SI,PKI Dan Kesalehan Sosial

Kejanggalan itu konon ada kaitannya dengan surga. Rumah ukhrowy hunian para hamba ‘taat’ ini menjadi terma penting agama, iman. Maka setiap muslim dituntut untuk menyakini keberadaannya, lalu minimal menjadikannya tendensi dalam setiap praktik hidup. Kenapa minimal? Barangkali olehkarena terminologi ikhlas—yang dalam pengertian sufistik menjadi pondasi segala laku manusia–, menuntut keterlepasan amal dari segala tendensi pada selainNya. Tentu tendensi ketuhanan dalam pada ini tidak bisa dimaknai secara ekstrim, lalu menafikan signifikansi bias sosial praktik manusia itu. Tapi sejarah menyaksi yang ekstrim ini,

1921. Kala itu, tuntutan untuk setiap pribumi hanya satu: bersetekad melawan kapitalisme. Kuasa kolonial tidak menjanjikan suatu apa, selain hanya kenelangsaan. Ruang gerak pribumi terdikte untuk ‘menghidupi’ hasrat koloni, dan—yang paling mendasar—untuk mengakui kekuasaan the other itu. Setelah sekian lama terkekang, rakyat memberi respon: setiap pribadi melebur dalam komunitas-komunitas, mengukuhi identitas beserta hak-haknya. Tercetuslah cita-cita itu: melawan. Akan tetapi, setiap proses peleburan pribadi–sekalipun demi cita-cita bersama melawan the other—tak pernah terlepas dari “latar”. Dalam diskursus filsafat analitik, artikulasi “latar” merujuk pada pra-nalar yang merupakan bentukan budaya—yang lokal sekalipun. Maka dalam proses afiliasi individu ke dalam komunitas, pada titik tertentu akan melewati masa ‘kemelut’ inter-personal samasekali. Kemudian berkembang menuju ruang yang lebih besar: antar komunitas. Pada masanya ‘kemelut’ ini pun mengalami kontraksi:

Dalam salahsatu pidato yang disampaikan pada Kongres Komunis Internasional ke-4, Tuan Tan menganjurkan kerjasama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Meskipun gagasan ini tidak mendapat dukungan, demikian Seri Buku Tempo: Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan menuliskan, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Di kemudian hari, sengketa antara SI dan PKI menjadi tajuk harian rakyat, mengarutkan semangat perlawanan mereka terhadap kolonial. PKI yang menyerap semangat revolusioner dari Marxisme-Leninisme ini bertentang-paham dengan Sarekat Islam yang menjadikan agama sebagai latar pergerakan.

--“Apa yang mereka (pemerintah) katakan kepada kaum tani muslim yang sederhana?” kata Tuan Tan menirukan propaganda kolonial terkait isu Pan-Islamisme, “Mereka bilang: lihat, komunis tidak hanya memecah-belah, mereka juga ingin merusak agama kalian!”

Mereka, lanjutnya, kemudian berpikir: saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya harus kehilangan surga?—


***
Sejarah senantiasa hadir tak utuh: proses skriptualisasi selalu mengemban kesan reduktif, bahkan intriktif. Namun demikian, perbedaan tonggak epistemik antara Marxisme dan agama tak menafikan potensi kontradiksi tersebut: yang pertama meng’kultus’kan dinamika material –olehkarena itu mengemban kesan positivistik, dan historisitas sebagai obyek kaji nalar; sementara yang kedua cenderung spiritualistik, dan mengimani yang transendental sebagai subyek yang memiliki kuasa absolut. Dan pada saat yang sama masing-masing SI dan PKI satu dalam cita: keadilan yang membumi, serta terciptanya stabilitas sosial. Masing-masing keduanya mengandaikan realitas sosial yang saleh. Dan untuk membuka pintu kesalehan ini hanya ada satu kunci: lepas dari kuasa kolonial kapitalis!

Tapi rupanya propaganda kolonial itu berhasil: kesejalanan yang pernah terjalin, yang bahkan terhitung sejak 1916 itu, tiba-tiba lekang. Premis kesalehan sosial dipertentangkan dengan dogmatisme golongan. Premis itu, yang berangkat dari kesepadanan nilai etika, terjungkal: kembali teruang dalam pandora runyam ideologis. Saya katakan runyam karena, ideologi intim dengan capaian individu atau kelompok terkait perumusan asas pergerakan dan tolak ukur nilai hidup. Sementara itu, realitas obyektif adalah arsiteksi homogenitas sosial yang tak bakal mengandaikan kuasa diktatoris dari kelompok atau bahkan ideologi tertentu manapun. Olehdari itu, realitas obyektif atau al-‘Alam al-Kharijy ini, selamanya akan bersifat kompromistis: persepakatan-persepakatan komunal yang mewujud dalam bentuk norma sosial.

Dari sudut pandang yang paling linear, norma-norma merupakan kandungan dasari budaya. Dan dalam perjalanannya, budaya memiliki perangai yang unik: ia adaptif, sekaligus “defensif” terhadap nilai-nilai baru yang datang kemudian.

***

Ekstrimisme yang aktual mengisi rubrik keseharian masyarakat belakangan ini menjadi replika kuasa diktatorianyang menggejala dalam ruang sosial: ideologi.Terbukti –salahsatunya, dengan kian maraknya praktik-praktik massif-radikal yang mengatasnamakan agama oleh kelompok tertentu. Pola perilaku dan pergerakan kelompok ini destruktif terhadap nilai-nilai budaya: kontra homogenitas. Sesuai dengan watak dan perangainya, budaya juga sekaligus memiliki sifat “melawan” terhadap pelbagai pemaksaan: diwakili oleh para tuannya, lalu terjadilah clash itu, kekerasan-kekerasan, dan konflik. Kemudian,

adakah ideologi –sistem keyakinan dan visi hidup itu, akan selamanya dinamis dalam “ruang”-nya sendiri yang privatif?

Pertanyaan ini barangkali tak berlebihan, meski terkesan menuntut pertanggungjawaban atas kinerja ideologi dalam ruang sosial. Kesalehan sosial sebagai representasi praktik nalar etik sekalipun, menjadi yang mustahil terwujud olehsebab dogmatisme carapandang atas nilai.Dogmatis, karena personifikasi ideologi dalam diri para penganutnya potensial terjadi secara literer. Terlebih pada ideologi keagamaan: agama yang dirujukkan pada Yang transenden membawa nilai-nilai ideal yang absolut. Maka proses pemaknaannya kemudian bersifat referensial-historis: kembali pada metode dan praktik Nabi sebagai media tranformasi nilai ketuhanan menuju ruang sosial manusia, ummat. Pada sementara yang lain, agama—dalam pada ini Islam, memiliki tradisi kualifikasi teks untuk menguji validitas dan kontekstualisasinya menurut kacamata kesejarahan.

Potret perhelatan antar ideologi antara tahun 1920-1930 dalam sejarah bangsa, yang kerap disebut dengan a decade of ideology, membidik pula langkah arif-solutif Soekarno. Bahwa masing-masing ideologi—Nasionalis, Marxisme-Leninis, dan Islamis, memiliki titik tolak dan prinsip nilai yang berbeda tak semestinya lalu mengaburkan visi bersama masyarakat: kesatuan bangsa dan kemerdekaan. Praksisnya, ideologi tak selamanya harus tertutup hanya sebagai sistematisasi keyakinan sekaligus tujuan-akhir aktifitas hidup. Akan tetapi, ia mengandaikan realitas sosial ideal sehingga menuntut adanya komunikasi dan interaksi intensif dengan budaya serta masyarakatnya. Inilah “kesalehan”—ia sebagai istilah non-ideologis, mengacu pada terciptanya keadilan, keselarasan, dan stabilitas dalam seluruh segmentasi hidup masyarakat.[]

0 comments: