Tasawuf Sosial Ala Bidâyatu al-Hidâyah

Imam Al-Ghazali yang lahir dengan nama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, menjadi seperti apa yang orang kenal tentangnya, adalah berkat masa yang ia hidup di dalamnya dan lingkunannya dimana ia berinteraksi dengan mereka.

Al-Ghazali hidup pada abad kelima Hijriah. Pada masa itu, kaum muslimin benar-benar terjerumus ke dalam polemik yang begitu memilukan. Perpecahan timbul dimana-mana. Tak terelakkan, kaum muslimin kala itu terpecah menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan. Bahkan perpecahan tersebut merambat ke dalam wilayah mazhab, sekte aliran, bahkan aqidah.

para ulama pada masa tersebut mencari solusi yang bisa membawa kaum muslim menuju jaman kemajuan dan memperbaiki keadaan yang morat-marit. Namun, sayang sekali, lagi-lagi mereka terjebak dalam perdebatan dan perpecahan. Alih-alih menemukan solusi, malah mereka saling menyalahkan satu sama lain.

Dari sini, para ahli hikmah (sufi) dan para filsuf mengambil perannya. Mereka mengkolaborasikan antara ajaran-ajaran Islam dengan teori-teori filsafat yang lahir dari akal para filsuf. Dan mereka berusaha agar ketentuan-ketentuan agama itu tetap selaras dengan akal. Dan pada ujungnya, perkembangan filsafat saat itu ternyata tumbuh lebih pesat. Maka tersebarlah pemikiran-pemikiran yang didasari oleh akal hampir ke seluruh madzhab.

Hidup di zaman seperti ini, tak mengherankan jika Al-Ghazali melahirkan beberapa karya dalam beraneka ragam bidang. Mulai dari usul fiqh, kalam, filsafat hingga tasawuf. Semua itu ditujukan untuk membenahi kondisi masyarakat kala itu. Sebut saja karyanya yang berjudul Bidâyatu al-Hidâyah. Kitab ini, sederhana memang. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam ada pesan penting yang ingn Al-Ghazali sampaikan di dalamnya.

Dalam muqaddimah kitab tersebut, Al-Ghazali mengingatkan kepada semua penuntut ilmu agar tujuan mencari ilmu hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt. dan tidak mencari ilmu hanya untuk mencari jabatan di depan manusia.

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa dari kalangan ulama itu tidaklah  semua menjadiwarâsatul anbiyâ’ , pewaris para nabi, di antara mereka juga ada yang berprilaku buruk yang disebut juga dengan ulama’ su’, ulama jahat.


Menurut Al-Ghazali jika seseorang mencari ilmu hanya untuk mencari ketenaran, kedudukan di depan manusia, dan tujuan duniawi lainnya, maka ia tak ubahnya dengan seseorang yang menjual pedang kepada seorang penyamun. Dan jika itu terjadi berarti ia adalah bagian dari mereka.

Dari perkataan tersebut Al-Ghazali ingin mengisyaratkan, bahwa ia tidak suka dengan ulama yang tunduk di bawah ketiak pemerintah kala itu.

Al-Ghazali memberitahu bahwa hidayah Allah yang merupakan buah dari ilmu memiliki pangkal-ujung dan sisi lahir dan batin. Tidaklah mungkin bagi seseorang mencapai ujung dari hidayah Allah sebelum ia melalui pangkalnya. Dan sungguhlah sulit bagi seseorang menyelami samudera hidayah sebelum ia melewati pantainya. Dalam kata lain Al-Ghazali ingin mengatakan bahwa kitab Bidâyatu al-Hidâyah yang berisi panduan-panduan adalah pedoman dasar untuk mendapatkan hidayah.

Walaupun tidak dipaparkan di dalam kitab Bidâyatu al-Hidâyah, Al-Ghazali membagi kitab itu menjadi beberapa pokok permasalahan.

Permasalahan pokok pertama yang dibahas dalam kitab itu adalah ketaatan. Bagian kedua kitab tersebut berisi perihal menjauhi larangan. Dan bagian ketiga adalah perihal interaksi antar sesama manusia.

Bab pertama, tentang ketaatan erat hubungannya dengan menejemen diri. Dalam kitab tersebut Al-Ghazali memaparkan hal-hal kecil yang dianggap tidak begitu penting oleh umat dan sering diabaikan. Seperti adab bangun tidur, adab masuk kamar kecil, adabwudlu’, adab mandi wajib, adab tayammum, adab masuk masjid dan seterusnya. 

Dari bahasan-bahsan tersebut, Al-Ghazali ingin menyadarkan umat Islam untuk tidak meremehkan hal-hal kecil yang terkadang memiliki manfaat besar. Al-Ghazali ingin merubah masyarakatnya dengan cara menyadarkan mereka untuk berdisiplin diri dan memperbaiki pola hidup sehari-hari. Dengan begitu, secara tidak langsung Al-Ghazali bermaksud agar kaum muslimin berlatih lebih peka lagi.

  Jika terhadap hal kecil seperti itu umat muslim sudah peka dan perhatian, tentunya mereka akan lebih memperhatikan hal-hal yang lebih besar. Sebaliknya, keseringan meremehkan hal-hal kecil bisa menjadi kebiasaan, dan bukan tidak mungkin jika sering dilakukan, hal yang besarpun bisa diremehkan juga.

Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali meletakkan adab bangun tidur sebagai bab pertama. Dalam bab itu, Al-Ghazali mengajarkan bangun pagi sebelum fajar agar kaum muslimin tidak terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Lalu kemudian menganjurkan membaca doa sebagai simbol memulai kehidupan atas nama Allah dan tentunya diakhiri dengan nama-Nya pula.

Pengalamannya belajar fiqih kepada Imam Ahmad Bin Muhammad Ar-Radikani dan Imam Al-Haramain Abdul Malik Al-Juwaini, tampak memiliki pengaruh dalam penulisan karangan-karangan Al-Ghazali.

Di dalam kitab Bidâyatu al-Hidâyah, Al-Ghazali memasukkan unsur-unsur fiqih seperti adab wudhu adab mandi, adab sholat dan sejenisnya. Namun yang dibahas dalam bab-bab itu bukanlah dari segi hukum atau usul fiqhinya. Al-Ghazali hanya menjadikannya sebagai salah satu metode pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya.

Selanjutnya Al-Ghazali mencoba mengingatkan bahwa mengerjakan kewajiban itu tidaklah mudah. Akan tetapi menjauhi larangan-larangan itu jauh lebih sulit lagi.

Di dalam bagian kedua dari kitab Bidâyatu al-Hidâyah, Al-Ghazali mengingatkan umat untuk selalu menjauhi larangan. Dalam hal ini, Al-Ghazali menkaitkannya dengan anggota tubuh yang sering menjadi sumber maksiat.

Bab ini besar kaitannya dengan diri sendiri dan juga menyangkut hak-hak orang lain. Bab-bab ini lebih mengkerucut pada tazkiatu an-nafs, penyucian diri. Di mana seorang hamba dituntut untuk bisa melatih diri dalam menjauhi larangan-larangan agama.

Lalu, setelah menjelaskan tentang adab-adab anggota-anggota tubuh yang merupakandzahir manusia, sisi batin manusia juga tidak luput dari perhatian Al-Ghazali.

Ia memberikan contoh tentang hasud yang membuat si penderita merasa tidak rela melihat orang lain mendapatkan karunia Tuhan. Dan sifat ria’ yang selalu ingin dipandang oleh mata manusia dan memiliki kedudukan di depan mereka. Al-Ghazali juga menyindir sifat ujub, takabbur dan membangga-bangakan diri sendiri. Semua penyakit di atas adalah penyakit hati yang rentan dialami semua manusia. 

Pada bagian akhir kitab ini, Al-Ghazali mengangakat tema yang cenderung kepada hal sosial sebagai pokok pembahasannya. Bagian terakhir ini lebih ditekankan kepada bagaimana cara bermuâmalah dengan orang lain. Dengan arti, bahwa seorang sufi tidak hanya mememntingkan Tuhan tetapi juga harus berinteraksi secara baik dan bijak dengan sesama manusia.

Disamping itu, Al-Ghazali juga menginginkan agar para pembaca untuk belajar bijak dalam menghadapi situasi dan kondisi. Rendah hati ketika menjadi orang alim misalnya, atau bagaimana bersikap sopan dan santun kepada orang tua dan guru. Pandai membedakan bagaimana bermuamalah dengan orang awam dan berinteraksi dengan orang terpelajar.

Jelaslah bahwa, tujuan Al-Ghazali mengarang kitab ini adalah sebagai rekonstruksi moral. Al-Ghazali menginginkan agar para thâlibul ilmi (pencari ilmu), selalu berlaku seimbang antara interaksinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya dan dengan orang lain.

Dan bukanlah seorang yang bijak jika ia hanya memperdulikan dirinya sendiri tetapi tidak mau perduli dengan orang lain. Dan tidak dikatakan bertakwa jika hanya mementingkan hubungannya dengan Tuhan sedang hubungannya dengan manusia kurang harmonis. Dan hanya orang bodoh yang mau menjadi lilin. Sibuk berkorban untuk sosial sedang hak-hak dirinya ia lupakan.[]

0 comments: