Pengertian Sastra

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Ia menyajikan kehidupan,yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Sedangkan penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus. Dengan begitu, karya sastrapun memiliki fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.

Seorang Kritikus sastra Inggris, I.A. Richard, lebih dari 8 dekade yang lalu sempat memberi ceramah mengenai kesengkarutan teori kritik. Pemikiran itu kini menjadi sangat tidak relevan karena para pemerhati dan pengkaji Barat yang intens di ruang kesusastraan di abad ini justru berdialektika dengan teori-teori yang berkubang dalam teks; mulai dari linguistika, semiotika, pembacaan konteks sosio-historis, sosio-kultural, seksualitas dan gender, karakterisasi, sampai motif yang dimiliki si pembuat teks.


Apakah sastra?

Beberapa pakar sepakat bahwa teori susastra mampu menjelaskan arti kata ini berdasarkan ide yang terbayang di benak ketika menyebut kata “sastra” dan “kesusastraan”. Terminologi sastra diperkhususkan untuk karya seni berbentuk kata-kata. Para filosof mulai zaman Aristoteles sampai Heidegger mengakui urgensitas seni dalam teknik mengolah kata. Ini menunjukkan bahwa antara kata-kata dan seni terdapat hubungan yang intim. Hubungan inilah yang nantinya melahirkan apa yang dinamakan dengan karya sastra.

Berkaitan dengan teks sebagai media sastra, terdapat asumsi bahwa karya tulis (baca: literatur) apapun adalah salah satu bentuk seni/sastra buah imajinasi seseorang. Asumsi ini memunculkan ambiguitas dalam penggunaan istilah sastra, bahkan seni. Fakta dalam sejarah literatur menunjukkan bahwa karya tulis non fiksi seperti politik, sejarah atau sains memiliki kuantitas yang sama dengan yang fiksi. Jika sebuah karya tulis tidak bersifat imajinatif, fiktif atau menggunakan kata-kata puitis, lalu bagaimana suatu karya tulis bisa disebut dengan sastra? Pertanyaan ini sempat menimbulkan perbincangan di abad 20. Baru kemudian lahir kesepakatan di kalangan pakar, bahwa tulisan bisa disebut sebagai karya sastra jika menggunakan bahasa yang unik, konotatif dan menggugah dibandingkan tulisan lain; Tulisan sastrawi adalah tulisan yand diproses melalui pengolahan kata yang kreatif apapun isi yang terkandung di dalamnya.

Pun begitu, definisi ini masih belum memuaskan. Klasifikasi suatu karya untuk digolongkan sebagai ‘yang sastrawi’ masih dirumitkan oleh banyak konsepsi. Harus melalui proses sejarah dan seleksi para ‘elit budaya’ (penerbit, editor dan budayawan); yang membuat ‘undang-undang’ kesusastraan yang – pada dasarnya – selalu berubah-ubah dan tidak memiliki alasan argumentatif. Apakah sastra adalah karya yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang cerdas, ataukah pikiran masyarakat awam juga mampu mengaksesnya? Apakah novel yang ‘bagus’ dan fenomenal lebih sastrawi daripada novel ‘jelek’ dan mudah dilupakan orang? Siapa yang berhak menentukan mana karya yang sastrawi dan tidak? Apakah nilai ke-sastrawi-an sudah ada pada teks atau semata-mata merupakan hasil dari proses pembacaan? Apakah ada kaitannya dengan konteks sosio-historis? Bagaimana dengan teks yang pada awalnya tidak ‘dibaca’ sebagai karya sastra?

Pastinya, suatu teks dikriteriakan sebagai karya sastra yang fenomenal setelah melalui ‘seleksi alam’. Ada hubungannya dengan proses percetakan dan pemasaran, opini dan kritik, lika-liku pengajaran dan pembelajaran. Pembaca barangkali hanya akan puas dengan definisi sastra yang terdapat di ‘pasar’ atau kuliah para kritikus dan sarjana sastra. Mungkin sebuah definisi untuk sastra bisa diklaim sebagai definisi yang paten. Tapi akan selalu ada subyektifitas.  Memang ada beberapa karya yang diindikasi sebagai yang sastrawi karena mengusung isu-isu sosial, tetapi bagi sebagian pembaca karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang keluar dari lingkaran sosial-politik. Lalu statemen baru muncul; “karya digolongkan sebagai sastra apabila ia ‘otonom’”, dalam arti tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan di luar itu. Tapi jika seandainya demikian, bagaimana sastra dapat dikenali? Novel atau bentuk karya sastra lain dicetak, dijual, dipropagandakan, direview, dan memiliki efek pada pembaca dan penulis lain. Pada akhirnya, argumentasi bahwa sastra itu memiliki wilayah otonom, memiliki kaedah dan prinsipnya sendiri, tak lebih dari sekedar alasan otonomisasi itu; penempatan karya sastra  -- bahkan bentuk seni yang lain – di etalase yang terpisah. Ada ilusi disana. Pertanyaan kemudian adalah, apa batasan dari wilayah otonom tersebut? Satu kesimpulan logis, tulisan yang realistik tidak bisa dikualifikasikan sebagai sastra karena mengandalkan mimesis atau merefleksikan dunia nyata, novel atau cerpen yang bercerita tentang politik harus rela dikeluarkan karena alasan yang jelas; mengangkat isu yang ada di lingkungan sosial. Walhasil, anggapan bahwa sastra itu terpisah dari lingkar sosial mencederai logika bahasa itu sendiri.

Sudah pasti tidak mudah mendefinisikan sastra karena ia adalah subyek yang dipengaruhi dan ditentukan oleh banyak hal yang selalu berubah-ubah. Tidak mudah menentukan apakah sebuah karya digolongkan sastra atau bukan berdasarkan suatu formula atau sampel.  Pula, tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah teks kuno bisa diperlakukan sebagai karya sastra di kemudian hari. Jurnalisme tempo dulu bisa dianggap sastra saat kini seperti yang terjadi pada beberapa essay. Atau memungkinkan juga untuk tetap menjadi jurnalisme yang digunakan pada umumnya oleh sejarahwan dan para sarjana. Boleh jadi, karya klasik yang dianggap paling sastrawi akan dikeluarkan dari bingkai sastra pada masa akan datang. Problem ini juga melingkungi model dan genre dalam sastra. Sejarah sastra menyingkap jejaring yang kompleks, bahwa kedudukan puisi dan novel adalah bentuk paradigmatis sebuah karya sastra pada zamannya; bagaimana anak zaman itu memposisikannya sebagai bacaan, terlepas dari kualitas karya tersebut, tapi lebih kepada pengaruh dan popularitasnya. Pada akhirnya watak sastra dan kesusastraan berkaitan erat dengan pembacaan, dan pembacaan secara fundamental terikat dengan sosio-kultural atau sosio-politik waktu itu. Lekangnya pembacaan ini lebih merupakan pengaruh dari kontinuitas sejarah daripada ingatan seseorang.

  
Karakeristik Teori Susastra

Sebelum melangkah lebih jauh, barangkali perlu diperjelas lebih dulu bahwa teori kritik lebih merupakan aplikasi praktis dari teori susastra.

Sejak tahun 1970, teori susastra bermetamorfosis menuju tahap dimana ia didominasi oleh filsafat, sejarah, politik dan psiko-analisa. Beberapa teks pun serta merta meminta pengkajian atasnya dengan perspektif yang ditawarkan oleh arus besar yang sedang hangat diperdebatkan kala itu – Marxisme, Strukturalisme, Poststrukturalisme, Feminisme, Cultural Studies, dsb. Beberapa pendekatan inilah yang kemudian mengacak-acak baik teori maupun teks kesusastraan itu sendiri. Memang teori susastra secara etimologi dipahami sebagai kaedah atau konsep, serta strategi yang diperlukan dalam aktifitas sastra an sich, tapi dalam waktu yang bersamaan, beberapa teori sastra menginspirasi gerak sosial-politik. Oleh karena itu, peleburan ini disambut baik oleh para pegiat sastra di Barat, melihat adanya jurang pemisah antara teori pembacaan teks (seperti Strukturalisme dan Poststrukturalisme) dan teori analisa sejarah (seperti Marxisme, Feminisme dan Postkolonialisme) yang secara fundamental pada paruh akhir abad 20-an keduanya masih berada di dua bilik berbeda; yang satu terbatas pada analisa bahasa, retorika dan penanda, satu lagi digunakan untuk kritik sosial, budaya dan sejarah yang pada dasarnya terrekam oleh produk budaya yang dalam hal ini adalah teks kesusastraan. Ditambah ketika ideologi ikut menginterfensi kegiatan sastra. Sebagai contoh, pendekatan dekonstruksionis atas sastra bisa menyulap pembaca menjadi konservatif dan apolitis, di pihak yang lain pendekatan marxis atau feminis muncul dengan wajah progresif bahkan kadang resisten ketika mendekati sebuah karya sastra.

Merupakan satu hal yang disepakati para praktisi dari pelbagai teori bahwa, secara umum, berfikir teoritis adalah paradigma dalam berfikir itu sendiri. Singkatnya, teori dapat didefinisikan sebagai “kapasitas memandang dan mengeneralisir suatu fenomena dan mengembangkan konsep yang membentuk basis interpretasi dan analisa atas fenomena itu”. Definisi ini mengilustrasikan langkah-langkah berfikir teoritis; Pertama, memikirkan secara general sebuah fenomena (bahasa, gejala sosial atau novel sebagai bentuk teks); Kedua, mengembangkan konsep berdasarkan asumsi atau kaidah yang melingkupi elemen-elemen dalam fenomena itu serta relasi antar elemen; dan Terakhir, menggunakan konsep ini sebagai titik pijak untuk menginterpretasi dan menganalisa sisi yang dibidik dari fenomena tersebut (fungsi metafor, kapitalisme atau posisi perempuan dalam gender). Kalau saintis mengaplikasikan ‘teori’ dalam analisanya dengan akurasi dan verifikasi untuk menentukan suatu postulat, maka sarjana sastra menggunakannya untuk membuat interpretasi yang meskipun tidak harus akurat tetapi dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, membincang teori kesusastraan berarti membincang bagimana mengenali serta memecahkan problem-problem teoritis yang muncul saat proses pembacaan.

Dalam teori kesusastraan kontemporer, untuk mencapai keseragaman dan universalitas seperti yang dicapai sains dalam konteks sosial barangkali merupakan hal yang sulit. Teori, mau tidak mau akan merefleksikan situasi sosial yang ia geluti, sekalipun saintis berangkat dari asumsi bahwa; teori saintifik tidak dipengaruhi oleh ideologi, tetapi, teoritikus sastra memandang bahwa teori adalah produk ideologi, dimana para teoritikus beroperasi sesuai posisi ideologisnya. Sama halnya dengan teks sastra yang tidak lain adalah hasil cipta orang tertentu yang berada di masyarakat tertentu yang mempunyai kebudayaan tertentu di saat dan waktu tertentu. Thus, teori susastra mengantarkan pegiatnya memahami sebuah konteks serta sudut pandang ideologis yang membentuk teks, serta menginsafi gelagat-gelagat sosial-politik pengarang dan tawaran idenya untuk pembaca. Sebagai contoh, saat mendiskusikan konteks sosial dalam novel Charles Dicken, teori marxis menjadi pisau analisa yang tajam untuk membedah ideologi sastrawan satu ini dan pandangannya terhadap ‘kelas-kelas’ masyarakat. Atau bahkan teori ini bisa jadi malah menghakimi apakah novel ini dipandang sebagai kritik sosial, atau semata-mata bacaan realis yang justru menopang status quo.

Hal lain yang membedai teori susatra dengan teori praktis yang dimiliki oleh sains ialah, teori susastra boleh diakrabkan dengan teori non sastra yang menjadi tidak komprehensif manakala teori susastra tidak mengeeksplorasi hal-hal diluar sastra sehingga berkonsekuensi pada keterputusan antara teks dan konteks. Ketika teori susastra dikawinkan dengan teori semacam psikoanalisa atau yang seumpama, maka teori ini akan beranak-pinak dan masing-masing ini akan mengklaim bahwa ia lebih valid daripada yang lain. Sangat berbeda dengan teori sains, yang mana teori ilmiah yang baru akan menggantikan teori lama dan selalu menuntut adanya obyektifitas dalam penelitian.

‘Ala kulli hal, interpretasi sastra adalah subyek yang dipengaruhi oleh sikap politik seseorang, perspektifnya atas gender, kelas-kelas sosial, permasalahan etnis, keyakinan keberagamaan dan aspek sosial lainnya. Memang, hegemoni atas sikap ini di kesempatan lain turut mempengaruhi interpretasi ilmiah dalam sains. Namun begitu tidak mengurangi determinasi seorang saintis untuk tetap berpegang pada obyektifitas penelitian ilmiah. Lalu bagaimana dengan teori susastra jika obyektifitas bukanlah hal yang urgen disini? Untuk menjawab problem ini mau tidak mau harus dikembalikan pada obyek teori susastra yang dalam hal ini adalah sastra itu sendiri.


Kembali ke Teori Sastra

Sejarah teori susastra adalah sejarah interpretasi dan pembacaan yang berubah-ubah akibat justifikasi atas sastra dan kesusastraan yang selalu berubah pula. Tetapi terma ‘teori susastra’ disini lebih ditekankan pada “kaedah-kaedah dan asumsi atas watak dan fungsi karya sastra.” Salah satu asumsi adalah, teori sastra lebih merupakan perkembangan dan aplikasi dari teori-teori umum (seni, bahasa dan sturktur bahasa, budaya, politik, sejarah, psikologi, ekonomi, wacana gender dan sebagainya) untuk membaca karya sastra baik atas dasar interest atau bertujuan kritik. Thus, teori sastra berevolusi dengan adanya percobaan konsep, terminologi dan paradigma yang mewujud sebagai aktifitas intelektual. Pertalian ini kemudian berkontribusi pada pembidangan teori susastra sebagai sebuah disiplin ilmu. Dalam studi kesusastraan, pada awalnya disiplin ini berkonsentrasi pada: 1) Kriteria dan batas-batas kritik sastra, 2) sasaran karya sastra yang terlingkup dalam konteks sosio-historisnya. Berkenaan makna dan signifikansi lahiriah teks, teori susastra tidak memiliki wewenang atas itu, melainkan hanya prinsip dasar dan asumsi dalam melakukan suatu pembacaan. ‘Kebenaran’ yang ada pada karya sastra tetap kembali pada pengalaman historis yang menciptakan ‘pengarang’ dan ‘pembaca’. Seperti halnya sastra, teori susastra akan menelurkan efek suatu konteks historis sekalipun teori tersebut ahistoris; ide yang diterima, tradisi intelektual, konferensi akademik, seperti halnya relasi sosial-politik. ‘Keistimewaan’ sebuah teks sastra bukan lagi dilihat dari esensi yang dikandung, tetapi dari pembacaan teoritis yang koheren.

Baru pada paruh akhir abad 20, dalam teori susastra dicetuskan pendekatan baru untuk menganalisa karya sastra dan teks-teks mengenai sosial-budaya yang diklaim sebagai literatur humaniora atau ilmu pengetahuan sosial yang kini ‘dibaca’ sebagai karya sastra. Tren ini menjebol dinding yang menyekati antara tiap-tiap disiplin ilmu. Sebuah terobosan yang menghantar para akademisi pada sharing antar teori dan interpretasi praktis serta membentuk lapangan kajian yang interdisipliner. Michael Foucault, Roland Barthes, Julia Kristeva dan Pierre Bourdieu dijunjung sebagai kontributor besar dalam menciptakan kajian interdisipliner ini dalam formasi budaya yang kompleks dalam suatu pengetahuan yang tidak memungkinkan jika dipandang melalui satu perspektif disiplin ilmu. Pun begitu perlu dicatat bahwa Interdisiplinaritas ini mengharuskan adanya relasi antara kombinasi, persentuhan, titik temu dan penyilangan antara masing-masing disiplin.

Dengan demikian, teori susastra dengan sedikit modifikasi bisa diaplikasikan dalam aspek kebudayaan yang luas, karena teks sastra, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari paparan diatas, tidak hanya berupa karya sastra; ia bisa berupa apapun yang dapat bisa dijadikan obyek interpretasi. Film, iklan, video game, internet, komposisi musik, fashion, sejarah, sepak bola dan apapun juga, bisa ‘dibaca’ seperti karya sastra. Ambivalensi teks kesusastraan secara efektif mengagitasi teori susastra untuk mendobrak pagar yang membatasinya; sebuah imbas dari ulah poststrukturalisme yang membuat pisau analisa teori susastra dapat digunakan untuk membedah berbagai variasi disiplin ilmu. Ketika pengkaji sosial (umpamanya) mengadaptasi teori susastra untuk membaca teks non-sastra, mereka akan memodifikasi metode dan strategi interpretasinya untuk disesuaikan dengan sistem obyek kajiannya. Tak lupa pula, Cultural Studies kurang lebih di tahun 1980 ikut serta meramaikan dialektika interdisiplinaritas ini. Tidak lain kekayaan dan keluwesan interpretasi yang merupakan prinsip dasar teori susastra inilah yang merevolusi cara pandang kontemporer dalam menginterpretasi segala bentuk aktifitas dan produk sosial-budaya.




0 comments: