Teori Tentang Indonesia adalah Atlantis | Fakta Mencengangkan

Banyak Fenomena maupun teori yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah Atlantis.Ingat iklan pariwisata Malaysia yang cantik itu ? Malaysia, Truly Asia…Banyak orang kita yang sebal melihat iklan yang bagus itu, karena banyak hal-hal yang digambarkan dalam iklan itu sebenarnya lebih banyak dijumpai di pelbagai wilayah Indonesia dari pada di Malaysia.Yah, Kita selalu ‘keduluan’ oleh mereka.

Hal lain yang menyebalkan menyangkut negeri tercinta ini adalah manakala Ada yang mengatakan bahwa banyak orang di Amerika atau di luar negeri yang tidak mengenal Indonesia. Katanya mereka tahu Bali, tapi Indonesia itu dimana sih…., konon tanya mereka…...Tapi perkembangan terbaru rada beda ; mempromosikan Indonesia akhir-akhir ini mestinya ibarat mendayung perahu ke hilir, yang didorong arus sungai dari belakang. Banyak kemudahan yang didapat secara gratis. Bukan hanya akibat kedatangan Hillary Rodam Clinton, tapi terutama oleh ulah Prof. Arysio N. Dos Santos yang menerbitkan buku yang menggemparkan : “Atlantis the Lost Continents Finally Found”.

Dimana ditemukannya ?

Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia (!). Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir Dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, Dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu. Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Caribea, sampai ke kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak Ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata.
[image: santos]<http://kadaikopi. carpediem123. com/wp-content/ uploads/2009/ 03/santos. gif> Professor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya. Dia mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, Dan Comparative Mythology.

Buku Santos sewaktu ditanyakan ke ‘Amazon.com’ seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa. Bukunya ini terlink ke 400 buah sites di Internet, Dan websitenya sendiri menurut Santos selama ini telah dikunjungi sebanyak 2.500.000 visits. Ini adalah iklan gratis untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke dunia luar, yang tidak memerlukan Dana 1 sen pun dari Pemerintah RI. Sebagaimana dapat diikuti dari websitenya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World).

Sampai saat ini belum dapat dideteksi apakah sang ahli falsafah ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fable, science fiction, ataukah sebenarnya dia menceritakan sebuah kisah sejarah. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut? Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, Dan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, Dan olahraga. Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat Dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius. Para dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, Dan gempa bumi yang sedemikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu. Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir Dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang diceritakan dalam bahasa setempat.

Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11.600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir Dan gempa yang sangat hebat. Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari species mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua species manusia : Neandertal Dan Cro-Magnon. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, pulau Sumatera, pulau Jawa, Kalimantan Dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia Dan benua Asia.
Gambar 1 : Atlantis
Sulawesi, Maluku Dan Irian masih menyatu dengan benua Australia Dan terpisah dengan Sumatera Dan lain-lain itu. Kedua kelompok pulau ini dipisahkan oleh sebuah Selat yang mengikuti garis ‘Wallace’.
Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari ‘Ring of Fire’. Gunung utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah Gunung Krakatau Dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan Gunung Toba). Gunung lain yang disebut-sebut (dalam kaitannya dengan kisah-kisah mytologi adalah Gunung Semeru, Gunung Agung, Dan Gunung Rinjani. Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, Dan membentuk sebuah kaldera besar yaitu selat Sunda yang jadinya memisahkan pulau Sumatera Dan Jawa. Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah diantara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, diantara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan. Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut. Gletser di kutub Utara dan Eropah kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter diatas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam dibawah muka laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.

Lihat Gambar 1. Tekanan air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi selanjutnya dan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya Zaman Es Pleitocene secara dramatis. Dalam bukunya Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dari sekarang. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di katulistiwa. Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…”. Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan. Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.
[image: maya_titan]<http://kadaikopi. carpediem123. com/wp-content/ uploads/2009/ 03/maya_titan. gif>[image: osiris1]<http://kadaikopi. carpediem123. com/wp-content/ uploads/2009/ 03/osiris1. gif>

Santos telah menduga hal ini lebih dari 20 tahunan yang lalu sewaktu dia mencermati tradisi-tradisi suci dari Junani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia, Amerindian, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walau dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama. Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Aryan dan Dravidas. Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eurasia dan ke Timur sampai Auatralia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.

Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, metal berbagai jenis, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya. Menurut Santos, hanya Indonesialah yang sekaya ini (!).

Ketika bencana yang diceritakan diatas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika. Suku Aryan yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. . Karena glacier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestin, Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka. Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi cuci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Suku Dravidas yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia. Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa dapat ditelusur berasal dari Sansekerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik. Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Junani, Minoan,
Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.

Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia. Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternative lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matrix yang disebutnya sebagai ‘Checklist’ (KLIK DISINI<http://atlan. org/articles/ checklist/ #checklist>).

Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut di Indonesia, teori Profesor Santos ini sampai saat ini ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia. Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun.

Profesor Santos akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna membuktikan teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan mampu membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut di Indonesia.

Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia ?
Bagaimana pula pakar Indonesia dari berbagai disiplin keilmuan menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi sangat terhormat : sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia ini ? Coba dong beri pula perhatian yang memadai. Atau coba kita renungkan penyebab Atlantis dulu dihancurkan : penduduk cerdas terhormat yang berubah menjadi ambisius serta berbagai kelakuan buruk lainnya (mungkin ‘korupsi’ salah satunya). Nah, salah-salah Indonesia sang “mantan Atlantis” ini bakal kena hukuman lagi nanti kalau tidak mau berubah seperti yang ditampakkan bangsa ini secara terang-terangan sekarang ini. Santos mengatakan berdasarkan penelitiannya bahwa berbagai kisah tentang negara bak ‘surga’ yang kemudian menjadi hilang, bencana banjir besar, letusan gunung berapi, dan gempa dahsyat ditemui pada kisah-kisah berbagai bangsa di seluruh dunia. Kisah ini mirip satu dengan lainnya.

Salah satu Menhir di Mahat

Konon kabarnya pula, sejumlah menhir yang berjumlah 800an buah di Mahat
posisinya menghadap kearah matahari terbit, atau kearah Timur. Arah Timur dari Mahat adalah arah lokasi Atlantis versi Santos yang tenggelam oleh tsunami, banjir, letusan gunung berapi dan gempa bumi.Arah Timur dari Mahat adalah arah lokasi Atlantis versi Santos yang tenggelam oleh tsunami, banjir, letusan gunung berapi dan gempa bumi.
Pulau Sumaterapun ternyata tertulis dalam kisah Atlantis, yang disebut sebagai Taprobane. Dulu Taprobane ini diartikan sebagai Ceylon, tapi kalau melihat ukuran
besarnya tidak syak lagi bahwa Taprobane adalah Sumatera yang dikisahkan kaya dengan emas, batuan mulia, dan beragam binatang termasuk gajah. Itulah kira-kira teori Santos secara sangat ringkas.

0 comments:

Makalah Pendidikan Seputar Manusia Dan Problem Pengetahuan

Makalah Pendidikan kali ini akan membahas Seputar Manusia dan Problem Pengetahuan.Semoga makalah yang kami sajikan ini dapat bermanfaat bagi laju peradaban dan pengetahuan generasi muda Indonesia

Manusia dan Problem Pengetahuan

Immanuel Kant, filosof brilian berkebangsaan Jerman, sempat kagum memandang posisi manusia dalam proses pencarian pengetahuan. Dalam magnum opus-nya, Critique of Pure Reason, dengan jenaka ia berseloroh bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang membingungkan; ia tak mau sekedar disebut bodoh atau tak berpengetahuan. Apesnya ia selalu memunculkan pelbagai pertanyaan yang tak semuanya bisa dijawab sendiri.[1]

Dalam perbincangan filsafat, selalu ada tiga komponen yang dilibatkan: Tuhan, manusia dan alam semesta. Ketiga komponen ini menjadi objek yang tiada henti untuk dieksplorasi sedalam-dalamnya. Meski dalam babakan sejarah, khususnya Islam, selalu saja ada resistensi sebagian sarjana untuk berusaha mengeliminasi komponen Tuhan dalam perbincangan filsafat, namun toh filsafat metafisika selalu saja mengemuka. Argumen mereka, yang sejatinya demi meneguhkan kekudusan Tuhan, selalu sama. Yakni, dengan “memfilsafatkan” Tuhan seolah kita sedang masuk ke dalam ranah yang tak pernah benar-benar kita yakini kebenarannya; terlalu banyak yang absurd dalam metafisika. Dengan ini, seolah mereka ingin melempangkan jalan bagi dominasi wahyu sebagai satu-satunya perangkat mengenali Tuhan. Hadits Nabi, “Renungi alam semesta, jangan kau pikirkan Zat Tuhan!” menjadi senjata paling ampuh memberangus filsafat ini.

Namun, statemen Aristoteles yang berangkat dari observasi sempurna di masanya agaknya meruntuhkan anggapan ini. Ia bersikukuh bahwa manusia selalu punya potensi berfilsafat dalam dirinya. Mengapa? Karena filsafat adalah kecenderungan alami untuk mempertanyakan “lingkungan” di sekitarnya, bagaimanapun caranya.[2] Ini mengapa filsafat selalu terdefinisikan sebagai al-bahts ‘an al-wujûd min haits huwa al-maujud: membahas eksistensi dari sisi ia ada. Dan ini adalah penegasan bahwa bidang filsafat selalu universal: mencakup segala hal, termasuk Tuhan! Tegasnya, sebagai makhluk yang berakal, manusia akan selalu berpotensi memikirkan segala hal, dan ini adalah legitimasi filsafat dalam diri manusia.

Dalam babakan sejarah Eropa, ada masa ketika akal manusia coba diberangus dengan kuasa agama. Kita kemudian mengenal The Dark Age yang selalu mengilustrasikan bagaimana dominasi gereja demikian menggurita sehingga membantai banyak ilmuwan yang “terpaksa” mempertanyakan otoritas gereja. Saya katakan terpaksa, karena sedari awal saya meyakini bahwa manusia, sebagai makhluk yang berakal, selalu otomatis mempertanyakan wacana yang ia terima, benar-tidaknya, tepat-salahnya. Dengan kata lain, tak ada kuasa manusia untuk menghindarkan dirinya dari memikirkan lingkungannya. Terlebih wacana gereja ini coba dipaksakan dan bertentangan dengan fakta di lapangan.

Babakan sejarah itu kemudian berbalik menjadi gerakan antitesisnya. Eropa masuk panggung sejarah humanistic periode. Berawal dari Italia, setelah Konstantinopel (sekarang Istanbul) dikuasai Dinasti Ottoman, para sarjana menggiatkan kembali tardisi berfilsafat Yunani. Sebagai gerakan perlawanan, tentu menyimpan getirnya. Kelompok ini kemudian antipati pada agama yang telah mengkebiri akal sehat mereka. Mereka ateis. Bahkan untuk mengakui eksistensi Tuhan, yang sejatinya diam-diam mereka terima, pun mereka enggan. Seolah Tuhan, yang tak bersalah dalam hal ini, harus menjadi “korban” kesalahan manusia dalam menyampaikan pesan-pesan ketuhanan. Ini ekses buruk pengajaran agama yang salah. Ini mengapa ajaran agama harus selalu tersampaikan sesuai dengan akal.


Benar, saat itu harga diri manusia kembali utuh. Tapi problem tak berhenti. Humanisme, sebagai gerakan mengagungkan kembali posisi manusia sebagai makhluk berakal, hanya berhasil menjadi persiapan masuknya gelanggang baru dalam sejarah Eropa: rennaissance. Selebihnya gagal. Kurang lebih ini yang disampaikan Michel Foucault. Ia melanjutkan:

              “.. they were not able to conceive of man. Man, in the analitic of finitude, is strange empirico-transcendental doublet, since he is a being such that knowledge will be attained in him of what renders all knowledge possible. But did not the human nature of the eighteenth–century empiricist play the same role? In fact, what was being analysed then was the properties and forms of representation which made knowledge in general possible (it was thus that Condillac defined the necessary and sufficient operations for representation to deploy itself as knowledge: the reminiscence, self-conciousness, imagination, memory); now that the site of analysis is no longer representation but man in his funitude, it is a question of revealing the conditions of knowledge on the basis of the empirical contents given it.”[3]                                

Humanisme Kebangkitan tak mampu memahami manusia. Manusia, dalam analisa terbatas, adalah pasangan aneh antara empirik dan transendental, karena ia adalah makhluk yang membuat setiap pengetahuan menjadi mungkin dalam dirinya. Tetapi, bukankah kondisi abad-18 juga memainkan peran ini? Faktanya, apa yang telah dianalisis di sana hanyalah perangkat dan bentuk-bentuk kehadiran yang semata membuat pengetahuan secara umum jadi mungkin (karena itu Candillac, seorang filosof Perancis yang concern dalam bidang psikologi, menawarkan proses yang memadai dan penting bagi sebuah kehadiran agar membuatnya sebagai pengetahuan itu sendiri, seperti kenangan, kesadaran diri, imajinasi, memori). Sekarang tak cukup hanya semacam itu. Analisa seputar manusia tak lagi hanya sebuah kehadiran, tapi manusia dalam keterbatasannya itu sendiri. Ini sebuah pertanyaan demi mengungkap prasyarat sebuah pengetahuan dalam basis fakta empirik yang mengitarinya.

Dengan kata lain, Foucault, si jenius itu, pun mengakui bahwa Humanisme dan Renaissance sebagai sebuah kesatuan dalam gelanggang menggapai pengetahuan belum finis. Ia masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Paling krusial tentunya tentang manusia yang seharusnya Humanisme, sebagai gerakan yang bukan hanya mengembalikan harkat manusia sebagai makhluk berakal, melainkan juga seharusnya mampu memberikan gambaran utuh seputar manusia dan memahaminya, mampu menjawabnya. Nyatanya tidak! Ia bahkan melanjutkan bahwa pengetahuan, termasuk seputar manusia dan posisinya, harus mampu didasarkan pada fakta empiris. Itu tuntutan masa sekarang katanya.

Usaha memanusiakan manusia ini akhirnya memberikan ide segar untuk mencetuskan human science. David Hume, filosof kawakan Skotlandia, dianggap tokoh pertama yang menggelontorkannya dalam karya A Treatise of Human Nature. Namun idenya absurd karena mencoba memahami manusia tak lebih dari seperti natural laws lainnya. Ujarnya, “Alam manusia hanyalah merupakan sains tentang manusia; tetapi sampai sekarang masih disia-siakan.” Tambahnya, “Prinsip-prinsip alam manusia, saya usulkan sistem komplit seputar sains ini, harus terbangun dengan pondasi yang sepenuhnya baru.”[4]

Secara psikologis, usaha ini bisa dipahami sebagai jawaban tuntutan era itu saat sebelumnya manusia demikian direndahkan dan tercerabut kebebasan akalnya. Namun alasan ini rasanya tak menjadi tameng pembela konsep ini. Nyatanya, terma human science sedikit absurd menurut Foucault. Ujarnya, “Human science, jika kita mau jujur, tak sampai tingkatan body of knowledge. Ia paling mentok ke body of discourse saja!” Bukankah tuntutan Humanisme sebelumnya adalah pengetahuan utuh seputar manusia? Sehingga, sekedar wacana jelas tak mencukupi.[5]

Menarik ketika Alexis Carrel, ilmuwan Perancis yang memenangkan hadiah nobel tahun 1912 dalam bidang psikologi dan kedokteran, menegaskan keabsurdan ini. Pada akhir karyanya Man The Unknown ia berkesimpulan bahwa sejatinya pengetahuan kita seputar manusia sangatlah minim. Apapun usaha kita, dengan pelbagai perangkat ilmu modern, akan menemui tembok buntu dalam usaha memahami manusia. Pada akhirnya, manusia sejatinya makhluk yang tak benar-benar kita pahami. Manusia adalah entitas yang tak dipahami. Man the unknown![6]    

Human Science dan Problemnya
Untuk lebih memantapkan informasi di atas, mari saya paparkan pada Anda bagaimana kinerja human science. Ini langkah awal saya sebelum nantinya menawarkan solusinya dengan teori pengetahuan yang saya adopsi dari turats Islam klasik.

Human science secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah sains tertentu yang membahas secara khusus aksi dan tingkah manusia. Menarik, ketika menggunakan terma science, sejatinya para pelopornya berusaha memberi jawaban atas kesenjangan yang selama ini dirasa dalam pembahasan seputar manusia. Ketika alam semesta berhasil dieksplorasi habis-habisan dan mencapai titik kepastian yang meyakinkan, pertanyaan yang menggelayut di kepala para perintisnya adalah: mengapa kita tak menerapkan standar yang sama dalam membahas manusia sehingga memberi kepastian wacana seperti yang berhasil dilakukan pada alam semesta? Ini sebenarnya kata kuncinya.

Ambisi ini tentunya mengharuskan mereka menerapkan kepastian matematis sebagai sebuah legitimasi disebut sains. Karena itu, David Hume berambisi menerapkan mekanisme yang matematis an sich dalam wacana kemanusian. Namun usaha ini terhadang oleh kecenderungan positivisme dalam sains yang diimani banyak ilmuwan. Mudahnya, jika human science ingin disebut science, ia juga harus berkecenderungan positivisme dalam metodologi dan wacananya.

Karena ini, kemunculan human science sangat kontroversi. Dilthey dan Neo-Kantian bersikukuh bahwa ambisi ini tak tepat. Mengapa? Karena eksplorasi seputar manusia tentunya membutuhkan metode yang berbeda dari yang diterapkan pada alam semesta. Ini timbul karena alam semesta memiliki kepastian tertentu yang berbeda dari fenomena manusia. Ketika satu metode diterapkan dalam dua bidang yang berkarakter lain, akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa.

Argumen Dilthey ini bertahan dari satu dekade ke yang lainnya, meski pada arus lain kemunculan psikologi, antropologi, sosiologi, dan ekonomi sebagai ilmu-ilmu yang membahas fenomena manusia tetap saja meruyak. Belum dicapai kata sepakat seputar keabsahannya namun dalam titik tertentu semua cabang ini sedikit berhasil mewacanakan metodenya yang saintis dalam eksplorasi fenomena manusia. Artinya, perdebatan legitimasi human science belum selesai, namun cabang dan turunannya begitu saja meruyak laris.

Sampai akhirnya, positivisme yang diwacanakan sebagai prasyarat mutlak sebuah sains pun tergugat. Muncul arus postpositivisme yang berusaha meyakinkan para ilmuwan bahwa kepastian dalam sains pun layak dipertanyakan. Ketika kepastian sains dipertanyakan, kenapa pula mempermasalahkan kepastian human science sebagai sebuah sains? Saat positivisme berusaha mewacanakan bahwa sains yang benar-benar sains harus memenuhi kriteria kepastian mutlak dalam hipotesanya yang diantaranya harus bersifat empiris, matematis, dan objektif, di sisi lain postpostivisme berusaha menggelontornya. Yang terakhir memberikan contoh bahwa Biologi pun sampai sekarang tak mampu memberi jawaban pasti seputar fenomena biologis: kematian.

Mereka menambahkan bahwa setiap teori dalam sains yang muncul seringkali dapat teranulir dengan teori berikutnya yang lebih mutakhir. Toh itu masih disebut sains. Dengan kata lain, standar kepastian mutlak tentu tak bisa diaplikasikan secara radikal pada sains. Karena itu sama saja memberangus semua sains yang terbukti kurang tepat, meski pada kurun berikutnya mungkin saja terbukti benar. Meski, mereka tak mampu menjawab bahwa benang merah dari setiap sains adalah objektif, matematis, dan terukur secara induktif. Dan ini dimiliki oleh semua ilmu yang disebut sains. Sedang fenomena manusia yang demikian relatif itu terlalu naif kita ukur dengan hitungan matematis, apalagi absolut. Sehingga human science yang mengandaikan perhitungan matematis masih sangat layak diperdebatkan.

Sampai saat ini, perdebatan seputar human science berkisar pada postpositivisme ini. Perlu dicatat, bahwa postpositivisme bukan satu aliran dengan kesepakatan proposisi tunggal. Ia lebih merupakan cara pandang pada pengetahuan. Paling tidak postpositivisme memiliki empat arus dalam beberapa dekade ini. Pertama, peralihan linguistik dalam filsafat sains seperti tergambarkan pada karya-karya akhir Wittgenstein. Implikasinya kemudian akan disuarakan oleh Quine, Kuhn, Toulmin, Hesse, dan sarjana lain yang mempertanyakan status kebenaran mutlak dalam sains dan seberapa jauh hubungannya dengan realitas ekstralinguistik. Kedua, keraguan yang berkelanjutan terhadap teori sistem dan aplikasinya pada organisme yang begitu komplek seperti manusia. Ketiga, usaha keras dalam mengembangkan teori seputar aktivitas manusia yang mencakup ide-ide soal tujuan dan aktivitas acak manusia. Keempat, usaha Heidegger dan Gadamer dalam filsafat hermeneutik demi membangun epistemologi fundamental yang menyuarakan kebenaran apodiktik (apodictic truths).[7]

Foucault dalam The Order of Things berusaha memaparkan kinerja human science ini. Sebagai tokoh yang tergambar melalui buku karya Hubert L. Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, ia secara jenius memampang-kritisi metodologi human science. Ia menulis:

“We must now sketch out the form of this positivity. Usually, the attempt is made to define it in terms of mathematics: either by trying to bring it as near to mathematics as possible; by drawing up an inventory of everything in the sciences of man that is mathematicizable, and supposing that everything that is not susceptible of such a formalization has not yet attained to scientific positivity; or, on the contrary, by trying to distinguish very carefully between the domain of the mathematicizable and that other domain which is regarded as irreducible to the former because it is the locus of interpretation, because the methods applied to it arc above all those comperhension, because it finds itself wound around the clinical pole of knowledge.”[8]  

Kita sekarang harus melukiskan bentuk positivisme human science ini. Biasanya, usaha itu dengan cara mendefinisikannya dalam perhitungan yang matematis: baik mencoba membawanya sedekat mungkin pada bentuk, performa dan teori-teori matematika; melukiskan detil-detil segalanya dalam sains tentang manusia yang matematis, dan meyakini bahwa segala hal yang tak tersemat semacam formalisasi ini tak mencapai positivisme sains; atau, sebaliknya, dengan berusaha memilah dengan begitu teliti antara domain yang berkarakter matematis dan selainnya yang dianggap tak memadai ke matematis karena itu adalah lokus penafsiran, karena semua metode yang diaplikasikan padanya memancarkan semua pemahaman ini. Juga karena itu sendiri selalu tak cocok dengan kutub umumnya pengetahuan.

Seperti yang saya paparkan di atas, usaha ini terlihat ambisius karena berupaya me-matematika-kan fenomena yang sepenuhnya cair dan relatif: fenomena manusia. Karenanya ambisi ini menemukan kesulitannya tersendiri—jika enggan mengatakan mustahil. Ini juga dirasakan Foucault yang memaksanya harus mengkritiknya secara langsung dan berujar:

    “Such analyses are wearysome not only because they are hackneyed but, above all, because they lack relevance. Certainly there can be no doubt that this form of empirical knowledge which is applicable to man (and which, in order to conform to convention, we may still term ‘human sciences’ even before we know in what sense and within what limits they can be called ‘sciences’) has a relation to mathematics: like any other domain of knowledge, these sciences may, in certain conditions, make use of mathematics as tool; some of their procedures and a certain number of their results can be formalized. It is undoubtedly of the greatest importance to know those tools, to be able to practise those formalizations and to define the levels upon which they can be performed..”[9]

Analisis semacam di atas cukup meletihkan bukan hanya karena sudah usang tapi, yang paling utama, sudah tak relevan. Jelas tak ada keraguan bahwa bentuk pengetahuan empiris yang aplikatif pada manusia ini (dan, demi mengikuti istilah konvensional, yang kami masih sebut “human science” meski sebelum kita tahu dalam batasan dan logika apa itu disebut sains) memiliki sebuah relasi pada matematika: seperti domain pengetahuan lain, sains ini masih, dalam beberapa kondisi, bisa menggunakan matematika sebagai perangkatnya; beberapa prosedur dan hasilnya bisa dibentuk demikian. Tak diragukan pula demikian pentingnya mengetahui pelbagai perangkat ini, agar mampu mengaplikasikan formalisasi ini dan demi mendefinisikan level-level yang bisa ditampilkan.

Dengan kata lain, meski Foucault meragukan keabsahan mutlak metodologi human science yang menggunakan perangkat matematika sebagai pirantinya demi menyingkap fenomena manusia, namun dalam batasan tertentu jelas matematika juga masih layak dipergunakan dalam beberapa level human science, semisal beberapa proseduralnya yang biasanya induktif dan gaya pemaparan hasilnya yang bisa pula matematis. Ini mengapa penulis bibliografi Foucault masih menganggapnya sebagai ilmuwan human science. Bahkan ia dianggap sebagai tokoh yang, dalam titik tertentu, menyempurnakan teori ini.

Saya pribadi, tak sepenuhnya menolak human science sebagai sains yang layak diapresiasi. Namun, saya harus berkata jujur bahwa dalam beberapa kondisi dan prosedurnya, terutama dalam ambisi para pengelunya yang terkesan idealis, masih meragukan dan kurang valid. Meski, sebagai sebuah amanat ilmiah, saya meyakini bahwa karakter matematis dalam human science ini tak sepenuhnya salah. Ia masih menyimpan kebenaran dan turut andil dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih jelasnya, Foucault mencontohkan beberapa aplikasi matematika dalam human science yang tentu saja tak bisa kita ingkari kevalidan, atau paling tidak, manfaatnya dalam memproyeksikan aktivitas, prosedur, dan fenomena manusia secara umum. Dia melanjutkan:

“..it is no doubt of interest historically to know how Condorcet was able to apply the calcualtion of probabilities to politics, how Fechner defined the logarithmatic relation between the growth of sensation and that of excitation, how contemporary psyco-logist make use of information theory in order to understand the pheno-mena of learning.”

Tak diragukan secara historis manfaat untuk mengetahui bagaimana Condorcet, filosof-matematikawan Prancis penemu metode condorcet, mampu mengaplikasikan perhitungan teori kemungkinan pada politik; bagaimana Fechner, psikolog Jerman, menjelaskan hubungan logaritmatik antara berkembangnya sensasi dan berkembangnya eksitasi; bagaimana psikolog logika kontemporer menggunakan teori informasi demi memahami fenomena pembelajaran.

Foucault melanjutkan bahwa meski aplikasi demikian memungkinkan, dalam titik tertentu aplikasi matematika jelas tak bisa diterapkan secara radikal dan universal pada setiap fenomena manusia. Ujarnya bahwa aplikasi ini hanya mengambil possiblities of mathematicization semata. Atau, boleh juga dianggap semacam de-mathematicization.[10]

Al-Ghazali dan Positivisme Sains
Demikian sekilas perjalanan panjang humanisme yang memunculkan human science sebagai salah satu produk era humanistic periode di Eropa. Saya sengaja memaparkannya agak panjang karena saya meyakini bahwa suatu teori harus terbangun dan teranalisis dari dua sisi minimal; pertama, bagaimana kita menyorot lika-liku sejarah kemunculannya, faktor-faktornya, dan bagaimana teori itu bermetamorfosa sebagai sebuah produk zaman yang sah. Paradigma ini berangkat dari konsensus umum ilmu pengetahuan bahwa teori apapun tak akan muncul dari ruang hampa, melainkan itu buah hasil pengalaman manusia yang terikat ruang-waktu. Dan kedua, bagaimana kita mendedahkan inti, metodologi, ide, dan gagasan-gagasan dari sebuah teori, dan bila memungkinkan, mengkritiknya baik dari dalam,  ataupun objektivikasi, autentivikasi, dan kevalidan datanya.

Berangkat dari sebuah imajinasi dasar—kata Albert Einstein, “Imagination is more important than knowledge”—bahwa objek humanisme dan human science sangat klasik: manusia. Manusia telah muncul sejak dulu, dan fakta ini mengusik saya untuk menemukan dan membuktikan bagaimana kecenderungan, atau tepatnya gagasan dan ide, human science dan spirit humanisme telah terpatri pada para sarjana klasik.  Ini mendorong saya berandai-andai: mungkinkah gagasan dasar ini saya temukan di teks-teks turats klasik, atau lebih spesifiknya, pada karya-karya Al-Ghazali sebagai concern utama saya.

Proyek saya ini tentu tak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa ada fenomena borrowing and influence—konsepsi ini jika diaplikasikan secara radikal menimbulkan pengkaburan orisinalitas—dan fenomena pencurian ide dari sarjana satu ke yang lain. Ya, memang ada fenomena semacam itu dalam beberapa kasus, namun ini terjadi saat objek-objek suatu teori tak universal, dan tak merata. Saat kita mengetahui bahwa objek humanisme dan human science demikian universal, yakni manusia, dan ada kemiripan, bahkan kesamaan, pola-tingkah manusia secara umum dan di semua zaman, tentu konsepsi di atas tak dapat dipertanggungjawabkan karena menimbulkan monopoli kebenaran, spesifikasi pengetahuan universal, dan, secara psikologis jika berkaitan dengan relasi Islam dan Barat, akan memunculkan sikap superioritas, dominasi kebenaran universal, dan eksklusifitas yang justru ditentang Islam itu sendiri.

Tepatnya, ada pengembangan ide dasar dari sebuah teori. Saat era Yunani tak mengenal beragam teori rumit—semisal kimia Jabir bin Hayyan, musik Al-Farabi, aljabar Khawarizmi, kedokteran Ibnu Sina, dan masih banyak lagi—maka peradaban era Islam di masa kejayaannya mengenalnya. Ide dasarnya jelas telah ada, yakni logika Aristoteles, dan teori-teori filsafat Yunani yang lainnya. Demikian pula, ilmu biologi, fisika, kimia, atom, ekonomi, antropologi, sosiologi, dan ilmu modern lain yang belum ditemukan secara sempurna di era Islam, mengalami perkembangannya di era Barat. Dan dari premis-premis ini saya ingin membangun proyek saya. Demikianlah.

Kepastian atau yang disebut positivisme sains—yang bercirikan rasional-empirik dan diantaranya matematika—dapat kita temukan dalam Maqashid al-Falasifah karya Al-Ghazali. Ia berujar:

“Adapun matematika (riyadliyyat), yakni bahasan seputar penghitungan dan teknik bangunan, maka sama sekali tak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Juga tak pula bisa diingkari.”[11]

“Ketahuilah bahwa akal tak akan benar kecuali dengan syariat, sedang syariat tak akan jelas kecuali dengan akal. Akal bagaikan dasar sedang syariat seperti bangunan. Selamanya dasar tak akan cukup tanpa ada bangunan, sedang bangunan tak akan kokoh selama tak ada dasar.. Syariat adalah akal dari luarnya, sedang akal adalah syariat di dalamnya. Keduanya sanling menguatkan, bahkan menyatu. ”[12]

Saat Al-Ghazali mengatakan bahwa matematika adalah ilmu yang tak pantas diingkari, juga mengandung kepastian, ia berargumen bahwa selamanya matematika tak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Artinya, konsepsi, prosedur, dan rumus-rumus matematika sepenuhnya positif: pasti benar. Ini yang disebut positivisme sains, atau lebih spesifiknya, matematika dalam konteks ini.

Jika demikian, dari mana akal mendapat legitimasinya dalam menyuarakan kebenaran? Al-Ghazali berdalih bahwa sejatinya syariat dan akal itu menyatu, dan saling menguatkan. Keduanya benar. Keduanya tak mungkin saling tubruk. Saat kita mengakui bahwa syariat Tuhan sepenuhnya benar, kita juga harus mengetahui bahwa ternyata akal pun sepenuhnya benar karena itu anjuran Quran. Allah berfirman, “Dan sungguh datang kepada kalian dari Allah cahaya dan kitab yang jelas. Allah menunjukkan dengannya orang-orang yang ikut keridla’annya, jalan-jalan kedamaian dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan izinNya.” Allah berfirman menceritakan karakter akal, “Itu fitrah Allah yang ia tancapkan pada manusia di atasnya. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus.”

Mungkin ada yang menyangsikan ini karena dalam Al-Munqidz min al-Dhalal Al-Ghazali sempat mengalami ekstase dan saat itu ia “dikenal” sedang mengingkari akal karena nyatanya akal tak menjamin kebenaran. Ujarnya bahwa kekuatan akal terbesar bersumber dari pandangan, sedang mata sering menipu. Kita sering melihat bulan tampak kecil, padahal itu sejatinya jauh lebih besar. Kita sering bermimpi sesuatu, namun setelah terbangun kita baru menyadari bahwa semua itu tak nyata. Demikian batasan akal. Demikian Al-Ghazali dikenal.

Saya pikir, anggapan ini berawal dari kekurangcermatan memahami redaksi Al-Ghazai sekaligus tak mampu mengkompromikan satu karya dengan karya yang lain. Al-Ghazali sebagai seorang pemikir sering kali menyebarkan ide-idenya berserakan di pelbagai karyanya, bukan hanya di satu karya. Karena itu, menangkap Al-Ghazali seharusnya dilakukan dengan membaca seluruh, atau sebagian besar, karyanya yang tersisa. Dalam Al-Munqidz ia menulis mengenai ambisinya dalam menggapai hakekat sekaligus menarapkan standar hakekat kebenaran menurut dia:

“..maka harus menggapai hakekat ilmu apakah itu. Lantas tampak padaku bahwa ilmu hakekat adalah ilmu yang mampu menyingkap objek dengan tanpa meninggalkan keraguan sedikitpun; tak disertai kemungkinan salah dan dugaan; dan hatipun tak akan menerima kemungkinan salah itu. Bahkan sepi dari kesalahan seharusnya disertai keyakinan yang andaikata ditantang untuk menampakkan kesalahannya misalnya oleh orang yang mampu merubah batu menjadi emas, tongkat menjadi ular, hal itu tak menimbulkan keraguan sedikitpun. Aku sungguh telah tahu bahwa bilangan sepuluh lebih banyak daripada tiga. Andai ada orang berkata padaku, ‘Tidak, tetapi tiga lebih banyak daripada sepuluh dengan dalih bahwa aku mampu merubah tongkat ini menjadi ular.” Ia pun merubahnya menjadi ular, dan aku menyaksikannya. Namun aku sama sekali tak ragu akan kepercayaanku karena memandang itu. Aku hanya mungkin takjub bagaimana dia mampu melakukan keajaiban itu. Adapun ragu terhadap keyakinanku sebelumnya, maka tak mungkin.”[13]   

Ini standar kebenaran menurut Al-Ghazali. Jika kita cermat memahami redaksi ini dan mengkompromikannya dengan redaksi yang seolah dia mengingkari akal, maka kita akan menemukan kebenarannya. Al-Ghazali memisalkan bahwa kebenaran yang sejati adalah seperti kita meyakini bahwa bilangan sepuluh pasti lebih besar dari bilangan tiga. Ini kata kuncinya. Oleh para ahli mantiq keyakinan semacam ini disebut sebagai badihi. Yakni tanpa melakukan pemikiran kita telah meyakini kebenarannya karena itu sama sekali tak terbantahkan.

Benar, bahwa dalam Al-Munqidz Al-Ghazali juga selanjutnya berdialog imajiner dengan al-mahsusat yang telah terbukti tak kuat. Al-mahsusat berkata, “Kenapa kamu mendustakanku dan mempercayai akalmu? Sedangkan akal tak lebih baik dariku. Coba kamu rasakan. Kamu pernah bermimpi, dan nyatanya setelah terbangun kamu yakin bahwa itu tak nyata. Itu titik kelemahan akalmu!” Namun perlu dicatat, setelah dialog imajiner itu, Al-Ghazali tak menyebutkan bahwa dirinya pun tak yakin dengan kepercayaannya bahwa bilangan sepuluh lebih besar dari tiga. Tapi ia hanya mencapai ekstase yang membuatnya sakit parah selama dua bulan, sehingga meragukan banyak hal yang dianggapnya dulu yakin. Apa yang terjadi setelahnya? Al-Ghazali menuturkan bahwa setelah itu dia disembuhkan oleh Allah karena cahaya yang tercampakkan olehNya dalam hati sehingga ia pun kembali meyakini banyak hal yang dharuri.[14]

Di poin ini jelas, Al-Ghazali tak meragukan akan al-badihah semisal bilangan sepuluh lebih besar dari tiga. Melainkan ia hanya mengalami ekstase sehingga mengkaburkan seluruh keyakiannnya pada panca indera. Dengan kata lain, Al-Ghazali tak mampu meragukan al-badihah karena bukan hanya itu fitrah dari Allah, melainkan juga itu mengandung kepastian, positivisme sains yang tak layak untuk diragukan.

Sampai sini berarti kita mampu membangun argumen bahwa akal, atau tepatnya al-badihah, mencapai titik kepastian yang absolut. Ini pula yang menginspirasikan saya bahwa Al-Ghazali pun sejak dini mengindikasikan adanya positivisme sains. Dan al-badihah adalah istilah klasik dan paling dasar dari positivisme ini.

Perlu dicatat bahwa saya tak bermaksud mengatakan bahwa semua yang diklaim para ilmuwan sebagai sains yang positif, itu juga mengandung kepastian yang absolut; banyak sekali teori sains yang memang terbukti salah. Tapi yang ingin saya katakan bahwa di alam raya ini ada sebuah kepastian, positivisme sains yang juga telah disinggung Al-Ghazali.

Pertanyaannya: mengapa matematika menurut AL-Ghazali tak layak diingkari karena itu tak bertentangan dengan akal? Menjawabnya, saya akan mendedahkan karakter dasar dan kinerja matematika.

Matematika, oleh para pakar, dianggap sebagai ilmu yang paling pasti; ia memberikan keyakinan yang sempurna dalam perhitungan. Sejatinya, ini berawal dari karakter dasar matematika yang bersifat al-badihah menurut istilah klasik, atau a priori dalam bahasa Immanuel Kant. Dalam Critique of Pure Reason, ia menegaskan bahwa elemen-elemen dasar matematika sepenuhnya a priori: tak bisa diingkari kebenarannya, terbukti kevalidannya, dan teruji ketepatannya dengan tanpa perlawanan. Meski, ujarnya, dalam pengembangan matematika selanjutnya ke level yang lebih tinggi, ada banyak bagian yang tak a priori. Namun intinya matematika dalam karakter dasarnya sama sekali a priori.[15]

Secara analitik, matematika bisa disebut a priori karena konsep dasarnya memang demikian. Level-level kelanjutan dalam matematika, jika bisa mempertahankan sifat a priori-nya dalam tiap tingkatan levelnya, akan membuat semua struktur dan bangunan matematika pun a priori, positif, dan menemukan kepastiannya. Ini karena dalam kaedah mantiq dikatakan bahwa al-murakkab min al-yaqin yaqin: tiap yang tersusun dari sesuatu yang pasti akan menimbulkan kepastian pula. Level-level tinggi matematika yang oleh Kant disebut tak lagi a priori sejatinya karena tiap tingkatannya status a priori-nya diabaikan, atau ada beberapa kesalahan dalam menyusun, dan mendaki tiap tingkatan dalam matematika. Tegasnya, matematika memang tetap berkecenderungan positivisme, pasti, a priori, al-badihah, dan memberikan keyakinan.

Perlu dicatat bahwa sejumlah kritikan ilmuwan yang mengusung postpositivisme sains sejatinya mengkritik bangunan-bangunan sains yang tak mencapai standar positivisme, atau karena bidang garapan sains tertentu melewati medan yang sewajarnya. Fenomena ilmu biologi yang menurut postpositivisme tak mampu memberi kepastian dalam fenomena kematian sejatinya di antara contoh terapan sains yang melewati medan. Dalam teologi agama, kematian di antara hal yang tak diketahui manusia, di samping rizki dan jodoh.

Atau, jika lebih ilmiah, saya katakan: kematian dipercaya sebagai fenomena tercerabutnya ruh dari tubuh. Padahal, mulai era klasik sampai sekarang, para ilmuwan masih memperdebatkan di mana posisi ruh sejatinya. Ada yang berpendapat di aliran darah, urat, jantung, hati, atau menyebar ke seluruh bagian tubuh. Tegasnya, biologi tak mampu menjawab secara memuaskan fenomena kematian karena sampai sekarang pun belum ditemukan kata akhir yang meyakinkan soal ruh. Namun, jika kita memakai standar possibilities of mathematicization, atau sebutlah sebagai de-mathematicization menurut istilah Foucault, biologi pun mampu memberikan jawaban seputar kemungkinan-kemungkinan umur manusia. Ketika seorang menderita penyakit kronis yang tak mungkin disembuhkan, semisal AIDS, dokter yang ahli bisa saja memperkirakan sampai berapa kira-kira orang itu akan bertahan hidup. Ya, memang tak bisa memberikan kepastian mutlak, tapi dipandang dari sisi bahwa sains terus berkembang dan sampai sekarang belum mencapai titik kesempurnaan dalam semua bidang, hasil ini pun bisa dianggap kemajuan yang berarti dalam sains. Dan ini tak mengharuskan mengeliminasi biologi dari sains tentunya karena belum memberi kepastian terukur.

Demikian bagaimana revitalisasi konsep Al-Ghazali dan didialogkan dengan konsep modern sungguh memberikan konklusi yang sangat menarik.[16]



[1] Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm.

[2] Philosophy of Humanism

[3] Michel Foucault, The Order of Things, hlm. 318-319.

[4] Christopher Fox, Inventing Human Science, London: University of California Press, tnp. Cet., 1995, hlm. 2.

[5] Michel Foucault, op., cit., hlm. 343.

[6] Alexis Carrel, hlm.

[7] Donald Polkinghorne, Methodology for The Human Sciences, New York: State University of New York Press, tnp cet, 1983, hlm. Ix-x & 1-3.

[8] Michel Foucault, op., cit., hlm. 348-349.

[9] Ibid, hlm. 349.

[10] Ibid, hlm. 349.

[11] Al-Ghazali, Maqashid al-Falasifah, hlm. 31-32.

[12] Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds, hlm. 46.

[13] Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, hlm. 26.

[14] Ibid. hlm. 28-29.

[15] Immanuel Kant, op., cit., hlm.

[16] Makalah terpaksa dihentikan karena penulis masih membutuhkan waktu demi menguak dan merevitalisasi konsep Al-Ghazali lainnya. Ada beberapa sub-judul sejatinya yang belum tertuliskan. Di antaranya Al-Ghazali dan Gradasi Ilmu. 

0 comments:

Dominasi Nalar Politik Praktis

 "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya."
[Minke, Jejak Langkah]

Hukum tersudut untuk sekedar berujar kebenaran, di sementara massa mengasumsikan kemenangan sebagai pra-syarat realisasi keinginan masyarakat. "Bukankah demokrasi ialah oleh, dari, dan untuk rakyat?!", demikian ujaran sinis yang muncul. Keinginan tersebut pula yang "konon" legitimatif oleh dogma kemustahilan publik untuk berkonsensi dalam kekeliruan. Inilah realitas yang kita saksikan beberapa waktu lalu, seiring prosesi pemilihan hingga akhir pelantikan Presiden PPMI 2010-2011. Persoalan kemudian tentu bukan lagi sebatas sengketa antara politik argumentatif versus politik kuantitas. Lebih dari itu ialah adanya persentuhan paradigmatis organisasi, oleh nalar politik praktis.

Kedudukan yang sarat kekuasaan menjadi  obyek rebutan, daripada harus disikapi secara kekeluargaan yang merupakan karakter organisasi Masisir. Chaos ! Inilah dampak nyata yang telah kita saksikan begitu paradigma kekeluargaan melepuh, lalu didominasi oleh nalar politik praktis dalam menyikapi sirklus kepemimpinan organisasi Masisir: PPMI.

Di sini penulis tidak akan menganalisa lebih jauh muara nalar politik praktis, namun lebih korektif membaca konsekuensi pada alur dinamika Masisir. Sebagai upaya antisipasif rongrongan nalar dominan, Masisir harus kembali menguatkan konstruksi paradigma keorganisasiannya guna mempertahankan identitas sebagai organisasi kemahasiswaan.

Impotensi Imajinasi Sosial

Kemelut paradigmatik dalam komunitas sosial yang bernama Masisir ini, serius mengaburkan pandangan publik terkait karakter dan pola interaksi organisasi. Permusyawaratan sebagai yang melandasi dan acuan dinamika interaksi antar organisasi terjebak dalam asumsi-asumsi politis. Oleh dari itu, fundamen permusyawaratan yang mengacu pada pola interaksi kebersamaan, solidaritas, kekeluargaan, terdesak ke dalam "ruang ilusi". Pragmatisme politik praktis dihadap-tentangkan secara langsung dengan janji organisasi sebagai penyokong produktifitas dan ruang kreasi insan akademik.

Maka penting kiranya untuk menilik Sociological Imagination yang diasumsikan oleh C. Wright Mills (1916-1962) sebagai, pertautan antara proses mengerti untuk kemudian merubah masyarakat. Mills memandang imajinasi sosial sebagai bentukan kreativitas dan kritisisme masyarakat dalam memahami pertautan intim antara jatidiri dan sejarah: inter-relasi antara ruang individu dengan ruang publik sosial, untuk kemudian membentuk masa depan yang lebih memadai.

Sengketa asumtif publik dalam menilai pola interaksi organisasi—dan tidak mustahil berimbas pada interaksi individu, tentu melukai imajinasi Masisir untuk mewujudkan konstruksi sosial yang lebih berkualitas pada episode-episode kemudian. Pun merongrong sistem yang telah, dan tengah dijalankan organisasi, tanpa ada analisa kritis: sebatas wujud traumatik sosial. Chaos sebagai dampak Sidang Pleno I beberapa waktu lalu sudah sepantasnya menjadi pelajaran penting. Faktor apa yang kiranya memicu terjadinya chaos?

Jawaban dari pertanyaan ini akan ditemukan hanya jika berani membedah "ruang ilusi" yang tersebut di atas. Dalam hal ini Masisir harus lebih instrokpeksionistis melihat ke "dalam" agar bisa mengenali identitas diri. Sehingga dengan serta merta berani mengenyahkan benih-benih halusinatif yang mungkin mengaburkan kesadaran. Identitas itu ialah masyarakat pelajar, dan benih-benih halusinatif yang dimaksudkan ialah politik praktis. Dan nyata, silang pandang terhadap pemaknaan atas kepeminpinan tidak bisa dihindarkan: mereka yang mempertahankan identitas memaknai kepemimpinan dalam porsi keorganisasian sehingga kokoh berpijak pada UU yang telah disepakati, sementara sebagian yang terkena bias politik praktis lebih memaknai kepemimpinan sebagai kursi "kekuasaan".

Sejurus kemudian Masisir memasuki musim baru; politis. Instansi Kekeluargaan dipandangan sebagai yang serupa dengan partai, instansi PPMI pun akan diasumsikan sebagai wilayah 'basah'; sebagai muara kepentingan meraup massa misalnya.

Tiadanya penguasaan atas jatidiri dan sejarah olehkarena keterpesonaan terhadap iming pragmatis paradigma baru (politik praktis, Red), sudah barang tentu bakal menjadi benih kejumudan dan rapuhnya kerangka sosial yang kita huni bersama: sosial kemahasiswaan. Lantas apa yang harus dilakukan?

Pengokohan Paradigma

Dalam pengertian yang populer, paradigma adalah asumsi tentang bagaimana semestinya kehidupan berlaku, atau cara pandang terhadap sesuatu. Paradigma inilah yang akan menjadi piranti pembentukan konsepsi hidup—dalam pada ini konsepsi sosial, teori, norma, dan tatanan yang diidamkan. Pada saat yang berkesinambungan, paradigma harus mampu menata baik imajinasi sosial.

Di sini paradigma berperan untuk mengerti secara baik situasi, untuk kemudian menciptakan solusi untuk problematika yang ada. Kita dikenalkan dengan Thomas Kuhn (1970) sebagai tokoh kompeten dalam hal ini. Juga tokoh klasik serupa Hippocrates yang terkenal dengan Humoral Theory of Diseas-nya. Olehkarena itu dengan menilik dimensi fungsional, paradigma ialah yang harus memiliki unsur idealitas, futuristik, sekaligus realistis. Yakni, paradigma sebagai carapandang hidup harus prospektif dalam konstruksi imajinatifnya, sekaligus mampu menjawab problematika sosial "kesekarangan". Pragmatisme, baik secara epistemis ataupun sebagai pola hidup, harus dimaknai secara baik sehingga tidak menuntun manusia pada jurang materialis samasekali.

Munculnya partai politik, yang secara simbolik bisa dibuktikan dengan—misalnya-- adanya atribut-atribut politik, harus dipandang sebagai fenomena untuk kemudian dipersepsikan secara lebih mendalam. Dengan alasan, pertama, bahwa Masisir memiliki jatidiri, yakni sebagai komunitas kemahasiswaan yang tentu kontra-asasi dengan karakter partai politik. Kedua, bahwa politik praktis tidak mendapatkan legitimasi historis untuk tetap mengembangkan sayapnya dalam ruang sosial Masisir.

Pertanyaan penting yang muncul kemudian ialah, paradigma yang merupakan konstruksi nalar olehdari proses pemahaman atas sejarah dan realitas dalam ruang sosial Masisir sudah melepuh dari idealitasnya? Sehingga nalar politik praktis menjadi alternatif yang jutru dominan dikonsumsi?[]

0 comments:

Pengertian Sastra

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Ia menyajikan kehidupan,yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Sedangkan penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus. Dengan begitu, karya sastrapun memiliki fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.

Seorang Kritikus sastra Inggris, I.A. Richard, lebih dari 8 dekade yang lalu sempat memberi ceramah mengenai kesengkarutan teori kritik. Pemikiran itu kini menjadi sangat tidak relevan karena para pemerhati dan pengkaji Barat yang intens di ruang kesusastraan di abad ini justru berdialektika dengan teori-teori yang berkubang dalam teks; mulai dari linguistika, semiotika, pembacaan konteks sosio-historis, sosio-kultural, seksualitas dan gender, karakterisasi, sampai motif yang dimiliki si pembuat teks.


Apakah sastra?

Beberapa pakar sepakat bahwa teori susastra mampu menjelaskan arti kata ini berdasarkan ide yang terbayang di benak ketika menyebut kata “sastra” dan “kesusastraan”. Terminologi sastra diperkhususkan untuk karya seni berbentuk kata-kata. Para filosof mulai zaman Aristoteles sampai Heidegger mengakui urgensitas seni dalam teknik mengolah kata. Ini menunjukkan bahwa antara kata-kata dan seni terdapat hubungan yang intim. Hubungan inilah yang nantinya melahirkan apa yang dinamakan dengan karya sastra.

Berkaitan dengan teks sebagai media sastra, terdapat asumsi bahwa karya tulis (baca: literatur) apapun adalah salah satu bentuk seni/sastra buah imajinasi seseorang. Asumsi ini memunculkan ambiguitas dalam penggunaan istilah sastra, bahkan seni. Fakta dalam sejarah literatur menunjukkan bahwa karya tulis non fiksi seperti politik, sejarah atau sains memiliki kuantitas yang sama dengan yang fiksi. Jika sebuah karya tulis tidak bersifat imajinatif, fiktif atau menggunakan kata-kata puitis, lalu bagaimana suatu karya tulis bisa disebut dengan sastra? Pertanyaan ini sempat menimbulkan perbincangan di abad 20. Baru kemudian lahir kesepakatan di kalangan pakar, bahwa tulisan bisa disebut sebagai karya sastra jika menggunakan bahasa yang unik, konotatif dan menggugah dibandingkan tulisan lain; Tulisan sastrawi adalah tulisan yand diproses melalui pengolahan kata yang kreatif apapun isi yang terkandung di dalamnya.

Pun begitu, definisi ini masih belum memuaskan. Klasifikasi suatu karya untuk digolongkan sebagai ‘yang sastrawi’ masih dirumitkan oleh banyak konsepsi. Harus melalui proses sejarah dan seleksi para ‘elit budaya’ (penerbit, editor dan budayawan); yang membuat ‘undang-undang’ kesusastraan yang – pada dasarnya – selalu berubah-ubah dan tidak memiliki alasan argumentatif. Apakah sastra adalah karya yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang cerdas, ataukah pikiran masyarakat awam juga mampu mengaksesnya? Apakah novel yang ‘bagus’ dan fenomenal lebih sastrawi daripada novel ‘jelek’ dan mudah dilupakan orang? Siapa yang berhak menentukan mana karya yang sastrawi dan tidak? Apakah nilai ke-sastrawi-an sudah ada pada teks atau semata-mata merupakan hasil dari proses pembacaan? Apakah ada kaitannya dengan konteks sosio-historis? Bagaimana dengan teks yang pada awalnya tidak ‘dibaca’ sebagai karya sastra?

Pastinya, suatu teks dikriteriakan sebagai karya sastra yang fenomenal setelah melalui ‘seleksi alam’. Ada hubungannya dengan proses percetakan dan pemasaran, opini dan kritik, lika-liku pengajaran dan pembelajaran. Pembaca barangkali hanya akan puas dengan definisi sastra yang terdapat di ‘pasar’ atau kuliah para kritikus dan sarjana sastra. Mungkin sebuah definisi untuk sastra bisa diklaim sebagai definisi yang paten. Tapi akan selalu ada subyektifitas.  Memang ada beberapa karya yang diindikasi sebagai yang sastrawi karena mengusung isu-isu sosial, tetapi bagi sebagian pembaca karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang keluar dari lingkaran sosial-politik. Lalu statemen baru muncul; “karya digolongkan sebagai sastra apabila ia ‘otonom’”, dalam arti tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan di luar itu. Tapi jika seandainya demikian, bagaimana sastra dapat dikenali? Novel atau bentuk karya sastra lain dicetak, dijual, dipropagandakan, direview, dan memiliki efek pada pembaca dan penulis lain. Pada akhirnya, argumentasi bahwa sastra itu memiliki wilayah otonom, memiliki kaedah dan prinsipnya sendiri, tak lebih dari sekedar alasan otonomisasi itu; penempatan karya sastra  -- bahkan bentuk seni yang lain – di etalase yang terpisah. Ada ilusi disana. Pertanyaan kemudian adalah, apa batasan dari wilayah otonom tersebut? Satu kesimpulan logis, tulisan yang realistik tidak bisa dikualifikasikan sebagai sastra karena mengandalkan mimesis atau merefleksikan dunia nyata, novel atau cerpen yang bercerita tentang politik harus rela dikeluarkan karena alasan yang jelas; mengangkat isu yang ada di lingkungan sosial. Walhasil, anggapan bahwa sastra itu terpisah dari lingkar sosial mencederai logika bahasa itu sendiri.

Sudah pasti tidak mudah mendefinisikan sastra karena ia adalah subyek yang dipengaruhi dan ditentukan oleh banyak hal yang selalu berubah-ubah. Tidak mudah menentukan apakah sebuah karya digolongkan sastra atau bukan berdasarkan suatu formula atau sampel.  Pula, tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah teks kuno bisa diperlakukan sebagai karya sastra di kemudian hari. Jurnalisme tempo dulu bisa dianggap sastra saat kini seperti yang terjadi pada beberapa essay. Atau memungkinkan juga untuk tetap menjadi jurnalisme yang digunakan pada umumnya oleh sejarahwan dan para sarjana. Boleh jadi, karya klasik yang dianggap paling sastrawi akan dikeluarkan dari bingkai sastra pada masa akan datang. Problem ini juga melingkungi model dan genre dalam sastra. Sejarah sastra menyingkap jejaring yang kompleks, bahwa kedudukan puisi dan novel adalah bentuk paradigmatis sebuah karya sastra pada zamannya; bagaimana anak zaman itu memposisikannya sebagai bacaan, terlepas dari kualitas karya tersebut, tapi lebih kepada pengaruh dan popularitasnya. Pada akhirnya watak sastra dan kesusastraan berkaitan erat dengan pembacaan, dan pembacaan secara fundamental terikat dengan sosio-kultural atau sosio-politik waktu itu. Lekangnya pembacaan ini lebih merupakan pengaruh dari kontinuitas sejarah daripada ingatan seseorang.

  
Karakeristik Teori Susastra

Sebelum melangkah lebih jauh, barangkali perlu diperjelas lebih dulu bahwa teori kritik lebih merupakan aplikasi praktis dari teori susastra.

Sejak tahun 1970, teori susastra bermetamorfosis menuju tahap dimana ia didominasi oleh filsafat, sejarah, politik dan psiko-analisa. Beberapa teks pun serta merta meminta pengkajian atasnya dengan perspektif yang ditawarkan oleh arus besar yang sedang hangat diperdebatkan kala itu – Marxisme, Strukturalisme, Poststrukturalisme, Feminisme, Cultural Studies, dsb. Beberapa pendekatan inilah yang kemudian mengacak-acak baik teori maupun teks kesusastraan itu sendiri. Memang teori susastra secara etimologi dipahami sebagai kaedah atau konsep, serta strategi yang diperlukan dalam aktifitas sastra an sich, tapi dalam waktu yang bersamaan, beberapa teori sastra menginspirasi gerak sosial-politik. Oleh karena itu, peleburan ini disambut baik oleh para pegiat sastra di Barat, melihat adanya jurang pemisah antara teori pembacaan teks (seperti Strukturalisme dan Poststrukturalisme) dan teori analisa sejarah (seperti Marxisme, Feminisme dan Postkolonialisme) yang secara fundamental pada paruh akhir abad 20-an keduanya masih berada di dua bilik berbeda; yang satu terbatas pada analisa bahasa, retorika dan penanda, satu lagi digunakan untuk kritik sosial, budaya dan sejarah yang pada dasarnya terrekam oleh produk budaya yang dalam hal ini adalah teks kesusastraan. Ditambah ketika ideologi ikut menginterfensi kegiatan sastra. Sebagai contoh, pendekatan dekonstruksionis atas sastra bisa menyulap pembaca menjadi konservatif dan apolitis, di pihak yang lain pendekatan marxis atau feminis muncul dengan wajah progresif bahkan kadang resisten ketika mendekati sebuah karya sastra.

Merupakan satu hal yang disepakati para praktisi dari pelbagai teori bahwa, secara umum, berfikir teoritis adalah paradigma dalam berfikir itu sendiri. Singkatnya, teori dapat didefinisikan sebagai “kapasitas memandang dan mengeneralisir suatu fenomena dan mengembangkan konsep yang membentuk basis interpretasi dan analisa atas fenomena itu”. Definisi ini mengilustrasikan langkah-langkah berfikir teoritis; Pertama, memikirkan secara general sebuah fenomena (bahasa, gejala sosial atau novel sebagai bentuk teks); Kedua, mengembangkan konsep berdasarkan asumsi atau kaidah yang melingkupi elemen-elemen dalam fenomena itu serta relasi antar elemen; dan Terakhir, menggunakan konsep ini sebagai titik pijak untuk menginterpretasi dan menganalisa sisi yang dibidik dari fenomena tersebut (fungsi metafor, kapitalisme atau posisi perempuan dalam gender). Kalau saintis mengaplikasikan ‘teori’ dalam analisanya dengan akurasi dan verifikasi untuk menentukan suatu postulat, maka sarjana sastra menggunakannya untuk membuat interpretasi yang meskipun tidak harus akurat tetapi dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, membincang teori kesusastraan berarti membincang bagimana mengenali serta memecahkan problem-problem teoritis yang muncul saat proses pembacaan.

Dalam teori kesusastraan kontemporer, untuk mencapai keseragaman dan universalitas seperti yang dicapai sains dalam konteks sosial barangkali merupakan hal yang sulit. Teori, mau tidak mau akan merefleksikan situasi sosial yang ia geluti, sekalipun saintis berangkat dari asumsi bahwa; teori saintifik tidak dipengaruhi oleh ideologi, tetapi, teoritikus sastra memandang bahwa teori adalah produk ideologi, dimana para teoritikus beroperasi sesuai posisi ideologisnya. Sama halnya dengan teks sastra yang tidak lain adalah hasil cipta orang tertentu yang berada di masyarakat tertentu yang mempunyai kebudayaan tertentu di saat dan waktu tertentu. Thus, teori susastra mengantarkan pegiatnya memahami sebuah konteks serta sudut pandang ideologis yang membentuk teks, serta menginsafi gelagat-gelagat sosial-politik pengarang dan tawaran idenya untuk pembaca. Sebagai contoh, saat mendiskusikan konteks sosial dalam novel Charles Dicken, teori marxis menjadi pisau analisa yang tajam untuk membedah ideologi sastrawan satu ini dan pandangannya terhadap ‘kelas-kelas’ masyarakat. Atau bahkan teori ini bisa jadi malah menghakimi apakah novel ini dipandang sebagai kritik sosial, atau semata-mata bacaan realis yang justru menopang status quo.

Hal lain yang membedai teori susatra dengan teori praktis yang dimiliki oleh sains ialah, teori susastra boleh diakrabkan dengan teori non sastra yang menjadi tidak komprehensif manakala teori susastra tidak mengeeksplorasi hal-hal diluar sastra sehingga berkonsekuensi pada keterputusan antara teks dan konteks. Ketika teori susastra dikawinkan dengan teori semacam psikoanalisa atau yang seumpama, maka teori ini akan beranak-pinak dan masing-masing ini akan mengklaim bahwa ia lebih valid daripada yang lain. Sangat berbeda dengan teori sains, yang mana teori ilmiah yang baru akan menggantikan teori lama dan selalu menuntut adanya obyektifitas dalam penelitian.

‘Ala kulli hal, interpretasi sastra adalah subyek yang dipengaruhi oleh sikap politik seseorang, perspektifnya atas gender, kelas-kelas sosial, permasalahan etnis, keyakinan keberagamaan dan aspek sosial lainnya. Memang, hegemoni atas sikap ini di kesempatan lain turut mempengaruhi interpretasi ilmiah dalam sains. Namun begitu tidak mengurangi determinasi seorang saintis untuk tetap berpegang pada obyektifitas penelitian ilmiah. Lalu bagaimana dengan teori susastra jika obyektifitas bukanlah hal yang urgen disini? Untuk menjawab problem ini mau tidak mau harus dikembalikan pada obyek teori susastra yang dalam hal ini adalah sastra itu sendiri.


Kembali ke Teori Sastra

Sejarah teori susastra adalah sejarah interpretasi dan pembacaan yang berubah-ubah akibat justifikasi atas sastra dan kesusastraan yang selalu berubah pula. Tetapi terma ‘teori susastra’ disini lebih ditekankan pada “kaedah-kaedah dan asumsi atas watak dan fungsi karya sastra.” Salah satu asumsi adalah, teori sastra lebih merupakan perkembangan dan aplikasi dari teori-teori umum (seni, bahasa dan sturktur bahasa, budaya, politik, sejarah, psikologi, ekonomi, wacana gender dan sebagainya) untuk membaca karya sastra baik atas dasar interest atau bertujuan kritik. Thus, teori sastra berevolusi dengan adanya percobaan konsep, terminologi dan paradigma yang mewujud sebagai aktifitas intelektual. Pertalian ini kemudian berkontribusi pada pembidangan teori susastra sebagai sebuah disiplin ilmu. Dalam studi kesusastraan, pada awalnya disiplin ini berkonsentrasi pada: 1) Kriteria dan batas-batas kritik sastra, 2) sasaran karya sastra yang terlingkup dalam konteks sosio-historisnya. Berkenaan makna dan signifikansi lahiriah teks, teori susastra tidak memiliki wewenang atas itu, melainkan hanya prinsip dasar dan asumsi dalam melakukan suatu pembacaan. ‘Kebenaran’ yang ada pada karya sastra tetap kembali pada pengalaman historis yang menciptakan ‘pengarang’ dan ‘pembaca’. Seperti halnya sastra, teori susastra akan menelurkan efek suatu konteks historis sekalipun teori tersebut ahistoris; ide yang diterima, tradisi intelektual, konferensi akademik, seperti halnya relasi sosial-politik. ‘Keistimewaan’ sebuah teks sastra bukan lagi dilihat dari esensi yang dikandung, tetapi dari pembacaan teoritis yang koheren.

Baru pada paruh akhir abad 20, dalam teori susastra dicetuskan pendekatan baru untuk menganalisa karya sastra dan teks-teks mengenai sosial-budaya yang diklaim sebagai literatur humaniora atau ilmu pengetahuan sosial yang kini ‘dibaca’ sebagai karya sastra. Tren ini menjebol dinding yang menyekati antara tiap-tiap disiplin ilmu. Sebuah terobosan yang menghantar para akademisi pada sharing antar teori dan interpretasi praktis serta membentuk lapangan kajian yang interdisipliner. Michael Foucault, Roland Barthes, Julia Kristeva dan Pierre Bourdieu dijunjung sebagai kontributor besar dalam menciptakan kajian interdisipliner ini dalam formasi budaya yang kompleks dalam suatu pengetahuan yang tidak memungkinkan jika dipandang melalui satu perspektif disiplin ilmu. Pun begitu perlu dicatat bahwa Interdisiplinaritas ini mengharuskan adanya relasi antara kombinasi, persentuhan, titik temu dan penyilangan antara masing-masing disiplin.

Dengan demikian, teori susastra dengan sedikit modifikasi bisa diaplikasikan dalam aspek kebudayaan yang luas, karena teks sastra, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari paparan diatas, tidak hanya berupa karya sastra; ia bisa berupa apapun yang dapat bisa dijadikan obyek interpretasi. Film, iklan, video game, internet, komposisi musik, fashion, sejarah, sepak bola dan apapun juga, bisa ‘dibaca’ seperti karya sastra. Ambivalensi teks kesusastraan secara efektif mengagitasi teori susastra untuk mendobrak pagar yang membatasinya; sebuah imbas dari ulah poststrukturalisme yang membuat pisau analisa teori susastra dapat digunakan untuk membedah berbagai variasi disiplin ilmu. Ketika pengkaji sosial (umpamanya) mengadaptasi teori susastra untuk membaca teks non-sastra, mereka akan memodifikasi metode dan strategi interpretasinya untuk disesuaikan dengan sistem obyek kajiannya. Tak lupa pula, Cultural Studies kurang lebih di tahun 1980 ikut serta meramaikan dialektika interdisiplinaritas ini. Tidak lain kekayaan dan keluwesan interpretasi yang merupakan prinsip dasar teori susastra inilah yang merevolusi cara pandang kontemporer dalam menginterpretasi segala bentuk aktifitas dan produk sosial-budaya.




0 comments:

Cerpen Cinta Penuh Inspirasi

Cerpen cinta penuh inspirasi kali ini akan menyajikan sebuah cerpen yang bernuansa romantisme dan perjuangan cinta. Dengan menulis cerpen anda akan bebas berekspresi dan bebas mengungkapkan segala kegundahan hati. Cerpen merupakan media bagi para pecinta dunia tulis.Karena mereka percaya bahwa dengan menulis cerpenlah mereka ada.

Silahkan baca cerpen cinta di bawah ini dengan seksama. Dan semoga ada sepenggal kisah yang bisa memotivasi anda dalam setiap kehidupan anda. Cerpen yang pertama akan bercerita tentang cinta yang tak nyata. Selamat membaca




Praha Dan Sebuah Lukisan

Sudah lama aku tidak merasakan rasa ini. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir aku merasa tertarik dengan wanita. Semenjak penghianatan yang sangat memalukan itu, aku benar-benar tidak bisa percaya lagi dengan wanita. Aku lebih memilih mengasingkan diri ke kota lain. Aku senang dengan Praha. Kota tua yang eksotis. Di sana aku merasa seperti orang bohemian abad kesembilan masehi. Di sana pula aku bisa menulis sepuas hatiku. Tak ada lagi urusan pemerintahan yang perlu aku tangani. Tak ada pula urusan bisnis yang perlu aku kerjakan. Temanku kini hanya buku diary dan sebuah pena. Aku lebih suka menulis di atas kertas dari pada di komputer. Setidaknya bau kertas dan tinta terus merangsangku untuk terus menulis.

Akhir pekan kemarin menjadi sebuah titik perubahan dalam kehidupanku. Setelah bertahun-tahun aku menanggung derita cinta, kini aku justru merasakan cinta itu lagi. Terasa indah namun sedikit absurd. Kali ini anda salah tebak jika menganggap aku baru saja bertemu dengan wanita.

Sebuah pameran lukisan di salah satu sudut Praha menjadi awal semuanya. Aku bertemu dengan sebuah lukisan indah di salah satu pojok ruang pameran. Warnanya berpadu indah walau sangat sederhana. Kurasa pencampuran warnanya tidak terlalu rumit. Goresannya pun tidak terlalu muluk-muluk. Semua dari lukisan itu nampak natural. Dan aku jatuh cinta pada seorang gadis yang ada di dalam lukisan itu. Dia berkerudung hitam, wajahnya sendu dan damai, sorot matanya tajam menelanjangi siapa saja yang beradu tatap dengannya.

Pasti tidak akan ada yang percaya kalau aku masih waras saat aku bilang aku jatuh cinta pada lukisan itu. Namun setidaknya aku bahagia dipertemukan takdir dengan sosok perempuan yang ada di dalam lukisan itu. Sosok itu begitu damai dan teduh. Aku merasa ada kenyamanan tingkat tinggi jika menghabiskan waktu bersama perempuan itu. Dan tentunya aku tidak akan pulang kecuali membawa lukisan itu. Setelah membelinya aku seperti mendapat isteri baru.

Di flat lukisan itu aku pajang di kamar tidurku. Aku yakin dia akan selalu terjaga saat aku tertidur, dan dia selalu mengawasiku bahkan ketika aku berganti pakaian sekalipun. Dia telah masuk ke dalam wilayah hidupku yang paling pribadi. Seperti yang aku prediksikan, gadis dalam lukisan itu telah membuat kehidupanku lebih nyaman bahkan sangat nyaman. Aku rasa aku sudah tidak perlu lagi mencari sosok manusia berlabel wanita. Gadis dalam lukisan itu sudah segalanya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, aku semakin mencintai gadis itu, aku pun memberinya nama Shara. Aku yakin aku akan bahagia dengan Shara. Biar apapun kata orang padaku. Hidup dengan Shara selalu jujur, tidak ada kebohongan dan penghianatan. Dia setia dan aku pun demikian. Mungkin seperti inilah sampel pasangan ideal menurut nalarku walau banyak yang meragukan kewarasanku.

Sore di akhir pekan ini aku ingin menikmati secangkir Cappuccino ditemani alunan Jazz yang mengalun indah dari pemusik-pemusik indie. Dalam pada itu rasa kesepian melilitku dengan amat sangat. Shara tidak bisa ikut denganku menghabiskan akhir pekan ini. Aku merenung sendiri sementara hatiku ada di rumah memeluk Shara kuat-kuat. Namun aku juga malas untuk berada di flat berdua dengan Shara tanpa bisa melihat pertujukan musik Jazz di pinggiran sungai Vltava.

Tengah asik aku dibuai alunan jazz mataku tiba-tiba menangkap bayangan seorang perempuan yang rasanya aku sangat mengenalnya.

“Shara?” bisikku pada diriku sendiri.

Aku mencoba mengejar perempuan itu. Dia berjalan cukup cepat. Aku harus sedikit mempercepat jalanku agar jangan sampai kehilangan jejaknya. Sementara fisikku terus berburu sosok perempuan itu, otakku terjebak dalam dua dimensi yang sangatlah berbeda. Maya metafisika dan realitas material. Perempuan itu benar-benar seperti Shara. Aku tidak mungkin salah. Tapi bagaimana Shara bisa keluar dari dalam lukisan?

“Shara!!” kali ini suaraku keras memanggil perempuan itu. Sementara itu dia semakin tidak peduli. Dia tetap pada jalannya. Dia berjalan semakin cepat. Kakinya yang jenjang berjalan lincah dengan balutan sepasang bot hitam berhak tinggi.

Aku terus mengejarnya hingga akhirnya aku sampai di sebuah lobi hotel. Dia dijemput seorang lelaki berjas hitam. Nampaknya dia kekasihnya. Namun lelaki itu lebih pantas jadi ayahnya. Dari roman mukanya lelaki itu berumur sekitar setengah abad lebih. Dan perempuan muda yang aku klaim sebagai Shara nampaknya tidak lebih dari dua puluh lima tahun.

Aku urung untuk memanggilnya kembali. Aku merasa bukan apa-apanya gadis itu dan tidak ada hak bagiku untuk mencegah langkahnya. Gadis itu pun lenyap ditelan sebuah lift yang membawanya entah ke lantai berapa. Aku sendiri meninggalkan lobi hotel dengan sejuta rasa penasaran. Siapa gadis itu? Apakah dia benar-benar Shara? Gadis itu hidup di alam nyata, sementara Shara adalah gadis imajiner yang aku buat sendiri dengan inspirasi sebuah lukisan.

Tapi gadis itu benar-benar mirip dengan gadis imajiner yang ada dilukisan itu. Semua benar-benar mirip kecuali tidak adanya kerudung yang menutupi rambutnya. Gadis yang baru saja aku lihat tidak memakai kerudung dan pakaiannya cukup terbuka, sementara gadis imajiner yang ada di lukisan memakai kerudung dan berbaju rapat ala gadis-gadis muslim. Apakah gadis itu adalah model dari lukisan itu? Absurd.

Esok harinya aku berniat mencari sang pelukis lukisan itu. Aku ingin bertanya siapa model dari lukisan itu? Apakah hanya imajiner sang pelukis ataukah benar-benar menggunakan model? Jika benar menggunakan model aku ingin bertemu dengan modelnya itu. Dan dengan begitu aku bisa memecahkan misteri antara gadis itu dan gadis berkerudung yang ada di lukisan itu.

Sudah lama aku tidak merasakan semangat hidup seperti sekarang. Semua nampak cerah dan memancarkan harapan. Aku rasa aku sudah tersesat di antara tautan beberapa dimensi. Aku tenggelam ke dalam imajinasiku sendiri namun aku terseret oleh kenyataan yang tiba-tiba menghadirkan sebuah paparan absurd yang membuat sudut pandangku tentang dunia berubah beberapa derajat kiranya. Yang jelas dan yang pasti aku menemukan kembali kerinduanku. Seperti dulu saat pertama aku mengenal perempuan.

@@@

Panitia pameran menunjukkan padaku sebuah alamat. Sebuah desa yang cukup jauh dari Praha. “Kau akan menemui seorang pelukis tua di sana.” Kata seorang pantian pameran yang berhasil aku temui. Dengan sebuah Land Cruiser aku pergi ke sana. Menempuh lima jam dari kota Praha akhirnya aku sampai di sebuah desa sejuk. Penduduknya rata-rata adalah petani barley (semacam sereal). Setelah bertanya kepada penduduk setempat sejam kemudian aku baru menemukan rumah sang pelukis lukisan gadis berkerudung itu.

Aku baru tahu ternyata dia berprofesi sebagai petani barley juga. Melukis hanya hobinya. Dia mengikutsertakan lukisannya itu atas saran salah seorang kerabatnya. Dan kebetulan lukisan itu dibeli olehku. Sejak aku membelinya baru kali ini aku melihat langsung pelukis lukisan itu. Panitia pun dulu bilang cuma lukisan itu yang tidak didampingi oleh pelukisnya. Wajar, untuk ke Praha dia mungkin harus menjual separuh hasil panennya. Namun beruntung lukisannya terbeli olehku dengan harga lumayan tinggi, sepuluh ribu Koruna. Namun tak nampak Pak Tua itu gembira dengan penjualan lukisannya. Di rumahnya sama sekali tidak ada perabot yang mewah kecuali sebuh televisi hitam putih tua berukuran empat belas inci. Lantas kenapa Pak Tua itu tidak membelanjakan uang hasil penjualan lukisan itu?

“Sungguh lukisan itu hanya berasal dari imajinasiku saja. Aku tidak punya model untuk membuat lukisan.” Begitu jawabannya saat aku tanya soal model lukisannya yang telah aku beli.

“Tapi beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang gadis dan dia sangat mirip dengan sosok yang ada di dalam lukisan itu.” Aku mencoba menyudutkan.

“Ya mungkin saja hanya kebetulan anak muda. Dunia ini kan penuh dengan kebetulan. Iya kan?”

“Tapi apa kau tak tahu sama sekali perihal gadis yang kau lukis itu?”

“Yang aku tahu hanya melukiskan apa yang ada di dalam khayalanku.” Kali ini Pak Tua itu menjawab dengan lebih tegas. Aku sendiri menyerah menanyainya soal jati diri perempuan di dalam lukisan itu.
Aku hendak pergi kala dia mencegahku dengan sebuah kalimat “Dulu aku punya anak gadis kecil.”
Aku berhenti melangkah dan berbalik lagi dengan raut muka berisyaratkan tanya.

“Kami adalah keluarga muslim, mengungsi dari Bosnia menuju Ceko. Kami terusir dari negeri kami karena sebuah peperangan yang seharusnya tak perlu ada. Peperangan yang kental aroma ambisi namun diatasnamakan kesucian.”

Pak Tua itu tertegun sejenak. Aku sendiri hanya bisa mengikuti nuansa sendu dan melankolis itu dengan melempar tatapan kosong ke tanaman barley yang sedang ranum di sawah depan rumah Pak Tua itu.
“Lalu anak gadismu itu?” tanyaku.

“Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Dan jika dia masih hidup tentu dia sudah menjadi gadis dewasa seperti gadis yang ada dilukisan yang kau beli itu.”

“Jadi gadis yang ada di lukisan itu adalah imajinasimu tentang rupa anakmu, lantas dimana dia sekarang?”

“Ya begitulah. Dia meninggalkan aku sejak dia masih berumur sepuluh tahun. Dia ikut dengan ibunya ke Praha.”

“Kalau boleh tahu kenapa mereka meninggalkan dirimu seorang diri?”

“Karena aku miskin.”

“Hanya karena itu?”

Pak Tua itu mengangguk sambil tersenyum. Kurasakan ada guris perih yang terbuka lagi. Aku merasa bersalah telah mengungkit masa lalunya. Tentu nasibnya tidak jauh beda denganku. Bedanya dia ditinggalkan isteri dan anaknya karena miskin, sedang aku ditinggalkan hanya karena aku tak mampu memenuhi kebutuhan biologis isteriku. Namun hakikatnya sama perihnya.
“Maafkan aku yang sudah mengungkit masa lalumu.”

“Oh tidak, sungguh tidak. Kau punya hak untuk tahu karena kau telah membeli lukisan itu.” Kata Pak Tua itu sambil terkekeh. Sepertinya dia sudah tidak menganggap luka itu sebagai sebuah kesakitan. Tidak seperti aku yang masih mengutuki diri dengan segala kelemahan diriku sebagai penyebab luka masa laluku.

“Kalau boleh kutahu siapa nama anakmu itu?”

“Shara.”

Konyol rasanya. Nama itu sama dengan nama yang aku berikan kepada gadis di dalam lukisan itu. Oh benarkah dunia ini penuh dengan kebetulan?

Aku kembali ke Praha dengan perasaan yang kacau balau tidak karuan. Aku ingin sedih mengetahui realita di balik lukisan itu tapi juga lega karena telah menemukan jawaban dari sebagian pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaranku. Sesampai di Praha aku kembali menghabiskan waktu dengan menulis, menatap sedih lukisan yang aku beri nama Shara, nama yang sama dengan nama anak gadis si Pak Tua itu.

Sore sudah hampir habis ketika aku duduk menikmati secangkir cappucinno di café pingiran sungai Vltava. Aku melihat matahari sudah lelah menyinari daratan Eropa. Cahayanya yang nampak murung ditingkahi awan-awan kecil yang berkejaran. Aku sejenak tenggelam dalam putaran otakku. Aku masih mencoba mengkompromikan antara fakta dan imajinasi. Namun lagi-lagi faktor kebetulan menjadi penengah di antaranya. Sungguh membuatku sangat tidak puas. Kejadian-kejadian dalam hidupku seperti sebuah skenario yang sudah selesai ditulis namun belum kutahu akhirnya. Dan setiap kejadian menjadi seperti slide yang diputar dan menawar misteri-misteri yang rumit.

Saat aku tengah berdiskusi dengan otak, hati, dan naluriku, mataku kembali menangkap sekelebat sosok yang kemarin aku kejar. “Shara?” bisikku. Benarkah itu Shara? Benarkah itu gadis multi-dimensi yang telah mendorongku untuk pergi ke sebuah desa yang jauh di pelosok Ceko?

Aku pun mengejarnya. Aku harap pertanyaan terakhirku bisa terjawab dengan bisa bicara langsung pada gadis itu. Aku pun mengejarnya. Kali ini tidak terlalu susah mengejarnya karena dia berjalan pelan. Aku pun berhasil menghentikan langkahnya. Dia tersenyum ramah padaku. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, dan pupil matanya hitam layaknya wanita asia. Oh sempurna sekali gadis ini.

“Apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?” tanya gadis itu.

“Pernah namun kita tidak sampai berkenalan. Saat itu kau sudah harus masuk ke hotel dengan pacarmu.”

“Pacar?”

“Ya mungkin begitu.”

“Aku tidak pernah punya pacar.”

“Lantas lelaki yang membawamu ke dalam hotel beberapa hari yang lalu itu?”

“Itu langgananku.” Jawaban lugas dan begitu polos. Aku sendiri hanya bisa tersenyum. Ternyata dia seorang pelacur.

Akhirnya aku bawa dia ke flatku di sebuah apartemen mewah di tepian sungai Vltava. Dia kagum dengan flatku. Walau pun dia sering menginap di hotel mewah namun dia belum pernah diajak tidur di sebuah flat pribadi.

Aku pun menunjukkan lukisan karya Pak Tua si petani barley kepada gadis itu. Dia seperti baru saja diperlihatkan foto dirinya. Namun wajahnya masih nampak datar walau sempat bilang “wow” padaku.

“Imajinasimu hebat. Aku belum pernah secara sengaja menjadi modelmu namun kau bisa melukis diriku dengan sempurna.” Komentar gadis itu tentang lukisan itu.

“Bukan aku yang melukis.”

“Lantas?”

“Seorang Pria Tua petani barley di pinggiran Ceko adalah pelukisnya.”

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Nampak dia tidak tertarik lagi untuk mengetahui sang pelukis lukisan itu. Dia pun menuju kamar mandi dan beberapa menit kemudian keluar dengan hanya memakai pakaian tidur. Aku rasa dia sudah tidak mengenakan apapun kecuali pakaian tidur itu. Dia pun duduk di bibir ranjang dengan menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Tungkai dan sebagian pahanya nampak terbuka. Cukup menggoda. Apalagi saat dia melempar sebuah senyuman khas pelacur. Nuansa erotis pun berhasil dia ciptakan.

“Aku seorang pelacur, tugasku hanya menghibur dan memuaskan nafsu pengguna jasaku. Jadi tunggu apa lagi? Bersenang-senanglah malam ini.” Kata gadis itu menggodaku.

“Aku bebas melakukan apa saja bukan asal aku membayarmu?”

Dia menjawab dengan anggukan tak ketinggalan, senyumnya yang menggoda.

“Kalau begitu kau tidurlah dulu aku belum mau melakukan apapun di saat hari masih cukup sore begini.” Aku mencoba beralasan untuk menutupi segala kelemahan diriku sendiri, aku memang seorang penderita lemah syahwat.

“Baiklah jika itu maumu. Aku tidur dengan telanjang, jika nanti kau sudah siap kau boleh langsung melakukannya tanpa harus membangunkanku.”

Kali ini aku yang mengangguk tanda mengiyakan.

Malam mulai merambat naik di kota Praha. Sungai Vltava nampak memantulkan sinar rembulan yang purnama. Lampu-lampu penerang jalan juga terefleksi di permukaan airnya yang jernih bak cermin. Aku duduk di sebuah kursi goyang sambil menatap tubuh pelacur yang belum sempat aku tanyai namanya. Mungkin begitulah dunia pelacur, identitas tak seberapa penting, yang penting adalah uang dan kepuasan. Aku tak bisa membayangkan berapa lelaki yang sudah meniduri gadis ini. Malang benar, kecantikan yang seharusnya tidak bisa diharga dengan apapun, kini justru tergadai dengan harga yang murah.

Sesekali aku berpaling ke arah lukisan itu. Lukisan yang menggambarkan sosok gadis dari keluarga Muslim lengkap dengan kerudungnya. Gadis itu menebarkan harmoni indah dalam penglihatankan. Kudapatkan sebuah keteduhan yang tiada duanya. Aku bahkan seperti melihat surga dalam sosok itu.
Berbalik arah saat aku kembali memandang gadis pelacur yang tidur telanjang di atas kasurku. Dia cantik namun hanya membiaskan nuansa erotis birahi saja. Walau dia sangat mirip dengan gadis yang ada di lukisan itu namun dia tetaplah tidak bisa menghadirkan keteduhan seperti yang dipancarkan oleh gadis dalam lukisan itu. Namun melihat tidurnya rasa ibaku terbangkitkan. Wajahnya yang begitu menggoda kala terjaga berubah menjadi wajah polos yang seakan tidak punya dosa. Seharusnya gadis itu bisa merasakan cinta, kedamaian, dan kebahagiaan dalam hidupnya. Kenapa dia harus berjuang sendiri di atas dunia ini? Apakah tidak ada lelaki yang peduli padanya. Apakah para lelaki hanya melihat elok tubuhnya saja sementara mereka melupakan hakikat sejati dari gadis itu, yaitu wanita?

Aku pun tertidur terlelap terbuai mimpi di atas kursi goyangku. Aku masuk ke dalam dimensi lain dari hdiup ini. Inilah dimensi paling ideal, setidaknya menurutku. Setelah merenungi makna cinta, birahi, dan kebahagiaan, aku akhirnya terlempar ke dunia paling sempurna yang menghilangkan semua aturan dan hukum sebab akibat. Itulah mimpi.

“Jangan bergerak!!!” suara gertakan keras khas polisi membangunkanku. Barusan tadi aku merasakan damai yang tak terkira di alam mimpi, lantas kini aku dihadapkan pada mozaik paling keras dalam kehidupan manusia. Aku dituduh membunuh dan korbannya adalah gadis pelacur yang tidur di ranjangku. Aku yang merasa tidak melakukan apa-apa pun mengelak dari tuduhan itu. Namun sebuah paparan nyata di depanku membuatku diam seribu bahasa. Pelacur itu sudah mati bersimbah darah dengan luka tusukan di sekujur tubuh tak terkira banyaknya. Sementara lukisan gadis berkerudung itu sudah hancur tercabik-cabik. Aku hilang kesadaran. Aku kehilang dua dimensi yang selama ini menemaniku. Cinta dan syahwat kini sudah tidak lagi memperebutkanku. Mereka berdua sudah memilih jalan masing-masing. Dan aku ditinggalkan begitu saja dan dibiarkan diborgol petugas kepolisian.

"Bila sudah lelah mencintai kenyataan maka cintailah khayalanmu sendiri..."


Untuk Kamu Ayunda Venezia

Aku pergi. Maaf. Aku harus angkat kaki dari kenyamanan dan kenyataan. Aku tak lagi seperti dulu. Makasih atas semua yang pernah kau lukis dalam hari-hariku. Itu sesuatu yang tak akan pernah dapat terlupakan, dan aku tak akan bisa membalas itu semua. Canda tawa, senyum sinis, riak-riak kecil kecemburuan, semuanya adalah hal yang tak akan mudah tercecer di sepanjang perjalanan. Tapi sesuatu telah terjadi, dan aku dihadapkan pada dua pilihan. Mengikuti aliran konservatisme, yang aku sendiri muak telah sekian lama berada di dalamnya, atau terbang bebas, dengan resiko terjatuh jauh sewaktu-waktu.

Aku memilih yang kedua, itu alasan jelas mengapa aku meninggalkanmu. Karena mulai hari ini aku terlanjur memasuki dunia imajiner, aku tak ingin kau terbawa kesana. Itu dunia percobaan, yang sewaktu-waktu bisa mengamuk tanpa sebab yang jelas. Kamu terlalu sempurna. Aku tak ingin memberimu harapan yang hanya sebatas harapan, dan kenyataannya aku belum bisa melangkah kemana-mana. Aku meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi sayang sama kamu. Justru itu karena aku tak mau kamu kenapa-napa. Aku selalu mendoakan kamu tetap dalam keadaan baik di luar sana.

Sekali lagi maaf, kalau selama ini aku hanya menjadi "iklan" dalam hidupmu. Aku belum mampu memberi yang terbaik. Aku belum bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Sebaliknya, kau telah memberikan pengaruh besar dalam hidupku. Berkali-kali kau menerbitkan secercah asa dalam pekat kegelapanku. Dan aku akui, itu semua karena aku, bahkan sampai detik ini, masih labil. Kau menunjukkanku arti kedewasaan, perjuangan, ketahanan hidup, apapun. Kalau aku boleh bilang dengan bahasaku sendiri, itu bukan sekedar "survive", tapi "life yang sesuangguhnya". Sayangnya aku belum bisa melakukannya. Bodoh ya aku?.

Satu lagi, aku bukan seperti yang kamu lihat. Dulu aku memang agak berkarakter. Tapi pelan-pelan aku melemah tertelan waktu. Masih banyak hal-hal yang kamu tidak tau tentang aku, karena memang aku tak ingin seorangpun tau. Putaran roda kehidupan menghadapkanku pada pilihan yang dilematis. Aku tau kamu pastinya tak ingin sesuatu seperti ini terjadi. Tapi dunia terlanjur mempunyai hukumnya sendiri. Jikapun akhirnya kita harus berjalan sendiri-sendiri, mungkin takdir sedang menuntun kita untuk menapak arah yang lebih baik. Aku sendiri tak tau apa yang akan terjadi nanti, besok, besoknya lagi, dan seterusnya.

Sudahlah. Biarkan mozaik-mozaik kisah kita tersimpan rapi di bawah debunya masing-masing. Aku tak mau berandai-andai. Ini soal realistis atau bukan. Bukankah kamu yang dulu mengajarkan untuk tetap berpikir realistis dalam keadaan apapun. Aku pergi, tanpa meninggalkan kebencian sedikitpun. Karena aku pergi bukan karena mencari kesenanganku sendiri. Tapi aku beranjak lebih karena aku tak ingin melukai atau mengecewakan orang-orang yang ada di sekitarku, orang-orang yang menyayangiku. Biarlah aku karam dalam lautan takdirku sendiri. Sekali lagi, maafkan aku.

Karya : Luqman el hakim


    Teruntuk Selma Azlic

Aku rindu kamu. Aku rindu canda tawamu yang memecah keheningan. Aku rindu celotehanmu yang mengusir kepenatan. Apa kau di sana baik-baik saja?, aku harap begitu, atau lebih dari itu. Aku rindu senyummu yang kadang setengah sinis itu. Aku rindu kau menertawakan kebodohanku, lalu kau mengajariku dan ternyata kamu sama-sama bodohnya, lalu kita tertawa lepas seolah-olah tak ada orang lain yang memperhatikan. "kalau ada yang terganggu, nanti tinggal minta maaf aja", ucapmu enteng.

Aku rindu kamu. Aku rindu semua tentang kamu, kau tau itu?. Setiap jengkal lantai yang pernah kau injak, masih ada tandanya disini. Bahkan mereka masih tertata rapi. Setiap waktu setiap saat dirimu berdansa di dalamnya. Dansa yang aku anggap ramai, bahkan ketika orang lain sedang di cekam ketakutan sekalipun. Jejak-jejak yang pernah kau lalui, kursi dimana kita terbiasa duduk santai di atasnya, menjemput senja, mengantar matahari pulang ke peraduannya, semua masih sama. Bahkan meja yang tempo dulu pernah kau tumpahkan kopi pekat padanya, hari ini bekasnya masih tertera.

Aku merindukanmu. Apa kabarmu sekarang?. Sedang apa?. Masih ingat aku-kah?. Kalau tak bersamaku, kamu bersama siapa?. Masih suka mengagetkan dengan menepuk bahu-kah?. Lantas siapa sekarang yang kamu kagetkan?. Dandananmu masih serapi dulukah?. Apa ada yang berubah dengan dirimu?. Sedewasa apa kau sekarang?. Masih semangat seperti dulu, atau malah tambah enerjik lagi?. Kurang lebih pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang menggelayut dan rela antri ribuan kilometer untuk disampaikan padamu, yang entah lewat mana aku harus melayangkannya. Aku tak tau. Jujur aku kembali buram semenjak kepulanganmu. Tapi pada suatu waktu, seseorang harus kembali ke asalnya masing-masing bukan?.

Tapi sampai sekarang ada yang belum hilang. Di sini (menunjuk dada). Ada yang masih membekas. Ada banyak memori yang tertinggal. Mengapa tak sekalian kau membawanya pergi jauh?. Mengapa kau meninggalkannya?. Mengapa?. Kau pernah hadir dalam hidupku, cukup lama. Sampai-sampai, kala itu, aku sangat terbiasa denganmu, dan tak pernah mampu memikirkan apa jadinya kalau kita harus terpisah satu sama lain. Ah, kala itu, kalau membicarakan tentangnya tak akan berujung. Air mukamu saja itu sudah cukup mampu memadamkan api emosi yang entah seberapa besarpun kobarannya. Kau bukan orang sombong, tapi kau tak pernah menghindar dari tantangan. Kau banyak mengajariku tentang bagaimana cara menganyam molekul-molekul kehidupan, sehingga menjadi satu kesatuan yang indah dan berwarna, atau apalah, aku bahkan tak menemukan diksi yang tepat untuk menyebutnya.

Apapun itu, aku merindukanmu. Kau pernah meramaikan hidupku. Kita pernah dekat, sangat dekat, lebih dari sekedar sahabat, entah apa pastinya, itu juga aku tak tau. Yang jelas, di saat aku sedang terlempar ke dalam zona paling naif seperti sekarang ini, dimana aku sama sekali tak bisa membangkitkan motivasi dari diriku sendiri, aku selalu membayangkan kau sedang duduk di sampingku, mengumbar senyum dan berucap singkat, "kehilangan orang yang kita sayangi itu adalah bagian dari hidup. Kamu harus bisa menghidupkan duniamu sendiri, dan aku yakin kamu pasti bisa".

Karya : Luqman el hakim

Semoga cerpen diatas, bermanfaat bagi sahabat semua

0 comments: