• Post with SoundCloud

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Consectetur adipisicing elit

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

  • Post With Featured Image

    iam 1989 wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing...

  • Elementum mauris aliquam ut

    iam wisi quam lorem vestibulum nec nibh, sollicitudin volutpat at libero litora, non adipiscing. Nul...

Tasawuf Sosial Ala Bidâyatu al-Hidâyah

0 comments
Imam Al-Ghazali yang lahir dengan nama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, menjadi seperti apa yang orang kenal tentangnya, adalah berkat masa yang ia hidup di dalamnya dan lingkunannya dimana ia berinteraksi dengan mereka.

Al-Ghazali hidup pada abad kelima Hijriah. Pada masa itu, kaum muslimin benar-benar terjerumus ke dalam polemik yang begitu memilukan. Perpecahan timbul dimana-mana. Tak terelakkan, kaum muslimin kala itu terpecah menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan. Bahkan perpecahan tersebut merambat ke dalam wilayah mazhab, sekte aliran, bahkan aqidah.

para ulama pada masa tersebut mencari solusi yang bisa membawa kaum muslim menuju jaman kemajuan dan memperbaiki keadaan yang morat-marit. Namun, sayang sekali, lagi-lagi mereka terjebak dalam perdebatan dan perpecahan. Alih-alih menemukan solusi, malah mereka saling menyalahkan satu sama lain.

Dari sini, para ahli hikmah (sufi) dan para filsuf mengambil perannya. Mereka mengkolaborasikan antara ajaran-ajaran Islam dengan teori-teori filsafat yang lahir dari akal para filsuf. Dan mereka berusaha agar ketentuan-ketentuan agama itu tetap selaras dengan akal. Dan pada ujungnya, perkembangan filsafat saat itu ternyata tumbuh lebih pesat. Maka tersebarlah pemikiran-pemikiran yang didasari oleh akal hampir ke seluruh madzhab.

Hidup di zaman seperti ini, tak mengherankan jika Al-Ghazali melahirkan beberapa karya dalam beraneka ragam bidang. Mulai dari usul fiqh, kalam, filsafat hingga tasawuf. Semua itu ditujukan untuk membenahi kondisi masyarakat kala itu. Sebut saja karyanya yang berjudul Bidâyatu al-Hidâyah. Kitab ini, sederhana memang. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam ada pesan penting yang ingn Al-Ghazali sampaikan di dalamnya.

Dalam muqaddimah kitab tersebut, Al-Ghazali mengingatkan kepada semua penuntut ilmu agar tujuan mencari ilmu hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt. dan tidak mencari ilmu hanya untuk mencari jabatan di depan manusia.

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa dari kalangan ulama itu tidaklah  semua menjadiwarâsatul anbiyâ’ , pewaris para nabi, di antara mereka juga ada yang berprilaku buruk yang disebut juga dengan ulama’ su’, ulama jahat.


Menurut Al-Ghazali jika seseorang mencari ilmu hanya untuk mencari ketenaran, kedudukan di depan manusia, dan tujuan duniawi lainnya, maka ia tak ubahnya dengan seseorang yang menjual pedang kepada seorang penyamun. Dan jika itu terjadi berarti ia adalah bagian dari mereka.

Dari perkataan tersebut Al-Ghazali ingin mengisyaratkan, bahwa ia tidak suka dengan ulama yang tunduk di bawah ketiak pemerintah kala itu.

Al-Ghazali memberitahu bahwa hidayah Allah yang merupakan buah dari ilmu memiliki pangkal-ujung dan sisi lahir dan batin. Tidaklah mungkin bagi seseorang mencapai ujung dari hidayah Allah sebelum ia melalui pangkalnya. Dan sungguhlah sulit bagi seseorang menyelami samudera hidayah sebelum ia melewati pantainya. Dalam kata lain Al-Ghazali ingin mengatakan bahwa kitab Bidâyatu al-Hidâyah yang berisi panduan-panduan adalah pedoman dasar untuk mendapatkan hidayah.

Walaupun tidak dipaparkan di dalam kitab Bidâyatu al-Hidâyah, Al-Ghazali membagi kitab itu menjadi beberapa pokok permasalahan.

Permasalahan pokok pertama yang dibahas dalam kitab itu adalah ketaatan. Bagian kedua kitab tersebut berisi perihal menjauhi larangan. Dan bagian ketiga adalah perihal interaksi antar sesama manusia.

Bab pertama, tentang ketaatan erat hubungannya dengan menejemen diri. Dalam kitab tersebut Al-Ghazali memaparkan hal-hal kecil yang dianggap tidak begitu penting oleh umat dan sering diabaikan. Seperti adab bangun tidur, adab masuk kamar kecil, adabwudlu’, adab mandi wajib, adab tayammum, adab masuk masjid dan seterusnya. 

Dari bahasan-bahsan tersebut, Al-Ghazali ingin menyadarkan umat Islam untuk tidak meremehkan hal-hal kecil yang terkadang memiliki manfaat besar. Al-Ghazali ingin merubah masyarakatnya dengan cara menyadarkan mereka untuk berdisiplin diri dan memperbaiki pola hidup sehari-hari. Dengan begitu, secara tidak langsung Al-Ghazali bermaksud agar kaum muslimin berlatih lebih peka lagi.

  Jika terhadap hal kecil seperti itu umat muslim sudah peka dan perhatian, tentunya mereka akan lebih memperhatikan hal-hal yang lebih besar. Sebaliknya, keseringan meremehkan hal-hal kecil bisa menjadi kebiasaan, dan bukan tidak mungkin jika sering dilakukan, hal yang besarpun bisa diremehkan juga.

Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali meletakkan adab bangun tidur sebagai bab pertama. Dalam bab itu, Al-Ghazali mengajarkan bangun pagi sebelum fajar agar kaum muslimin tidak terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Lalu kemudian menganjurkan membaca doa sebagai simbol memulai kehidupan atas nama Allah dan tentunya diakhiri dengan nama-Nya pula.

Pengalamannya belajar fiqih kepada Imam Ahmad Bin Muhammad Ar-Radikani dan Imam Al-Haramain Abdul Malik Al-Juwaini, tampak memiliki pengaruh dalam penulisan karangan-karangan Al-Ghazali.

Di dalam kitab Bidâyatu al-Hidâyah, Al-Ghazali memasukkan unsur-unsur fiqih seperti adab wudhu adab mandi, adab sholat dan sejenisnya. Namun yang dibahas dalam bab-bab itu bukanlah dari segi hukum atau usul fiqhinya. Al-Ghazali hanya menjadikannya sebagai salah satu metode pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya.

Selanjutnya Al-Ghazali mencoba mengingatkan bahwa mengerjakan kewajiban itu tidaklah mudah. Akan tetapi menjauhi larangan-larangan itu jauh lebih sulit lagi.

Di dalam bagian kedua dari kitab Bidâyatu al-Hidâyah, Al-Ghazali mengingatkan umat untuk selalu menjauhi larangan. Dalam hal ini, Al-Ghazali menkaitkannya dengan anggota tubuh yang sering menjadi sumber maksiat.

Bab ini besar kaitannya dengan diri sendiri dan juga menyangkut hak-hak orang lain. Bab-bab ini lebih mengkerucut pada tazkiatu an-nafs, penyucian diri. Di mana seorang hamba dituntut untuk bisa melatih diri dalam menjauhi larangan-larangan agama.

Lalu, setelah menjelaskan tentang adab-adab anggota-anggota tubuh yang merupakandzahir manusia, sisi batin manusia juga tidak luput dari perhatian Al-Ghazali.

Ia memberikan contoh tentang hasud yang membuat si penderita merasa tidak rela melihat orang lain mendapatkan karunia Tuhan. Dan sifat ria’ yang selalu ingin dipandang oleh mata manusia dan memiliki kedudukan di depan mereka. Al-Ghazali juga menyindir sifat ujub, takabbur dan membangga-bangakan diri sendiri. Semua penyakit di atas adalah penyakit hati yang rentan dialami semua manusia. 

Pada bagian akhir kitab ini, Al-Ghazali mengangakat tema yang cenderung kepada hal sosial sebagai pokok pembahasannya. Bagian terakhir ini lebih ditekankan kepada bagaimana cara bermuâmalah dengan orang lain. Dengan arti, bahwa seorang sufi tidak hanya mememntingkan Tuhan tetapi juga harus berinteraksi secara baik dan bijak dengan sesama manusia.

Disamping itu, Al-Ghazali juga menginginkan agar para pembaca untuk belajar bijak dalam menghadapi situasi dan kondisi. Rendah hati ketika menjadi orang alim misalnya, atau bagaimana bersikap sopan dan santun kepada orang tua dan guru. Pandai membedakan bagaimana bermuamalah dengan orang awam dan berinteraksi dengan orang terpelajar.

Jelaslah bahwa, tujuan Al-Ghazali mengarang kitab ini adalah sebagai rekonstruksi moral. Al-Ghazali menginginkan agar para thâlibul ilmi (pencari ilmu), selalu berlaku seimbang antara interaksinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya dan dengan orang lain.

Dan bukanlah seorang yang bijak jika ia hanya memperdulikan dirinya sendiri tetapi tidak mau perduli dengan orang lain. Dan tidak dikatakan bertakwa jika hanya mementingkan hubungannya dengan Tuhan sedang hubungannya dengan manusia kurang harmonis. Dan hanya orang bodoh yang mau menjadi lilin. Sibuk berkorban untuk sosial sedang hak-hak dirinya ia lupakan.[]

Read More »

Pluralisme di Indonesia

0 comments
Pluralisme, selama ini bangsa kita terlalu takut dan bahkan antipati dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan mereka dengan istilah ini. Saya sedikit tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi Media Indonesia dengan judul “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah” terlebih setelah sebelumnya saya membaca Catatan Pinggir dari Gunawan Muhammad di Tempo Interaktif dengan judul “Roh, Api, Kata Bung Karno”. Dua tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa kita yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.

Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik antar tokoh bangsa. Bung Karno sebagai presiden pertama kita sudah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika kita tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama. Namun sayang, beliau lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri. Namun spirit itu tidaklah mati begitu saja.

Dua organisasi yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia mengedepankan tenggangrasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya, ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara terjadi di mana-mana di pelosok negeri. Patut disayangkan bukan?

Tapi satu hal yang saya soroti kali ini adalah dua kutub yang senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa yang multi-kultural.

Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang rahmatan li al ‘alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal bangsa kita sebagai agama yang toleran dan pluralis. Tidak ada penghinaan terhadap agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam di masyarakat Indonesia.

Seiring tumbuhnya Islam di Indonesia, paham-paham lain masuk ke dalam masyarakat seperti paham wahabisme dan salafisme dari jazirah Arab. Namun rasanya masyarakat kita tidak mudah ditembus dan dipengaruhi oleh dua paham ini. Dan terbukti nyata paham ini butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa terserap oleh masyarakat kita. Dan kini dua paham itu telah tampil mencengkeram sebagian dari bangsa kita dan merusak kedamaian beragama yang sudah berjalan ratusan tahun di bumi Indonesia. Namun benar apa yang ditulis Media Indonesia di Editorialnya bahwa kita masih boleh berharap banyak pada dua pengawal sejati pluralisme di Indonesia, NU dan Muhammadiyah.

Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan lima agama di dalamnya tanpa ada tenggangrasa antar umat beragama di dalamnya. Tidak akan ada kedamaian dan kenteteraman dalam menjalankan ibadah ketika nilai-nilai “lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan bangsa kita. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama mungkin bisa jadi bangsa kita akan menjadi bangsa barbar yang beringas. Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang menghendaki hal seperti ini.

Read More »

SI,PKI Dan Kesalehan Sosial

0 comments
Kejanggalan itu konon ada kaitannya dengan surga. Rumah ukhrowy hunian para hamba ‘taat’ ini menjadi terma penting agama, iman. Maka setiap muslim dituntut untuk menyakini keberadaannya, lalu minimal menjadikannya tendensi dalam setiap praktik hidup. Kenapa minimal? Barangkali olehkarena terminologi ikhlas—yang dalam pengertian sufistik menjadi pondasi segala laku manusia–, menuntut keterlepasan amal dari segala tendensi pada selainNya. Tentu tendensi ketuhanan dalam pada ini tidak bisa dimaknai secara ekstrim, lalu menafikan signifikansi bias sosial praktik manusia itu. Tapi sejarah menyaksi yang ekstrim ini,

1921. Kala itu, tuntutan untuk setiap pribumi hanya satu: bersetekad melawan kapitalisme. Kuasa kolonial tidak menjanjikan suatu apa, selain hanya kenelangsaan. Ruang gerak pribumi terdikte untuk ‘menghidupi’ hasrat koloni, dan—yang paling mendasar—untuk mengakui kekuasaan the other itu. Setelah sekian lama terkekang, rakyat memberi respon: setiap pribadi melebur dalam komunitas-komunitas, mengukuhi identitas beserta hak-haknya. Tercetuslah cita-cita itu: melawan. Akan tetapi, setiap proses peleburan pribadi–sekalipun demi cita-cita bersama melawan the other—tak pernah terlepas dari “latar”. Dalam diskursus filsafat analitik, artikulasi “latar” merujuk pada pra-nalar yang merupakan bentukan budaya—yang lokal sekalipun. Maka dalam proses afiliasi individu ke dalam komunitas, pada titik tertentu akan melewati masa ‘kemelut’ inter-personal samasekali. Kemudian berkembang menuju ruang yang lebih besar: antar komunitas. Pada masanya ‘kemelut’ ini pun mengalami kontraksi:

Dalam salahsatu pidato yang disampaikan pada Kongres Komunis Internasional ke-4, Tuan Tan menganjurkan kerjasama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Meskipun gagasan ini tidak mendapat dukungan, demikian Seri Buku Tempo: Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan menuliskan, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Di kemudian hari, sengketa antara SI dan PKI menjadi tajuk harian rakyat, mengarutkan semangat perlawanan mereka terhadap kolonial. PKI yang menyerap semangat revolusioner dari Marxisme-Leninisme ini bertentang-paham dengan Sarekat Islam yang menjadikan agama sebagai latar pergerakan.

--“Apa yang mereka (pemerintah) katakan kepada kaum tani muslim yang sederhana?” kata Tuan Tan menirukan propaganda kolonial terkait isu Pan-Islamisme, “Mereka bilang: lihat, komunis tidak hanya memecah-belah, mereka juga ingin merusak agama kalian!”

Mereka, lanjutnya, kemudian berpikir: saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya harus kehilangan surga?—


***
Sejarah senantiasa hadir tak utuh: proses skriptualisasi selalu mengemban kesan reduktif, bahkan intriktif. Namun demikian, perbedaan tonggak epistemik antara Marxisme dan agama tak menafikan potensi kontradiksi tersebut: yang pertama meng’kultus’kan dinamika material –olehkarena itu mengemban kesan positivistik, dan historisitas sebagai obyek kaji nalar; sementara yang kedua cenderung spiritualistik, dan mengimani yang transendental sebagai subyek yang memiliki kuasa absolut. Dan pada saat yang sama masing-masing SI dan PKI satu dalam cita: keadilan yang membumi, serta terciptanya stabilitas sosial. Masing-masing keduanya mengandaikan realitas sosial yang saleh. Dan untuk membuka pintu kesalehan ini hanya ada satu kunci: lepas dari kuasa kolonial kapitalis!

Tapi rupanya propaganda kolonial itu berhasil: kesejalanan yang pernah terjalin, yang bahkan terhitung sejak 1916 itu, tiba-tiba lekang. Premis kesalehan sosial dipertentangkan dengan dogmatisme golongan. Premis itu, yang berangkat dari kesepadanan nilai etika, terjungkal: kembali teruang dalam pandora runyam ideologis. Saya katakan runyam karena, ideologi intim dengan capaian individu atau kelompok terkait perumusan asas pergerakan dan tolak ukur nilai hidup. Sementara itu, realitas obyektif adalah arsiteksi homogenitas sosial yang tak bakal mengandaikan kuasa diktatoris dari kelompok atau bahkan ideologi tertentu manapun. Olehdari itu, realitas obyektif atau al-‘Alam al-Kharijy ini, selamanya akan bersifat kompromistis: persepakatan-persepakatan komunal yang mewujud dalam bentuk norma sosial.

Dari sudut pandang yang paling linear, norma-norma merupakan kandungan dasari budaya. Dan dalam perjalanannya, budaya memiliki perangai yang unik: ia adaptif, sekaligus “defensif” terhadap nilai-nilai baru yang datang kemudian.

***

Ekstrimisme yang aktual mengisi rubrik keseharian masyarakat belakangan ini menjadi replika kuasa diktatorianyang menggejala dalam ruang sosial: ideologi.Terbukti –salahsatunya, dengan kian maraknya praktik-praktik massif-radikal yang mengatasnamakan agama oleh kelompok tertentu. Pola perilaku dan pergerakan kelompok ini destruktif terhadap nilai-nilai budaya: kontra homogenitas. Sesuai dengan watak dan perangainya, budaya juga sekaligus memiliki sifat “melawan” terhadap pelbagai pemaksaan: diwakili oleh para tuannya, lalu terjadilah clash itu, kekerasan-kekerasan, dan konflik. Kemudian,

adakah ideologi –sistem keyakinan dan visi hidup itu, akan selamanya dinamis dalam “ruang”-nya sendiri yang privatif?

Pertanyaan ini barangkali tak berlebihan, meski terkesan menuntut pertanggungjawaban atas kinerja ideologi dalam ruang sosial. Kesalehan sosial sebagai representasi praktik nalar etik sekalipun, menjadi yang mustahil terwujud olehsebab dogmatisme carapandang atas nilai.Dogmatis, karena personifikasi ideologi dalam diri para penganutnya potensial terjadi secara literer. Terlebih pada ideologi keagamaan: agama yang dirujukkan pada Yang transenden membawa nilai-nilai ideal yang absolut. Maka proses pemaknaannya kemudian bersifat referensial-historis: kembali pada metode dan praktik Nabi sebagai media tranformasi nilai ketuhanan menuju ruang sosial manusia, ummat. Pada sementara yang lain, agama—dalam pada ini Islam, memiliki tradisi kualifikasi teks untuk menguji validitas dan kontekstualisasinya menurut kacamata kesejarahan.

Potret perhelatan antar ideologi antara tahun 1920-1930 dalam sejarah bangsa, yang kerap disebut dengan a decade of ideology, membidik pula langkah arif-solutif Soekarno. Bahwa masing-masing ideologi—Nasionalis, Marxisme-Leninis, dan Islamis, memiliki titik tolak dan prinsip nilai yang berbeda tak semestinya lalu mengaburkan visi bersama masyarakat: kesatuan bangsa dan kemerdekaan. Praksisnya, ideologi tak selamanya harus tertutup hanya sebagai sistematisasi keyakinan sekaligus tujuan-akhir aktifitas hidup. Akan tetapi, ia mengandaikan realitas sosial ideal sehingga menuntut adanya komunikasi dan interaksi intensif dengan budaya serta masyarakatnya. Inilah “kesalehan”—ia sebagai istilah non-ideologis, mengacu pada terciptanya keadilan, keselarasan, dan stabilitas dalam seluruh segmentasi hidup masyarakat.[]

Read More »

Hukum Google Adsense dalam Syariat islam

3 comments



Hukum Google Adsense dalam Syariat islam,Setelah meneliti, menimbang dan mengangan-angankan dengan seksama insya Allah hokum dari Google AdSene adalah boleh.dan berikut ini adalah detail penjelasan mengenai progam Google yang sudah mendunia



I.                     



PENDAHULUAN



Bukan sebuah keanehan jika semakin hari, semakin bulan, apalagi semakin tahun terjadi banyak perubahan baik dalam urusan pribadi maupun kegiatan social.Karena belajar dari sebuah kesalahan ataupun pengalaman untuk berubah dan atau merubah merupakan sebuah keniscayaan.
Zaman dahulu kala sebagaimana kita ketahui dari berbagai sumber sejarah, perdagangan hanyalah terjadi di suatu tempat yang di sebut “pasar”. Para penjual dan pembeli berkumpul di sana untuk melaksanakan berbagai transaksi yang di inginkan. Adapun berdagang keliling dari suatu daerah ke daerah laindengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih besar hanya dilakukan oleh para pengusaha kaya. Karena di samping harus mempunyai banyak pengalaman, berdagang dengan cara ini juga haruslah di sokong dengan modal yang besar. Baik untuk kebutuhan perjalan maupun untuk keperluan barang dagangan itu sendiri.Karena tidak mungkin melakukan perdagangan seperti ini kalau barang dagangannya hanya sedikit.Jadi, dulu kemasyhuran barang atau pedagang itu sendiri hanyalah bersumber dari mulut ke mulut, karena saat itu belum muncul pemikiran tentang iklan dan yang lainnya.Ini seperti yang telah dicontohkan oleh beliau Nabi Muhammad S.A.W. yang masyhur dengan julukan al-Amin.
Namun setelah revolusi industry yang terjadi antara tahun 1750-1850 semuanya berubah.Penemuan-penemuan baru yang terjadi pada kurun waktu tersebut merubah cara-cara lama menjadi cara-cara baru yang jauh lebih efektif dan efisien.Karena hal itulahkemudian zaman setelahnya disebut dengan zaman modern.
Adapun hal yang ingin saya bahas dalam makalah ini adalah mengenai hokum dari Google adsense menurut pandangan syariat Islam. Sebuah program bisnis yang sedang marak diperbincangkan karena tawarannya cukup menggiurkan, yaitu mendapatkan tambahan income dengan cara yang tidak terlalu susah dan menguras tenaga. Dan karena kita adalah seorang muslim, tidak semua bisnis boleh dijalani. Harus memperhatikan unsur-unsur syariah terlebih dahulu sebelum ikut berkecimpung,sehingga menjadi muslim sejati, bahagia dunia akhirat.

II.                 DEFINISI GOOGLE ADSENSE
A.    Pengertian Google AdSense
AdSense merupakan sebuah program kerjasama periklanan melalui media Internet yang diselenggarakan oleh Google.Melalui program periklanan AdSense, pemilik situs web atau blog yang telah mendaftar dan disetujui keanggotaannya diperbolehkan untuk memasang unit iklan yang bentuk dan materinya telah ditentukan oleh Google di halaman web mereka. Pemilik situs web atau blog akan mendapatkan pemasukan berupa pembagian keuntungan dari Google untuk setiap iklan yang diklik oleh pengunjung situs, yang dikenal sebagai sistem pay per click (ppc) atau bayar per klik.[1]
Di dalam program Google AdSense terdapat banyak istilah. Namun kali ini hanya akan saya sebutkan beberapa saja biar tidak bertele-tele, cukup untuk memudahkan pemahaman. Yang pertama adalah publisher atau penayang iklan, yaitu seseorang yang memiliki situs web atau blog yang sudah terdaftar atau sudah disetujui oleh pihak pengelola aplikasi periklanan (pihak Google) untuk memasang iklan AdSense di situs mereka.Yang kedua adalah Ad Units, yaitu iklan AdSense itu sendiri.Ad Units terdiri dari beberapa jenis dan beberapa ukuran dan yang paling umum adalah jenis iklan teks. Pada saat pengunjung mengklik unit iklan ini, maka (jika sah) pemasang iklan akan mendapatkan pemasukan sesuai dengan nilai CPC-nya. Yang ketiga adalah Advertiser, yaitu orang yang bekerja sama dengan Google untuk memasangkan iklannya di situs-situsyang telah menjadi anggotayang di kunjungi melalui search engine Google. Jadi,dalam posisi ini Google merupakan perantara antara advertiser dengan publisher yang kemudian melakukan bagi hasil.Dan terakhir visitor, yaitu pengunjung situs.

B.     Macam-Macam dan Cara Kerja Google AdSense
Google AdSense memiliki beberapa bentuk program yang bisa di pilih oleh seorang calon publisher. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut :
1.      AdSense for content
Google AdSense dengan model AdSense for content merupakan bentuk yang paling banyak dipilih oleh para publisher. Yaitu iklan berbentuk tulisan atau disertai gambar yang kategorinya bisa ditempatkan oleh para publisher di halaman web atau blog mereka.
Adapun cara kerjanya, setelah seseorang yang telah memiliki web atau blog mendaftar dalam program Google AdSense dan akhirnyadisetujui oleh Google menjadi anggota, maka dia kemudian akan di beri member ID Google AdSense dan password. Setelah log in ke URL Google AdSense, disana akan ditemukan AdSense setup yang ketika di klik akan muncul pilihan macam-macam bentuk AdSense. Setelah memilih AdSense for Content dan mengikuti prosedur selanjutnya, publisher akan menemukan kotak “Existing Customer Login” yang berisi bahasa code html yang dapat langsung di copy dan paste pada isian web atau blog. Dengan kategori-kategori inilah Google akan menampilkan iklan-iklannya secara random, kemudian ketika ada dari visitor web atau blog tersebut mengeklik iklan yang ditampilkan maka pemilik situs alias publisher mendapatkan bagi hasil dari Google yang besarnya hanya Google yang tahu, publisher hanya tahu besar persennya.
Google AdSense mempunyai beberapa kebijakan.Salah satunya adalah memberi kenyamanan kepada publisher dengan“Blocking Ads”, yaitu sebuah kebijakan memperbolehkan publisher untuk meminta Google agar tidak menampilkan iklan-iklan yang diajukan tersebut di halaman situsnya.
2.      AdSense for Search
AdSense for Search merupakan salah satu program dari Google yang membolehkan publisher mengiklankan kotak search Google di websitenya. Dengan ini pengunjung situs publisher dapat mencari banyak hal melalui websitenya tersebut.
Kemudian pada halaman yang merupakan hasil dari pencarian yang dilakukan oleh visitor situspublisher juga akan tampil iklan Google, yaitu iklan AdWord yang ketika pencari tadi mengklik iklan yang tersedia pada halaman hasil tersebut publisher juga akan mendapatkan upah karenanya, sebagaimana system dalam AdSense for content.
AdSense for Search juga menyediakan pilihan dan control yang sama seperti  AdSense for Content. Hal tersebut termasuk penyesuaian, penyaringan iklan, monitoring, traking dan lainnya.
3.      AdSense for Video
Cara kerja program ini tidak jauh berbeda dengan program-program sebelumnya.Cuma bedanya kalau program-program sebelumnya penempatannya berada pada situs-situs yang berupa tulisan dan semacamnya, sedangkan AdSense for Video adalah program periklanan khusus untuk situs yang isinya berupa video. Yaitu iklan-iklan yang muncul ketika membuka situs pemutaran video yang baru akan hilang jika kita menskipnya.
4.      AdSense for Referral (iklan arahan)
Tidak seperti program-program sebelumnya, AdSense for Referral mempunyai kebijakan tambahan. Kalau program-program sebelumnya hanya dengan mengklik iklan saja maka sang publisher akan mendapatkan bagi hasil, untuk AdSense for Referral disyaratkan juga pengunjung setelah mengklik iklan dari situs publisher harus membeli salah satu atau beberapa produk yang ditawarkan. Baru kemudian setelah terjadi transaksi sang publisher akan mendapatkan bagi hasil sesuai perjanjian dari besarnya harga produk yang di beli.


C.     Ketentuan-Ketentuan dalam Google Adsense
Syarat dan Ketentuan Standar Google AdSense sangatlah banyak, bisa di lihat di https://www.google.com/adsense/localized-terms?hl=in_ID. Untuk itu dalam pembahasan kali ini akan saya ringkas agar lebih efisien dan lebih mudah dipahami.
Syarat dan ketentuan standart Google AdSense yang mungkin perlu diketahui adalah sebagai berikut :
1.      Tentang pastisipasi dalam program. Salah satu syarat untuk menjadi publisher dari iklan-iklan Google AdSense adalah telah berumur 18 tahun dan tentunya harus siap mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
2.      Penerapan dan pengoprasian iklan. Pada bagian ini yang di bahas adalah meliputi macam-macam bentuk program dan cara kerjanya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di “Macam-Macam dan Cara Kerja Google AdSense”.
3.      Penggunaan yang di larang. Menjelaskan tentang pelarangan kepada publisher untuk memprofokasi visitor, mengedit, memodifikasi, menyingkat iklan, dan sebagainya yang intinya melakukan kecurangan atau licik. Sedangkan bagi advertiser dilarang untuk mengiklankan hal-hal yang berbau porno, judi, dating dan lain-lain yang tidak diperbolehkan.
4.      Pembayaran. Publisher akan menerima pembayaran yang terkait dengan jumlah klik iklan yang valid pada jumlah tayangan Iklan yang valid pula. Pembayaran kepada publisherakan dikirim oleh Google kira-kira dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah akhir setiap bulan di mana iklan atau tombol arahan berjalan di properti publisher atau iklan berjalan pada halaman hasil penelusuran jika saldo penghasilan publisher mencapai $100 atau lebih.Jika perjanjian ini berakhir, Google akan membayarkan saldo penghasilan publisher dalam waktu kira-kira 90 (sembilan puluh) hari setelah akhir bulan di mana perjanjian dihentikan oleh publisher (setelah Google menerima permintaan tertulis dari publisher) atau oleh Google.Namun, dalam kondisi apapun, Google tidak akan membayar saldo penghasilan yang kurang dari $10.

III.               PANDANGAN SYARI’AH TENTANG JU’ALAH
Dengan melihat pembahasan dan permasalah tentang Google AdSense yang telah dipaparkan di atas, maka sepertinya cocoknya bila penerapan konsep fiqihnya memakai takyif ju’alah. Untuk itu di sini yang akan saya bahas adalah permasalahan tentang ju’alah atau upah atau lebih di kenal dengan sayembara.
Kata ju’alah secara bahasa mempunyai arti upah atau nama bagi sesuatu yang dijanjikan kepada seseorang atas sebuah pekerjaan (hadiah). Sedangkan menurut istilah syariat, ju’alah adalah perjanjian upah yang maklum atas pekerjaan yang tertentu atau tidak jelas karena susah mengerjakannya.[2] Seperti perkataan “Barang siapa dapat mengobati atau menemukan obat atas penyakit putriku maka akan aku beri kekuasaan atau harta yang banyak”. Sedangkan bila diterapkan dalam Google AdSense bisa di andaikan “Barang siapa menaruh iklan-iklan saya di halaman situsnya dan di klik oleh visitornya, maka setiap klik akan saya beri upah dollar dengan syarat dan ketentuan”.
Adapun dasar di syariatkannya praktek ju’alah adalah :
1.      Hadits.Diriwayatkan bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat Al Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah karena takut hadiah tidak halal, Rasullah pun tertawa seraya bersabda : “Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abi Said al-Khudri).[3]
2.      Ayat al-Qur’an surat Yusuf : 72 yang berbunyi “Mereka menjawab : kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya”.
3.      Ijma’ ulama’.
Ju’alah itu hampir seperti ijaroh (sewa barang atau jasa), hanya berbeda pada 4 hal yaitu tentang kebolehannya, sahnya beserta sesuatu yang tidak tertentu (tidak ada batasan waktu), pekerjaan yang tidak jelas dan pembayaran hanya berada pada akhir (upah tidak boleh di ta’jil sebagaimana ijaroh).
Adapun rukun ju’alah ada 4 :[4]
a.      As-Shighot. Shighot di sini hanya berupa I’lan dari ja’il (pemberi tugas atas upah) sebagai izin atas pekerjaan yang dijanjikan dengan upah tersebut. Tidak disyaratkan qobul amil (pekerja) secara lafad sebagaimana di dalam akad-akad yang lain seperti jual beli dan sewa.
b.      Al-Aqid. Ja’il atau aqid disyaratkan merupakan orang yang boleh bertashorruf (menggunakan harta), maka tidak sah bagi anak kecil, orang gila dan yang lainnya yang sederajat untuk melaksanakan ju’alah.
c.       Al-Amal. Pekerjaan atau amal dalam ju’alah tidak disyaratkan harus jelas seperti ijaroh, tapi boleh tidak jelas karena unsur kebutuhan yang disebabkan oleh sulitnya pekerjaan tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam definisi. Maka dari itu dalam ju’alah disyaratkan untuk tidak memberi batasan waktu. Jika di batasi maka batal atau bukan bernama ju’alah.
d.     Al-Ju’lu. Hadiah atau al-ju’lu disyaratkan harus jelas. Namun jelas disini tidak berarti kadarnya, melainkan hanya jenisnya yaitu merupakan sesuatu yang diharapkan dan bukan sesuatu yang haram atau najis.

IV.              HUKUM GOOGLE ADSENSE MENURUT SYARI’AH
Setelah meneliti, menimbang dan mengangan-angankan dengan seksama insya Allah hokum dari Google AdSene adalah boleh. Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut :
1.      AdSense for Content
Google AdSense for content hukumnya boleh,karena :
a.      System dalam AdSense for Content sama dengan system ju’alah, dan ju’alah diperbolehkan dalam Islam dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya.
b.      Tidak ada hal-hal di dalam AdSense for Content yang merubah hokum kehalalannya menjadi haram.
2.      AdSense for Search
Hokum dari AdSense for Search juga boleh karena cara kerjanya sama dengan AdSense for Content, hanya berbeda bentuknya.
3.      AdSense for Video
Begitupun AdSense for Video. Hokumnya juga boleh karena hanya beda bentuknya dari bentuk-bentuk sebelumnya yaitu AdSense for Content dan AdSense for Search.
4.      AdSense for Referral
Sedangkan untuk AdSense for Referral hokumnya bisa dikatakan sangat jelas boleh.Karena konsepnya lebih jelas, bahkan bisa dimasukkan dalam konsep ijaroh.Kalau ijaroh saja masuk (boleh) apalagi dengan konsep ju’alah, maka min babil aula.

V.                PENUTUP
Sebuah kaidah fiqih berbunyi “al-hukmu far’un an tashowwurihi”, hokum itu adalah cabang atau bagian dari pemahaman. Maka melihat penulis adalah pemula baik dalam bidang keilmuan maupun internet.Mungkin terdapat kesalahan-kesalahan di dalam penulisan makalah ini. Untuk itu penulis mohon maklum dan mari berdiskusi bersama. Wallahu a’lam.

Read More »