Artikel pendidikan di Indonesia saat ini
Artikel pendidikan di Indonesia saat ini akan mengangkat tema dengan judul " Mengenal Kembali Indonesia " .Hal ini setidaknya akan sedikit membuka cakrawala dan paradigma kita.Tanpa
terasa, lembaran tahun 2012 hampir berakhir. Seperti biasa kita
melewatinya biasa saja. Sejarah berlalu begitu saja tanpa ada kesadaran
belajar dari sejarah. Gundah gulana orang bijak melihat manusia dengan
nalar liarnya dan indra perasa yang mulai buta. Perubahan tatanan
kehidupan masyarakat baik masalah ekonomi, sosial maupun pendidikan,
kiranya urgent untuk diperbincangkan. Rerasan perubahan zaman kiranya
bisa membuka mata, hati dan pikiran untuk kita renungkan bersama mencari
jalan keluar.
Rerasan Negeri Bahari dan Agraris
Hamparan teritorial dan kesuburan bumi maupun lautan, kekayaan perut bumi, tambang-tambang karun, keunggulan bakat manusia Indonesia, pelajar-pelajar kelas Olimpiade, kenekadan hidup tanpa manajemen, ideologi bonek, jumlah penduduk, kegilaan genetik dan antropologisnya, dan berbagai macam kekayaan lain yang dimiliki oleh “penggalan surga” yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, sungguh-sungguh merupakan potensialitas yang tak tertandingi oleh Negara dan bangsa manapun di muka bumi.
Namun,
kesadaran untuk mengenal kembali Indonesia sebagai sebuah imaji bahari
dan Agrari masih minim realisasi. Potensi kelautan sering diabaikan dan
potensi pertanian sering dicampakkan. Dalam kisaran finansial, potensi
kelautan Indonesia bisa mencapai 3.000 triliun per tahun. Sungguh angka
yang fantastis bagi barometer pendapatan negara. Namun sayangnya,
pemanfaatan kekayaan alam ini masih terbentur dengan minimnya perhatian
pemerintah dan lesunya daya minat masyarakat akan sektor ini.
Fenomena
menunjukkan bahwa paradigma masyarakat kita mulai terlihat janggal dan
tidak wajar, kesadaran mengerti bahwa Indonesia adalah negeri Agraris
dan Kelautan ternyata bagi mayoritas masyarakat dirasa kurang
menjanjikan masa depan. Dibuktikan dengan banyaknya minat orang tua yang
menyekolahkan anaknya sampai ke bangku perkuliahan agar kelak bekerja
kantoran atau menjadi PNS. Pernahkah anda mendengar nasehat orang tua
kepada anaknya untuk menjadi petani atau nelayan professional? Kalau pun
ada hanya wasiat juragan tanah maupun juragan kapal.
Kenyataan
semacam ini semakin menandai bahwa di level warga terjadi miskin pikir
yang berkelanjutan, sementara di level pendidikan terjadi pergeseran
orientasi dan kemandekan transformasi keilmuan. Sungguh Ironis, di satu
sisi, orientasi pendidikan tinggi hanya sebatas peyedia tenaga kerja
siap pakai untuk pasar kerja formal. Sementara di sisi lain, fakta
kekuatan agraris dan bahari justru dilupakan. Kelangkaanlah yang
kemudian terjadi, bukan lagi BBM maupun pangan melainkan kelangkaan
lapangan pekerjaan. Para penganggur terdidik semakin terjebak dilema dan
kegalauan, mendapat pekerjaan formal terasa susah, sementara membangun
desa terasa segan dan kebingungan dengan pengetahuan yang pas-pasan.
Berdasarkan data BPS Badan Pusat Statistik pada Agustus 2012, Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) untuk tingkat pendidikan Diploma dan Sarjana
masing-masing 6,21 persen dan 5,91 persen.
Ironi
semacam ini, seperti banyak dimengerti, dipompa oleh arus neoliberalisme
dalam wujud komersialisasi pendidikan terutama dalam satu dekade
terakhir. Sebagai komoditas, pendidikan menjadi sulit dibedakan dengan
produk kosmetik atau blackberry yang bisa dijualbelikan secara bebas.
Pendidikan bukan lagi berdasar pada hak warga negara, melainkan daya
beli konsumen. Di tengah badai krisis baik korupsi, suap dan sunat
anggaran, terlihat sangat irasional ketika Pemerintah berencana
menaikkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2013 sebesar Rp. 331,8 triliun
atau naik 6,7 persen dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun
2011. Ini artinya kenaikan anggaran yang pemerintah canangkan harus
berjalan sepadan dengan perbaikan kualitas pendidikan.
Rencana
pemerintah ini terbilang gila, carut marut aliran dana baik BOS,
perawatan sekolah maupun perpustakaan masih dipotong perut-perut
serakah. Selain itu seleksi penerimaan guru seperti halnya lelang
kambing jantan, ini nyata tapi kenapa kenyataan setragis ini dianggap
wajar. Kalau boleh penulis katakan, pendidikan hanya ajang rekayasa dan
pembodohan. Statement ini bukan tanpa bukti, menurut pengakuan bapak
saya, demi meningkatkan nilai jual sekolah di mata masyarakat, para guru
melalui ilmu lobinya, memberikan imbalan uang kepada pihak pengawas
untuk tidak bersikap ketat ketika berjalannya ujian. Selain itu dana BOS
disunat 10 persen oleh komite sekolah kecamatan. Lantas mau dibawa
kemana generasi penerus bangsa? Atau kita menjadi generasi alay saja lah.
Membincang
negeri bahari dan agrari, reorientasi pedesaan melalui dunia pendidikan
kiranya perlu untuk didengungkan. Setidaknya ada tiga hal yang bisa
ditempuh agar dunia pendidikan memiliki relevansi kembali dengan
kenyataan hidup rakyat Indonesia. Langkah pertama ada di level
kebijakan. Ini menyangkut kehendak politik (political will) para
birokrat di instansi pemerintahan hingga birokrat di kampus. Tentu
agenda mendasarnya adalah merevisi beberapa pasal UU Sisdiknas yang
terbukti membuka celah lebar bagi komersialisasi pendidikan. Agenda yang
tak kalah penting adalah akses yang disediakan pemerintah agar
mahasiswa memiliki banyak saluran untuk memesrai persoalan-persoalan
rakyat di daerah. Misalnya saja, Kementerian Percepatan Daerah
Tertinggal bisa menggalang kerjasama dengan Dikti. Kerjasama itu bisa
berbentuk program mahasiswa mengajar di sekolah-sekolah daerah
tertinggal selama kurun waktu tertentu. Program seperti ini terbukti
mujarab. Gagasan KKN muncul di benak Pak Koes yang masih mahasiswa
ketika ia mengajar anak SMP-SMA di Nusa Tenggara. Inisiatif semacam ini
belakangan sudah digalakkan kembali oleh Gerakan Indonesia Mengajar yang
dipimpin Anies Baswedan.
Langkah
kedua adalah jalur keilmuan. Mengingat keanekaragaman masyarakat
Indonesia, paradigma keilmuan di Indonesia harus mencari jalan atau
mazhabnya sendiri. Tidak sekadar membebek teori-teori Barat. Jalan ke
arah itu sebenarnya sudah dirintis sejumlah nama. Antara lain, Moebyarto
dengan Ekonomi Pancasilanya, Sartono Kartodirjo dengan Historiografi
Indonesia-nya, Driyarkara dengan Filsafat Kemanusiaannya, Satjipto
Rahardjo dengan Hukum Progresif-nya, Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial
Profetik-nya, atau Sajogyo dengan Agraria Pedesaan-nya. Memang,
membangun tradisi keilmuan yang setia pada kenyataan hidup nusantara
bukan perkara mudah mengingat sejarah kesarjanaan di Indonesia selalu
berjalan terputus-putus, lupa untuk mengakumulasikan dirinya, sehingga
nyaris tak memiliki kesinambungan tradisi.
Langkah
ketiga bertempat di jalur pergerakan. Sepanjang periode pasca 1998,
nampak kecenderungan gerakan mahasiswa semakin terkooptasi isu-isu
elitis. Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, pergerakan
mahasiswa terperangkap dalam situasi untuk selalu reaksioner. Meski bisa
baik atau buruk, yang jelas kecenderungan ini mengikis kedekatan
emosional dan pergaulan dengan massa rakyat. Isu-isu elitis, seperti
kasus Century misalnya, tidak selamanya adalah isu penting di level
rakyat. Karena itu, sudah saatnya gerakan-gerakan mahasiswa kembali ke
basis rakyat, menyelami sungguh-sungguh keprihatinan rakyat dengan
keterlibatan yang intens.
Ringkas
kata, menyelesaikan aneka masalah keindonesiaan, pada dasarnya, harus
berpijak pada kenyataan keindonesiaan yang hari ini menunggu dikuak di
desa-desa sekujur nusantara. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong-nya
berseru, Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat
hanya boleh memberi metode/Tetapi kita sendiri mesti merumuskan
keadaan/Kita musti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa/Menghayati
sendiri semua gejala/Dan menghayati persoalan yang nyata.
0 comments: