Relevansi Hadis Dalam Kontek Kekinian

Abu Syâmah al-Maqdisi, ulama hadis abad ke 12 M yang juga salah seorang murid Izz al-Din bin Abd al-Salam, menuliskan hal menarik dalam kitabnya Syarh al-Hadîs al-Muqtafâ, “menghapal sanad, mengetahui identitas perawi secara mendalam, pembedaan terhadap riwayat shahih dan tidak shahih, semua ini merupakan penekanan pembelajaran hadis oleh para sarjana hadis abad pertama: sebab tidak ada buku di tangan mereka, dan permasalahan tidak teridentifikasi dengan baik. Cukuplah pecinta ilmu menyudahi kelelahan ini, sebab buku dan karya-karya dalam bidang hadis sudah cukup lengkap dikarang.


Walaupun kemudian pernyataan ini dibantah oleh salah seorang ulama hadis kenamaan juga, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, tapi setidaknya menyiratkan satu tesis menarik: kajian hadis pada abad ke 12 M ternyata tidak bisa menciptakan inovasi yang berarti. Kodifikasi hadis baru digalakkan satu abad sepeninggal Nabi melalui beberapa fase: pertama, hadis dalam hapalan; kedua, kodifikasi hadis yang masih tercampur dengan fatwa shahabat; ketiga, kodifikasi hadis melalui pemilahan keduanya; keempat, penyeleksian hadis. Kita tahu, bahwa standarisasi hadis telah mapan pada abad ke 8 M dengan munculnya al-kutub al-sittah. Hadis yang dihimpun dalam naskah klasik ortodoks telah mengalami penyeleksian yang cukup ketat dari mata rantainya, sampai muncul asumsi, shahih Bukhari atau Muslim—meminjam istilah Mohammad Arkoun—sebagai “korpus tertutup”. Paska kodifikasi yang mapan ini, setidaknya sampai pada abad ke 12, perkembangan kajian hadis masih dinamis, sebab ia banyak mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru yang bernaung di bawah kajian hadis. Namun demikian, untuk mengetahui konteks pernyataan Abu Syamah di atas, kita perlu melihat sejenak penjelasan ini. Hadis tercakup dari dua unsur determinan: sanad dan matan. Oleh sebab itu, kajian hadis hanya berkisar pada dua hal tersebut. Secara umum inklinasi pengkaji hadis terpetakan pada empat kecenderungan; pertama, terwakili oleh para sarjana yang intens dalam “fikih dan hadis”. Sarjana dengan kecenderungan ini mampu menerawang esensi matan hadis, dan pembedaan hadis yang shahih dan tidak shahih secara jeli. Derajat ini dimiliki oleh, semisal, para imam empat madzhab, imam Ahli Bait, Bukhari, Thabari, Ibnu Khuzaimah, Dawud al-Dzahiri, dll; kedua, para sarjana yang mencukupkan pada penelitian matan semata: penjelasan terhadap struktur maupun lafaz asing (gharîb al-alfâdz) dan mengenyampingkan mata rantai; ketiga, sarjana yang fokus terhadap penelusuran sebab-sebab cacat maupun kuatnya sebuah hadis—berjibaku dalam sanad hadis; keempat, sarjana menghimpun kitab-kitab hadis, riwayat, mencari riwayat tertinggi, dan seterusnya. Dalam dinamika ilmu hadis, baik sanad maupun matan mampu mengilhami lahirnya ilmu-ilmu baru, seperti, ilmu rijâl dan al-jarh wa al-ta’dîl—yang berkait dengan sanad, maupun ilmu mukhtalaf al-hadîs, ilmu ilal al-hadîs, gharîb al-hadîs, dan al-nasîkh wa al-mansûkh—yang berkait dengan matan.


Kritik Abu Syamah al-Maqdisi adalah pada inklinasi ketiga. Bagaimana tidak, jika kemudian kriteria hadis sudah secara lengkap tertulis dalam buku-buku yang telah terkodifikasi, dengan masing-masing kecenderungan madzhabnya, maka aplikasi sebab-sebab cacat maupun kuatnya hadis tidak lagi berfungsi dalam ruang praksis. Maka muncul pertanyaan menarik, jika yang demikian merupakan realita ilmu hadis di abad ke 12 M, lalu bagaimana dengan abad ke 20 dan 21?


Sebetulnya geliat hadis di abad 20 cukup berkembang dibanding dua abad sebelumnya: abad 18 dan 19. Untuk mengetahui geliat hadis abad ke 20, setidaknya perlu sedikit dijabarkan pemicu perkembangan hadis di masa itu yang tidak bisa lepas dari tiga faktor determinan: pertama, munculnya geliat hadis dari pelbagai sekolah hadis (madrasat al-hadis) yang berkembang di beberapa negara. Karakteristik dari para sekolah hadis yang muncul di pelbagai negara adalah untuk menopang kecenderungan teologis maupun fikih. Di India, ada dua tokoh penting pionir penggerak dinamisasi ilmu hadis: Sayyid Shiddiq Hasan Khan al-Qannuji dan Sayyid Nadzir Husein al-Muhaddis al-Dahlawi. Menurut Rasyid Ridha, India mempunyai peran yang sangat besar dalam menghidupkan geliat hadis di awal abad 20. Tanpa mereka, niscaya ilmu hadis akan terkikis di kawasan Timur. Sedangkan di sisi lain, penguasaan sarjana di Mesir terhadap ketrampilan hadis masih sangat lemah. India, pada akhirnya melahirkan banyak sarjana hadis kaliber: kita mengenal Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq bin Amir Adzim Abadi, pengarang Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud yang terkenal itu. Kemudian Wahîd al-Zaman al-Laknawi, Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, pengarang Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, di mana beberapa bukunya yang lain telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tetapi, seperti dituturkan Sa’id Mamduh, studi hadis di tangan ulama-ulama India ini tidak mencapai titik progres yang diharapkan: sebagian besar dari mereka hanya berjibaku dalam matan, baik dari sisi nahwu, balaghah, sharaf serta makna umum (al-ma’nâ al-ijmâlî) atau hanya merangkum pelbagai kandungan kitab hadis.


Sedangkan di Mesir, dalam hal ini al-Azhar, dinamika hadis mengalami stagnasi yang signifikan paska generasi Ibnu Hajar al-Asqalani dan murid-muridnya. Studi hadis tidak se dinamis fikih maupun ushul fikih. Pemahaman terhadap hadis hanya sebagaimana yang didoktrinkan oleh para guru mereka, dan metode penafsiran yang tidak melampui penafsiran pendahulu. Kentrampilan hadis tidak berkembang di Mesir, sebagaimana perkembangan yang cukup baik di India. Fenomena demikian membuat beberapa sarjana Mesir menghendaki perubahan. Tapi pembahasan ini bukan menjadi konsen kita sekarang.


Walhasil, dalam lingkup Timur Tengah, tipologi studi hadis tak lepas dari dua arus besar: pertama, arus wahabisme, yang terepresentasikan oleh Mohammad Rashid Ridla, Nashir al-Din al-Albani, Muhammad Abd al-Raziq Hamzah, Abd al-Rahman al-Muallimi al-Yamani, dll; kedua, inklinasi non-Wahabi, yang direpresentasikan oleh Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattani, Abdullah bin Shiddiq al-Ghummari, Ahmad bin Shiddiq al-Ghummari, Zahid al-Kawtsari, Falah Abu Ghadat, dll. Dua kecenderungan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap dinamika studi hadis di pertengahan abad ke 20 dan awal abad ke 21.


Faktor kedua yang memicu perkembangan studi hadis adalah berkembangnya percetakan secara massif di awal abad ke 20. Kitab-kitab babon hadis yang pada awalnya tidak bisa diakses, dengan munculnya percetakan ini, mempermudah peminat kajian hadis untuk mempelajarinya. Menurut Mahmud al-Tannahi, ada dua negara yang berperan besar dalam mencetak kitab-kitab langka hadis: Mesir dan India. Di Mesir, pada saat itu, terdapat percetakan tua Amiriyah Bulaq. Percetakan Amiriyah merupakan percetakan pertama sekaligus tertua di Mesir; didirikan oleh Mohammad Ali pada tahun 1820 guna merubah kebodohan masyarakat Mesir. Percetakan Bulaq masih diapresiasi dengan baik, sebab ketelitian dalam verifikasi teks masih menjadi prioritas. Sekarang, Bulaq merupakan satu-satunya percetakan di Mesir yang masih menyediakan kitab Fath al-Bâri karangan Ibnu Hajar tanpa editing Abd al-Aziz bin Baz, ulama hadis kenamaan Wahabi. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’, penjelasan-penjelasan kitab hadis (syurûh), dan lain sebagainya.


Sedangkan di India, bisa dijumpai percetakan tua Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyyah yang berdiri pada tahun 1891 M. Maktabah ini menyimpan ribuan manuskrip langka kitab-kitab hadis yang diambil dari Eropa, Rusia, Iran, Turki dan Mesir sendiri. Di antara kitab-kitab yang dicetak adalah Musnad Abi Dawud al-Thayyalisi, Sunan Kubra karangan Bayhaqi, Mustadrak alâ Shahihayn, al-Isti’âb fi Marifat al-Ashâb, Tahdzîb al-Tahdzîb, Târîkh al-Kabîr karangan Bukhari, Tadzkirat al-Huffâdz, dan lain sebagainya.


Faktor ketiga adalah munculnya fakultas-fakultas di Universitas Timur Tengah yang secara spesifik mempelajari hadis. Al-Azhar merupakan peletak pertama penjurusan semacam ini, dan seterusnya diikuti oleh universitas-universitas lain di dunia. Adanya keharusan membuat tesis maupun disertasi dalam bidang hadis merupakan salah satu faktor penting bagi dinamika ilmu hadis selanjutnya.


Tiga faktor pelecut munculnya kembali dinamika ilmu hadis menghasilkan pelbagai capaian sarjana hadis abad ke 20. Mahmud Sa’id Mamduh dalam bukunya al-Ittijâhat al-Hadîtsîyyah mengidentifikasi capaian hadis mereka dalam empat point besar: pertama, munculnya buku karangan ilmu musthalah hadîs: ilmu yang memuat kaidah penentuan sebuah hadis dikatakan shahih atau dla’if. Misal, Dzufr al-Amânî bi Syarh Mukhtashar al-Sayyid al-Jurjâni karangan Abd al-Hayy al-Laknawi. Kitab ini dicetak tahun 1886; Qawaid al-Tahdîst min Funûn Musthalah al-Hadîs karangan Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi; Tawjîh al-Nadzar ilâ Ushûl al-Atsar karangan Thahir al-Jazâirî; Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Mandzûmat al-Atsar karangan Syekh Mahfud Tremas, Indonesia; kedua, penyuntingan kitab hadis (tahqîq). Yang dimaksud tahqîq di sini adalah penelitian terhadap teks-teks kitab hadis, baik melalui penyuntingan sederhana, atau penyuntingan dengan memasukkan banyak informasi hingga identik dengan catatan pinggir (hâsyiyâh). Pada awal abad ke 20, perhatian terhadap teks kitab hadis terbatas hanya pada koreksi terhadap teks hendak diterbitkan (tashîh al-nushûsh), baru di pertengahan abad kemudian berkembang menjadi tahqîq kitab yang terkadang diterbitkan independen dari kitab: sebagaimana metode Zahid al-Kawtsari dan Ahmad Muhammad Syakir dalam menyunting teks kitab hadis; ketiga, sistematisasi kembali tata letak hadis. Sistematisasi adakalanya diselaraskan dengan urutan huruf dalam kamus, dan terkadang tematik (al-tartîb alâ al-abwâb). Sebagai misal, syekh Mansur Ali Nashif dalam kitabnya al-Tâj al-Jâmi’ li al-Ushûl. Ia mengumpulkan hadis Bukhari, Muslim, Abi Dawud, Turmudzi dan Nasai dalam satu kitab, dengan hanya menyertakan periwayat pertama saja, dan mengelempokkan hadis-hadis dalam satu bab besar: bab al-wudlu’, shawm, al-haj, dan seterusnya; keempat, membuat daftar letak hadis (fahârits) untuk memudahkan pencarian, di antaranya fihrits karangan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dan Fahârist al-Ghummariyiin.


Jika demikian, capaian hadis di abad ke 20 berkisar pada penulisan kembali karangan-karangan ulama hadis klasik dari sisi musthalah, selanjutnya merupakan upaya penjelasan lafaz melalui penyuntingan dan koreksi teks (tahqîq al-makhtûtath), sistematisasi kembali tata letak hadis, terakhir, membuat daftar isi hadis. Apa yang sudah dicapai di abad ke 20 tak berbeda dengan capaian abad setelahnya. Semisal tokoh seperti syekh Ahmad Ma’bad, Nuruddin ‘Ithr, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Hassan bin Ali al-Saqqaf, dan tokoh muda al-Azhar syekh Usamah Sayyid al-Azhari, atau dalam konteks Indonesia, Ali Musthafa Ya’qub, tanpa mengenyampingkan kepakaran mereka dalam ilmu hadis—baik riwâyah maupun dirâyah, belum menghasilkan inovasi baru dalam ilmu hadis. Karangan mereka tak pernah lepas dari “masa lalu”, dan sama sekali tak berelasi dengan realitas kecuali dalam beberapa sisi guna merespon isu keagamaan. Yang terjadi selanjutnya adalah dominasi inklinasi kajian hadis pada pengukuhan doktrin teologis, seperti perdebatan antara pakar hadis Wahabi dan Sunni.


Jika demikian, ilmu hadis seolah terlihat tak bergerak: tanpa inovasi apapun. Ilmu hadis—yang dalam sejarah perkembangannya mampu menghasilkan “ilmu independen”—dianggap telah final: “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim dengan instan tanpa perlu mengkritik atau mengembangkan lebih lanjut. Ilmu hadis dengan pernak-pernik yang melingkupinya adalah “korpus tertutup”. Hal ini berbeda dengan studi Islam yang lain, sebut saja studi al-Qur’an. Dialektika dalam studi al-Qur’an begitu terasa: pelbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan. Sebut saja dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang melakukan gebrakan dengan Mafhûm al-Nash, Muhammad Syahrur dengan al-Kitâb wa al-Qur’an, Al-Jabiri dengan Madkhal ilâ al-Qur’an, Musthafa Bauhindi dengan al-Tatsîr al-Mâsîhi, dan lain sebagainya. Pendekatan baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, historis, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Dengan demikian, diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah shâlih li kulli zamân wa makân.


Di sisi lain perkembangan teknologi telah menciptakan perpustakaan digital yang banyak dikonsumsi pelajar: Maktabah Syamilah, misalnya. Pengkaji hadis bisa tahu dengan mudah letak hadis maupun kedudukan hadis, hanya dengan menuliskan beberapa bagian lafaz dari sebuah hadis. Oleh sebab itu, daftar letak hadis (fihrist), sistematisasi (tartîb)—yang merupakan capaian para sarjana hadis abad ke 20, menjadi tidak begitu berguna sekarang. Yang tersisa hanya kemungkinan penyuntingan buku hadis yang belum dicetak, atau anggitan terhadap kaidah hadis (mushthalah). Sedangkan, penulisan mushthalah tanpa inovasi apapun, jika masih berlanjut merupakan kerja yang tidak produktif. Lantas bagaimana nasib kajian hadis ke depan? Apakah benar-benar harus selalu perpanjangan “masa lalu” tanpa berelasi dengan “masa kini”—sebagaimana Hasan Hanafi yang berani membawa ilmu kalam, ushul fikih, tasawuf, ilmu al-Qur’an, dan filsafat dari orientasi teosentris pada antroposentris? Akankah terbatas pada proyek tahqîq? Atau malah hendak melakukan penelitian kedudukan hadis yang sejatinya telah dibahas tuntas oleh ulama—tahsîl al-hâsil, guna mengukuhkan ideologi pengkaji hadis?

0 comments: