual;[2] tidak lagi ada pengaturan nilai-nilai Ujian Nasional. Akan tetapi, femonena diluar prinsip pendidikan tetap saja terjadi, fenomena tawuran antar siswa, pelecehan seksual kepada siswi dan siswa kerap berlansung. Sampai-sampai pembunuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA sering dijumpai dalam berita-beria di televisi atau pun koran. Ini menunjuk-kan bahwa makna pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantoro, tidak mampu dipahami lebih baik di zaman modern saat ini. Dan sudah saatnya, pendidikan modern saat ini dikritisi lebih lanjut konsepnya dan dampaknya, untuk membangun bangsa!

Antara Sikap dan Hak

Jika makna pendidikan mempunyai titik tekan pada proses pengubahan manusia dari tidak berbudi menjadi manusia berbudi, dari tidak kritis menjadi kritis, dari berpikir tidak kreatif menjadi berpikir kreatif, perlu ada usaha membangkitkan kembali semangat zaman manusia saat ini. Alasannya adalah makna tersebut tidak akan tersentuh sama sekali, tanpa ada usaha-usaha bersama dari para pelaksana pendididikan dan pelaku pendidikan. Yang ada hanyalah formalitas belaka.

Salah satu jalan untuk membangkitkan semangat zaman adalah mengurangi budaya hafalan dan menyusaikan materi-materi yang diajarkan di Sekolah Dasar. Karena budaya hafalan menghilangkan pengalaman bernalar manusia sejak dini dan menghilangkan rasa untuk mengenali cara pandang orang lain. Sehingga yang terjadi adalah keroposnya rasa untuk berempati pada orang lain dan jiwa untuk bernalar di saat telah lulus dari sekolah negara. Oleh karena itu, tak heran ada beberapa pandangan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia, karena di nilai kurang sesuai dengan perkembangan psikologi murid-murid.[3]

Tapi hal ini, akan berbeda jika diperbandingkan dengan sistem pendidikan di Francis dan Jerman, tahapan berpikir diperhatikan dengan baik serta penyesuaian materi terhadap psikologis murid menjadi hal penting saat terjadi belajar-mengajar. Karena tujuannya satu, untuk membangun manusia sejak dini berpikir kritis dan kreatif. Karena dengan berpikir kritis dan kreatif akan timbul pengetahuan mengenai hal yang buruk dan baik.

Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan sistem pendidikan dan sistem pengajaran di sekolah sebuah negara. Jelas membawa dampak perbedaan jelas; yaitu masyarakat di negara maju mampu menjadi sumber daya pembangunan bangsanya. Dan rasa nasionalisme mereka sangat tinggi dan kuat. Ini karena cara mereka memahami negara dan bangsa telah ada sejak bernalar. Sejak mereka dikenalkan tentang sejarah mengenai bangsa dan budaya.
Sedangkan dalam negara berkembang dan terbelangkang sering ditemukan masyarakatnya menjadi beban negara, karena cara berpikirnya tidak ditata terlebih dahulu sejak di pe-lajaran dasarnya. Mereka, masyarakat, berpangku tangan menunggu negara bergerak. Tidak bergerak dari dirinya sendiri. Kurang adanya kreatifitas dalam dirinya ketika dihadapkan pada realitas semu.

Di sini, pembetukan kurikulum di negara berkembang seperti Indonesia, patut di evaluasi kembali. Karena pendidikan ada beberapa tahap dalam pengajaran di lembaganya kurang sesuai dengan perkembangan manusia. Hingga tidak terjadi hafalisasi atas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar sampai sekolah SMA. Hingga anak-anak merasa bahwa dengan mengikuti pendidikan, mendapat perhargaan secara afektif, kognitif dan psikomotorik. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk mendapat ijazah dan pekerjaan, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya.

Yang paling penting juga adalah proses mimesis oleh guru kepada anak dan lingkungan sekitar. Peniruan karakter menjadi bom atom untuk di waspadai, agar anak tidak lepas tandas diluar batas kemampuan manusia. Maka wajib bagi pendidik untuk menjaga pola intraksi yang baik agar ada asimilasi kreatifitas untuk saling melengkapi. Baik itu keluarga, atau pun pengajaran di institusi pendidikan formal.  Sehingga pendidikan  lebur dalam satu entitas merdeka, pendidikan jasmani dan rohani.

Hubungan timbal balik, peniruan, kreatifitas, menandakan keberhasilan membangun nalar dengan baik dan kesadaran awam sebagai manusia.  Sehingga tanpa ada aturan apapun yang memerintahkan dirinya, akan berkorban untuk membela kesatuan negara. Rasa nasionalisme dalam jiwa mereka lebur bersama-sama dalam pembangunan. Sebagaimana sejarah sumpah pemuda dan  reformasi di Indonesia yang di wakili oleh kalangan-kalangan terdidik. Tapi jika saat ini kalangan pendidik tidak lagi menjadi penunjang kemajuan bangsa, pergeseran pemahaman pendidikan telah mengganti penuh fungsi menjadi manusia seutuhnya; menjaga dan mengontrol keharmonisan sosial.

Maka dari sana, penghianatan tidak lagi pada makna pendidikan bangsa, tapi juga dasar falsafah bangsa-pancasila- tercerabut nilai oleh manusia modern.  Sehingga kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi kemanusiaan individualis dan pragmatis serta apatis. Oleh karena itu, agar falsafah pancasila sebagai dasar negara terealisasikan –membentuk masyarakat adil dan beradab. Mari bangun pendidikan bangsa berkarakter nasional dan lokal tapi menjangkau internasional dari diri kita masing-masing.

Kesimpulan

Untuk menjadi manusia merdeka perlu ada wadah yang akan mengelola keraguan tiap saat dalam jiwa manusia. Karena rasa ragu mempengaruhi manusia untuk bertindak tegas dan sulit menentukan sikap. Dengan berhasil mengelola rasa ragu,  keyakinan untuk memutuskan kebenaran mutlak dipertahankan. Tanpa mengenal lagi rasa takut dan di sia-siakan oleh realitas. Dan untuk mencapai semua itu tentunya dengan pendidikan mandiri sejak dalam dirinya, tidak sebuah formalitas dan rutinitas.

Dari sini, persatuan bangsa dan keadilan sosial yang beradab bisa terbangun dalam kenyataan sebenarnya. Mahasiswa tidak lagi menjadi ekor politik yang mengenduskan banyak kepentingan. Bapak guru tidak lagi mengajar sebelum mendapat gaji, tapi senantiasa berkorban untuk ilmu; pahlawan tanpa jasa. Anak-anak SD mampu mengenal etika untuk mengucapkan salam dan mengerjakan tugas dari sekolah. Serta membantu kerja bapak dan ibu ketika di rumah.

Sehingga cita-cita pendidikan menjadi manusia berbudi dan kreatif tertanam untuk memerdekakan dirinya dari jerat kolinialisme, pragmatisme orang lain dan negara lain. Keberadaannya disadari sejak awal untuk memajukan tatanan sosial dan memajukan kebudayaan serta peradaban bangsa. Bangsa tidak lagi sebuah pencitraan untuk mencari status tertinggi dan terpintar, tapi bangsa sebagai wadah untuk bekerja sama dalam segala apapun.  Dan penghargaan di setiap event lomba dari lembaga pendidikan tidak lagi hanya untuk murid berprestasi, tapi juga untuk mereka yang mampu giat belajar di sekolah meskipun tidak berprestasi tenar, sebagai cara untuk menghargai kemanusiaan dan menjadikannya manusia seutuhnya.

Dan tulisan ini untuk menyambut hari pendidikan nasional. Semoga pendidikan nasional kedepan mampu menjadi wadah untuk menggodok manusia yang benar-benar merdeka. Tidak lagi ada penjajahan berpikir dan  kreatifitas. Manusia mampu merasakan nafas alam untuk menjadi dirinya. Murni sebagai manusia tanpa dibebani kepentingan untuk menguasai satu sama lainnya. Karena kemerdekaan sesungguhnya adalah lepas dari beban untuk menjadi apapun, hanya belajar untuk menjadi manusia yang manusiawi. Semua itu karena adanya pendidikan.

Read More »

Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli

0 comments
Pada kesempatan kali ini kami akan memberikan informasi mengenai pengertian globalisasi dan beragam penafsiran tentang globalisasi dari berbagai definisi para ahli.Menurut
Achmad Suparman,Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya.

Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negaradi dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat

Globalisasi Menurut Para Ahli

1. Roland Robertson, dosen sosiologi Universitas Aberdeen, salah satu penulis pertama di bidang globalisasi, mendefinisikan globalisasi pada tahun 1992 sebagai:  pemadatan dunia dan pemerkayaan kesadaran dunia secara keseluruhan.

2. Sosiolog Martin Albrow dan Elizabeth King mendefinisikan globalisasi sebagai:  semua proses yang menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal.

3. Di The Consequences of Modernity, Anthony Giddens memakai definisi berikut:      Globalisasi dapat diartikan sebagai intensifikasi hubungan sosial dunia yang menghubungkan tempat-tempat jauh sehingga peristiwa di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di tempat lain sekian kilometer jauhnya dan sebaliknya.

Essay tentang Globalisasi Dan Kisah Kesenjangan

Mempersilakan atau menghadang globalisasi boleh jadi terlihat sebagai dua perkara yang berbeda. Padahal, sama halnya dengan pilihan menjadi kapitalis atau sosialis, ternyata persoalan hidup tidak melulu melekat pada ilusi teoritis atau ideologis, tapi lebih tergantung pada kesanggupan menyadari situasi sejarah sekaligus kesanggupan untuk memberi bentuk kepadanya. Globalisasi sepenuhnya adalah situasi sejarah yang digerakkan bukan oleh dirinya tetapi oleh selaksa pikiran dan tindakan manusia. Menganjurkan globalisasi sebagai keniscayaan yang mustahil dielak, sama saja dengan khotbah tentang hari kiamat. Sementara mengutuknya, tak jauh beda dengan ajakan kembali ke zaman purba. Dua pendirian yang kelihatan berkebalikan ini ternyata sebangun dalam asumsi, yakni menempatkan manusia sebagai diri yang takluk dan lumpuh.

Selama ini, euforia dan kutukan orang terhadap globalisasi lebih sering berkubang dan dilokalisir pada wilayah fashion, mindset, selera, busana, atau bahasa. Pada dimensi gaya hidup lah, gobalisasi cenderung bermakna penyeragaman. Penyeragaman dibutuhkan agar bisnis trans-nasional makin berkibar. Sementara pada dimensi kesejahteraan, globalisasi mendorong kesenjangan. Dan demikianlah, pada jantung persoalan yang sesungguhnya, globalisasi adalah soal ekonomi. Ilustrasinya tergambar dalam statistik berikut.

Diperkirakan nilai pasar telekomunikasi dunia kini lebih dari 1 trilyun dolar AS. Angka ini niscaya tambah membengkak jika diimbuhi nilai bisnis teknologi komputer. Sementara, angka transaksi business-to-costumer (B2C) online mencapai 108 milyar dolar AS sementara business-to-business (B2B) 1.3 trilyun dolar AS. Dari sini muncul klaim bahwa globalisasi yang dipompa teknologi bisa mendongkrak kegiatan ekonomi. Sementara, pada 1960, terdapat 20% warga paling kaya menguasai 70,2% kekayaan dunia. Sementara 20% warga paling miskin hanya mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Angka ini berubah drastis pada akhir 1990 dimana 20 % warga yang paling kaya itu sudah menguasai 86 persen kemakmuran dunia, sementara seperlima yang paling miskin hanya mengais-ngais 1 persennya (Yanuar Nugroho, 2006).

Jika orang sering menyebut globalisasi berwatak boarderless, watak yang melesapkan batas teritorial negara, statistik ini nampaknya juga perlu dipertimbangkan. Tahun 1971, dari transaksi finansial global per hari yang mencapai 1,4 milyar dolar AS, 90 persennya beroperasi di sektor real. Sisa 10% berputar-putar pada saham, valas dan sebagainya. Angka itu mulai berbalik mulai tahun 1990. Hingga di tahun 2000, sekitar 95% dari transaksi finansial global yang besarnya 1,5 triliun dolar per hari, 40 persennya adalah transaksi spekulatif dengan kecepatan mondar-mandir antar negara 1-7 hari. 40 persen yang lain kecepatannya kurang dari 2 hari (B. Herry-Priyono, 2007).
Kini, globalisasi yang ditopang perkembangan TIK semakin didesakkan ke seluruh penjuru dunia. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, sudah lama mengingatkan globalisasi sebagai hubungan asimetris antar negara yang ujung-ujungnya adalah hasil keuntungan yang asimetris pula (2003). Statistik di atas menandai era di mana kegiatan ekonomi mengalami ketercerabutan dari daya hidup (survival ) komunitas. nampaknya, di situlah kemudian kita terjebak dalam dilema. Memerosokkan atau melarikan diri dari globalisasi sama-sama bukan lah jalan keluar.

Jika demikian, lantas apa makna daya saing di era globalisasi dalam konteks ekonomi? Sejauh mana kebermaknaannya bagi masyarakat Indonesia? Bukankah tingkat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia semakin meningkat? Bukankah peningkatan itu berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan? Ijinkan saya menyodorkan dua asumsi pokok untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, korelasi TIK dengan ekonomi tidak berada dalam logika kausal sederhana. Tidak seperti “ada api maka langsung ada asap”, antara teknologi dan ekonomi terbentang korelasi yang berlapis-lapis. Petani kentang di dataran tinggi Dieng pernah berujar begini, “aku sudah punya imel dan pesbuk, tapi bagaimana caranya harga jual kentang bisa bagus?” Lalu, tanpa berpikir rumit, kita pun tahu, perangkat seperti telepon genggam dan komputer tidak dengan sendirinya menyejahterakan petani. Dalam praktiknya, penawaran dan permintaan bukan sesuatu yang terprogram secara otomatis lantaran di sana ada jaringan ekonomi melibatkan lebih dari sekadar kekuatan yang lebih perseorangan dan komunitas.

Gugus modal (capital), tenaga kerja (labor), dan tanah (land) mesti padu jika yang disasar adalah keadilan ekonomi. Sementara, kita menjumpai banyak kasus di mana komunitas yang menempati suatu wilayah dengan sumber daya alam bernilai ekonomi tinggi justru tidak ikut menikmati hasilnya. Demikianlah, ekonomi di era globalisasi kerap ditandai dengan kinerja modal yang mencerabut manusia dari konteks kewilayahannya. Di situ, peran negara sebenaranya sangat dibutuhkan untuk mengatur distribusi yang adil. Problemnya, negara sudah sedemikian lemah peranannya justru ketika ia sangat dibutuhkan. Dan kita tahu belaka, pelemahan negara itu sudah berlangsung sejak lama melalui deregulasi ekonomi dan kebobrokan mentalitas pejabat publik.

Kedua, pengembangan TIK di negara berkembang cenderung bias. Setidaknya ada tiga bias yang penting dalam kaitannya dengan ekonomi: bias wilayah, bias kelas, dan bias gender. Secara umum, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Kini, diperkirakan ada lebih dari 30 juta pengguna internet di Indonesia (data Internet Worldstats tahun 2009). Ini artinya hanya sekitar sepertujuh dari total populasi masyarakat Indonesia. Konsentrasinya memusat di wilayah Indonesia Barat, terutama kawasan rural pulau Jawa. Sementara dari 105.001 desa di bali dan Indonesia Timur, sebanyak 68.650 desa tak tersentuh internet (blogs.depkominfo.go.id). Dalam hal gender, data indikator telematika tahun 2005 menyebutkan pengguna internet di Indonesia lebih banyak pria (75.86%) daripada wanita (24.14%).
Situasi yang sarwa-bias itu masih diperparah dengan kecenderungan pemanfaatan produk TIK dalam wabah konsumerisme. Padahal, untuk menjadi masyarakat informasi, kultur baca-tulis adalah prasyarat mutlak. Itu pula yang antara lain membuat UU ITE hanya berbunyi pada urusan pornografi. Apa yang diatur oleh UU ITE belum lagi menjadi urusan nyata bagi masyarakat luas. Di sinilah tantangan di level social engineering ternyata lebih berat ketimbang mendesakkan mechanical engineering.

Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk berpandangan muram. Saya ikut barisan orang yang optimis dengan kekuatan ekonomi informal yang terbukti tangguh diterpa badai krisis moneter sementara ekonomi spekulatif terpuruk tak karuan. Yang ingin ditegaskan, dengan mencermati kinerja globalisasi yang bergandengan dengan nalar neoliberal, pemanfaatan TIK sungguh-sunguh mesti dihayati sebagai bagian dari kerja patriotik. Mengapa patriotik? Sederhana, makna patria adalah tanah. Menjadi patriotik adalah mengerahkan segenap upaya agar segenap sumber daya alam Indonesia sebisa mungkin diselamatkan agar tidak tercerabut dari daya hidup masyarakat Indonesia. Relakah kita jika kekayaan alam ini sekadar dikonversi menjadi angka-angka digital dalam bursa saham yang dipermainkan para spekulan?

Read More »

Artikel pendidikan di Indonesia saat ini

0 comments
Artikel pendidikan di Indonesia saat ini akan mengangkat tema dengan judul  " Mengenal Kembali Indonesia " .Hal ini setidaknya akan sedikit membuka cakrawala dan paradigma kita.Tanpa terasa, lembaran tahun 2012 hampir berakhir. Seperti biasa kita melewatinya biasa saja. Sejarah berlalu begitu saja tanpa ada kesadaran belajar dari sejarah. Gundah gulana orang bijak melihat manusia dengan nalar liarnya dan indra perasa yang mulai buta. Perubahan tatanan kehidupan masyarakat baik masalah ekonomi, sosial maupun pendidikan, kiranya urgent untuk diperbincangkan. Rerasan perubahan zaman kiranya bisa membuka mata, hati dan pikiran untuk kita renungkan bersama mencari jalan keluar.

Rerasan Negeri Bahari dan Agraris

    Hamparan teritorial dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang karun, keunggulan bakat manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade, kenekadan hidup tanpa manajemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan genetik dan antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh “penggalan surga” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, sungguh-sungguh merupakan potensialitas yang tak tertandingi oleh Negara dan bangsa manapun di muka bumi.

    Namun, kesadaran untuk mengenal kembali Indonesia sebagai sebuah imaji bahari dan Agrari masih minim realisasi. Potensi kelautan sering diabaikan dan potensi pertanian sering dicampakkan. Dalam kisaran finansial, potensi kelautan Indonesia bisa mencapai 3.000 triliun per tahun. Sungguh angka yang fantastis bagi barometer pendapatan negara. Namun sayangnya, pemanfaatan kekayaan alam ini masih terbentur dengan minimnya perhatian pemerintah dan lesunya daya minat masyarakat akan sektor ini.

   Fenomena menunjukkan bahwa paradigma masyarakat kita mulai terlihat janggal dan tidak wajar, kesadaran mengerti bahwa Indonesia adalah negeri Agraris dan Kelautan ternyata bagi mayoritas masyarakat dirasa kurang menjanjikan masa depan. Dibuktikan dengan banyaknya minat orang tua yang menyekolahkan anaknya sampai ke bangku perkuliahan agar kelak bekerja kantoran atau menjadi PNS. Pernahkah anda mendengar nasehat orang tua kepada anaknya untuk menjadi petani atau nelayan professional? Kalau pun ada hanya wasiat juragan tanah maupun juragan kapal.

Kenyataan semacam ini semakin menandai bahwa di level warga terjadi miskin pikir yang berkelanjutan, sementara di level pendidikan terjadi pergeseran orientasi dan kemandekan transformasi keilmuan. Sungguh Ironis, di satu sisi, orientasi pendidikan tinggi hanya sebatas peyedia tenaga kerja siap pakai untuk pasar kerja formal. Sementara di sisi lain, fakta kekuatan agraris dan bahari justru dilupakan. Kelangkaanlah yang kemudian terjadi, bukan lagi BBM maupun pangan melainkan kelangkaan lapangan pekerjaan. Para penganggur terdidik semakin terjebak dilema dan kegalauan, mendapat pekerjaan formal terasa susah, sementara membangun desa terasa segan dan kebingungan dengan pengetahuan yang pas-pasan. Berdasarkan data BPS Badan Pusat Statistik pada Agustus 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk tingkat pendidikan Diploma dan Sarjana masing-masing 6,21 persen dan 5,91 persen.
Ironi semacam ini, seperti banyak dimengerti, dipompa oleh arus neoliberalisme dalam wujud komersialisasi pendidikan terutama dalam satu dekade terakhir. Sebagai komoditas, pendidikan menjadi sulit dibedakan dengan produk kosmetik atau blackberry yang bisa dijualbelikan secara bebas. Pendidikan bukan lagi berdasar pada hak warga negara, melainkan daya beli konsumen. Di tengah badai krisis baik korupsi, suap dan sunat anggaran, terlihat sangat irasional ketika Pemerintah berencana menaikkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2013 sebesar Rp. 331,8 triliun atau naik 6,7 persen dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2011. Ini artinya kenaikan anggaran yang pemerintah canangkan harus berjalan sepadan dengan perbaikan kualitas pendidikan.
Rencana pemerintah ini terbilang gila, carut marut aliran dana baik BOS, perawatan sekolah maupun perpustakaan masih dipotong perut-perut serakah. Selain itu seleksi penerimaan guru seperti halnya lelang kambing jantan, ini nyata tapi kenapa kenyataan setragis ini dianggap wajar. Kalau boleh penulis katakan, pendidikan hanya ajang rekayasa dan pembodohan. Statement ini bukan tanpa bukti, menurut pengakuan bapak saya, demi meningkatkan nilai jual sekolah di mata masyarakat, para guru melalui ilmu lobinya, memberikan imbalan uang kepada pihak pengawas untuk tidak bersikap ketat ketika berjalannya ujian. Selain itu dana BOS disunat 10 persen oleh komite sekolah kecamatan. Lantas mau dibawa kemana generasi penerus bangsa? Atau kita menjadi generasi alay saja lah.
Membincang negeri bahari dan agrari, reorientasi pedesaan melalui dunia pendidikan kiranya perlu untuk didengungkan. Setidaknya ada tiga hal yang bisa ditempuh agar dunia pendidikan memiliki relevansi kembali dengan kenyataan hidup rakyat Indonesia. Langkah pertama ada di level kebijakan. Ini menyangkut kehendak politik (political will) para birokrat di instansi pemerintahan hingga birokrat di kampus. Tentu agenda mendasarnya adalah merevisi beberapa pasal UU Sisdiknas yang terbukti membuka celah lebar bagi komersialisasi pendidikan. Agenda yang tak kalah penting adalah akses yang disediakan pemerintah agar mahasiswa memiliki banyak saluran untuk memesrai persoalan-persoalan rakyat di daerah. Misalnya saja, Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal bisa menggalang kerjasama dengan Dikti. Kerjasama itu bisa berbentuk program mahasiswa mengajar di sekolah-sekolah daerah tertinggal selama kurun waktu tertentu. Program seperti ini terbukti mujarab. Gagasan KKN muncul di benak Pak Koes yang masih mahasiswa ketika ia mengajar anak SMP-SMA di Nusa Tenggara. Inisiatif semacam ini belakangan sudah digalakkan kembali oleh Gerakan Indonesia Mengajar yang dipimpin Anies Baswedan.
Langkah kedua adalah jalur keilmuan. Mengingat keanekaragaman masyarakat Indonesia, paradigma keilmuan di Indonesia harus mencari jalan atau mazhabnya sendiri. Tidak sekadar membebek teori-teori Barat. Jalan ke arah itu sebenarnya sudah dirintis sejumlah nama. Antara lain, Moebyarto dengan Ekonomi Pancasilanya, Sartono Kartodirjo dengan Historiografi Indonesia-nya, Driyarkara dengan Filsafat Kemanusiaannya, Satjipto Rahardjo dengan Hukum Progresif-nya, Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik-nya, atau Sajogyo dengan Agraria Pedesaan-nya. Memang, membangun tradisi keilmuan yang setia pada kenyataan hidup nusantara bukan perkara mudah mengingat sejarah kesarjanaan di Indonesia selalu berjalan terputus-putus, lupa untuk mengakumulasikan dirinya, sehingga nyaris tak memiliki kesinambungan tradisi.
Langkah ketiga bertempat di jalur pergerakan. Sepanjang periode pasca 1998, nampak kecenderungan gerakan mahasiswa semakin terkooptasi isu-isu elitis. Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, pergerakan mahasiswa terperangkap dalam situasi untuk selalu reaksioner. Meski bisa baik atau buruk, yang jelas kecenderungan ini mengikis kedekatan emosional dan pergaulan dengan massa rakyat. Isu-isu elitis, seperti kasus Century misalnya, tidak selamanya adalah isu penting di level rakyat. Karena itu, sudah saatnya gerakan-gerakan mahasiswa kembali ke basis rakyat, menyelami sungguh-sungguh keprihatinan rakyat dengan keterlibatan yang intens.

Ringkas kata, menyelesaikan aneka masalah keindonesiaan, pada dasarnya, harus berpijak pada kenyataan keindonesiaan yang hari ini menunggu dikuak di desa-desa sekujur nusantara. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong-nya berseru, Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/Kita musti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa/Menghayati sendiri semua gejala/Dan menghayati persoalan yang nyata.

Read More »