• Post with SoundCloud

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Consectetur adipisicing elit

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Post With Featured Image

    iam 1989 wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing...

  • Elementum mauris aliquam ut

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

Showing posts with label Keislaman. Show all posts

Hukum Nikah Siri Tanpa Wali

0 comments
Ada banyak alasan manusia untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, tidak jarang itu semua terjadi hanya karena dorongan nafsu belaka. Seperti contohnya nikah siri tanpa wali. Dengan beralasan, "Saya belum di perbolehkan menikah oleh orang tua karena masih terlalu muda, tapi saya sudah 'kebelet', dan saya tidak mau terjerumus dalam perzinaan. Makanya saya nikah siri tanpa wali."

Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum nikah siri tanpa wali. Menurut Imam Al Qurtubi berkata dalam tafsirnya, "Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai nikah yang berlangsung tanpa wali, namun kemudian keduanya mendapat ijin dari walinya sebelum bercampur."

Imam Malik dan sahabat-sahabatnya kecuali Abdul malik berkata, "Yang demikian itu tidak apa-apa, jika memang ijin dari wali itu tidak sampai berlarut dalam jangka waktu yang lama. Baik dia sudah bercampur atau belum. Ini jika nikah itu terjadi tanpa wali dan bukan wanita itu yang menikahkannya sendiri.

Jika wanita itu menikahkan dirinya sendiri dan melakukan akad nikah tanpa wali, baik yang dekat maupun yang jauh dari kaum muslimin, dengan alasan apapun walaupun telah berjalan lama dan wanita itu telah melahirkan anak, nikah yang demikian itu tetaplah tidak sah selamanya.

Namun walau demikian, anak yang dilahirkannya adalah menjadi anaknya (sang ibu) dan baginya tidak ada hukuman. Pernikahan itu hendaknya segera difasakh. Dalam hal itu Ibnu Nafi' meriwayatkan dari imam malik ; Pernikahan semacam ini difasakh tanpa talak." Saya katakan ; Insyaallah, inilah yang benar."

Bagaimana hukumnya wanita yang dinikahkan oleh walinya yang jauh sementara yang lebih dekat hadir.

Imam Asy-Syafi'i berkata, "Nikah yang semacam ini adalah batil."
Imam Malik berkata, "Nikah yang semacam ini boleh saja."
Ibnu Abdul Barr mengatakan ; "Jika wali yang dekat tidak melakukan protes apapun dan tidak menolak atas pernikahan itu, maka pernikahan tu sah."

Namun jika dia memprotes dan wanita yang dinikahkan itu adalah wanita janda yang baligh dan yatim, serta tidak ada orang yang mendapat wasiat, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara pendapat Imam Malik dan sahabat-sahabatnya dengan sekelompok ulama Madinah. Ada diantara mereka yang mengatakan bahwa yang demikian bahwa yang demikian itu tidak apa-apa dan pernikahan tersebut dianggap sah, sebab bagaimana pun juga pernikahan itu terjadi dengan izin walinya.

Sementara yang berpendapat bahwa ini tidak boleh, adalah karena perwalian itu dilakukan secara berurutan dari yang paling dekat, meskipun dikatakan bahwa ini adalah mustahab dan bukan sesuatu yang wajib. Demikianlah madzhab Imam Malik dalam pandangan sahabat-sahabatnya. Dan inilah pendapat yang menjadi Ismail bin Ishaq dan para pengikutnya.

Read More »

Relevansi Hadis Dalam Kontek Kekinian

0 comments
Abu Syâmah al-Maqdisi, ulama hadis abad ke 12 M yang juga salah seorang murid Izz al-Din bin Abd al-Salam, menuliskan hal menarik dalam kitabnya Syarh al-Hadîs al-Muqtafâ, “menghapal sanad, mengetahui identitas perawi secara mendalam, pembedaan terhadap riwayat shahih dan tidak shahih, semua ini merupakan penekanan pembelajaran hadis oleh para sarjana hadis abad pertama: sebab tidak ada buku di tangan mereka, dan permasalahan tidak teridentifikasi dengan baik. Cukuplah pecinta ilmu menyudahi kelelahan ini, sebab buku dan karya-karya dalam bidang hadis sudah cukup lengkap dikarang.


Walaupun kemudian pernyataan ini dibantah oleh salah seorang ulama hadis kenamaan juga, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, tapi setidaknya menyiratkan satu tesis menarik: kajian hadis pada abad ke 12 M ternyata tidak bisa menciptakan inovasi yang berarti. Kodifikasi hadis baru digalakkan satu abad sepeninggal Nabi melalui beberapa fase: pertama, hadis dalam hapalan; kedua, kodifikasi hadis yang masih tercampur dengan fatwa shahabat; ketiga, kodifikasi hadis melalui pemilahan keduanya; keempat, penyeleksian hadis. Kita tahu, bahwa standarisasi hadis telah mapan pada abad ke 8 M dengan munculnya al-kutub al-sittah. Hadis yang dihimpun dalam naskah klasik ortodoks telah mengalami penyeleksian yang cukup ketat dari mata rantainya, sampai muncul asumsi, shahih Bukhari atau Muslim—meminjam istilah Mohammad Arkoun—sebagai “korpus tertutup”. Paska kodifikasi yang mapan ini, setidaknya sampai pada abad ke 12, perkembangan kajian hadis masih dinamis, sebab ia banyak mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru yang bernaung di bawah kajian hadis. Namun demikian, untuk mengetahui konteks pernyataan Abu Syamah di atas, kita perlu melihat sejenak penjelasan ini. Hadis tercakup dari dua unsur determinan: sanad dan matan. Oleh sebab itu, kajian hadis hanya berkisar pada dua hal tersebut. Secara umum inklinasi pengkaji hadis terpetakan pada empat kecenderungan; pertama, terwakili oleh para sarjana yang intens dalam “fikih dan hadis”. Sarjana dengan kecenderungan ini mampu menerawang esensi matan hadis, dan pembedaan hadis yang shahih dan tidak shahih secara jeli. Derajat ini dimiliki oleh, semisal, para imam empat madzhab, imam Ahli Bait, Bukhari, Thabari, Ibnu Khuzaimah, Dawud al-Dzahiri, dll; kedua, para sarjana yang mencukupkan pada penelitian matan semata: penjelasan terhadap struktur maupun lafaz asing (gharîb al-alfâdz) dan mengenyampingkan mata rantai; ketiga, sarjana yang fokus terhadap penelusuran sebab-sebab cacat maupun kuatnya sebuah hadis—berjibaku dalam sanad hadis; keempat, sarjana menghimpun kitab-kitab hadis, riwayat, mencari riwayat tertinggi, dan seterusnya. Dalam dinamika ilmu hadis, baik sanad maupun matan mampu mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru, seperti, ilmu rijâl dan al-jarh wa al-ta’dîl—yang berkait dengan sanad, maupun ilmu mukhtalaf al-hadîs, ilmu ilal al-hadîs, gharîb al-hadîs, dan al-nasîkh wa al-mansûkh—yang berkait dengan matan.


Kritik Abu Syamah al-Maqdisi adalah pada inklinasi ketiga. Bagaimana tidak, jika kemudian kriteria hadis sudah secara lengkap tertulis dalam buku-buku yang telah terkodifikasi, dengan masing-masing kecenderungan madzhabnya, maka aplikasi sebab-sebab cacat maupun kuatnya hadis tidak lagi berfungsi dalam ruang praksis. Maka muncul pertanyaan menarik, jika yang demikian merupakan realita ilmu hadis di abad ke 12 M, lalu bagaimana dengan abad ke 20 dan 21?


Sebetulnya geliat hadis di abad 20 cukup berkembang dibanding dua abad sebelumnya: abad 18 dan 19. Untuk mengetahui geliat hadis abad ke 20, setidaknya perlu sedikit dijabarkan pemicu perkembangan hadis di masa itu yang tidak bisa lepas dari tiga faktor determinan: pertama, munculnya geliat hadis dari pelbagai sekolah hadis (madrasat al-hadis) yang berkembang di beberapa negara. Karakteristik dari para sekolah hadis yang muncul di pelbagai negara adalah untuk menopang kecenderungan teologis maupun fikih. Di India, ada dua tokoh penting pionir penggerak dinamisasi ilmu hadis: Sayyid Shiddiq Hasan Khan al-Qannuji dan Sayyid Nadzir Husein al-Muhaddis al-Dahlawi. Menurut Rasyid Ridha, India mempunyai peran yang sangat besar dalam menghidupkan geliat hadis di awal abad 20. Tanpa mereka, niscaya ilmu hadis akan terkikis di kawasan Timur. Sedangkan di sisi lain, penguasaan sarjana di Mesir terhadap ketrampilan hadis masih sangat lemah. India, pada akhirnya melahirkan banyak sarjana hadis kaliber: kita mengenal Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq bin Amir Adzim Abadi, pengarang Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud yang terkenal itu. Kemudian Wahîd al-Zaman al-Laknawi, Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, pengarang Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, di mana beberapa bukunya yang lain telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tetapi, seperti dituturkan Sa’id Mamduh, studi hadis di tangan ulama-ulama India ini tidak mencapai titik progres yang diharapkan: sebagian besar dari mereka hanya berjibaku dalam matan, baik dari sisi nahwu, balaghah, sharaf serta makna umum (al-ma’nâ al-ijmâlî) atau hanya merangkum pelbagai kandungan kitab hadis.


Sedangkan di Mesir, dalam hal ini al-Azhar, dinamika hadis mengalami stagnasi yang signifikan paska generasi Ibnu Hajar al-Asqalani dan murid-muridnya. Studi hadis tidak se dinamis fikih maupun ushul fikih. Pemahaman terhadap hadis hanya sebagaimana yang didoktrinkan oleh para guru mereka, dan metode penafsiran yang tidak melampui penafsiran pendahulu. Kentrampilan hadis tidak berkembang di Mesir, sebagaimana perkembangan yang cukup baik di India. Fenomena demikian membuat beberapa sarjana Mesir menghendaki perubahan. Tapi pembahasan ini bukan menjadi konsen kita sekarang.


Walhasil, dalam lingkup Timur Tengah, tipologi studi hadis tak lepas dari dua arus besar: pertama, arus wahabisme, yang terepresentasikan oleh Mohammad Rashid Ridla, Nashir al-Din al-Albani, Muhammad Abd al-Raziq Hamzah, Abd al-Rahman al-Muallimi al-Yamani, dll; kedua, inklinasi non-Wahabi, yang direpresentasikan oleh Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattani, Abdullah bin Shiddiq al-Ghummari, Ahmad bin Shiddiq al-Ghummari, Zahid al-Kawtsari, Falah Abu Ghadat, dll. Dua kecenderungan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap dinamika studi hadis di pertengahan abad ke 20 dan awal abad ke 21.


Faktor kedua yang memicu perkembangan studi hadis adalah berkembangnya percetakan secara massif di awal abad ke 20. Kitab-kitab babon hadis yang pada awalnya tidak bisa diakses, dengan munculnya percetakan ini, mempermudah peminat kajian hadis untuk mempelajarinya. Menurut Mahmud al-Tannahi, ada dua negara yang berperan besar dalam mencetak kitab-kitab langka hadis: Mesir dan India. Di Mesir, pada saat itu, terdapat percetakan tua Amiriyah Bulaq. Percetakan Amiriyah merupakan percetakan pertama sekaligus tertua di Mesir; didirikan oleh Mohammad Ali pada tahun 1820 guna merubah kebodohan masyarakat Mesir. Percetakan Bulaq masih diapresiasi dengan baik, sebab ketelitian dalam verifikasi teks masih menjadi prioritas. Sekarang, Bulaq merupakan satu-satunya percetakan di Mesir yang masih menyediakan kitab Fath al-Bâri karangan Ibnu Hajar tanpa editing Abd al-Aziz bin Baz, ulama hadis kenamaan Wahabi. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’, penjelasan-penjelasan kitab hadis (syurûh), dan lain sebagainya.


Sedangkan di India, bisa dijumpai percetakan tua Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyyah yang berdiri pada tahun 1891 M. Maktabah ini menyimpan ribuan manuskrip langka kitab-kitab hadis yang diambil dari Eropa, Rusia, Iran, Turki dan Mesir sendiri. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Abi Dawud al-Thayyalisi, Sunan Kubra karangan Bayhaqi, Mustadrak alâ Shahihayn, al-Isti’âb fi Marifat al-Ashâb, Tahdzîb al-Tahdzîb, Târîkh al-Kabîr karangan Bukhari, Tadzkirat al-Huffâdz, dan lain sebagainya.


Faktor ketiga adalah munculnya fakultas-fakultas di Universitas Timur Tengah yang secara spesifik mempelajari hadis. Al-Azhar merupakan peletak pertama penjurusan semacam ini, dan seterusnya diikuti oleh universitas-universitas lain di dunia. Adanya keharusan membuat tesis maupun disertasi dalam bidang hadis merupakan salah satu faktor penting bagi dinamika ilmu hadis selanjutnya.


Tiga faktor pelecut munculnya kembali dinamika ilmu hadis menghasilkan pelbagai capaian sarjana hadis abad ke 20. Mahmud Sa’id Mamduh dalam bukunya al-Ittijâhat al-Hadîtsîyyah mengidentifikasi capaian hadis mereka dalam empat point besar: pertama, munculnya buku karangan ilmu musthalah hadîs: ilmu yang memuat kaidah penentuan sebuah hadis dikatakan shahih atau dla’if. Misal, Dzufr al-Amânî bi Syarh Mukhtashar al-Sayyid al-Jurjâni karangan Abd al-Hayy al-Laknawi. Kitab ini dicetak tahun 1886; Qawaid al-Tahdîst min Funûn Musthalah al-Hadîs karangan Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi; Tawjîh al-Nadzar ilâ Ushûl al-Atsar karangan Thahir al-Jazâirî; Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Mandzûmat al-Atsar karangan Syekh Mahfud Tremas, Indonesia; kedua, penyuntingan kitab hadis (tahqîq). Yang dimaksud tahqîq di sini adalah penelitian terhadap teks-teks kitab hadis, baik melalui penyuntingan sederhana, atau penyuntingan dengan memasukkan banyak informasi hingga identik dengan catatan pinggir (hâsyiyâh). Pada awal abad ke 20, perhatian terhadap teks kitab hadis terbatas hanya pada koreksi terhadap teks hendak diterbitkan (tashîh al-nushûsh), baru di pertengahan abad kemudian berkembang menjadi tahqîq kitab yang terkadang diterbitkan independen dari kitab: sebagaimana metode Zahid al-Kawtsari dan Ahmad Muhammad Syakir dalam menyunting teks kitab hadis; ketiga, sistematisasi kembali tata letak hadis. Sistematisasi adakalanya diselaraskan dengan urutan huruf dalam kamus, dan terkadang tematik (al-tartîb alâ al-abwâb). Sebagai misal, syekh Mansur Ali Nashif dalam kitabnya al-Tâj al-Jâmi’ li al-Ushûl. Ia mengumpulkan hadis Bukhari, Muslim, Abi Dawud, Turmudzi dan Nasai dalam satu kitab, dengan hanya menyertakan periwayat pertama saja, dan mengelempokkan hadis-hadis dalam satu bab besar: bab al-wudlu’, shawm, al-haj, dan seterusnya; keempat, membuat daftar letak hadis (fahârits) untuk memudahkan pencarian, di antaranya fihrits karangan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dan Fahârist al-Ghummariyiin.


Jika demikian, capaian hadis di abad ke 20 berkisar pada penulisan kembali karangan-karangan ulama hadis klasik dari sisi musthalah, selanjutnya merupakan upaya penjelasan lafaz melalui penyuntingan dan koreksi teks (tahqîq al-makhtûtath), sistematisasi kembali tata letak hadis, terakhir, membuat daftar isi hadis. Apa yang sudah dicapai di abad ke 20 tak berbeda dengan capaian abad setelahnya. Semisal tokoh seperti syekh Ahmad Ma’bad, Nuruddin ‘Ithr, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Hassan bin Ali al-Saqqaf, dan tokoh muda al-Azhar syekh Usamah Sayyid al-Azhari, atau dalam konteks Indonesia, Ali Musthafa Ya’qub, tanpa mengenyampingkan kepakaran mereka dalam ilmu hadis—baik riwâyah maupun dirâyah, belum menghasilkan inovasi baru dalam ilmu hadis. Karangan mereka tak pernah lepas dari “masa lalu”, dan sama sekali tak berelasi dengan realitas kecuali dalam beberapa sisi guna merespon isu keagamaan. Yang terjadi selanjutnya adalah dominasi inklinasi kajian hadis pada pengukuhan doktrin teologis, seperti perdebatan antara pakar hadis Wahabi dan Sunni.


Jika demikian, ilmu hadis seolah terlihat tak bergerak: tanpa inovasi apapun. Ilmu hadis—yang dalam sejarah perkembangannya mampu menghasilkan “ilmu independen”—dianggap telah final: “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim dengan instan tanpa perlu mengkritik atau mengembangkan lebih lanjut. Ilmu hadis dengan pernak-pernik yang melingkupinya adalah “korpus tertutup”. Hal ini berbeda dengan studi Islam yang lain, sebut saja studi al-Qur’an. Dialektika dalam studi al-Qur’an begitu terasa: pelbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan. Sebut saja dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang melakukan gebrakan dengan Mafhûm al-Nash, Muhammad Syahrur dengan al-Kitâb wa al-Qur’an, Al-Jabiri dengan Madkhal ilâ al-Qur’an, Musthafa Bauhindi dengan al-Tatsîr al-Mâsîhi, dan lain sebagainya. Pendekatan baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, historis, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Dengan demikian, diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah shâlih li kulli zamân wa makân.


Di sisi lain perkembangan teknologi telah menciptakan perpustakaan digital yang banyak dikonsumsi pelajar: Maktabah Syamilah, misalnya. Pengkaji hadis bisa tahu dengan mudah letak hadis maupun kedudukan hadis, hanya dengan menuliskan beberapa bagian lafaz dari sebuah hadis. Oleh sebab itu, daftar letak hadis (fihrist), sistematisasi (tartîb)—yang merupakan capaian para sarjana hadis abad ke 20, menjadi tidak begitu berguna sekarang. Yang tersisa hanya kemungkinan penyuntingan buku hadis yang belum dicetak, atau anggitan terhadap kaidah hadis (mushthalah). Sedangkan, penulisan mushthalah tanpa inovasi apapun, jika masih berlanjut merupakan kerja yang tidak produktif. Lantas bagaimana nasib kajian hadis ke depan? Apakah benar-benar harus selalu perpanjangan “masa lalu” tanpa berelasi dengan “masa kini”—sebagaimana Hasan Hanafi yang berani membawa ilmu kalam, ushul fikih, tasawuf, ilmu al-Qur’an, dan filsafat dari orientasi teosentris pada antroposentris? Akankah terbatas pada proyek tahqîq? Atau malah hendak melakukan penelitian kedudukan hadis yang sejatinya telah dibahas tuntas oleh ulama—tahsîl al-hâsil, guna mengukuhkan ideologi pengkaji hadis?

Read More »

Moderatisme Islam

0 comments
Kita sering mendengar terma Moderatisme Islam didengungkan,tapi, apakah sebenarnya Moderatisme Islam itu? Dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah Ma’alim wa Manarat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi memaparkan bagaimana “fenomena moderatisme” menggeliat dalam beragam diskursus Islam, dan digadang oleh ulama-ulama sepanjang zaman.Namun ternyata buku itu belum memberikan definisi yang komperhensif terhadap makna Moderatisme Islam itu. Disana hanya dipaparkan beragam contoh sikap-sikap moderat dalam diskursus akidah, fikih, tafsir, hadits, dan sikap politik. Disamping disebutkan sejumlah ulama yang berpaham moderat, sejak era Nabi, hingga era kontemporer sekaligus argumen moderatisme itu sendiri.

Dari data-data parsial disana, setidaknya kita bisa mendefinisikan Moderatisme Islam. Ia adalah sikap mengamalkan ajaran Islam sebagaimana digariskan para ulama sepanjang zaman dalam beragam diskursus ilmu sambil memperhatikan tujuan-tujuan syariat(maqashid as-syari’ah) dan tangga prioritas (sullam al-awlawiyyat).

Definisi ini sepertinya cukup mewakili karena dalam agama yang bersumber dari dua wahyu: Al-Qur’an dan hadits, Islam harus dipahami melalui pemahaman yang telah diwariskan sahabat dari Rasulullah. Pemahaman-pemahaman ini di era kodifikasi ilmu mengalami pembakuan, sehingga membuatnya menjadi pelbagai ilmu yang sampai sekarang masih terus dipelajari umat Islam. Dari sini, memahami Al-Qur’an dan hadits harus melalui piranti ilmu-ilmu ini, bukan dengan pemahaman telanjang dan seadanya.  

Satu contoh, diskursus ushul fikih. Sejarah mencatat, Imam as-Syafi’i dengan ar-Risalah-nya dianggap sebagai mu’assis (pencetus) pertama ilmu ushul fikih—disamping ada beberapa klaim dari Syi’ah yang menisbatkan pada Ja’far as-Shadiq atau beberapa ulama Hanafiyyah yang menisbatkan pada Imam Abu Hanifah. Meski demikian, Imam as-Syafi’i bukanlah benar-benar “mencipta” (yashna’) dari nol ilmu ini, melainkan hanya “menemukan dan mengkodifikasikan” (yaktasyif wa yudawwin). Ini dibuktikan dalam kitabal-Faqih wa al-Mutafaqqih karya al-Khatib al-Baghdadi yang banyak sekali mensanadkan terma-terma khas, ‘am, mujmal, muqayyad, naskh, muthlaq, mubayyan, dsb kepada beberapa nama sahabat. Artinya, terma-terma ini sekaligus pengertiannya—meski dengan bentuk yang sangat sederhana dan hanya kasuistik—sudah dikenal para sahabat, meski belum terkodifikasi rapi dalam satu buku. Ini mengapa para ulama menegaskan bahwa meski as-Syafi’i adalah pencetus ushul fikih, tapi praktek mengamalkan ushul fikih untuk memahami Al-Qur’an dan hadits sudah dilakukan sejak era awal Islam. Bahwa banyak pemahaman radikal dan menyimpang terhadap kedua sumber ini karena tak mengindahkan piranti ilmu ini. Ini salah satu poin pentingnya.

Maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat perlu juga diperhatikan karena saat seseorang mendalami turats untuk berusaha memahami argumen agama dan beragam diskursusnya, ia akan dihadapkan banyak pilihan. Beragam pilihan ini karena karakter teks agama mayoritas multi-tafsir—meski masih dengan batasan yang ditolerir bahasa dan kaedah. Ini pada gilirannya menciptakan banyak sekali pilihan pendapat yang ditelorkan para ulama dari beragam madzhab. Saat mengamalkannya, apa yang dilakukan orang ini? Tanpa mempertimbangkan maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyatapapun pilihan dia akan terlihat asing dan tak sesuai zaman. Bukankah syariat digadang sebagai shalih li kulli zaman wa makan (sesuai di segala ruang-waktu)?

Setidaknya, Moderatisme Islam bisa disorot dalam dua diskursus: akidah dan fikih. Dalam diskursus akidah, kita akan menemukan bahwa kecenderungan moderat di tubuh umat Islam adalah kecenderungan mayoritas, persis apa yang diramalkan Nabi SAW jauh kala. “Kukuhilah golongan mayoritas!” Ini terjadi secara historis dan karena karakter dalil agama itu sendiri. Secara historis, kita akan selalu mendapati bahwa golongan Ahlussunnah wal Jama’ah selalu golongan mayoritas. Karena itu sepertinya tidak terlalu salah jika Aswaja diidentikkan dengan paham moderat itu sendiri.

Secara karakter dalil, akan kita temui sebuah pergolakan dalam tubuh Islam soal wahyu vs akal. Setidaknya ada tiga kelompok yang dilibatkan disini: Aswaja (Asy’ariyah dan Matudridiyyah), Muktazilah dan Hasyawiyyah. Pengelompokan ini terjadi saat prosesi memahami dalil agama seputar akidah. Saat menemui ayat-ayat sifat, misalnya, mereka yang menolak sama sekali kandungannya—meski tertulis dalam Al-Qur’an—karena dianggap bertentangan dengan akal adalah kelompok Muktazilah. Mereka yang menerima mutlak tanpa syarat apapun dan menafsirkannya apa adanya sebagaimana “terpahami” lewat lahiriah teks adalah kaum Hasyawiyyah. Sedang kelompok moderat—yang berusaha menengahi kedua kecenderungan paradoks di atas, disamping memahami teks agama dengan seluruh disiplin ilmunya—adalah mereka yang kita kenal Aswaja yang dalam sejarahnya melebur menjadi dua kelompok: Asy’ariyah dan Maturidiyyah. Mereka ini tetap menerima ayat-ayat sifat tanpa menolaknya, sekaligus tak menafsirkannya secara literal—karena justru itu bertentangan dengan ayat lain dan akal sehat—melainkan mentakwilnya dengan kaedah yang telah ditentukan ilmu tafsir dan balaghah.

 Ali Sami an-Nassyar dalam Nasy’at al-Fikr al-Falsafi—sebuah karya paling komperhensif tentang sejarah pembentukan sekte-sekte dalam Islam—bertutur menarik bahwa sejatinya ketiga kelompok ini “bersumber” dari satu tokoh yang sangat populer: Hasan al-Basri. Seorang tabi’in ini sangat sentral jika kita membincang sejarah pembentukan sekte-sekte dalam Islam karena mayoritas sekte Islam yang dikenal sejarah muncul di majlis taklimnya.

Washil bin Atha’, pendiri Muktazilah, sejatinya salah seorang murid Hasan al-Bashri. Ia keluar dari majlis al-Bashri karena tak sepakat dengan pendapat gurunya seputarmurtakib al-kabirah (pelaku dosa besar). Baginya, si pelaku tak cukup hanya dicap fasik melainkan harus berada di al-manzilah bain al-manzilatain (tempat antara surga dan neraka); dia bukan ahli surga sekaligus bukan ahli neraka.

Hasyawiyyah tergelari demikian—Hasyawiyyah berasal dari kata hasyw yang berarti pinggiran—karena mereka adalah kelompok yang tak setuju atas Hasan al-Bashri di tengah majlisnya, kemudian membentuk halaqah sendiri tak memperhatikan keterangan sang guru. Lantas, Hasan al-Bashri menyuruh mereka minggir dan keluar dari majlis. Mayoritas murid Hasan al-Bashri yang tetap berada di majlis nantinya dalam sejarah menjelma sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Demikian.

Diskursus fikih juga tersemai disana kecenderungan moderat. Satu topik yang menarik disorot adalah soal bermadzhab. Semua ulama sepakat bahwa mereka yang mampu memahami secara langsung Al-Qur’an dan hadits dengan beragam pirantinya disebutmujtahid, dan ia dilarang taqlid pendapat mujtahid lain. Selain mereka disebut muqallid,yakni mereka yang tak mampu memahami secara langsung Al-Qur’an dan hadits karena berbagai keterbatasan. Mereka ini diaharuskan bertanya kepada mujtahid.

Dalam catatan sejarah, madzhab-madzhab fikih berkembang karena golongan jenis kedua ini. Pada era keemasan madzhab ditemukan lebih dari sepuluh madzhab yang berkembang. Semuanya memiliki perintis dan pengikutnya. Dalam perkembangannya, hanya empat madzhab besar yang sampai sekarang terus diamalkan oleh para pengikutnya. Yakni: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Para ulama menyebut keempat madzhab ini sangat populer hingga mencapai derajat seperti hadits mutawatir yang validitasnya sangat tinggi.

Setelah era keemasan madzhab, masuklah era dimana ijtihad dalam fikih seolah berhenti. Para orientalis menyebutnya sebagai era kemunduran fikih. Namun, oleh para ulama, terhentinya perkembangan madzhab fikih bukan sepenuhnya dipicu “kemalasan”—jika ini tepat digunakan—melainkan karena karakter dalil agama sudah mencapai kata final dalam interpretasinya yang terbatas (lintiha’ al-qismah al-‘aqliyyah). Benar, bahwa Al-Qur’an dan hadits memiliki lafal yang multi-interpretasi yang berpotensi memunculkan banyak madzhab. Namun perlu dicatat, kemultitafsiran ini terbatasi dan terikat oleh: kaedah-kaedah baku gramatikal bahasa Arab, diskursus ushul fikih, diskursus ilmu hadits, dsb. Tegasnya, Al-Qur’an dan hadits layak terus ditafsirkan dan ditelorkan madzhab-madzhab baru disana dengan tetap berlandaskan kaedah yang telah disepakati para ulama sepanjang zaman.

Sebuah bukti dapat ditemukan dari catatan Taj ad-Din as-Subki dalam Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra. Penulis Jam’ al-Jawami’ ini bertanya pada ayahnya, Taqiy ad-Din as-Subki, “Mengapa ulama semacam al-Juwaini, al-Ghazali, an-Nawawi, ar-Rafi’i, dsb tak berijtihad mandiri saja, malah mengikat diri dengan madzhab Syafi’i?” Beliau menjawab, “Ada perbedaan mendasar antara mengikuti (al-iqtida’) dan mengambil inspirasi (ihtida’).Para ulama di atas memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid mutlak, namun mereka terbatasi oleh fakta bahwa apapun yang mereka telurkan, rata-rata telah dikatakan oleh ulama sebelumnya. Sehingga memang tak dibutuhkan lagi madzhab baru”.

Kejadian serupa juga dialami as-Suyuthi. Ia menuturkan dalam kitab otobiografi pribadinya, at-Tahadduts bi an-Ni’mah, bahwa dirinya tak bertaklid pada Imam Syafi’i, melainkan ijtihad dia kebetulan sama persis dengan as-Syafi’i. Karenanya, tak perlu lagi ada penisbatan madzhab baru jika esensinya sama. Fakta-fakta inilah yang mendasari perkembangan pesat kaedah-kaedah fatwa dan pengambilan hukum yang terbangun dalam tiap madzhab.

Kemudian pada gilirannya perkembangan madzhab ini berkulminasi pada aturan baku soal bagaimana seorang muqallid mengambil hukum fikih dari mujtahid yang dipilihinya: apakah harus tetap satu imam, atau boleh berpindah-pindah tergantung kebutuhan? Dalam kasus ini setidaknya ada tiga madzhab yang berkembang. Talfiq—dalam pengertian menggabungkan pendapat beberapa imam mujtahid dalam hukum—menjadi titik kontroversi para ulama fikih.

Madzhab pertama, melarang seorang muqallid untuk berpindah-pindah madzhab. Alasan madzhab ini karena bagi seorang muqallid, semua madzhab tetaplah sama. Tak ada yang lebih rajih (kuat) dari madzhab lain bagi dia. Toh, ia tak mampu menimbang mana yang lebih rajih dibanding yang lain. Disamping, perpindahan ke madzhab lain terkesan meremehkan dan menghilangkan status taklif padanya (tatabbu’ ar-rukhash). Madzhab kedua, membolehkannya. Toh, karena semua madzhab sama, tak ada larangan berarti untuk pindah ke yang lain selama itu dibutuhkan oleh seorang muqallid. Madzhab ketiga, membolehkannya dengan syarat tidak dalam satu qadliyyah (paket kasus fikih).

Pandangan Moderatisme Islam dalam bermadzhab disini muncul. Oleh para ulama kontemporer, semisal Wahbah az-Zuhaili, Yusuf al-Qaradhawi, Ali Jum’ah, dll, mereka membolehkan adanya talfiq ini. Toh, perkembangan zaman begitu pesat hingga jika seorang muqallid hanya harus ikut satu madzhab akan mengalami banyak kesukaran beragama. Pendapat ini sepertinya lebih cocok untuk diterapkan di era sekarang melihatmaqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat. Sesuai dengan tujuan syariat karena dalam agama sama sekali tak diharuskan ikut pendapat yang sulit jika kebutuhan mendesak. “Allah SWT tak membebani seorang hamba kecuali apa yang ia mampu”, demikian bunyi ayat. Cocok dengan tangga prioritas karena daripada seorang mukallafterjatuh pada kemaksiatan dan kesukaran beragama, lebih baik dicarikan pendapat yang lebih mudah diamalkannya.

Dalam kasus kontemporer di Indonesia, paham moderatisme ini perlu dikembangkan. Ini karena banyak sekali aktivitas ormas-ormas Islam yang tak mengindahkan kaedah dalam mengamalkan ajaran agama. Bahwa ada banyak kaedah dalam mengamalkan ajaran agama yang jika diabaikan akan menimbulkan kerancuan dan anomali perilaku.

Bernahi-munkar adalah ajaran Islam, siapapun yang tak bernahi-munkar berarti telah tercabut sebagian imannya terhadap Islam. Namun bagaimana aplikasinya yang sesuai kaedah para ulama? Apakah dengan penghancuran warung-warung yang buka di siang Ramadan? Bukankah orang musafir, wanita hamil, anak-anak kecil, tak diwajibkan berpuasa, hingga mungkin saja butuh makan di warung saat Ramadan? Bukankah si penjual adalah orang-orang miskin yang jika warungnya dihancurkan akan memunculkan kemiskinan ganda? Apakah Islam menganjurkan pemeluknya untuk mencipta kemiskinan dan membunuh orang-orang miskin? Apakah Islam mengajarkan, untuk menghapus kemungkaran harus dengan mencipta kemungkaran serupa, atau bahkan lebih parah?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya yang lebih dahulu dijawab mereka yang ingin bernahi munkar. Toh, banyak sekali kaedah para ulama yang perlu diterapkan dalam aplikasinya. Sehingga, paham Moderatisme Islam dalam kasus-kasus seperti ini adalah dengan sungguh-sungguh memahami ajaran para ulama dan mengamlkannya dengan bijaksana sesuai maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat.  

Jika demikian, sebagai seorang Azhari kita perlu terus mengembangkan paham moderatisme ini sebagai sebuah bagian penyebaran ajaran Islam yang bukan saja tak radikal dan fundamental, melainkan selalu sesuai di setiap zaman

“Seorang pelajar atau terdidik harus sudah bersikap adil sejak dari alam pikiran”

-Pramoedya Ananta Toer-


Read More »

Makna Ketakutan (Khauf ) dalam Persepsi Imam Ghazali di Ihya Ulumuddîn

0 comments
Sebagai seorang teosof (teolog sekaligus sufi), Al-Ghazali mempunyai konsentrasi yang lebih terhadap kebahagiaan akhirat. Berekspedisi menggeluti berbagai macam ilmu, dari metode rasionalitas sampai ke metode intuisi, Al-Ghazali mendapuk kehidupan akhirat sebagai tujuan manusia yang sebenarnya. Hal ini mulai kentara melalui karya-karyanya pasca skeptis selama 2 bulan. Lebih jauh lagi, ia menyatakan kenikmatan yang tak ada bandingannya, adalah saat-saat bertemu dengan Sang Pencipta kelak di akhirat.

Perhatian lebih terhadap kehidupan akhirat ini terlihat jelas pada muqadimah kitab Ihya Ulumuddîn. Dengan persepektif kehidupan akhirat sebagai pondasi, ia membagi kitab tersebut menjadi empat bagian yang kesemuanya ditujukan untuk kebahagiaan di dunia sebagai buahnya, dan di akhirat sebagai tujuan utamanya.

Empat bagian ini tidak bisa terlepas dari pembagian Al-Ghazali terhadap ilmu itu sendiri. Ia membagi ilmu yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan akhirat menjadi dua: ilmu muâmalah, dan ilmu mukâsyafah. Ilmu mukâsyafah sejatinya yang menjadi ilmu hakikat, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang tertentu (khawâs dan para ârifîn). Selain itu, ilmu mukâsyafah ini hanya diterangkan secara implisit oleh nabi sebagai pembawa risalahnya.

Sedangkan di dalam ihya’, seluruh pembahasannya hanya khusus pada ilmu-ilmumuâmalah (praktis). Karena ilmu muâmalah ini lah yang bisa dijangkau oleh seluruh kalangan umat. Ia kembali membagi ilmu muâmalah itu menjadi dua : ilmu dzhaîr dan ilmubathin, ilmu tentang keadaan-keadaan hati dan akhlaq.

Al-Ghazali membagi lagi ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia (ilmudzâhir) menjadi dua: perbuatan yang berkaitan dengan ibadah, dan perbuatan yang berkaitan dengan adat. Adapun ilmu batin, ia menggolongkannya menjadi akhlak terpuji(mahmûd) kemudian mengistilahkannya dengan munjiyât, dan akhlak yang tercela(madzmûm) dengan istilah muhlikât.

Pembagian ilmu yang bercabang-cabang ini memiliki posisi penting untuk memetakan jenis ilmu, agar supaya tidak terjebak pada pengeneralisiran ilmu. Dalam bagian munjiyâtyang masih berada pada kategori ilmu batin yang terpuji, terdapat suatu keadaan hati  yaitu ketakutan (khauf) yang akan menjadi pokok bahasan tulisan singkat ini.

Imam Ghazali mendefinisikan khauf sebagai suatu keadaan terluka dan terbakarnya hati yang disebabkan datangnya sesuatu yang tidak disenangi, sebagai konsekwensi atas apa yang telah diperbuat pada waktu yang akan datangn. Di sini, khauf mempunyai posisi seperti raja’ (pengharapan) yang bersifat maqâm dan hâl. Disebut maqâm, jika mempunyai sifat yang tetap  dalam diri. Dan dikatakan hâl jika berupa sifat yang muncul dan cepatnya hilang dari diri.

Hati yang takut ini terkadang berupa pengetahuan atas sebab-sebab yang mengkibatkan pada sesuatu tidak disenangi. Sebagaimana seseorang yang telah membunuh akan merasa takut melihat balasan yang berupa pembunuhan atas dirinya (qishâs) misalnya. Pengetahuan tentang akibat dari pembunuhan inilah yang disebut ilmu yang menimbulkan terluka dan terbakarnya hati dan takut. Begitu juga dengan pengetahuan tentang akibat dari perbuatan maksiat yang akan dibalas dengan seberat-berat azab di dunia ataupun di akhirat.
Semakin banyak pengetahuan tentang akibat yang akan diperoleh, semakin kuat pula rasa takut yang akan timbul. Semakin banyak pengetahuan tentang pedihnya azab yang akan turun kepada para pelaku maksiat, semakin kuat rasa takut untuk menjauhi maksiat tersebut.

Demikian juga dengan sedikitnya pengetahuan. Selanjutnya, rasa takut tersebut dianalogikan dengan cambuk untuk mempercepat jalan keledai. Dengan cambukan yang kuat, keledai bisa berjalan dengan cepat. Aplikasinya ada pada amal manusia. Rasa takut berfungsi untuk meningkatkan amal soleh seorang hamba. Cambuk rapuh yang tidak bisa membuat suatu kemajuan pada amal, hanya berupa rasa takut yang sia-sia atau bisa juga disebut dengan takut yang pura-pura.

Terkadang, ketakutan itu muncul bukan karena pengetahuan tentang akibat perbuatan. Rasa takut itu bisa juga datang karena suatu sifat yang membuatnya menjadi hal yang menakutkan. Seperti kuku dan taring yang ada pada harimau. Sifat dari kuku dan taring yang pada umunya untuk menyerang mangsa inilah yang menyebabkan harimau ditakuti. Sifat-sifat Allah yang berupa al-Qahâr, al-Jabbâr, Syadidul Adzâb yang merupakan wujud dari sifat yang membuat-Nya menjadi dzat yang ditakuti.

Terkadang juga, rasa takut timbul dari sesuatu yang tercipta sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagaimana banjir yang akan merusak dan menenggelamkan bangunan-bangunan. Begitu juga dengan kebakaran, gunung meletus, gempa bumi dan semua jenis bencana alam.
Demikianlah yang seharusnya diaplikasikan pada rasa takut kepada Allah. Baik terhadap sifat-sifat yang menjadikannya ditakuti berupa ancaman-ancaman siksa yang pedih maupun pada diri-Nya yang memang pantas untuk ditakuti mengingat Dia-lah yang maha berkehendak.

Seandainya Dia mengahancurkan seluruh alam raya dan mengazab semua makhluq yang ada di dalamnya, tidak ada yang bisa mencegah-Nya, Dia maha berkuasa. {لا يسأل عما يفعل وهم يسألون} maka akan menjadi kuatlah rasa takut kepada Allah. Orang yang paling takut terhadap Allah adalah orang yang mengetahui Tuhannya dan dirinya sendiri. Dalam hal ini, nabi Muhammad Saw. Menamakan dirinya sebagai orang yang paling menakuti Tuhannya: {انا أخوفكم لله} begitu juga firman Allah : {انما يخشى الله من عباده العلماء} .

Ketika telah sempurna pengetahuan (makrifat) tentang Allah, akan mewariskan/menghasilkan kuatnya rasa takut kepada-Nya. Kuatnya rasa takut tersebut akan membekas dari hati menuju ke tubuh yang akan menghasilkan airmata, atau lebih dahsyat lagi, berupa kematian sebab ketakutan. Dari tubuh, kemudian menuju ke perbuatan berupa penjauhan diri dari perbuatan maksiat dan mematuhi segala perintah-Nya. Orang yang telah merasa takut seperti ini dikenal dengan sebutan wara.

Dikatakan: orang yang takut bukanlah orang yang mengusap airmatanya, melainkan yang menjauhi larangan-larangan-Nya. Abu al-Qâsim al-Hâkim berkata: “orang yang takut pada sesuatu akan bersegera menjauhinya, sedangkan orang yang takut pada Allah akan bersegera menuju kepada-Nya, dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Al-fadhli bin ‘Iyadh pun ikut berargumen: “ketika engkau ditanya: apakah kau takut kepada Tuhanmu? Jika kau menjawab: tidak, maka, kau telah kafir. Dan jika kau menjawab: iya, maka sungguh kau telah berbohong.” Dari sinilah, ketakutan itu diibaratkan dengan cambuk yang akan membangkitkan semangat untuk beramal.

Setelah melalui tubuh, kemudian rasa takut kepada Allah tersebut berujung pada sifat. Dengan kondisi yang demikian, maka mulai muncullah sifat khusyûk, hina dan rendah diri kepada-Nya. Tingkatan wara’ yang bertambah dengan semakin kuatnya rasa takut sehingga menjauhi hal-hal yang syubhat, tidak jelas halal-haramnya, disebut dengantaqwa. Dan ketika khauf itu bertambah lagi sehingga segala konsentrasi dari kehidupannya hanyalah Allah, kemudian meninggalkan segala perkara dunia, pada tingkatan inilah seseorang baru bisa disebut sebagai al-shidq. Takutnya orang terhadap suatu kemaksiatan, biasa terdapat pada orang-orang saleh. Sedangkan takutnya parashiddiqîn, adalah takutnya mereka kepada Allah setelah mengenal-Nya, bukan karena ancaman-ancaman dibalik perbuatan dosa.

Seandainya para pelaku kemaksiatan itu mengetahui (ma’rifât) pada Allah, niscaya mereka juga tidak akan takut dengan azab-Nya. Mereka akan takut disebabkanma’rifâtullâh itu sendiri. Itulah sebabnya hal yang paling ditakuti oleh orang yang arif billahadalah tertutupnya hijab antara dia dengan Allah. Yang dimaksud takut kepada Allah menurut tingkatan para arifin ini adalah bukan takut terhadap Allah sebagai zat yang menakutkan, akan tetapi mereka takut akan tertutupnya hijab antara dia dengan Allah.

Yang perlu diingat, tidak semua khauf itu terpuji. Al-Ghazali memaparkan; terkadang rasa takut itu lemah, rasa takut yang lemah ini sangat sedikit manfaatnya, hanya mengingatkan sebentar kemudian kembali ke keadaan lupa. Menangis sebentar, kemudian maksiat kembali dijalankan. Analoginya seperti sebuah cambuk yang tidak berpengaruh pada keledai. Cambukan tersebut tidak bisa mempercepat gerak keledai karena keroposnya kayu yang digunakan. Rasa takut yang seperti inilah yang dianggap sebagai rasa takut yang sia-sia.

Ada pula yang berlebihan (ifrâth). Rasa takut yang berlebihan ini akan menghasilkan sebuah keputus asaan. Karena begitu besarnya rasa takut yang dialami, orang yang begitu takut tersebut hanya bisa diam, putus asa tanpa perbuatan nyata untuk bergerak lebih dinamis. Karena dahsyatnya, rasa takut ini bisa juga menyebabkan kematian. Sebagaimana cambukan yang seharusnya untuk mendidik, terlalu keras ditujukan kepada seorang anak kecil yang tentu saja bisa mengakibatkan kematian. Takut yang berlebihan ini disifati dengan takut yang tercela.

Demikianlah tulisan singkat ini membahas tentang khauf dalam kacamata Imam Al-Ghazali. Seperti disebutkan di awal tulisan ini, bahwa paling nikmatnya sesuatu adalah kebahagiaan bertemu dengan Allah. Dan segala sesuatu yang bisa menjadi jalan (wasilah)untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan perkara yang bernilai positif. Dan khaufadalah salah satu dari wasilah-wasilah itu. {فاعتبروا يا أولول ألباب}[]

Read More »

Peran Ibadah dalam Psikologi Manusia Menurut Imam Ghazali

0 comments
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembaharuan bangsa arab khususnya (dan umat Islam umumnya) telah mengalami stagnasi sejak abad 13 M. Menurut para sejarawan, masa kejumudan ini berlangsung sejak abad 13 M (sejak mangkatnya sang maestro Ibn Khaldun) dengan magnum opusnya yang monumental, Al-Muqaddimah hingga akhir abad ke 19 M. Masa kevakuman dan kejumudan pemikiran yang begitu lama itu memberikan dampak yang keras bagi umat Islam pada zaman modern sekarang ini, terutama ketika  Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat diberbagai lini kehidupan dan selalu mengadakan pembaharuan. Beberapa tahun lalu, terjadi sebuah kejadian spektakuler, 30 negara eropa membentuk supranation EU (Europe Union) yang meleburkan sistem politik dan ekonomi.

Persatuan Eropa merupakan trobosan baru bagi sejarah Eropa, berbagai kemajuan diraih  Eropa yang menjadikannya qu’batu al-qusod bagi para sarjana dunia yang ingin mendalami dan mengembangkan keilmuanya. Begitu juga dalam percaturan di dunia politik dan ekonomi, Eropa  menjadi tolok ukur dunia.

Pembaharuan bangsa Arab yang kian lama kian meredup, ditambah trauma anti-eropa yang berlebihan menjadikan hubungan bilateral negara-negara Timur Tengah dengan Eropa merenggang. Contoh kecil: Maroko, misalnya, sejak merdeka hingga sekarang belum pernah menjalin hubungan bilateral yang berarti dengan negara Eropa manapun, padahal secara geografis  Maroko berbatasan dengan Eropa, tepatnya Spanyol.

Walaupun demikian bangsa Arab memiliki kelebihan dibanding bangsa Eropa, yang akan dibahas panjang lebar dalam artikel ini. Penulis tidak ingin membahas panjang kemajuan ataupun pembaharuan bangsa Eropa, tetapi penulis mencoba ingin  mengkaji kembali subjek dari pembaharu itu sendiri.

Jika dilihat dari beberapa negara-negara maju, bukan hanya di Eropa tapi juga negara-negar di benua Asia; realita yang terjadi adalah, ketika manusia  mencapai depresi tingkat tinggi, tidak bisa mengendalikan dirinya, menjadi stres,gila dan tidak jarang yang bunuh diri. Puncak keberhasilanmateril  yang diperoleh manusia tidak cukup menyeimbangkan kebutuhan  manusia mencapai keadaan yang memberikan ketenangan jasmani dan rohani,  tanpa ada rasa takut dan khawatir pada semua yang dimiliki.

Manusia  ciptaan Tuhan yang paling sempurna,  kompleks,  antik, dan sukar memahaminya secar utuh. Unsur manusia bukan hanya pada  jasmani, tetapi didalamnya terdapat rohani. Bukan hanya pada jasad yang terlihat oleh kasat mata, tetapi juga ada nyawa hanya didapati oleh rasa. Kalau kita lihat dari kacamata Islam bahwa asal-usul  penciptaan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah hal itu tertera dalam Al-quran  :

وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون (الذاريات :56 )
 “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku”

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa ibadah memiliki korelasi yang sangat erat dengan manusia dalam kehidupannya, tak terkecuali kebahagiaan yang merupakan dambaan  dari tujuan  perjalanan hidup manusia. 

Mungkin penulis akan mencoba menguraikan defenisi ma’na ibadah dan bahagia itu sendiri; pertama,  difinisi ibadah secara terminologi adalah menyembah, sedangkan secara istilah adalah segala pekerjaan yang diniatkan untuk Allah Swt. baik secara lisan maupun amal perbuatan.  Contoh secara lisan, mengucapkan perkataan-perkatan yang baik dengan niat menjalankan printah Allah Swt., adalah ibadah. Contoh dari amal perbuatan, hal-hal yang remeh  seperti makan dengan niat menjaga tubuh agar selalu sehat sehingga dapat  menjalankan perintah-perintah Allah dan lain sebagainya adalah ibadah.

Kedua,  menurut Imam Al-Ghazali pencapaian  kebahagiaan itu berbeda-beda sesuai dengan subjeknya. Binatang mencapai kebahagiaan dengan cara makan, minum, tidur dan kawin. Tumbuhan mencapi kebahagiaanya dengan cara berfotosintesis. Setan mencapai kebahagiaanya dengan cara bertengkar, berbuat makar dan menipu. Malaikat berbahagia dengan melihat keindahan Tuhanya, tidak dengan amarah dan syahwat.

Secara sekilas, dua  definisi di atas tidak berkorelasi, berdiri sendiri-sendiri. Tetapi penulis tidak berhenti di sini, mencoba menganalisa lebih lanjut, dan menemukan efek dan makna dari penggabungan kata ibadah dan bahagia dalam pemahaman yang lebih jelas.

Manusia  menjalankan ibadahnya berbeda-beda sesuai  tingkat keilmuanya, dan ibadah  memberikan pengaruh besar dalam  bangunan akidah  pada keesaaan sang pencipta. Menurut Imam Ghazali; ibadah merupakan buah dari ilmu, semakin dalam ilmu yang dimiliki, semakin berarti ibadah yang dijalankan. Yang demikian itu, ditegaskan Al-Quran "tidak sama" antara orang-orang alim dari orang-orang yang bodoh l

:قل هل يستوي الاعمي والبصير (الانعام: 50)

وما يستوي الاعمى والبصير (فاطر: 19)


Lalu dimanakah perbedaaan antara orang alim dan jahil? Bukankah mereka sama-sama menjalankan ibadah? Bukankah mereka sholat lima waktu setiap hari, puasa selama  Ramadhan, mengeluarkan zakat setiap tahun, pergi haji ke Makkah dan lain sebagainya ?

Tentunya kita tidak melupakan tulisan di atas, bahwasanya manusia terdiri dari dua unsur; jasmani dan rohani, jasad dan ruh, dan masing-masing  unsur memiliki kebutuhan yang berbeda. Orang yang alim mampu menyeimbangkan, mengolah dan memenuhi kebutuhan kedua unsur tersebut,  tidak timpang, mensejajarkan dan menyamaratakan langkah keduanya tanpa  persinggungan, kontra yang berdampak pada kerusakan jiwa ataupunkeimanan manusia ketika ia menemui titik dramatis dalam hidupnya. Ada peran iman dan tawakal di sana. Dan ini menjadi solusi pada apa yang  terjadi di negara-negara maju. Dalam hal ini tidak mudah bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh lagi, untuk mencari titik temu yang dapat menyatukan dan dapat menjadikanya sebagai perekat antar kedua unsur tersebut.

Kembali sebab utama hilangnya kebahagiaan manusia adalah karena diakibatkan rasa kehawatiran dan takut. ini terjadi pada 3 keadaan; pertama, ketika manusia merasa telah tercukupi semua kebutuhannya,  ia akan merasakan khawatir akan kehilangan apa yang telah ia miliki, takut terambil, rusak dan hancur. Kedua,  merasa khawatir akan tidak kembalinya  kebahagiaan yang dieroleh. Ketiga, memiliki semuanya tetapi tidak pernah merasa memiliki semuanya. 

Dari pemetaan di atas  bisa kita bisa meraba dimanakah inti-inti  masalah dan bagaimana  manusia dapat mencapai pada  kebahagiaan yang hakiki. Dan diantara solusi terpenting adalah kembali pada hati, Aqidah dan tauhid, dan amal shaleh, semuanya akan menjadi tameng penjaga dari godaan dan rayuan gemerlapnya kemewahan duniawi,  hal ini akan membawa manusia pada keadaan yang aman, tenang dan tentram tanpa merasa khawatir dan takut dengan hiruk-pikuk dunia yang terkadang  brutal.

Teringat dengan kisahnya Muadz bin Jabal ketika ditanya seorang sahabat tentang keadaan dua orang, yang satu melakukan banyak amal saleh tetapi berakidah lemah, yang kedua sedikit melakukan amal saleh tapi berakidah kuat. Muadz bin Jabal menjawabnya dengan bijak: orang yang banyak beramal saleh, akidahnya akan bertambah dengan amal saleh yang dikerjakannya. Sementara orang yang kedua, akidahnya akan semakin lemah dengan lemahnya amal saleh yang ia kerjakan.

Dari kisah ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa akidah seseorang dan keyakinan terhadap Allah Yang Esa bisa tumbuh dan semakin kuat dengan amal saleh yang dilakukan, karena amal sholeh adalah bukti pengabdian hamba yang tunduk dan patuh kepada Tuhannya []

Read More »