Makalah Pendidikan Seputar Manusia Dan Problem Pengetahuan

Makalah Pendidikan kali ini akan membahas Seputar Manusia dan Problem Pengetahuan.Semoga makalah yang kami sajikan ini dapat bermanfaat bagi laju peradaban dan pengetahuan generasi muda Indonesia

Manusia dan Problem Pengetahuan

Immanuel Kant, filosof brilian berkebangsaan Jerman, sempat kagum memandang posisi manusia dalam proses pencarian pengetahuan. Dalam magnum opus-nya, Critique of Pure Reason, dengan jenaka ia berseloroh bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang membingungkan; ia tak mau sekedar disebut bodoh atau tak berpengetahuan. Apesnya ia selalu memunculkan pelbagai pertanyaan yang tak semuanya bisa dijawab sendiri.[1]

Dalam perbincangan filsafat, selalu ada tiga komponen yang dilibatkan: Tuhan, manusia dan alam semesta. Ketiga komponen ini menjadi objek yang tiada henti untuk dieksplorasi sedalam-dalamnya. Meski dalam babakan sejarah, khususnya Islam, selalu saja ada resistensi sebagian sarjana untuk berusaha mengeliminasi komponen Tuhan dalam perbincangan filsafat, namun toh filsafat metafisika selalu saja mengemuka. Argumen mereka, yang sejatinya demi meneguhkan kekudusan Tuhan, selalu sama. Yakni, dengan “memfilsafatkan” Tuhan seolah kita sedang masuk ke dalam ranah yang tak pernah benar-benar kita yakini kebenarannya; terlalu banyak yang absurd dalam metafisika. Dengan ini, seolah mereka ingin melempangkan jalan bagi dominasi wahyu sebagai satu-satunya perangkat mengenali Tuhan. Hadits Nabi, “Renungi alam semesta, jangan kau pikirkan Zat Tuhan!” menjadi senjata paling ampuh memberangus filsafat ini.

Namun, statemen Aristoteles yang berangkat dari observasi sempurna di masanya agaknya meruntuhkan anggapan ini. Ia bersikukuh bahwa manusia selalu punya potensi berfilsafat dalam dirinya. Mengapa? Karena filsafat adalah kecenderungan alami untuk mempertanyakan “lingkungan” di sekitarnya, bagaimanapun caranya.[2] Ini mengapa filsafat selalu terdefinisikan sebagai al-bahts ‘an al-wujûd min haits huwa al-maujud: membahas eksistensi dari sisi ia ada. Dan ini adalah penegasan bahwa bidang filsafat selalu universal: mencakup segala hal, termasuk Tuhan! Tegasnya, sebagai makhluk yang berakal, manusia akan selalu berpotensi memikirkan segala hal, dan ini adalah legitimasi filsafat dalam diri manusia.

Dalam babakan sejarah Eropa, ada masa ketika akal manusia coba diberangus dengan kuasa agama. Kita kemudian mengenal The Dark Age yang selalu mengilustrasikan bagaimana dominasi gereja demikian menggurita sehingga membantai banyak ilmuwan yang “terpaksa” mempertanyakan otoritas gereja. Saya katakan terpaksa, karena sedari awal saya meyakini bahwa manusia, sebagai makhluk yang berakal, selalu otomatis mempertanyakan wacana yang ia terima, benar-tidaknya, tepat-salahnya. Dengan kata lain, tak ada kuasa manusia untuk menghindarkan dirinya dari memikirkan lingkungannya. Terlebih wacana gereja ini coba dipaksakan dan bertentangan dengan fakta di lapangan.

Babakan sejarah itu kemudian berbalik menjadi gerakan antitesisnya. Eropa masuk panggung sejarah humanistic periode. Berawal dari Italia, setelah Konstantinopel (sekarang Istanbul) dikuasai Dinasti Ottoman, para sarjana menggiatkan kembali tardisi berfilsafat Yunani. Sebagai gerakan perlawanan, tentu menyimpan getirnya. Kelompok ini kemudian antipati pada agama yang telah mengkebiri akal sehat mereka. Mereka ateis. Bahkan untuk mengakui eksistensi Tuhan, yang sejatinya diam-diam mereka terima, pun mereka enggan. Seolah Tuhan, yang tak bersalah dalam hal ini, harus menjadi “korban” kesalahan manusia dalam menyampaikan pesan-pesan ketuhanan. Ini ekses buruk pengajaran agama yang salah. Ini mengapa ajaran agama harus selalu tersampaikan sesuai dengan akal.


Benar, saat itu harga diri manusia kembali utuh. Tapi problem tak berhenti. Humanisme, sebagai gerakan mengagungkan kembali posisi manusia sebagai makhluk berakal, hanya berhasil menjadi persiapan masuknya gelanggang baru dalam sejarah Eropa: rennaissance. Selebihnya gagal. Kurang lebih ini yang disampaikan Michel Foucault. Ia melanjutkan:

              “.. they were not able to conceive of man. Man, in the analitic of finitude, is strange empirico-transcendental doublet, since he is a being such that knowledge will be attained in him of what renders all knowledge possible. But did not the human nature of the eighteenth–century empiricist play the same role? In fact, what was being analysed then was the properties and forms of representation which made knowledge in general possible (it was thus that Condillac defined the necessary and sufficient operations for representation to deploy itself as knowledge: the reminiscence, self-conciousness, imagination, memory); now that the site of analysis is no longer representation but man in his funitude, it is a question of revealing the conditions of knowledge on the basis of the empirical contents given it.”[3]                                

Humanisme Kebangkitan tak mampu memahami manusia. Manusia, dalam analisa terbatas, adalah pasangan aneh antara empirik dan transendental, karena ia adalah makhluk yang membuat setiap pengetahuan menjadi mungkin dalam dirinya. Tetapi, bukankah kondisi abad-18 juga memainkan peran ini? Faktanya, apa yang telah dianalisis di sana hanyalah perangkat dan bentuk-bentuk kehadiran yang semata membuat pengetahuan secara umum jadi mungkin (karena itu Candillac, seorang filosof Perancis yang concern dalam bidang psikologi, menawarkan proses yang memadai dan penting bagi sebuah kehadiran agar membuatnya sebagai pengetahuan itu sendiri, seperti kenangan, kesadaran diri, imajinasi, memori). Sekarang tak cukup hanya semacam itu. Analisa seputar manusia tak lagi hanya sebuah kehadiran, tapi manusia dalam keterbatasannya itu sendiri. Ini sebuah pertanyaan demi mengungkap prasyarat sebuah pengetahuan dalam basis fakta empirik yang mengitarinya.

Dengan kata lain, Foucault, si jenius itu, pun mengakui bahwa Humanisme dan Renaissance sebagai sebuah kesatuan dalam gelanggang menggapai pengetahuan belum finis. Ia masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Paling krusial tentunya tentang manusia yang seharusnya Humanisme, sebagai gerakan yang bukan hanya mengembalikan harkat manusia sebagai makhluk berakal, melainkan juga seharusnya mampu memberikan gambaran utuh seputar manusia dan memahaminya, mampu menjawabnya. Nyatanya tidak! Ia bahkan melanjutkan bahwa pengetahuan, termasuk seputar manusia dan posisinya, harus mampu didasarkan pada fakta empiris. Itu tuntutan masa sekarang katanya.

Usaha memanusiakan manusia ini akhirnya memberikan ide segar untuk mencetuskan human science. David Hume, filosof kawakan Skotlandia, dianggap tokoh pertama yang menggelontorkannya dalam karya A Treatise of Human Nature. Namun idenya absurd karena mencoba memahami manusia tak lebih dari seperti natural laws lainnya. Ujarnya, “Alam manusia hanyalah merupakan sains tentang manusia; tetapi sampai sekarang masih disia-siakan.” Tambahnya, “Prinsip-prinsip alam manusia, saya usulkan sistem komplit seputar sains ini, harus terbangun dengan pondasi yang sepenuhnya baru.”[4]

Secara psikologis, usaha ini bisa dipahami sebagai jawaban tuntutan era itu saat sebelumnya manusia demikian direndahkan dan tercerabut kebebasan akalnya. Namun alasan ini rasanya tak menjadi tameng pembela konsep ini. Nyatanya, terma human science sedikit absurd menurut Foucault. Ujarnya, “Human science, jika kita mau jujur, tak sampai tingkatan body of knowledge. Ia paling mentok ke body of discourse saja!” Bukankah tuntutan Humanisme sebelumnya adalah pengetahuan utuh seputar manusia? Sehingga, sekedar wacana jelas tak mencukupi.[5]

Menarik ketika Alexis Carrel, ilmuwan Perancis yang memenangkan hadiah nobel tahun 1912 dalam bidang psikologi dan kedokteran, menegaskan keabsurdan ini. Pada akhir karyanya Man The Unknown ia berkesimpulan bahwa sejatinya pengetahuan kita seputar manusia sangatlah minim. Apapun usaha kita, dengan pelbagai perangkat ilmu modern, akan menemui tembok buntu dalam usaha memahami manusia. Pada akhirnya, manusia sejatinya makhluk yang tak benar-benar kita pahami. Manusia adalah entitas yang tak dipahami. Man the unknown![6]    

Human Science dan Problemnya
Untuk lebih memantapkan informasi di atas, mari saya paparkan pada Anda bagaimana kinerja human science. Ini langkah awal saya sebelum nantinya menawarkan solusinya dengan teori pengetahuan yang saya adopsi dari turats Islam klasik.

Human science secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah sains tertentu yang membahas secara khusus aksi dan tingkah manusia. Menarik, ketika menggunakan terma science, sejatinya para pelopornya berusaha memberi jawaban atas kesenjangan yang selama ini dirasa dalam pembahasan seputar manusia. Ketika alam semesta berhasil dieksplorasi habis-habisan dan mencapai titik kepastian yang meyakinkan, pertanyaan yang menggelayut di kepala para perintisnya adalah: mengapa kita tak menerapkan standar yang sama dalam membahas manusia sehingga memberi kepastian wacana seperti yang berhasil dilakukan pada alam semesta? Ini sebenarnya kata kuncinya.

Ambisi ini tentunya mengharuskan mereka menerapkan kepastian matematis sebagai sebuah legitimasi disebut sains. Karena itu, David Hume berambisi menerapkan mekanisme yang matematis an sich dalam wacana kemanusian. Namun usaha ini terhadang oleh kecenderungan positivisme dalam sains yang diimani banyak ilmuwan. Mudahnya, jika human science ingin disebut science, ia juga harus berkecenderungan positivisme dalam metodologi dan wacananya.

Karena ini, kemunculan human science sangat kontroversi. Dilthey dan Neo-Kantian bersikukuh bahwa ambisi ini tak tepat. Mengapa? Karena eksplorasi seputar manusia tentunya membutuhkan metode yang berbeda dari yang diterapkan pada alam semesta. Ini timbul karena alam semesta memiliki kepastian tertentu yang berbeda dari fenomena manusia. Ketika satu metode diterapkan dalam dua bidang yang berkarakter lain, akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa.

Argumen Dilthey ini bertahan dari satu dekade ke yang lainnya, meski pada arus lain kemunculan psikologi, antropologi, sosiologi, dan ekonomi sebagai ilmu-ilmu yang membahas fenomena manusia tetap saja meruyak. Belum dicapai kata sepakat seputar keabsahannya namun dalam titik tertentu semua cabang ini sedikit berhasil mewacanakan metodenya yang saintis dalam eksplorasi fenomena manusia. Artinya, perdebatan legitimasi human science belum selesai, namun cabang dan turunannya begitu saja meruyak laris.

Sampai akhirnya, positivisme yang diwacanakan sebagai prasyarat mutlak sebuah sains pun tergugat. Muncul arus postpositivisme yang berusaha meyakinkan para ilmuwan bahwa kepastian dalam sains pun layak dipertanyakan. Ketika kepastian sains dipertanyakan, kenapa pula mempermasalahkan kepastian human science sebagai sebuah sains? Saat positivisme berusaha mewacanakan bahwa sains yang benar-benar sains harus memenuhi kriteria kepastian mutlak dalam hipotesanya yang diantaranya harus bersifat empiris, matematis, dan objektif, di sisi lain postpostivisme berusaha menggelontornya. Yang terakhir memberikan contoh bahwa Biologi pun sampai sekarang tak mampu memberi jawaban pasti seputar fenomena biologis: kematian.

Mereka menambahkan bahwa setiap teori dalam sains yang muncul seringkali dapat teranulir dengan teori berikutnya yang lebih mutakhir. Toh itu masih disebut sains. Dengan kata lain, standar kepastian mutlak tentu tak bisa diaplikasikan secara radikal pada sains. Karena itu sama saja memberangus semua sains yang terbukti kurang tepat, meski pada kurun berikutnya mungkin saja terbukti benar. Meski, mereka tak mampu menjawab bahwa benang merah dari setiap sains adalah objektif, matematis, dan terukur secara induktif. Dan ini dimiliki oleh semua ilmu yang disebut sains. Sedang fenomena manusia yang demikian relatif itu terlalu naif kita ukur dengan hitungan matematis, apalagi absolut. Sehingga human science yang mengandaikan perhitungan matematis masih sangat layak diperdebatkan.

Sampai saat ini, perdebatan seputar human science berkisar pada postpositivisme ini. Perlu dicatat, bahwa postpositivisme bukan satu aliran dengan kesepakatan proposisi tunggal. Ia lebih merupakan cara pandang pada pengetahuan. Paling tidak postpositivisme memiliki empat arus dalam beberapa dekade ini. Pertama, peralihan linguistik dalam filsafat sains seperti tergambarkan pada karya-karya akhir Wittgenstein. Implikasinya kemudian akan disuarakan oleh Quine, Kuhn, Toulmin, Hesse, dan sarjana lain yang mempertanyakan status kebenaran mutlak dalam sains dan seberapa jauh hubungannya dengan realitas ekstralinguistik. Kedua, keraguan yang berkelanjutan terhadap teori sistem dan aplikasinya pada organisme yang begitu komplek seperti manusia. Ketiga, usaha keras dalam mengembangkan teori seputar aktivitas manusia yang mencakup ide-ide soal tujuan dan aktivitas acak manusia. Keempat, usaha Heidegger dan Gadamer dalam filsafat hermeneutik demi membangun epistemologi fundamental yang menyuarakan kebenaran apodiktik (apodictic truths).[7]

Foucault dalam The Order of Things berusaha memaparkan kinerja human science ini. Sebagai tokoh yang tergambar melalui buku karya Hubert L. Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, ia secara jenius memampang-kritisi metodologi human science. Ia menulis:

“We must now sketch out the form of this positivity. Usually, the attempt is made to define it in terms of mathematics: either by trying to bring it as near to mathematics as possible; by drawing up an inventory of everything in the sciences of man that is mathematicizable, and supposing that everything that is not susceptible of such a formalization has not yet attained to scientific positivity; or, on the contrary, by trying to distinguish very carefully between the domain of the mathematicizable and that other domain which is regarded as irreducible to the former because it is the locus of interpretation, because the methods applied to it arc above all those comperhension, because it finds itself wound around the clinical pole of knowledge.”[8]  

Kita sekarang harus melukiskan bentuk positivisme human science ini. Biasanya, usaha itu dengan cara mendefinisikannya dalam perhitungan yang matematis: baik mencoba membawanya sedekat mungkin pada bentuk, performa dan teori-teori matematika; melukiskan detil-detil segalanya dalam sains tentang manusia yang matematis, dan meyakini bahwa segala hal yang tak tersemat semacam formalisasi ini tak mencapai positivisme sains; atau, sebaliknya, dengan berusaha memilah dengan begitu teliti antara domain yang berkarakter matematis dan selainnya yang dianggap tak memadai ke matematis karena itu adalah lokus penafsiran, karena semua metode yang diaplikasikan padanya memancarkan semua pemahaman ini. Juga karena itu sendiri selalu tak cocok dengan kutub umumnya pengetahuan.

Seperti yang saya paparkan di atas, usaha ini terlihat ambisius karena berupaya me-matematika-kan fenomena yang sepenuhnya cair dan relatif: fenomena manusia. Karenanya ambisi ini menemukan kesulitannya tersendiri—jika enggan mengatakan mustahil. Ini juga dirasakan Foucault yang memaksanya harus mengkritiknya secara langsung dan berujar:

    “Such analyses are wearysome not only because they are hackneyed but, above all, because they lack relevance. Certainly there can be no doubt that this form of empirical knowledge which is applicable to man (and which, in order to conform to convention, we may still term ‘human sciences’ even before we know in what sense and within what limits they can be called ‘sciences’) has a relation to mathematics: like any other domain of knowledge, these sciences may, in certain conditions, make use of mathematics as tool; some of their procedures and a certain number of their results can be formalized. It is undoubtedly of the greatest importance to know those tools, to be able to practise those formalizations and to define the levels upon which they can be performed..”[9]

Analisis semacam di atas cukup meletihkan bukan hanya karena sudah usang tapi, yang paling utama, sudah tak relevan. Jelas tak ada keraguan bahwa bentuk pengetahuan empiris yang aplikatif pada manusia ini (dan, demi mengikuti istilah konvensional, yang kami masih sebut “human science” meski sebelum kita tahu dalam batasan dan logika apa itu disebut sains) memiliki sebuah relasi pada matematika: seperti domain pengetahuan lain, sains ini masih, dalam beberapa kondisi, bisa menggunakan matematika sebagai perangkatnya; beberapa prosedur dan hasilnya bisa dibentuk demikian. Tak diragukan pula demikian pentingnya mengetahui pelbagai perangkat ini, agar mampu mengaplikasikan formalisasi ini dan demi mendefinisikan level-level yang bisa ditampilkan.

Dengan kata lain, meski Foucault meragukan keabsahan mutlak metodologi human science yang menggunakan perangkat matematika sebagai pirantinya demi menyingkap fenomena manusia, namun dalam batasan tertentu jelas matematika juga masih layak dipergunakan dalam beberapa level human science, semisal beberapa proseduralnya yang biasanya induktif dan gaya pemaparan hasilnya yang bisa pula matematis. Ini mengapa penulis bibliografi Foucault masih menganggapnya sebagai ilmuwan human science. Bahkan ia dianggap sebagai tokoh yang, dalam titik tertentu, menyempurnakan teori ini.

Saya pribadi, tak sepenuhnya menolak human science sebagai sains yang layak diapresiasi. Namun, saya harus berkata jujur bahwa dalam beberapa kondisi dan prosedurnya, terutama dalam ambisi para pengelunya yang terkesan idealis, masih meragukan dan kurang valid. Meski, sebagai sebuah amanat ilmiah, saya meyakini bahwa karakter matematis dalam human science ini tak sepenuhnya salah. Ia masih menyimpan kebenaran dan turut andil dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih jelasnya, Foucault mencontohkan beberapa aplikasi matematika dalam human science yang tentu saja tak bisa kita ingkari kevalidan, atau paling tidak, manfaatnya dalam memproyeksikan aktivitas, prosedur, dan fenomena manusia secara umum. Dia melanjutkan:

“..it is no doubt of interest historically to know how Condorcet was able to apply the calcualtion of probabilities to politics, how Fechner defined the logarithmatic relation between the growth of sensation and that of excitation, how contemporary psyco-logist make use of information theory in order to understand the pheno-mena of learning.”

Tak diragukan secara historis manfaat untuk mengetahui bagaimana Condorcet, filosof-matematikawan Prancis penemu metode condorcet, mampu mengaplikasikan perhitungan teori kemungkinan pada politik; bagaimana Fechner, psikolog Jerman, menjelaskan hubungan logaritmatik antara berkembangnya sensasi dan berkembangnya eksitasi; bagaimana psikolog logika kontemporer menggunakan teori informasi demi memahami fenomena pembelajaran.

Foucault melanjutkan bahwa meski aplikasi demikian memungkinkan, dalam titik tertentu aplikasi matematika jelas tak bisa diterapkan secara radikal dan universal pada setiap fenomena manusia. Ujarnya bahwa aplikasi ini hanya mengambil possiblities of mathematicization semata. Atau, boleh juga dianggap semacam de-mathematicization.[10]

Al-Ghazali dan Positivisme Sains
Demikian sekilas perjalanan panjang humanisme yang memunculkan human science sebagai salah satu produk era humanistic periode di Eropa. Saya sengaja memaparkannya agak panjang karena saya meyakini bahwa suatu teori harus terbangun dan teranalisis dari dua sisi minimal; pertama, bagaimana kita menyorot lika-liku sejarah kemunculannya, faktor-faktornya, dan bagaimana teori itu bermetamorfosa sebagai sebuah produk zaman yang sah. Paradigma ini berangkat dari konsensus umum ilmu pengetahuan bahwa teori apapun tak akan muncul dari ruang hampa, melainkan itu buah hasil pengalaman manusia yang terikat ruang-waktu. Dan kedua, bagaimana kita mendedahkan inti, metodologi, ide, dan gagasan-gagasan dari sebuah teori, dan bila memungkinkan, mengkritiknya baik dari dalam,  ataupun objektivikasi, autentivikasi, dan kevalidan datanya.

Berangkat dari sebuah imajinasi dasar—kata Albert Einstein, “Imagination is more important than knowledge”—bahwa objek humanisme dan human science sangat klasik: manusia. Manusia telah muncul sejak dulu, dan fakta ini mengusik saya untuk menemukan dan membuktikan bagaimana kecenderungan, atau tepatnya gagasan dan ide, human science dan spirit humanisme telah terpatri pada para sarjana klasik.  Ini mendorong saya berandai-andai: mungkinkah gagasan dasar ini saya temukan di teks-teks turats klasik, atau lebih spesifiknya, pada karya-karya Al-Ghazali sebagai concern utama saya.

Proyek saya ini tentu tak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa ada fenomena borrowing and influence—konsepsi ini jika diaplikasikan secara radikal menimbulkan pengkaburan orisinalitas—dan fenomena pencurian ide dari sarjana satu ke yang lain. Ya, memang ada fenomena semacam itu dalam beberapa kasus, namun ini terjadi saat objek-objek suatu teori tak universal, dan tak merata. Saat kita mengetahui bahwa objek humanisme dan human science demikian universal, yakni manusia, dan ada kemiripan, bahkan kesamaan, pola-tingkah manusia secara umum dan di semua zaman, tentu konsepsi di atas tak dapat dipertanggungjawabkan karena menimbulkan monopoli kebenaran, spesifikasi pengetahuan universal, dan, secara psikologis jika berkaitan dengan relasi Islam dan Barat, akan memunculkan sikap superioritas, dominasi kebenaran universal, dan eksklusifitas yang justru ditentang Islam itu sendiri.

Tepatnya, ada pengembangan ide dasar dari sebuah teori. Saat era Yunani tak mengenal beragam teori rumit—semisal kimia Jabir bin Hayyan, musik Al-Farabi, aljabar Khawarizmi, kedokteran Ibnu Sina, dan masih banyak lagi—maka peradaban era Islam di masa kejayaannya mengenalnya. Ide dasarnya jelas telah ada, yakni logika Aristoteles, dan teori-teori filsafat Yunani yang lainnya. Demikian pula, ilmu biologi, fisika, kimia, atom, ekonomi, antropologi, sosiologi, dan ilmu modern lain yang belum ditemukan secara sempurna di era Islam, mengalami perkembangannya di era Barat. Dan dari premis-premis ini saya ingin membangun proyek saya. Demikianlah.

Kepastian atau yang disebut positivisme sains—yang bercirikan rasional-empirik dan diantaranya matematika—dapat kita temukan dalam Maqashid al-Falasifah karya Al-Ghazali. Ia berujar:

“Adapun matematika (riyadliyyat), yakni bahasan seputar penghitungan dan teknik bangunan, maka sama sekali tak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Juga tak pula bisa diingkari.”[11]

“Ketahuilah bahwa akal tak akan benar kecuali dengan syariat, sedang syariat tak akan jelas kecuali dengan akal. Akal bagaikan dasar sedang syariat seperti bangunan. Selamanya dasar tak akan cukup tanpa ada bangunan, sedang bangunan tak akan kokoh selama tak ada dasar.. Syariat adalah akal dari luarnya, sedang akal adalah syariat di dalamnya. Keduanya sanling menguatkan, bahkan menyatu. ”[12]

Saat Al-Ghazali mengatakan bahwa matematika adalah ilmu yang tak pantas diingkari, juga mengandung kepastian, ia berargumen bahwa selamanya matematika tak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal. Artinya, konsepsi, prosedur, dan rumus-rumus matematika sepenuhnya positif: pasti benar. Ini yang disebut positivisme sains, atau lebih spesifiknya, matematika dalam konteks ini.

Jika demikian, dari mana akal mendapat legitimasinya dalam menyuarakan kebenaran? Al-Ghazali berdalih bahwa sejatinya syariat dan akal itu menyatu, dan saling menguatkan. Keduanya benar. Keduanya tak mungkin saling tubruk. Saat kita mengakui bahwa syariat Tuhan sepenuhnya benar, kita juga harus mengetahui bahwa ternyata akal pun sepenuhnya benar karena itu anjuran Quran. Allah berfirman, “Dan sungguh datang kepada kalian dari Allah cahaya dan kitab yang jelas. Allah menunjukkan dengannya orang-orang yang ikut keridla’annya, jalan-jalan kedamaian dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan izinNya.” Allah berfirman menceritakan karakter akal, “Itu fitrah Allah yang ia tancapkan pada manusia di atasnya. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus.”

Mungkin ada yang menyangsikan ini karena dalam Al-Munqidz min al-Dhalal Al-Ghazali sempat mengalami ekstase dan saat itu ia “dikenal” sedang mengingkari akal karena nyatanya akal tak menjamin kebenaran. Ujarnya bahwa kekuatan akal terbesar bersumber dari pandangan, sedang mata sering menipu. Kita sering melihat bulan tampak kecil, padahal itu sejatinya jauh lebih besar. Kita sering bermimpi sesuatu, namun setelah terbangun kita baru menyadari bahwa semua itu tak nyata. Demikian batasan akal. Demikian Al-Ghazali dikenal.

Saya pikir, anggapan ini berawal dari kekurangcermatan memahami redaksi Al-Ghazai sekaligus tak mampu mengkompromikan satu karya dengan karya yang lain. Al-Ghazali sebagai seorang pemikir sering kali menyebarkan ide-idenya berserakan di pelbagai karyanya, bukan hanya di satu karya. Karena itu, menangkap Al-Ghazali seharusnya dilakukan dengan membaca seluruh, atau sebagian besar, karyanya yang tersisa. Dalam Al-Munqidz ia menulis mengenai ambisinya dalam menggapai hakekat sekaligus menarapkan standar hakekat kebenaran menurut dia:

“..maka harus menggapai hakekat ilmu apakah itu. Lantas tampak padaku bahwa ilmu hakekat adalah ilmu yang mampu menyingkap objek dengan tanpa meninggalkan keraguan sedikitpun; tak disertai kemungkinan salah dan dugaan; dan hatipun tak akan menerima kemungkinan salah itu. Bahkan sepi dari kesalahan seharusnya disertai keyakinan yang andaikata ditantang untuk menampakkan kesalahannya misalnya oleh orang yang mampu merubah batu menjadi emas, tongkat menjadi ular, hal itu tak menimbulkan keraguan sedikitpun. Aku sungguh telah tahu bahwa bilangan sepuluh lebih banyak daripada tiga. Andai ada orang berkata padaku, ‘Tidak, tetapi tiga lebih banyak daripada sepuluh dengan dalih bahwa aku mampu merubah tongkat ini menjadi ular.” Ia pun merubahnya menjadi ular, dan aku menyaksikannya. Namun aku sama sekali tak ragu akan kepercayaanku karena memandang itu. Aku hanya mungkin takjub bagaimana dia mampu melakukan keajaiban itu. Adapun ragu terhadap keyakinanku sebelumnya, maka tak mungkin.”[13]   

Ini standar kebenaran menurut Al-Ghazali. Jika kita cermat memahami redaksi ini dan mengkompromikannya dengan redaksi yang seolah dia mengingkari akal, maka kita akan menemukan kebenarannya. Al-Ghazali memisalkan bahwa kebenaran yang sejati adalah seperti kita meyakini bahwa bilangan sepuluh pasti lebih besar dari bilangan tiga. Ini kata kuncinya. Oleh para ahli mantiq keyakinan semacam ini disebut sebagai badihi. Yakni tanpa melakukan pemikiran kita telah meyakini kebenarannya karena itu sama sekali tak terbantahkan.

Benar, bahwa dalam Al-Munqidz Al-Ghazali juga selanjutnya berdialog imajiner dengan al-mahsusat yang telah terbukti tak kuat. Al-mahsusat berkata, “Kenapa kamu mendustakanku dan mempercayai akalmu? Sedangkan akal tak lebih baik dariku. Coba kamu rasakan. Kamu pernah bermimpi, dan nyatanya setelah terbangun kamu yakin bahwa itu tak nyata. Itu titik kelemahan akalmu!” Namun perlu dicatat, setelah dialog imajiner itu, Al-Ghazali tak menyebutkan bahwa dirinya pun tak yakin dengan kepercayaannya bahwa bilangan sepuluh lebih besar dari tiga. Tapi ia hanya mencapai ekstase yang membuatnya sakit parah selama dua bulan, sehingga meragukan banyak hal yang dianggapnya dulu yakin. Apa yang terjadi setelahnya? Al-Ghazali menuturkan bahwa setelah itu dia disembuhkan oleh Allah karena cahaya yang tercampakkan olehNya dalam hati sehingga ia pun kembali meyakini banyak hal yang dharuri.[14]

Di poin ini jelas, Al-Ghazali tak meragukan akan al-badihah semisal bilangan sepuluh lebih besar dari tiga. Melainkan ia hanya mengalami ekstase sehingga mengkaburkan seluruh keyakiannnya pada panca indera. Dengan kata lain, Al-Ghazali tak mampu meragukan al-badihah karena bukan hanya itu fitrah dari Allah, melainkan juga itu mengandung kepastian, positivisme sains yang tak layak untuk diragukan.

Sampai sini berarti kita mampu membangun argumen bahwa akal, atau tepatnya al-badihah, mencapai titik kepastian yang absolut. Ini pula yang menginspirasikan saya bahwa Al-Ghazali pun sejak dini mengindikasikan adanya positivisme sains. Dan al-badihah adalah istilah klasik dan paling dasar dari positivisme ini.

Perlu dicatat bahwa saya tak bermaksud mengatakan bahwa semua yang diklaim para ilmuwan sebagai sains yang positif, itu juga mengandung kepastian yang absolut; banyak sekali teori sains yang memang terbukti salah. Tapi yang ingin saya katakan bahwa di alam raya ini ada sebuah kepastian, positivisme sains yang juga telah disinggung Al-Ghazali.

Pertanyaannya: mengapa matematika menurut AL-Ghazali tak layak diingkari karena itu tak bertentangan dengan akal? Menjawabnya, saya akan mendedahkan karakter dasar dan kinerja matematika.

Matematika, oleh para pakar, dianggap sebagai ilmu yang paling pasti; ia memberikan keyakinan yang sempurna dalam perhitungan. Sejatinya, ini berawal dari karakter dasar matematika yang bersifat al-badihah menurut istilah klasik, atau a priori dalam bahasa Immanuel Kant. Dalam Critique of Pure Reason, ia menegaskan bahwa elemen-elemen dasar matematika sepenuhnya a priori: tak bisa diingkari kebenarannya, terbukti kevalidannya, dan teruji ketepatannya dengan tanpa perlawanan. Meski, ujarnya, dalam pengembangan matematika selanjutnya ke level yang lebih tinggi, ada banyak bagian yang tak a priori. Namun intinya matematika dalam karakter dasarnya sama sekali a priori.[15]

Secara analitik, matematika bisa disebut a priori karena konsep dasarnya memang demikian. Level-level kelanjutan dalam matematika, jika bisa mempertahankan sifat a priori-nya dalam tiap tingkatan levelnya, akan membuat semua struktur dan bangunan matematika pun a priori, positif, dan menemukan kepastiannya. Ini karena dalam kaedah mantiq dikatakan bahwa al-murakkab min al-yaqin yaqin: tiap yang tersusun dari sesuatu yang pasti akan menimbulkan kepastian pula. Level-level tinggi matematika yang oleh Kant disebut tak lagi a priori sejatinya karena tiap tingkatannya status a priori-nya diabaikan, atau ada beberapa kesalahan dalam menyusun, dan mendaki tiap tingkatan dalam matematika. Tegasnya, matematika memang tetap berkecenderungan positivisme, pasti, a priori, al-badihah, dan memberikan keyakinan.

Perlu dicatat bahwa sejumlah kritikan ilmuwan yang mengusung postpositivisme sains sejatinya mengkritik bangunan-bangunan sains yang tak mencapai standar positivisme, atau karena bidang garapan sains tertentu melewati medan yang sewajarnya. Fenomena ilmu biologi yang menurut postpositivisme tak mampu memberi kepastian dalam fenomena kematian sejatinya di antara contoh terapan sains yang melewati medan. Dalam teologi agama, kematian di antara hal yang tak diketahui manusia, di samping rizki dan jodoh.

Atau, jika lebih ilmiah, saya katakan: kematian dipercaya sebagai fenomena tercerabutnya ruh dari tubuh. Padahal, mulai era klasik sampai sekarang, para ilmuwan masih memperdebatkan di mana posisi ruh sejatinya. Ada yang berpendapat di aliran darah, urat, jantung, hati, atau menyebar ke seluruh bagian tubuh. Tegasnya, biologi tak mampu menjawab secara memuaskan fenomena kematian karena sampai sekarang pun belum ditemukan kata akhir yang meyakinkan soal ruh. Namun, jika kita memakai standar possibilities of mathematicization, atau sebutlah sebagai de-mathematicization menurut istilah Foucault, biologi pun mampu memberikan jawaban seputar kemungkinan-kemungkinan umur manusia. Ketika seorang menderita penyakit kronis yang tak mungkin disembuhkan, semisal AIDS, dokter yang ahli bisa saja memperkirakan sampai berapa kira-kira orang itu akan bertahan hidup. Ya, memang tak bisa memberikan kepastian mutlak, tapi dipandang dari sisi bahwa sains terus berkembang dan sampai sekarang belum mencapai titik kesempurnaan dalam semua bidang, hasil ini pun bisa dianggap kemajuan yang berarti dalam sains. Dan ini tak mengharuskan mengeliminasi biologi dari sains tentunya karena belum memberi kepastian terukur.

Demikian bagaimana revitalisasi konsep Al-Ghazali dan didialogkan dengan konsep modern sungguh memberikan konklusi yang sangat menarik.[16]



[1] Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, hlm.

[2] Philosophy of Humanism

[3] Michel Foucault, The Order of Things, hlm. 318-319.

[4] Christopher Fox, Inventing Human Science, London: University of California Press, tnp. Cet., 1995, hlm. 2.

[5] Michel Foucault, op., cit., hlm. 343.

[6] Alexis Carrel, hlm.

[7] Donald Polkinghorne, Methodology for The Human Sciences, New York: State University of New York Press, tnp cet, 1983, hlm. Ix-x & 1-3.

[8] Michel Foucault, op., cit., hlm. 348-349.

[9] Ibid, hlm. 349.

[10] Ibid, hlm. 349.

[11] Al-Ghazali, Maqashid al-Falasifah, hlm. 31-32.

[12] Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds, hlm. 46.

[13] Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, hlm. 26.

[14] Ibid. hlm. 28-29.

[15] Immanuel Kant, op., cit., hlm.

[16] Makalah terpaksa dihentikan karena penulis masih membutuhkan waktu demi menguak dan merevitalisasi konsep Al-Ghazali lainnya. Ada beberapa sub-judul sejatinya yang belum tertuliskan. Di antaranya Al-Ghazali dan Gradasi Ilmu. 

0 comments: