Moderatisme Islam

Kita sering mendengar terma Moderatisme Islam didengungkan,tapi, apakah sebenarnya Moderatisme Islam itu? Dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah Ma’alim wa Manarat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi memaparkan bagaimana “fenomena moderatisme” menggeliat dalam beragam diskursus Islam, dan digadang oleh ulama-ulama sepanjang zaman.Namun ternyata buku itu belum memberikan definisi yang komperhensif terhadap makna Moderatisme Islam itu. Disana hanya dipaparkan beragam contoh sikap-sikap moderat dalam diskursus akidah, fikih, tafsir, hadits, dan sikap politik. Disamping disebutkan sejumlah ulama yang berpaham moderat, sejak era Nabi, hingga era kontemporer sekaligus argumen moderatisme itu sendiri.

Dari data-data parsial disana, setidaknya kita bisa mendefinisikan Moderatisme Islam. Ia adalah sikap mengamalkan ajaran Islam sebagaimana digariskan para ulama sepanjang zaman dalam beragam diskursus ilmu sambil memperhatikan tujuan-tujuan syariat(maqashid as-syari’ah) dan tangga prioritas (sullam al-awlawiyyat).

Definisi ini sepertinya cukup mewakili karena dalam agama yang bersumber dari dua wahyu: Al-Qur’an dan hadits, Islam harus dipahami melalui pemahaman yang telah diwariskan sahabat dari Rasulullah. Pemahaman-pemahaman ini di era kodifikasi ilmu mengalami pembakuan, sehingga membuatnya menjadi pelbagai ilmu yang sampai sekarang masih terus dipelajari umat Islam. Dari sini, memahami Al-Qur’an dan hadits harus melalui piranti ilmu-ilmu ini, bukan dengan pemahaman telanjang dan seadanya.  

Satu contoh, diskursus ushul fikih. Sejarah mencatat, Imam as-Syafi’i dengan ar-Risalah-nya dianggap sebagai mu’assis (pencetus) pertama ilmu ushul fikih—disamping ada beberapa klaim dari Syi’ah yang menisbatkan pada Ja’far as-Shadiq atau beberapa ulama Hanafiyyah yang menisbatkan pada Imam Abu Hanifah. Meski demikian, Imam as-Syafi’i bukanlah benar-benar “mencipta” (yashna’) dari nol ilmu ini, melainkan hanya “menemukan dan mengkodifikasikan” (yaktasyif wa yudawwin). Ini dibuktikan dalam kitabal-Faqih wa al-Mutafaqqih karya al-Khatib al-Baghdadi yang banyak sekali mensanadkan terma-terma khas, ‘am, mujmal, muqayyad, naskh, muthlaq, mubayyan, dsb kepada beberapa nama sahabat. Artinya, terma-terma ini sekaligus pengertiannya—meski dengan bentuk yang sangat sederhana dan hanya kasuistik—sudah dikenal para sahabat, meski belum terkodifikasi rapi dalam satu buku. Ini mengapa para ulama menegaskan bahwa meski as-Syafi’i adalah pencetus ushul fikih, tapi praktek mengamalkan ushul fikih untuk memahami Al-Qur’an dan hadits sudah dilakukan sejak era awal Islam. Bahwa banyak pemahaman radikal dan menyimpang terhadap kedua sumber ini karena tak mengindahkan piranti ilmu ini. Ini salah satu poin pentingnya.

Maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat perlu juga diperhatikan karena saat seseorang mendalami turats untuk berusaha memahami argumen agama dan beragam diskursusnya, ia akan dihadapkan banyak pilihan. Beragam pilihan ini karena karakter teks agama mayoritas multi-tafsir—meski masih dengan batasan yang ditolerir bahasa dan kaedah. Ini pada gilirannya menciptakan banyak sekali pilihan pendapat yang ditelorkan para ulama dari beragam madzhab. Saat mengamalkannya, apa yang dilakukan orang ini? Tanpa mempertimbangkan maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyatapapun pilihan dia akan terlihat asing dan tak sesuai zaman. Bukankah syariat digadang sebagai shalih li kulli zaman wa makan (sesuai di segala ruang-waktu)?

Setidaknya, Moderatisme Islam bisa disorot dalam dua diskursus: akidah dan fikih. Dalam diskursus akidah, kita akan menemukan bahwa kecenderungan moderat di tubuh umat Islam adalah kecenderungan mayoritas, persis apa yang diramalkan Nabi SAW jauh kala. “Kukuhilah golongan mayoritas!” Ini terjadi secara historis dan karena karakter dalil agama itu sendiri. Secara historis, kita akan selalu mendapati bahwa golongan Ahlussunnah wal Jama’ah selalu golongan mayoritas. Karena itu sepertinya tidak terlalu salah jika Aswaja diidentikkan dengan paham moderat itu sendiri.

Secara karakter dalil, akan kita temui sebuah pergolakan dalam tubuh Islam soal wahyu vs akal. Setidaknya ada tiga kelompok yang dilibatkan disini: Aswaja (Asy’ariyah dan Matudridiyyah), Muktazilah dan Hasyawiyyah. Pengelompokan ini terjadi saat prosesi memahami dalil agama seputar akidah. Saat menemui ayat-ayat sifat, misalnya, mereka yang menolak sama sekali kandungannya—meski tertulis dalam Al-Qur’an—karena dianggap bertentangan dengan akal adalah kelompok Muktazilah. Mereka yang menerima mutlak tanpa syarat apapun dan menafsirkannya apa adanya sebagaimana “terpahami” lewat lahiriah teks adalah kaum Hasyawiyyah. Sedang kelompok moderat—yang berusaha menengahi kedua kecenderungan paradoks di atas, disamping memahami teks agama dengan seluruh disiplin ilmunya—adalah mereka yang kita kenal Aswaja yang dalam sejarahnya melebur menjadi dua kelompok: Asy’ariyah dan Maturidiyyah. Mereka ini tetap menerima ayat-ayat sifat tanpa menolaknya, sekaligus tak menafsirkannya secara literal—karena justru itu bertentangan dengan ayat lain dan akal sehat—melainkan mentakwilnya dengan kaedah yang telah ditentukan ilmu tafsir dan balaghah.

 Ali Sami an-Nassyar dalam Nasy’at al-Fikr al-Falsafi—sebuah karya paling komperhensif tentang sejarah pembentukan sekte-sekte dalam Islam—bertutur menarik bahwa sejatinya ketiga kelompok ini “bersumber” dari satu tokoh yang sangat populer: Hasan al-Basri. Seorang tabi’in ini sangat sentral jika kita membincang sejarah pembentukan sekte-sekte dalam Islam karena mayoritas sekte Islam yang dikenal sejarah muncul di majlis taklimnya.

Washil bin Atha’, pendiri Muktazilah, sejatinya salah seorang murid Hasan al-Bashri. Ia keluar dari majlis al-Bashri karena tak sepakat dengan pendapat gurunya seputarmurtakib al-kabirah (pelaku dosa besar). Baginya, si pelaku tak cukup hanya dicap fasik melainkan harus berada di al-manzilah bain al-manzilatain (tempat antara surga dan neraka); dia bukan ahli surga sekaligus bukan ahli neraka.

Hasyawiyyah tergelari demikian—Hasyawiyyah berasal dari kata hasyw yang berarti pinggiran—karena mereka adalah kelompok yang tak setuju atas Hasan al-Bashri di tengah majlisnya, kemudian membentuk halaqah sendiri tak memperhatikan keterangan sang guru. Lantas, Hasan al-Bashri menyuruh mereka minggir dan keluar dari majlis. Mayoritas murid Hasan al-Bashri yang tetap berada di majlis nantinya dalam sejarah menjelma sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Demikian.

Diskursus fikih juga tersemai disana kecenderungan moderat. Satu topik yang menarik disorot adalah soal bermadzhab. Semua ulama sepakat bahwa mereka yang mampu memahami secara langsung Al-Qur’an dan hadits dengan beragam pirantinya disebutmujtahid, dan ia dilarang taqlid pendapat mujtahid lain. Selain mereka disebut muqallid,yakni mereka yang tak mampu memahami secara langsung Al-Qur’an dan hadits karena berbagai keterbatasan. Mereka ini diaharuskan bertanya kepada mujtahid.

Dalam catatan sejarah, madzhab-madzhab fikih berkembang karena golongan jenis kedua ini. Pada era keemasan madzhab ditemukan lebih dari sepuluh madzhab yang berkembang. Semuanya memiliki perintis dan pengikutnya. Dalam perkembangannya, hanya empat madzhab besar yang sampai sekarang terus diamalkan oleh para pengikutnya. Yakni: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Para ulama menyebut keempat madzhab ini sangat populer hingga mencapai derajat seperti hadits mutawatir yang validitasnya sangat tinggi.

Setelah era keemasan madzhab, masuklah era dimana ijtihad dalam fikih seolah berhenti. Para orientalis menyebutnya sebagai era kemunduran fikih. Namun, oleh para ulama, terhentinya perkembangan madzhab fikih bukan sepenuhnya dipicu “kemalasan”—jika ini tepat digunakan—melainkan karena karakter dalil agama sudah mencapai kata final dalam interpretasinya yang terbatas (lintiha’ al-qismah al-‘aqliyyah). Benar, bahwa Al-Qur’an dan hadits memiliki lafal yang multi-interpretasi yang berpotensi memunculkan banyak madzhab. Namun perlu dicatat, kemultitafsiran ini terbatasi dan terikat oleh: kaedah-kaedah baku gramatikal bahasa Arab, diskursus ushul fikih, diskursus ilmu hadits, dsb. Tegasnya, Al-Qur’an dan hadits layak terus ditafsirkan dan ditelorkan madzhab-madzhab baru disana dengan tetap berlandaskan kaedah yang telah disepakati para ulama sepanjang zaman.

Sebuah bukti dapat ditemukan dari catatan Taj ad-Din as-Subki dalam Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra. Penulis Jam’ al-Jawami’ ini bertanya pada ayahnya, Taqiy ad-Din as-Subki, “Mengapa ulama semacam al-Juwaini, al-Ghazali, an-Nawawi, ar-Rafi’i, dsb tak berijtihad mandiri saja, malah mengikat diri dengan madzhab Syafi’i?” Beliau menjawab, “Ada perbedaan mendasar antara mengikuti (al-iqtida’) dan mengambil inspirasi (ihtida’).Para ulama di atas memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid mutlak, namun mereka terbatasi oleh fakta bahwa apapun yang mereka telurkan, rata-rata telah dikatakan oleh ulama sebelumnya. Sehingga memang tak dibutuhkan lagi madzhab baru”.

Kejadian serupa juga dialami as-Suyuthi. Ia menuturkan dalam kitab otobiografi pribadinya, at-Tahadduts bi an-Ni’mah, bahwa dirinya tak bertaklid pada Imam Syafi’i, melainkan ijtihad dia kebetulan sama persis dengan as-Syafi’i. Karenanya, tak perlu lagi ada penisbatan madzhab baru jika esensinya sama. Fakta-fakta inilah yang mendasari perkembangan pesat kaedah-kaedah fatwa dan pengambilan hukum yang terbangun dalam tiap madzhab.

Kemudian pada gilirannya perkembangan madzhab ini berkulminasi pada aturan baku soal bagaimana seorang muqallid mengambil hukum fikih dari mujtahid yang dipilihinya: apakah harus tetap satu imam, atau boleh berpindah-pindah tergantung kebutuhan? Dalam kasus ini setidaknya ada tiga madzhab yang berkembang. Talfiq—dalam pengertian menggabungkan pendapat beberapa imam mujtahid dalam hukum—menjadi titik kontroversi para ulama fikih.

Madzhab pertama, melarang seorang muqallid untuk berpindah-pindah madzhab. Alasan madzhab ini karena bagi seorang muqallid, semua madzhab tetaplah sama. Tak ada yang lebih rajih (kuat) dari madzhab lain bagi dia. Toh, ia tak mampu menimbang mana yang lebih rajih dibanding yang lain. Disamping, perpindahan ke madzhab lain terkesan meremehkan dan menghilangkan status taklif padanya (tatabbu’ ar-rukhash). Madzhab kedua, membolehkannya. Toh, karena semua madzhab sama, tak ada larangan berarti untuk pindah ke yang lain selama itu dibutuhkan oleh seorang muqallid. Madzhab ketiga, membolehkannya dengan syarat tidak dalam satu qadliyyah (paket kasus fikih).

Pandangan Moderatisme Islam dalam bermadzhab disini muncul. Oleh para ulama kontemporer, semisal Wahbah az-Zuhaili, Yusuf al-Qaradhawi, Ali Jum’ah, dll, mereka membolehkan adanya talfiq ini. Toh, perkembangan zaman begitu pesat hingga jika seorang muqallid hanya harus ikut satu madzhab akan mengalami banyak kesukaran beragama. Pendapat ini sepertinya lebih cocok untuk diterapkan di era sekarang melihatmaqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat. Sesuai dengan tujuan syariat karena dalam agama sama sekali tak diharuskan ikut pendapat yang sulit jika kebutuhan mendesak. “Allah SWT tak membebani seorang hamba kecuali apa yang ia mampu”, demikian bunyi ayat. Cocok dengan tangga prioritas karena daripada seorang mukallafterjatuh pada kemaksiatan dan kesukaran beragama, lebih baik dicarikan pendapat yang lebih mudah diamalkannya.

Dalam kasus kontemporer di Indonesia, paham moderatisme ini perlu dikembangkan. Ini karena banyak sekali aktivitas ormas-ormas Islam yang tak mengindahkan kaedah dalam mengamalkan ajaran agama. Bahwa ada banyak kaedah dalam mengamalkan ajaran agama yang jika diabaikan akan menimbulkan kerancuan dan anomali perilaku.

Bernahi-munkar adalah ajaran Islam, siapapun yang tak bernahi-munkar berarti telah tercabut sebagian imannya terhadap Islam. Namun bagaimana aplikasinya yang sesuai kaedah para ulama? Apakah dengan penghancuran warung-warung yang buka di siang Ramadan? Bukankah orang musafir, wanita hamil, anak-anak kecil, tak diwajibkan berpuasa, hingga mungkin saja butuh makan di warung saat Ramadan? Bukankah si penjual adalah orang-orang miskin yang jika warungnya dihancurkan akan memunculkan kemiskinan ganda? Apakah Islam menganjurkan pemeluknya untuk mencipta kemiskinan dan membunuh orang-orang miskin? Apakah Islam mengajarkan, untuk menghapus kemungkaran harus dengan mencipta kemungkaran serupa, atau bahkan lebih parah?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya yang lebih dahulu dijawab mereka yang ingin bernahi munkar. Toh, banyak sekali kaedah para ulama yang perlu diterapkan dalam aplikasinya. Sehingga, paham Moderatisme Islam dalam kasus-kasus seperti ini adalah dengan sungguh-sungguh memahami ajaran para ulama dan mengamlkannya dengan bijaksana sesuai maqashid as-syari’ah dan sullam al-awlawiyyat.  

Jika demikian, sebagai seorang Azhari kita perlu terus mengembangkan paham moderatisme ini sebagai sebuah bagian penyebaran ajaran Islam yang bukan saja tak radikal dan fundamental, melainkan selalu sesuai di setiap zaman

“Seorang pelajar atau terdidik harus sudah bersikap adil sejak dari alam pikiran”

-Pramoedya Ananta Toer-


0 comments: