Melihat realitas pendidikan di Indonesia saat ini, kiranya perlu mencari solusi atas masalah pendidikan yang semakin hari mengkerdilkan daya kreatifitas dan imajinasi anak bangsa. Pendidikan yang selama ini berjalan, dirasa sudah jauh dari cita - cita pendidikan yang selama ini kita impikan.
Pendidikan
menjadi salah satu instrumen terpenting dalam membangun peradaban
Bangsa. Melaluinya, kemajuan bangsa bisa terealisasikan; mandiri,
progesif, demokratis dan bertanggungjawab pada negara. Hal ini senada
dengan tujuan pendidikan nasional Republik Indonesia yang tertuang dalam
UUD (Undang-Undang Dasar) no 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Dasar nomor
20 tahun 2003, mengembangkan pribadi yang mandiri, arif, bijaksana dan
bertanggungjawab sebagai warga negara.
Pembentukan UDD di atas
itu tak lepas dari ide besar Ki Hadjar Dewantoro dalam merumuskan
falsafah pendidikan Bangsa Indonesia saat menjabat sebagai Menteri
Pendidikan pertama kali. Beliau berharap, rakyat Indonesia bisa menjadi
manusia seutuhnya, merdeka sejak dalam dirinya. Menurut beliau ada tiga
hal manusia dikatakan merdeka: pertama, berdiri sendiri. Kedua, tidak
tergantung pada orang lain. Ketiga, dapat mengatur diri sendiri.
Tiga
dimensi manusia merdeka tersebut, sering dituturkan oleh beliau saat
memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada masyarakat, saat bertutur
maupun laku. Tujuannya adalah mampu membenuk watak dan jiwa manusia
semangat, progesif dan merdeka, sehingga mampu untuk memberi contoh yang
baik kepada generasi selanjutnya; membantu memberi semangat dan
memberikan dorongan untuk selalu bergerak maju. Sehingga dinamika
pembangunan bangsa dan masyarakatnya terkondisikan dengan baik sejak
dalam pikirannya; selalu memberikan dukungan positif atas kreatifitas
yang dibangun. Bukan menghancurkan kreatifitasnya.
Penekanan
menjadi manusia merdeka seutuhnya ini, mengilhami lahirnya semboyan “ing
ngarso sang tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.
Dari semboyan tersebut juga, membuat beliau terkenal sebagai bapak
pendidikan nasional. Seseorang yang memperjuangkan nasib bangsa melalui
pendidikan yang terstruktur, terorganisir, filosofis, mandiri, kreatif
agar menjadi warga cerdas dan progesif untuk perkembangan bangsanya.
Dari
makna filsofis dan berkarater tersebut, saat ini pendidikan telah
memudar maknanya. Sehingga terjadi pergeseran makna pendidikan dan
tujuannya. Pemahaman manusia mengenai pendidikan tidak lagi untuk
menjadi makhluk sosial yang integral sebagai masyarakat dan bangsa tapi
menjadi manusia individualis.
Pergeseran paradigma mengenai
pendidikan inilah, meresahkan istilah pendidikan itu sendiri, apalagi
digunakan untuk memperingati harinya. Masih pantaskan untuk dirayakan,
sedangkan manusianya tidak lagi mengerti makna pendidikan itu sendiri.
Perihal inilah, pernah menjadi sorotan dalam Koran Kompas, Sabtu, Mei,
2009.[1]
Untuk mendedah lebih lanjut mengenai konsep pendidikan di
atas, sebagai alat rekayasa sosial dalam mencipta masyarakat integral
saat membangun kemajuan bangsa, relasi kehadiran pendidikan dengan makna
bangsa, negara, di sini penting untuk dihadirkan kembali. Supaya kita
tidak lagi lupa makna yang dipendam oleh istilah pendidikan itu sendiri.
Sehingga wujudnya pendidikan secara lembaga di ruang realitas mampu
dicecap maknanya di ruang idealitas. Dan wujud pendidikan di ruang
realitas saat ini, bisa dipahami dalam laku sehari-hari manusia.
Dengan
terwujudnya relasi antara idealitas dan realitas dalam praktek laku
kehidupan, membangkitkah gairah onto-kritik terhadap usaha-usaha
pemerintah dalam memperjuangkan sekolah wajib dua belas tahun dari zaman
orde baru sampai era reformasi. Dan jembatan untuk memahamankan
masyarakat mengenai pendidikan, terbangun kesadarannya dengan baik,
bahwa pendidikan bukan hanya formalitas dan latah. Tapi sebuah kesadaran
untuk bergerak melaksanakan pendidikan dari jiwanya.
Makna Pendidikan Diantara Ketegangan Realitas
Pendidikan
berasal dari suku kata didik mendapat imbuhan ‘pe dan an’ yang
menekankan pada –peristiwa itu sendiri atau perbuatan yang dialami oleh
kata pendidikan—. Sedangkan makna didik itu sendiri mempunyai makna
–memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran—. Jika kata didik telah diobjektifikasi
menjadi kata pendidikan, dalam kamus KBBI mempunyai arti proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
cara, perbuatan mendidik.
Arti dan makna yang telah ditetapkan
oleh kamus Bahasa Indonesia tersebut, memangku tanggungjawab primodial
untuk diejawantahkan dalam dunia realitas material ini. Kata tersebut
tidak bisa menghindar tanggungjawabnya ketika disandarkan dengan kata
lain apalagi dilekatkan pada instutisi negara Republik, seperti
Indonesia. Tanggungjawabnya melampui artikata tersebut, yakni membentuk
manusia merdeka sejak pemikirannya.
Maka tak heran, kata tersebut
menjadi pusat perhatian sejak awal berdirinya negara Indonesia; pondasi
pertama dalam membangun bangsa adalah pendidikan. Sebelum dideklarasikan
kemerdekaan, ide tersebut pernah didialog-kan oleh Muhammad Hatta
bersama Soekarno, bahwa pertama yang harus dimerdekakan dari penjajahan
adalah pemikiran masyarakatnya, yakni dengan memberikan pendidikan
kepada mereka, bukan kemedekaan kontitusional. Karena gagasan itu
membutuhkan waktu lama, menurut Soekarna yang terpenting saat ini (tempo
dulu) merdeka terlebih dahulu secara
de facto dan
de jure, baru pembangunan masyarakatnya dengan pendidikan.
Peristiwa
dialog dari dua tokoh tersebut, menunjukan pendidikan adalah bekal awal
menjadi manusia merdeka. Pendapat ini dikuatkan oleh Paulo Fariere
dalam bukunya ‘
education as the practice of fredoom’, bahwa
pendidikan adalah modal penting menjadi manusia yang bebas dari segala
ke-naifan, kebodohan, ketundukan dari segala hal. Dan bisa menjadi
manusia yang mandiri untuk dirinya sendiri, mengatasi permasalahan
dirinya, mengerti cara berprilaku baik dengan orang lain.
Peristiwa
di atas dan konsep dasar Paulo Fariere mengingatkan dengan cerita Nabi
Adam saat diciptakan di dunia oleh Allah SWT, terjadi proses transfer
ilmu dari Yang Maha Kuasa kepada nabi Adam. Di mana semua makhluk hidup
yang tercipta lebih dahulu, tidak mampu berkata apa-apa saat terjadi
dialog antara Nabi Adam dengan lainnya. Sebagaimana Malaikat dan Iblis,
keduanya mengakui kalau pengetahuan Nabi Adam lebih tinggi daripada
mereka.
Cerita nabi Adam dengan para malaikat dan Iblis, di sini
sebagai manisfestasi teologis betapa pentingnya pendidikan transfer ilmu
untuk mendidik manusia berpengetahuan arif dan bijaksana. Sisi lain,
sebagai sebuah objektifikasi fenomena pendidikan di beberapa negara
maju. Bahwa transfer ilmu dalam kehidupan manusia adalah langkah awal
membangun negara. Dengan melaksanakan pendidikan, ada transfer ilmu, ada
pembentukan nalar berpikir menjadi lebih baik. Mengingat bahwa dengan
nalar kritis, dengan ilmu juga, ragamnya keinginan manusia bisa
terkendali karena tahu batas. Dengan pengetahuan, batas-batas keinginan
terjembatani secara natural. Tanpa saling memerkosa hak-hak lain.
Sehingga makna proses transfer ilmu untuk mendidik manusia berbudi dan
berpengetahuan diakui idealitasnya; makna untuk merdeka. Hingga
cita-cita awal Ki Hadjar Dewantoro untuk pendidikan nasional terpenuhi
haknya di dunia modern saat ini.
Dari deksripsi di atas, makna
dasarnya untuk mengajari manusia berbudi dan berpikir kreatif,
seharusnya mampu ditemukan pengaruhnya dalam kehidupan manusia Indonesia
saat ini. Anak-anak SMP, SMA, tidak lagi ada tawuran. Tidak ada lagi
pelecehan seksual;[2] tidak lagi ada pengaturan nilai-nilai Ujian
Nasional. Akan tetapi, femonena diluar prinsip pendidikan tetap saja
terjadi, fenomena tawuran antar siswa, pelecehan seksual kepada siswi
dan siswa kerap berlansung. Sampai-sampai pembunuhan dan kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak SMP dan SMA sering dijumpai dalam berita-beria
di televisi atau pun koran. Ini menunjuk-kan bahwa makna pendidikan yang
dibangun oleh Ki Hadjar Dewantoro, tidak mampu dipahami lebih baik di
zaman modern saat ini. Dan sudah saatnya, pendidikan modern saat ini
dikritisi lebih lanjut konsepnya dan dampaknya, untuk membangun bangsa!
Antara Sikap dan Hak
Jika
makna pendidikan mempunyai titik tekan pada proses pengubahan manusia
dari tidak berbudi menjadi manusia berbudi, dari tidak kritis menjadi
kritis, dari berpikir tidak kreatif menjadi berpikir kreatif, perlu ada
usaha membangkitkan kembali semangat zaman manusia saat ini. Alasannya
adalah makna tersebut tidak akan tersentuh sama sekali, tanpa ada
usaha-usaha bersama dari para pelaksana pendididikan dan pelaku
pendidikan. Yang ada hanyalah formalitas belaka.
Salah satu jalan
untuk membangkitkan semangat zaman adalah mengurangi budaya hafalan dan
menyusaikan materi-materi yang diajarkan di Sekolah Dasar. Karena budaya
hafalan menghilangkan pengalaman bernalar manusia sejak dini dan
menghilangkan rasa untuk mengenali cara pandang orang lain. Sehingga
yang terjadi adalah keroposnya rasa untuk berempati pada orang lain dan
jiwa untuk bernalar di saat telah lulus dari sekolah negara. Oleh karena
itu, tak heran ada beberapa pandangan untuk mengubah sistem pendidikan
di Indonesia, karena di nilai kurang sesuai dengan perkembangan
psikologi murid-murid.[3]
Tapi hal ini, akan berbeda jika
diperbandingkan dengan sistem pendidikan di Francis dan Jerman, tahapan
berpikir diperhatikan dengan baik serta penyesuaian materi terhadap
psikologis murid menjadi hal penting saat terjadi belajar-mengajar.
Karena tujuannya satu, untuk membangun manusia sejak dini berpikir
kritis dan kreatif. Karena dengan berpikir kritis dan kreatif akan
timbul pengetahuan mengenai hal yang buruk dan baik.
Perbedaan
tersebut bermula dari perbedaan sistem pendidikan dan sistem pengajaran
di sekolah sebuah negara. Jelas membawa dampak perbedaan jelas; yaitu
masyarakat di negara maju mampu menjadi sumber daya pembangunan
bangsanya. Dan rasa nasionalisme mereka sangat tinggi dan kuat. Ini
karena cara mereka memahami negara dan bangsa telah ada sejak bernalar.
Sejak mereka dikenalkan tentang sejarah mengenai bangsa dan budaya.
Sedangkan
dalam negara berkembang dan terbelangkang sering ditemukan
masyarakatnya menjadi beban negara, karena cara berpikirnya tidak ditata
terlebih dahulu sejak di pe-lajaran dasarnya. Mereka, masyarakat,
berpangku tangan menunggu negara bergerak. Tidak bergerak dari dirinya
sendiri. Kurang adanya kreatifitas dalam dirinya ketika dihadapkan pada
realitas semu.
Di sini, pembetukan kurikulum di negara berkembang
seperti Indonesia, patut di evaluasi kembali. Karena pendidikan ada
beberapa tahap dalam pengajaran di lembaganya kurang sesuai dengan
perkembangan manusia. Hingga tidak terjadi hafalisasi atas proses
belajar mengajar di Sekolah Dasar sampai sekolah SMA. Hingga anak-anak
merasa bahwa dengan mengikuti pendidikan, mendapat perhargaan secara
afektif, kognitif dan psikomotorik. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk
mendapat ijazah dan pekerjaan, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya.
Yang
paling penting juga adalah proses mimesis oleh guru kepada anak dan
lingkungan sekitar. Peniruan karakter menjadi bom atom untuk di
waspadai, agar anak tidak lepas tandas diluar batas kemampuan manusia.
Maka wajib bagi pendidik untuk menjaga pola intraksi yang baik agar ada
asimilasi kreatifitas untuk saling melengkapi. Baik itu keluarga, atau
pun pengajaran di institusi pendidikan formal. Sehingga pendidikan
lebur dalam satu entitas merdeka, pendidikan jasmani dan rohani.
Hubungan
timbal balik, peniruan, kreatifitas, menandakan keberhasilan membangun
nalar dengan baik dan kesadaran awam sebagai manusia. Sehingga tanpa
ada aturan apapun yang memerintahkan dirinya, akan berkorban untuk
membela kesatuan negara. Rasa nasionalisme dalam jiwa mereka lebur
bersama-sama dalam pembangunan. Sebagaimana sejarah sumpah pemuda dan
reformasi di Indonesia yang di wakili oleh kalangan-kalangan terdidik.
Tapi jika saat ini kalangan pendidik tidak lagi menjadi penunjang
kemajuan bangsa, pergeseran pemahaman pendidikan telah mengganti penuh
fungsi menjadi manusia seutuhnya; menjaga dan mengontrol keharmonisan
sosial.
Maka dari sana, penghianatan tidak lagi pada makna
pendidikan bangsa, tapi juga dasar falsafah bangsa-pancasila- tercerabut
nilai oleh manusia modern. Sehingga kemanusiaan yang adil dan beradab
menjadi kemanusiaan individualis dan pragmatis serta apatis. Oleh karena
itu, agar falsafah pancasila sebagai dasar negara terealisasikan
–membentuk masyarakat adil dan beradab. Mari bangun pendidikan bangsa
berkarakter nasional dan lokal tapi menjangkau internasional dari diri
kita masing-masing.
Kesimpulan
Untuk
menjadi manusia merdeka perlu ada wadah yang akan mengelola keraguan
tiap saat dalam jiwa manusia. Karena rasa ragu mempengaruhi manusia
untuk bertindak tegas dan sulit menentukan sikap. Dengan berhasil
mengelola rasa ragu, keyakinan untuk memutuskan kebenaran mutlak
dipertahankan. Tanpa mengenal lagi rasa takut dan di sia-siakan oleh
realitas. Dan untuk mencapai semua itu tentunya dengan pendidikan
mandiri sejak dalam dirinya, tidak sebuah formalitas dan rutinitas.
Dari
sini, persatuan bangsa dan keadilan sosial yang beradab bisa terbangun
dalam kenyataan sebenarnya. Mahasiswa tidak lagi menjadi ekor politik
yang mengenduskan banyak kepentingan. Bapak guru tidak lagi mengajar
sebelum mendapat gaji, tapi senantiasa berkorban untuk ilmu; pahlawan
tanpa jasa. Anak-anak SD mampu mengenal etika untuk mengucapkan salam
dan mengerjakan tugas dari sekolah. Serta membantu kerja bapak dan ibu
ketika di rumah.
Sehingga cita-cita pendidikan menjadi manusia
berbudi dan kreatif tertanam untuk memerdekakan dirinya dari jerat
kolinialisme, pragmatisme orang lain dan negara lain. Keberadaannya
disadari sejak awal untuk memajukan tatanan sosial dan memajukan
kebudayaan serta peradaban bangsa. Bangsa tidak lagi sebuah pencitraan
untuk mencari status tertinggi dan terpintar, tapi bangsa sebagai wadah
untuk bekerja sama dalam segala apapun. Dan penghargaan di setiap event
lomba dari lembaga pendidikan tidak lagi hanya untuk murid berprestasi,
tapi juga untuk mereka yang mampu giat belajar di sekolah meskipun
tidak berprestasi tenar, sebagai cara untuk menghargai kemanusiaan dan
menjadikannya manusia seutuhnya.
Dan tulisan ini untuk menyambut
hari pendidikan nasional. Semoga pendidikan nasional kedepan mampu
menjadi wadah untuk menggodok manusia yang benar-benar merdeka. Tidak
lagi ada penjajahan berpikir dan kreatifitas. Manusia mampu merasakan
nafas alam untuk menjadi dirinya. Murni sebagai manusia tanpa dibebani
kepentingan untuk menguasai satu sama lainnya. Karena kemerdekaan
sesungguhnya adalah lepas dari beban untuk menjadi apapun, hanya belajar
untuk menjadi manusia yang manusiawi. Semua itu karena adanya
pendidikan.
0 comments: