Peran Ibadah dalam Psikologi Manusia Menurut Imam Ghazali

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembaharuan bangsa arab khususnya (dan umat Islam umumnya) telah mengalami stagnasi sejak abad 13 M. Menurut para sejarawan, masa kejumudan ini berlangsung sejak abad 13 M (sejak mangkatnya sang maestro Ibn Khaldun) dengan magnum opusnya yang monumental, Al-Muqaddimah hingga akhir abad ke 19 M. Masa kevakuman dan kejumudan pemikiran yang begitu lama itu memberikan dampak yang keras bagi umat Islam pada zaman modern sekarang ini, terutama ketika  Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat diberbagai lini kehidupan dan selalu mengadakan pembaharuan. Beberapa tahun lalu, terjadi sebuah kejadian spektakuler, 30 negara eropa membentuk supranation EU (Europe Union) yang meleburkan sistem politik dan ekonomi.

Persatuan Eropa merupakan trobosan baru bagi sejarah Eropa, berbagai kemajuan diraih  Eropa yang menjadikannya qu’batu al-qusod bagi para sarjana dunia yang ingin mendalami dan mengembangkan keilmuanya. Begitu juga dalam percaturan di dunia politik dan ekonomi, Eropa  menjadi tolok ukur dunia.

Pembaharuan bangsa Arab yang kian lama kian meredup, ditambah trauma anti-eropa yang berlebihan menjadikan hubungan bilateral negara-negara Timur Tengah dengan Eropa merenggang. Contoh kecil: Maroko, misalnya, sejak merdeka hingga sekarang belum pernah menjalin hubungan bilateral yang berarti dengan negara Eropa manapun, padahal secara geografis  Maroko berbatasan dengan Eropa, tepatnya Spanyol.

Walaupun demikian bangsa Arab memiliki kelebihan dibanding bangsa Eropa, yang akan dibahas panjang lebar dalam artikel ini. Penulis tidak ingin membahas panjang kemajuan ataupun pembaharuan bangsa Eropa, tetapi penulis mencoba ingin  mengkaji kembali subjek dari pembaharu itu sendiri.

Jika dilihat dari beberapa negara-negara maju, bukan hanya di Eropa tapi juga negara-negar di benua Asia; realita yang terjadi adalah, ketika manusia  mencapai depresi tingkat tinggi, tidak bisa mengendalikan dirinya, menjadi stres,gila dan tidak jarang yang bunuh diri. Puncak keberhasilanmateril  yang diperoleh manusia tidak cukup menyeimbangkan kebutuhan  manusia mencapai keadaan yang memberikan ketenangan jasmani dan rohani,  tanpa ada rasa takut dan khawatir pada semua yang dimiliki.

Manusia  ciptaan Tuhan yang paling sempurna,  kompleks,  antik, dan sukar memahaminya secar utuh. Unsur manusia bukan hanya pada  jasmani, tetapi didalamnya terdapat rohani. Bukan hanya pada jasad yang terlihat oleh kasat mata, tetapi juga ada nyawa hanya didapati oleh rasa. Kalau kita lihat dari kacamata Islam bahwa asal-usul  penciptaan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah hal itu tertera dalam Al-quran  :

وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون (الذاريات :56 )
 “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku”

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa ibadah memiliki korelasi yang sangat erat dengan manusia dalam kehidupannya, tak terkecuali kebahagiaan yang merupakan dambaan  dari tujuan  perjalanan hidup manusia. 

Mungkin penulis akan mencoba menguraikan defenisi ma’na ibadah dan bahagia itu sendiri; pertama,  difinisi ibadah secara terminologi adalah menyembah, sedangkan secara istilah adalah segala pekerjaan yang diniatkan untuk Allah Swt. baik secara lisan maupun amal perbuatan.  Contoh secara lisan, mengucapkan perkataan-perkatan yang baik dengan niat menjalankan printah Allah Swt., adalah ibadah. Contoh dari amal perbuatan, hal-hal yang remeh  seperti makan dengan niat menjaga tubuh agar selalu sehat sehingga dapat  menjalankan perintah-perintah Allah dan lain sebagainya adalah ibadah.

Kedua,  menurut Imam Al-Ghazali pencapaian  kebahagiaan itu berbeda-beda sesuai dengan subjeknya. Binatang mencapai kebahagiaan dengan cara makan, minum, tidur dan kawin. Tumbuhan mencapi kebahagiaanya dengan cara berfotosintesis. Setan mencapai kebahagiaanya dengan cara bertengkar, berbuat makar dan menipu. Malaikat berbahagia dengan melihat keindahan Tuhanya, tidak dengan amarah dan syahwat.

Secara sekilas, dua  definisi di atas tidak berkorelasi, berdiri sendiri-sendiri. Tetapi penulis tidak berhenti di sini, mencoba menganalisa lebih lanjut, dan menemukan efek dan makna dari penggabungan kata ibadah dan bahagia dalam pemahaman yang lebih jelas.

Manusia  menjalankan ibadahnya berbeda-beda sesuai  tingkat keilmuanya, dan ibadah  memberikan pengaruh besar dalam  bangunan akidah  pada keesaaan sang pencipta. Menurut Imam Ghazali; ibadah merupakan buah dari ilmu, semakin dalam ilmu yang dimiliki, semakin berarti ibadah yang dijalankan. Yang demikian itu, ditegaskan Al-Quran "tidak sama" antara orang-orang alim dari orang-orang yang bodoh l

:قل هل يستوي الاعمي والبصير (الانعام: 50)

وما يستوي الاعمى والبصير (فاطر: 19)


Lalu dimanakah perbedaaan antara orang alim dan jahil? Bukankah mereka sama-sama menjalankan ibadah? Bukankah mereka sholat lima waktu setiap hari, puasa selama  Ramadhan, mengeluarkan zakat setiap tahun, pergi haji ke Makkah dan lain sebagainya ?

Tentunya kita tidak melupakan tulisan di atas, bahwasanya manusia terdiri dari dua unsur; jasmani dan rohani, jasad dan ruh, dan masing-masing  unsur memiliki kebutuhan yang berbeda. Orang yang alim mampu menyeimbangkan, mengolah dan memenuhi kebutuhan kedua unsur tersebut,  tidak timpang, mensejajarkan dan menyamaratakan langkah keduanya tanpa  persinggungan, kontra yang berdampak pada kerusakan jiwa ataupunkeimanan manusia ketika ia menemui titik dramatis dalam hidupnya. Ada peran iman dan tawakal di sana. Dan ini menjadi solusi pada apa yang  terjadi di negara-negara maju. Dalam hal ini tidak mudah bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh lagi, untuk mencari titik temu yang dapat menyatukan dan dapat menjadikanya sebagai perekat antar kedua unsur tersebut.

Kembali sebab utama hilangnya kebahagiaan manusia adalah karena diakibatkan rasa kehawatiran dan takut. ini terjadi pada 3 keadaan; pertama, ketika manusia merasa telah tercukupi semua kebutuhannya,  ia akan merasakan khawatir akan kehilangan apa yang telah ia miliki, takut terambil, rusak dan hancur. Kedua,  merasa khawatir akan tidak kembalinya  kebahagiaan yang dieroleh. Ketiga, memiliki semuanya tetapi tidak pernah merasa memiliki semuanya. 

Dari pemetaan di atas  bisa kita bisa meraba dimanakah inti-inti  masalah dan bagaimana  manusia dapat mencapai pada  kebahagiaan yang hakiki. Dan diantara solusi terpenting adalah kembali pada hati, Aqidah dan tauhid, dan amal shaleh, semuanya akan menjadi tameng penjaga dari godaan dan rayuan gemerlapnya kemewahan duniawi,  hal ini akan membawa manusia pada keadaan yang aman, tenang dan tentram tanpa merasa khawatir dan takut dengan hiruk-pikuk dunia yang terkadang  brutal.

Teringat dengan kisahnya Muadz bin Jabal ketika ditanya seorang sahabat tentang keadaan dua orang, yang satu melakukan banyak amal saleh tetapi berakidah lemah, yang kedua sedikit melakukan amal saleh tapi berakidah kuat. Muadz bin Jabal menjawabnya dengan bijak: orang yang banyak beramal saleh, akidahnya akan bertambah dengan amal saleh yang dikerjakannya. Sementara orang yang kedua, akidahnya akan semakin lemah dengan lemahnya amal saleh yang ia kerjakan.

Dari kisah ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa akidah seseorang dan keyakinan terhadap Allah Yang Esa bisa tumbuh dan semakin kuat dengan amal saleh yang dilakukan, karena amal sholeh adalah bukti pengabdian hamba yang tunduk dan patuh kepada Tuhannya []

0 comments: