Bagaimana Cara Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Bagaimana Cara meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia kiranya urgent untuk diperbincangkan dan dicari jalan keluarnya.Fenomena rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia sendiri , sangat berpengaruh besar pada kemampuan bangsa mewarnai
kancah persaingan global. Pendidikan sebagai proses pembentukan
peradaban manusia yang humanis bercorak modernis kandas ketika
dihadapkan pada rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenyam
pendidikan. Sikap statis dan apatis rakyat Indonesia dalam memaknai
kemajuan bangsa lain semakin memperlebar jurang pemisah antara kategori
bangsa maju dan terbelakang. Hal itu terlihat dari relatif rendahnya
indeks pembangunan manusia Indonesia dan relatif rendahnya angka daya
saing bangsa. Realitas pendidikan Indonesia saat ini berada pada fase
intellectual deadlock, diindikasikan dengan minimnya upaya pembaharuan.
Konsentrasi pembaharuan sebenarnya bukan hanya pada sistem, manajemen,
maupun birokrasi tetapi lebih pada upaya mensinergikan paradigma bangsa,
bersatu untuk bangkit dari keterpurukan.
Dalam tinjauan komparatif, pendidikan di
negara maju didesain sebagai investasi yang berorientasi futuristik.
Kiranya sangat urgent, negara berkembang seperti Indonesia mengikuti
nasehat peneliti Mc Dougall: invest in man not in plan. Supaya investasi
dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus merenovasi
kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan
secara komprehensif dan mendasar. Sudah saatnya keterbelakangan ini
menjadi awal lahirnya revolusi, menatap dunia dengan terbuka tanpa
menghilangkan identitas bangsa, karena hakikat Revolusi menghendaki
suatu upaya rekontruksi, reinterpretasi dan reformasi. Revolusi
senantiasa mesra dilekatkan dengan dialektika, logika, romantika dan
spirit progresivitas menuju perubahan ke arah yang lebih baik.
Kesadaran vis a vis Tuntutan
Belantika pendidikan Indonesia
membutuhkan dua perkara, yaitu kesadaran dan gagasan. Sebagai kesadaran,
setelah enam puluh lima tahun Indonesia merdeka, makna kemerdekaan
hanya dipahami sebatas lepas dari jeratan kolonial bukan semangat
menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Dalam arti dhohiriah dan
ma’nawiyah, dan tersadar bahwa kita berada dalam dunia baru, semakin
terbuka dan banyak pembaharu. Sebagai sebuah gagasan, kenyataan akan
akutnya kondisi bangsa yang mencakup dimensi teritori, ekonomi, edukasi,
sosial, hingga budaya, selayaknya menggugah kesadaran kita untuk
berperan aktif dan berfikir progresif lewat ide imajinatif demi
meningkatkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dua hal itulah yang
menjadikan eksistensi pendidikan benar-benar ada. Karenanya, kemajuan
pendidikan mungkin ada ketika ia masih dipikirkan, dialami dan
dikerjakan bersama oleh masyarakatnya. Mungkin ini syarat sebuah
kemajuan. Seperti perkataan John F. Kennedy “Kemajuan merupakan kata
yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai
banyak musuh.”
Sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 pasal 2 adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman . Bila dicermati lebih
mendalam, visi dan misi pendidikan Indonesia hanya sebatas utopia dan
gagasan filosofis tanpa adanya implementasi praktis. Pertanyaan mengenai
untuk apa pendidikan diselenggarakan dan orientasinya sering
menimbulkan multi-interpretasi di kalangan pakar pendidikan. Kekaburan
paradigma ini menyebabkan operasi pendidikan kita mengalami
misplacement, tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat
pendukungnya. Secara struktural, politik pendidikan kita, dari masa ke
masa dijalankan dengan naluri dan spekulasi para penguasa, dan tidak
mengacu kepada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pendidikan dan pengalaman
negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan
atas trial and error, hit and run, dan kick and rush, sehingga
menghasilkan berbagai anomali dalam operasionalisasinya. Kaidah think
globally dan act locally yang ditawarkan Menteri Pendidikan Muhammad
Nuh, setidaknya menjadi gerbang pembaharuan akan bagaimana masyarakat
berfikir global dan terbuka serta tetap mempertahankan budaya lokal dari
pengaruh destruktif.
Potret Suram Pendidikan di Indonesia
Berawal dari rasa kepedulian, saya mencoba mengkritisi pendidikan Indonesia dari berbagai aspek dan dimensi yang meliputinya. Ketertinggalan bangsa Indonesia dari Negara tetangga, sedikit banyak telah mengusik kewibawaan nama besar Indonesia di mata dunia. Melihat realita yang ada, pendidikan sebagai media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia harus sesegera mungkin diberdayakan dan dioptimalisasikan. Namun, impian tidak selalu rukun dengan kenyataan. Pendidikan di tanah air sampai saat ini masih tertimbun berjuta problematika. Meskipun berganti aparat birokrat dan orde pemerintahan, dunia pendidikan tak kunjung lepas dari permasalahan klasik baik menyangkut masalah kualitas, kurangnya pemerataan pendidikan, kasus korupsi dana pendidikan hingga terputusnya daya jelajah intelektual kaum terpelajar. Hal itu seharusnya menjadi renungan kita bersama dalam merealisasikan amanat UUD 1945 dalam usaha mencerdaskan bangsa.
Berawal dari rasa kepedulian, saya mencoba mengkritisi pendidikan Indonesia dari berbagai aspek dan dimensi yang meliputinya. Ketertinggalan bangsa Indonesia dari Negara tetangga, sedikit banyak telah mengusik kewibawaan nama besar Indonesia di mata dunia. Melihat realita yang ada, pendidikan sebagai media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia harus sesegera mungkin diberdayakan dan dioptimalisasikan. Namun, impian tidak selalu rukun dengan kenyataan. Pendidikan di tanah air sampai saat ini masih tertimbun berjuta problematika. Meskipun berganti aparat birokrat dan orde pemerintahan, dunia pendidikan tak kunjung lepas dari permasalahan klasik baik menyangkut masalah kualitas, kurangnya pemerataan pendidikan, kasus korupsi dana pendidikan hingga terputusnya daya jelajah intelektual kaum terpelajar. Hal itu seharusnya menjadi renungan kita bersama dalam merealisasikan amanat UUD 1945 dalam usaha mencerdaskan bangsa.
Perlu disadari, Indonesia saat ini
sedang dan dalam penjajahan multimedia yang diprakarsai oleh
negara-negara maju seperti Amerika dan sekutunya demi melanggengkan
kebodohan di Indonesia yang terkordinir secara sistematis . Konspirasi
ini berjalan cukup mulus dan terorganisir, terbukti dari rendahnya
presentase kaum terdidik bangsa baik secara kualitas maupun moralitas.
Berdasarkan laporan UNDP sebagai institusi inisiator dan penyelenggara
survey Human Development Index (HDI)tahun 2009, menempatkan Indonesia
pada urutan ke 111 dari 184 negara. Dibanding dengan negara tetangga
seperti Malaysia (66), Filipina (105) Singapore (23) dan Jepang (10) ,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Selain itu Peringkat daya
saing Indonesia berdasarkan data IMD World Competitiveness Yearbook 2009
masih berada di urutan ke 51. Berdasarkan riset IMD tersebut, Indonesia
memperoleh nilai 55,47. Sedangkan peringkat pertama masih ditempati
Amerika Serikat (AS) dengan skor 100. Meski demikian, peringkat daya
saing Indonesia tersebut masih tertinggal dibanding negara Asia Tenggara
lainnya seperti Singapura (3), Malaysia (18), Thailand (26) dan
filipina (43). Sungguh realitas yang teramat tragis disaksikan.
Selain angka kualitas pendidikan yang
rendah, maraknya penyelewengan dana pendidikan semakin memperparah
impian bangsa bangkit dari ketertinggalan. Temuan tindak korupsi hampir
merata mulai dari atasan hingga bawahan. Menurut Peneliti Senior
Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, selama kurun waktu
2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan.
Kerugian negara di taksir mencapai Rp. 243,3 miliar . Selain itu, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan penyimpangan dalam sistem
pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2,2 triliun di bidang
pendidikan ungkap Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin. Dalam
wawancara saya dengan Kepala Sekolah SD Negeri Narukan Bapak Mundakir
SPd, beliau mengungkapkan bahwa indikasi penyelewengan dana BOS telah
menjadi sebuah kewajaran, hal itu terlihat dari laporan administrasi
yang dibuat-buat, dan terjadinya simbiosis mutualisme antara Pemerintah
Kabupaten dengan Sekolah untuk memangkas dana pendidikan, tentunya
dengan peran lobi di dalamnya. Kenyataaan inilah yang membuat negeri ini
mengalami stagnansi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Analogi
logisnya, pendidik juga perlu mendapat pendidikan.
Tantangan krusial menuju masyarakat
peduli pengetahuan adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Sehebat
apapun peralatan tekhnologi, jumlah dana melimpah, manajemen tertata
rapi, tapi SDM tidak memadai, semua itu bisa jadi barang basi. Demikian
halnya, mengenai masalah moral. Apabila iptek diibaratkan sebagai pisau
dengan dua sisi, maka hanya SDM yang sadar etika saja yang dapat
menghindari terjadinya moral hazard. Dengan demikian, pengembangan SDM
yang berkualitas secara intelektual dan moral spiritual adalah masalah
yang sangat urgen. Fenomena tawuran antar pelajar, kasus narkoba,
pergaulan bebas yang berbuntut HIV Aids adalah indikasi terputusnya
jaringan emosional antara anak didik dan pendidik. Melihat hal ini
kiranya perlu adanya reformasi metodologi pembelajaran yang lebih
menekankan pendekatan holistik, pro-actine sosial skills seperti
resolusi konflik dan metode cooperative learning emotional kepada siswa.
Bukan sekedar teoritik tematik, karena intisari sebuah pendidikan
adalah moral dan intelektual. Pakar pendidikan, Arief Rachman,
menambahkan, sistem pendidikan yang keliru memang memperparah kondisi.
Peran lembaga pendidikan dirasa kurang menerapkan program pembinaan
untuk membentuk manusia terpelajar atau intelektual. Sekolah tidak bisa
membentuk intelektual rendah hati, cerdas serta berkemampuan
menyelesaikan masalah dengan dialog dan logika. Disinalah kontribusi
masyarakat dan lembaga pendidikan berperan. Untuk lebih memudahkan
mencari solusi permasalahan, saya memakai istilah revolusi SISMAPA
(sistem, Manajemen dan Paradigma).
Pertama: Revolusi Sistem
Pertama: Revolusi Sistem
Membincangkan sistem pendidikan kerap
kali kita dibenturankan dengan apa yang disebut kordinasi dan birokrasi.
Sistem pendidikan yang seharusnya mengedepankan keterampilan dan
kompetensi semakin tereduksi menjadi pencapaian berbasis nilai. Definisi
keberhasilan proses pendidikan sendiri hanya diukur dengan angka-angka
kuantitatif baik perorangan maupun persentase kelulusan. Akibatnya
pendidikan hanya menjunjung tinggi supremasi otak sehingga mengabaikan
unsur hati dan kepedulian. Seperti tutur Romo Mangun “sudah selama 30
tahun lebih anak-anak kita dianiaya setiap hari oleh suatu sistem
pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai anak sebagai anak.” Di
negara berlandaskan asas demokratis seperti Indonesia, pendidikan
seharusnya lebih diarahkan menjadi motor penggerak bagi terbentuknya
jiwa demokrasi: kebebasan, keadilan, persamaan, dan dialog. Menurut John
S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan,
“pendidikan demokratis” sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan
manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan
dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model
pendidikan harus “disesuaikan” dengan aneka perbedaan (kebutuhan,
kecerdasan, kemampuan), dan “keberbagian” (sharing), di mana yang
berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang
berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum. Dalam konteks otonomi
daerah dan demokrasi, penghargaan akan “perbedaan” (kebutuhan,
kecerdasan, kompetensi), “diversitas” (daerah, alam, dan wilayah), dan
“pluralitas” (suku, bahasa, agama, ras) seharusnya menjadi fondasi
“ideologi pendidikan.” Segala bentuk penyeragaman, homogenisasi, dan
standardisasi tidak boleh dilakukan secara sepihak menggunakan otoritas
kekuasaan, tetapi diperbincangkan dan dikomunikasikan dalam ruang publik
demokratis (Jurgen Habermas) guna mencapai konsensus bersama. Dari
sinilah system pendidikan perlu diarahkan pada pendalaman substansi
bukan hanya memperindah sisi luarnya.
Kedua: Revolusi manajemen
Secara etimology manajemen berasal dari kata manage yang berarti “to conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary), yang berarti “Mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “manajemen” diartikan sebagai “Proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran.” Adapun secara terminology, oleh para ahli telah memberikan tafsiran yang beragam, dengan formulasi yang berbeda pula. Menurut George R. Terry,(1986): Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari akumulasi tindakan: Perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain. Sedangkan menurut (Boone & Kurtz, 1984: 4) Manajemen is the use of people and other resources to accomplish objective. Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip serta fungsi-fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan terlihat dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Oteng Sutisna (1989: 382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga bidang perhatian dan kepentingan yaitu: (1) setting Administrasi pendidikan (geografi, demografi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan pembangunan); (2) pendidikan (bidang garapan Administrasi); dan (3) substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya, asas-asasnya, dan prilaku administrasi). Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dunia pendidikan, (1) evaluasi pendidikan dan (2) pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia. Dari dua hal ini ketika kita tarik ke dalam menejemen pendidikan yang berjalan di Indonesia, ada beberapa fenomena menarik yang sangat menonjol dewasa ini, diantaranya ialah: a) pendidikan kita tidak mendewasakan anak didik, b) pendidikan kita telah kehilangan objektivitasnya, c) pendidikan kita tidak menumbuhkan pola berpikir, d) pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, e) pendidikan kita dirasa membelenggu, f) pendidikan kita belum mampu membangun individu belajar, g) pendidikan kita dirasa linier-indroktinatif, h) pendidikan kita belum mampu menghasilkan kemandirian, dan i) pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik.
Secara etimology manajemen berasal dari kata manage yang berarti “to conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary), yang berarti “Mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “manajemen” diartikan sebagai “Proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran.” Adapun secara terminology, oleh para ahli telah memberikan tafsiran yang beragam, dengan formulasi yang berbeda pula. Menurut George R. Terry,(1986): Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari akumulasi tindakan: Perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain. Sedangkan menurut (Boone & Kurtz, 1984: 4) Manajemen is the use of people and other resources to accomplish objective. Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip serta fungsi-fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan terlihat dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Oteng Sutisna (1989: 382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga bidang perhatian dan kepentingan yaitu: (1) setting Administrasi pendidikan (geografi, demografi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan pembangunan); (2) pendidikan (bidang garapan Administrasi); dan (3) substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya, asas-asasnya, dan prilaku administrasi). Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dunia pendidikan, (1) evaluasi pendidikan dan (2) pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia. Dari dua hal ini ketika kita tarik ke dalam menejemen pendidikan yang berjalan di Indonesia, ada beberapa fenomena menarik yang sangat menonjol dewasa ini, diantaranya ialah: a) pendidikan kita tidak mendewasakan anak didik, b) pendidikan kita telah kehilangan objektivitasnya, c) pendidikan kita tidak menumbuhkan pola berpikir, d) pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, e) pendidikan kita dirasa membelenggu, f) pendidikan kita belum mampu membangun individu belajar, g) pendidikan kita dirasa linier-indroktinatif, h) pendidikan kita belum mampu menghasilkan kemandirian, dan i) pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik.
Fenomena tersebut di atas, itu semua
adalah tentang evaluasi dari pendidikan kita yang ada sekarang ini.
Sedangkan pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia dirasa
selain merupakan tuntutan kebutuhan di atas, juga dibutuhkan adanya (1)
“peace education” pendidikan yang damai / menyejukkan; (2) pendidikan
yang mampu membangun kehidupan demokratik; (3) pendidikan yang mampu
menumbuhkan semangat menjunjung tinggi HAM, dan (4) pendidikan yang
mampu membangun keutuhan pribadi manusia berbudaya.
Persoalan pendidikan di Indonesia dewasa
ini sangat kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut
persoalan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen
pendidikan. Mengenai mutu pendidikan menurut Paul Suparno adalah masalah
mengenai kurikulum, proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu
guru, sarana dan prasarana. Termasuk pemerataan pendidikan adalah masih
banyaknya anak sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di
sekolah. Sedang persoalan manajemen pendidikan adalah menyangkut segala
macam pengaturan pendidikan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan
transparansi agar kualitas dam pemerataan pendidikan dapat
terselesaikan. Terobosan baru manajemen Pendidikan Indonesia perlu di
dasarkan pada planning, organizing, actuating, dan controling. Adalah
sistem manajemen yang sangat luar biasa ketika itu dilaksanakan dengan
sempurna.
Ketiga: Revolusi Paradigma
Pendidikan Nasional Indonesia seharusnya di bangun di atas landasan yang kuat dan bervisi jelas. Pandangan masyarakat akan Pendidikan yang di dasarkan pada orientasi dunia kerja telah menggrogoti nilai suci tujuan pendidikan. Dalam dunia pendidikan telah muncul tiga paradigma dalam pengembangan keilmuan dan proses pendidikannya. paradigma konservatisme dan liberalisme cukup mengilhami saya menawarkan sebuah paradigma . Dalam buku berjudul Celoteh Tentang Zaman yang Berubah karya Prof. DR. N. Driyarkara, S.J. (I, 2007) Masih soal dunia pendidikan. Pak Nala merasa heran dengan para sarjana yang mendem ngelmu (mabuk dengan ilmu) sehingga tak mampu menyelesaikan problem-problem nyata di masyarakat. Bahkan Pak Nala merasa kasihan dengan banyak orang yang mendewa-dewakan ijazah. Celakanya, para pembesar di negeri ini tak luput dari jenis manusia seperti itu. Ijazah sarjana dianggap mencukupi segala kebutuhan dan bisa menjawab semua persoalan. Menurut M.J. Langeveld (1999) pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.
Pendidikan Nasional Indonesia seharusnya di bangun di atas landasan yang kuat dan bervisi jelas. Pandangan masyarakat akan Pendidikan yang di dasarkan pada orientasi dunia kerja telah menggrogoti nilai suci tujuan pendidikan. Dalam dunia pendidikan telah muncul tiga paradigma dalam pengembangan keilmuan dan proses pendidikannya. paradigma konservatisme dan liberalisme cukup mengilhami saya menawarkan sebuah paradigma . Dalam buku berjudul Celoteh Tentang Zaman yang Berubah karya Prof. DR. N. Driyarkara, S.J. (I, 2007) Masih soal dunia pendidikan. Pak Nala merasa heran dengan para sarjana yang mendem ngelmu (mabuk dengan ilmu) sehingga tak mampu menyelesaikan problem-problem nyata di masyarakat. Bahkan Pak Nala merasa kasihan dengan banyak orang yang mendewa-dewakan ijazah. Celakanya, para pembesar di negeri ini tak luput dari jenis manusia seperti itu. Ijazah sarjana dianggap mencukupi segala kebutuhan dan bisa menjawab semua persoalan. Menurut M.J. Langeveld (1999) pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.
Kesimpulan
Fenomena keterpurukan pendidikan di negara kita yang sangat kompleks dan heterogen, hendaknya dicermati secara teliti oleh masyarakat, terkhusus Mahasiswa dalam mencari solving problem. Fungsi agent of social change yang melekat pada jati diri mahasiswa saat ini hendaklah termaknai bukan sebatas slogan-slogan demonstrasi saja, namun suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan bangsa, dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Sehingga manajemen dan paradigma antar mahasiswa, masyarakat dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan suatu argumen dan saran sebagai solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan.
Fenomena keterpurukan pendidikan di negara kita yang sangat kompleks dan heterogen, hendaknya dicermati secara teliti oleh masyarakat, terkhusus Mahasiswa dalam mencari solving problem. Fungsi agent of social change yang melekat pada jati diri mahasiswa saat ini hendaklah termaknai bukan sebatas slogan-slogan demonstrasi saja, namun suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan bangsa, dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Sehingga manajemen dan paradigma antar mahasiswa, masyarakat dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan suatu argumen dan saran sebagai solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan.
Sudah menjadi keharusan bagi seseorang
atau kelompok mahasiswa untuk berperan aktif dalam menyoroti kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah, mengingat tuntutan status sosial yang
strategis bagi mahasiswa dari pada elemen masyarakat lainnya, dan ini
bukan berarti mahasiswa bergerak atau aktif dalam melakukan kontrol
sosial yang berkembang dengan tanpa ideologi dan orientasi perjuangan
yang jelas. Mahasiswa harusnya peka menyelami konsep perubahan
masyarakat, kebangkitan masyarakat, kritik sosial politik yang
ideologis.
Oleh karenanya mahasiswa dalam memahami
peranannya dalam peningkatan mutu kualitas pendidikan di Indonesia
sepatutnya memiliki kerangka acuan dan pegangan paradigma. Seperti
perkataan John F Kennedy “Don’t ask what your country give to you but
ask what you do to your country”. Dari kutipan di atas, paradigma
berfikir mahasiswa seharusnya terbangun kokoh dalam usaha
mengartikulasikan daya intelektual ke arah perbaikan bangsa. Dengan
diimbangi daya saing yang komunikatif serta daya sanding yang
kompetitif.
0 comments: