Cerpen Cinta Penuh Inspirasi

Cerpen cinta penuh inspirasi kali ini akan menyajikan sebuah cerpen yang bernuansa romantisme dan perjuangan cinta. Dengan menulis cerpen anda akan bebas berekspresi dan bebas mengungkapkan segala kegundahan hati. Cerpen merupakan media bagi para pecinta dunia tulis.Karena mereka percaya bahwa dengan menulis cerpenlah mereka ada.

Silahkan baca cerpen cinta di bawah ini dengan seksama. Dan semoga ada sepenggal kisah yang bisa memotivasi anda dalam setiap kehidupan anda. Cerpen yang pertama akan bercerita tentang cinta yang tak nyata. Selamat membaca




Praha Dan Sebuah Lukisan

Sudah lama aku tidak merasakan rasa ini. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir aku merasa tertarik dengan wanita. Semenjak penghianatan yang sangat memalukan itu, aku benar-benar tidak bisa percaya lagi dengan wanita. Aku lebih memilih mengasingkan diri ke kota lain. Aku senang dengan Praha. Kota tua yang eksotis. Di sana aku merasa seperti orang bohemian abad kesembilan masehi. Di sana pula aku bisa menulis sepuas hatiku. Tak ada lagi urusan pemerintahan yang perlu aku tangani. Tak ada pula urusan bisnis yang perlu aku kerjakan. Temanku kini hanya buku diary dan sebuah pena. Aku lebih suka menulis di atas kertas dari pada di komputer. Setidaknya bau kertas dan tinta terus merangsangku untuk terus menulis.

Akhir pekan kemarin menjadi sebuah titik perubahan dalam kehidupanku. Setelah bertahun-tahun aku menanggung derita cinta, kini aku justru merasakan cinta itu lagi. Terasa indah namun sedikit absurd. Kali ini anda salah tebak jika menganggap aku baru saja bertemu dengan wanita.

Sebuah pameran lukisan di salah satu sudut Praha menjadi awal semuanya. Aku bertemu dengan sebuah lukisan indah di salah satu pojok ruang pameran. Warnanya berpadu indah walau sangat sederhana. Kurasa pencampuran warnanya tidak terlalu rumit. Goresannya pun tidak terlalu muluk-muluk. Semua dari lukisan itu nampak natural. Dan aku jatuh cinta pada seorang gadis yang ada di dalam lukisan itu. Dia berkerudung hitam, wajahnya sendu dan damai, sorot matanya tajam menelanjangi siapa saja yang beradu tatap dengannya.

Pasti tidak akan ada yang percaya kalau aku masih waras saat aku bilang aku jatuh cinta pada lukisan itu. Namun setidaknya aku bahagia dipertemukan takdir dengan sosok perempuan yang ada di dalam lukisan itu. Sosok itu begitu damai dan teduh. Aku merasa ada kenyamanan tingkat tinggi jika menghabiskan waktu bersama perempuan itu. Dan tentunya aku tidak akan pulang kecuali membawa lukisan itu. Setelah membelinya aku seperti mendapat isteri baru.

Di flat lukisan itu aku pajang di kamar tidurku. Aku yakin dia akan selalu terjaga saat aku tertidur, dan dia selalu mengawasiku bahkan ketika aku berganti pakaian sekalipun. Dia telah masuk ke dalam wilayah hidupku yang paling pribadi. Seperti yang aku prediksikan, gadis dalam lukisan itu telah membuat kehidupanku lebih nyaman bahkan sangat nyaman. Aku rasa aku sudah tidak perlu lagi mencari sosok manusia berlabel wanita. Gadis dalam lukisan itu sudah segalanya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, aku semakin mencintai gadis itu, aku pun memberinya nama Shara. Aku yakin aku akan bahagia dengan Shara. Biar apapun kata orang padaku. Hidup dengan Shara selalu jujur, tidak ada kebohongan dan penghianatan. Dia setia dan aku pun demikian. Mungkin seperti inilah sampel pasangan ideal menurut nalarku walau banyak yang meragukan kewarasanku.

Sore di akhir pekan ini aku ingin menikmati secangkir Cappuccino ditemani alunan Jazz yang mengalun indah dari pemusik-pemusik indie. Dalam pada itu rasa kesepian melilitku dengan amat sangat. Shara tidak bisa ikut denganku menghabiskan akhir pekan ini. Aku merenung sendiri sementara hatiku ada di rumah memeluk Shara kuat-kuat. Namun aku juga malas untuk berada di flat berdua dengan Shara tanpa bisa melihat pertujukan musik Jazz di pinggiran sungai Vltava.

Tengah asik aku dibuai alunan jazz mataku tiba-tiba menangkap bayangan seorang perempuan yang rasanya aku sangat mengenalnya.

“Shara?” bisikku pada diriku sendiri.

Aku mencoba mengejar perempuan itu. Dia berjalan cukup cepat. Aku harus sedikit mempercepat jalanku agar jangan sampai kehilangan jejaknya. Sementara fisikku terus berburu sosok perempuan itu, otakku terjebak dalam dua dimensi yang sangatlah berbeda. Maya metafisika dan realitas material. Perempuan itu benar-benar seperti Shara. Aku tidak mungkin salah. Tapi bagaimana Shara bisa keluar dari dalam lukisan?

“Shara!!” kali ini suaraku keras memanggil perempuan itu. Sementara itu dia semakin tidak peduli. Dia tetap pada jalannya. Dia berjalan semakin cepat. Kakinya yang jenjang berjalan lincah dengan balutan sepasang bot hitam berhak tinggi.

Aku terus mengejarnya hingga akhirnya aku sampai di sebuah lobi hotel. Dia dijemput seorang lelaki berjas hitam. Nampaknya dia kekasihnya. Namun lelaki itu lebih pantas jadi ayahnya. Dari roman mukanya lelaki itu berumur sekitar setengah abad lebih. Dan perempuan muda yang aku klaim sebagai Shara nampaknya tidak lebih dari dua puluh lima tahun.

Aku urung untuk memanggilnya kembali. Aku merasa bukan apa-apanya gadis itu dan tidak ada hak bagiku untuk mencegah langkahnya. Gadis itu pun lenyap ditelan sebuah lift yang membawanya entah ke lantai berapa. Aku sendiri meninggalkan lobi hotel dengan sejuta rasa penasaran. Siapa gadis itu? Apakah dia benar-benar Shara? Gadis itu hidup di alam nyata, sementara Shara adalah gadis imajiner yang aku buat sendiri dengan inspirasi sebuah lukisan.

Tapi gadis itu benar-benar mirip dengan gadis imajiner yang ada dilukisan itu. Semua benar-benar mirip kecuali tidak adanya kerudung yang menutupi rambutnya. Gadis yang baru saja aku lihat tidak memakai kerudung dan pakaiannya cukup terbuka, sementara gadis imajiner yang ada di lukisan memakai kerudung dan berbaju rapat ala gadis-gadis muslim. Apakah gadis itu adalah model dari lukisan itu? Absurd.

Esok harinya aku berniat mencari sang pelukis lukisan itu. Aku ingin bertanya siapa model dari lukisan itu? Apakah hanya imajiner sang pelukis ataukah benar-benar menggunakan model? Jika benar menggunakan model aku ingin bertemu dengan modelnya itu. Dan dengan begitu aku bisa memecahkan misteri antara gadis itu dan gadis berkerudung yang ada di lukisan itu.

Sudah lama aku tidak merasakan semangat hidup seperti sekarang. Semua nampak cerah dan memancarkan harapan. Aku rasa aku sudah tersesat di antara tautan beberapa dimensi. Aku tenggelam ke dalam imajinasiku sendiri namun aku terseret oleh kenyataan yang tiba-tiba menghadirkan sebuah paparan absurd yang membuat sudut pandangku tentang dunia berubah beberapa derajat kiranya. Yang jelas dan yang pasti aku menemukan kembali kerinduanku. Seperti dulu saat pertama aku mengenal perempuan.

@@@

Panitia pameran menunjukkan padaku sebuah alamat. Sebuah desa yang cukup jauh dari Praha. “Kau akan menemui seorang pelukis tua di sana.” Kata seorang pantian pameran yang berhasil aku temui. Dengan sebuah Land Cruiser aku pergi ke sana. Menempuh lima jam dari kota Praha akhirnya aku sampai di sebuah desa sejuk. Penduduknya rata-rata adalah petani barley (semacam sereal). Setelah bertanya kepada penduduk setempat sejam kemudian aku baru menemukan rumah sang pelukis lukisan gadis berkerudung itu.

Aku baru tahu ternyata dia berprofesi sebagai petani barley juga. Melukis hanya hobinya. Dia mengikutsertakan lukisannya itu atas saran salah seorang kerabatnya. Dan kebetulan lukisan itu dibeli olehku. Sejak aku membelinya baru kali ini aku melihat langsung pelukis lukisan itu. Panitia pun dulu bilang cuma lukisan itu yang tidak didampingi oleh pelukisnya. Wajar, untuk ke Praha dia mungkin harus menjual separuh hasil panennya. Namun beruntung lukisannya terbeli olehku dengan harga lumayan tinggi, sepuluh ribu Koruna. Namun tak nampak Pak Tua itu gembira dengan penjualan lukisannya. Di rumahnya sama sekali tidak ada perabot yang mewah kecuali sebuh televisi hitam putih tua berukuran empat belas inci. Lantas kenapa Pak Tua itu tidak membelanjakan uang hasil penjualan lukisan itu?

“Sungguh lukisan itu hanya berasal dari imajinasiku saja. Aku tidak punya model untuk membuat lukisan.” Begitu jawabannya saat aku tanya soal model lukisannya yang telah aku beli.

“Tapi beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang gadis dan dia sangat mirip dengan sosok yang ada di dalam lukisan itu.” Aku mencoba menyudutkan.

“Ya mungkin saja hanya kebetulan anak muda. Dunia ini kan penuh dengan kebetulan. Iya kan?”

“Tapi apa kau tak tahu sama sekali perihal gadis yang kau lukis itu?”

“Yang aku tahu hanya melukiskan apa yang ada di dalam khayalanku.” Kali ini Pak Tua itu menjawab dengan lebih tegas. Aku sendiri menyerah menanyainya soal jati diri perempuan di dalam lukisan itu.
Aku hendak pergi kala dia mencegahku dengan sebuah kalimat “Dulu aku punya anak gadis kecil.”
Aku berhenti melangkah dan berbalik lagi dengan raut muka berisyaratkan tanya.

“Kami adalah keluarga muslim, mengungsi dari Bosnia menuju Ceko. Kami terusir dari negeri kami karena sebuah peperangan yang seharusnya tak perlu ada. Peperangan yang kental aroma ambisi namun diatasnamakan kesucian.”

Pak Tua itu tertegun sejenak. Aku sendiri hanya bisa mengikuti nuansa sendu dan melankolis itu dengan melempar tatapan kosong ke tanaman barley yang sedang ranum di sawah depan rumah Pak Tua itu.
“Lalu anak gadismu itu?” tanyaku.

“Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Dan jika dia masih hidup tentu dia sudah menjadi gadis dewasa seperti gadis yang ada dilukisan yang kau beli itu.”

“Jadi gadis yang ada di lukisan itu adalah imajinasimu tentang rupa anakmu, lantas dimana dia sekarang?”

“Ya begitulah. Dia meninggalkan aku sejak dia masih berumur sepuluh tahun. Dia ikut dengan ibunya ke Praha.”

“Kalau boleh tahu kenapa mereka meninggalkan dirimu seorang diri?”

“Karena aku miskin.”

“Hanya karena itu?”

Pak Tua itu mengangguk sambil tersenyum. Kurasakan ada guris perih yang terbuka lagi. Aku merasa bersalah telah mengungkit masa lalunya. Tentu nasibnya tidak jauh beda denganku. Bedanya dia ditinggalkan isteri dan anaknya karena miskin, sedang aku ditinggalkan hanya karena aku tak mampu memenuhi kebutuhan biologis isteriku. Namun hakikatnya sama perihnya.
“Maafkan aku yang sudah mengungkit masa lalumu.”

“Oh tidak, sungguh tidak. Kau punya hak untuk tahu karena kau telah membeli lukisan itu.” Kata Pak Tua itu sambil terkekeh. Sepertinya dia sudah tidak menganggap luka itu sebagai sebuah kesakitan. Tidak seperti aku yang masih mengutuki diri dengan segala kelemahan diriku sebagai penyebab luka masa laluku.

“Kalau boleh kutahu siapa nama anakmu itu?”

“Shara.”

Konyol rasanya. Nama itu sama dengan nama yang aku berikan kepada gadis di dalam lukisan itu. Oh benarkah dunia ini penuh dengan kebetulan?

Aku kembali ke Praha dengan perasaan yang kacau balau tidak karuan. Aku ingin sedih mengetahui realita di balik lukisan itu tapi juga lega karena telah menemukan jawaban dari sebagian pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaranku. Sesampai di Praha aku kembali menghabiskan waktu dengan menulis, menatap sedih lukisan yang aku beri nama Shara, nama yang sama dengan nama anak gadis si Pak Tua itu.

Sore sudah hampir habis ketika aku duduk menikmati secangkir cappucinno di café pingiran sungai Vltava. Aku melihat matahari sudah lelah menyinari daratan Eropa. Cahayanya yang nampak murung ditingkahi awan-awan kecil yang berkejaran. Aku sejenak tenggelam dalam putaran otakku. Aku masih mencoba mengkompromikan antara fakta dan imajinasi. Namun lagi-lagi faktor kebetulan menjadi penengah di antaranya. Sungguh membuatku sangat tidak puas. Kejadian-kejadian dalam hidupku seperti sebuah skenario yang sudah selesai ditulis namun belum kutahu akhirnya. Dan setiap kejadian menjadi seperti slide yang diputar dan menawar misteri-misteri yang rumit.

Saat aku tengah berdiskusi dengan otak, hati, dan naluriku, mataku kembali menangkap sekelebat sosok yang kemarin aku kejar. “Shara?” bisikku. Benarkah itu Shara? Benarkah itu gadis multi-dimensi yang telah mendorongku untuk pergi ke sebuah desa yang jauh di pelosok Ceko?

Aku pun mengejarnya. Aku harap pertanyaan terakhirku bisa terjawab dengan bisa bicara langsung pada gadis itu. Aku pun mengejarnya. Kali ini tidak terlalu susah mengejarnya karena dia berjalan pelan. Aku pun berhasil menghentikan langkahnya. Dia tersenyum ramah padaku. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, dan pupil matanya hitam layaknya wanita asia. Oh sempurna sekali gadis ini.

“Apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?” tanya gadis itu.

“Pernah namun kita tidak sampai berkenalan. Saat itu kau sudah harus masuk ke hotel dengan pacarmu.”

“Pacar?”

“Ya mungkin begitu.”

“Aku tidak pernah punya pacar.”

“Lantas lelaki yang membawamu ke dalam hotel beberapa hari yang lalu itu?”

“Itu langgananku.” Jawaban lugas dan begitu polos. Aku sendiri hanya bisa tersenyum. Ternyata dia seorang pelacur.

Akhirnya aku bawa dia ke flatku di sebuah apartemen mewah di tepian sungai Vltava. Dia kagum dengan flatku. Walau pun dia sering menginap di hotel mewah namun dia belum pernah diajak tidur di sebuah flat pribadi.

Aku pun menunjukkan lukisan karya Pak Tua si petani barley kepada gadis itu. Dia seperti baru saja diperlihatkan foto dirinya. Namun wajahnya masih nampak datar walau sempat bilang “wow” padaku.

“Imajinasimu hebat. Aku belum pernah secara sengaja menjadi modelmu namun kau bisa melukis diriku dengan sempurna.” Komentar gadis itu tentang lukisan itu.

“Bukan aku yang melukis.”

“Lantas?”

“Seorang Pria Tua petani barley di pinggiran Ceko adalah pelukisnya.”

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Nampak dia tidak tertarik lagi untuk mengetahui sang pelukis lukisan itu. Dia pun menuju kamar mandi dan beberapa menit kemudian keluar dengan hanya memakai pakaian tidur. Aku rasa dia sudah tidak mengenakan apapun kecuali pakaian tidur itu. Dia pun duduk di bibir ranjang dengan menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Tungkai dan sebagian pahanya nampak terbuka. Cukup menggoda. Apalagi saat dia melempar sebuah senyuman khas pelacur. Nuansa erotis pun berhasil dia ciptakan.

“Aku seorang pelacur, tugasku hanya menghibur dan memuaskan nafsu pengguna jasaku. Jadi tunggu apa lagi? Bersenang-senanglah malam ini.” Kata gadis itu menggodaku.

“Aku bebas melakukan apa saja bukan asal aku membayarmu?”

Dia menjawab dengan anggukan tak ketinggalan, senyumnya yang menggoda.

“Kalau begitu kau tidurlah dulu aku belum mau melakukan apapun di saat hari masih cukup sore begini.” Aku mencoba beralasan untuk menutupi segala kelemahan diriku sendiri, aku memang seorang penderita lemah syahwat.

“Baiklah jika itu maumu. Aku tidur dengan telanjang, jika nanti kau sudah siap kau boleh langsung melakukannya tanpa harus membangunkanku.”

Kali ini aku yang mengangguk tanda mengiyakan.

Malam mulai merambat naik di kota Praha. Sungai Vltava nampak memantulkan sinar rembulan yang purnama. Lampu-lampu penerang jalan juga terefleksi di permukaan airnya yang jernih bak cermin. Aku duduk di sebuah kursi goyang sambil menatap tubuh pelacur yang belum sempat aku tanyai namanya. Mungkin begitulah dunia pelacur, identitas tak seberapa penting, yang penting adalah uang dan kepuasan. Aku tak bisa membayangkan berapa lelaki yang sudah meniduri gadis ini. Malang benar, kecantikan yang seharusnya tidak bisa diharga dengan apapun, kini justru tergadai dengan harga yang murah.

Sesekali aku berpaling ke arah lukisan itu. Lukisan yang menggambarkan sosok gadis dari keluarga Muslim lengkap dengan kerudungnya. Gadis itu menebarkan harmoni indah dalam penglihatankan. Kudapatkan sebuah keteduhan yang tiada duanya. Aku bahkan seperti melihat surga dalam sosok itu.
Berbalik arah saat aku kembali memandang gadis pelacur yang tidur telanjang di atas kasurku. Dia cantik namun hanya membiaskan nuansa erotis birahi saja. Walau dia sangat mirip dengan gadis yang ada di lukisan itu namun dia tetaplah tidak bisa menghadirkan keteduhan seperti yang dipancarkan oleh gadis dalam lukisan itu. Namun melihat tidurnya rasa ibaku terbangkitkan. Wajahnya yang begitu menggoda kala terjaga berubah menjadi wajah polos yang seakan tidak punya dosa. Seharusnya gadis itu bisa merasakan cinta, kedamaian, dan kebahagiaan dalam hidupnya. Kenapa dia harus berjuang sendiri di atas dunia ini? Apakah tidak ada lelaki yang peduli padanya. Apakah para lelaki hanya melihat elok tubuhnya saja sementara mereka melupakan hakikat sejati dari gadis itu, yaitu wanita?

Aku pun tertidur terlelap terbuai mimpi di atas kursi goyangku. Aku masuk ke dalam dimensi lain dari hdiup ini. Inilah dimensi paling ideal, setidaknya menurutku. Setelah merenungi makna cinta, birahi, dan kebahagiaan, aku akhirnya terlempar ke dunia paling sempurna yang menghilangkan semua aturan dan hukum sebab akibat. Itulah mimpi.

“Jangan bergerak!!!” suara gertakan keras khas polisi membangunkanku. Barusan tadi aku merasakan damai yang tak terkira di alam mimpi, lantas kini aku dihadapkan pada mozaik paling keras dalam kehidupan manusia. Aku dituduh membunuh dan korbannya adalah gadis pelacur yang tidur di ranjangku. Aku yang merasa tidak melakukan apa-apa pun mengelak dari tuduhan itu. Namun sebuah paparan nyata di depanku membuatku diam seribu bahasa. Pelacur itu sudah mati bersimbah darah dengan luka tusukan di sekujur tubuh tak terkira banyaknya. Sementara lukisan gadis berkerudung itu sudah hancur tercabik-cabik. Aku hilang kesadaran. Aku kehilang dua dimensi yang selama ini menemaniku. Cinta dan syahwat kini sudah tidak lagi memperebutkanku. Mereka berdua sudah memilih jalan masing-masing. Dan aku ditinggalkan begitu saja dan dibiarkan diborgol petugas kepolisian.

"Bila sudah lelah mencintai kenyataan maka cintailah khayalanmu sendiri..."


Untuk Kamu Ayunda Venezia

Aku pergi. Maaf. Aku harus angkat kaki dari kenyamanan dan kenyataan. Aku tak lagi seperti dulu. Makasih atas semua yang pernah kau lukis dalam hari-hariku. Itu sesuatu yang tak akan pernah dapat terlupakan, dan aku tak akan bisa membalas itu semua. Canda tawa, senyum sinis, riak-riak kecil kecemburuan, semuanya adalah hal yang tak akan mudah tercecer di sepanjang perjalanan. Tapi sesuatu telah terjadi, dan aku dihadapkan pada dua pilihan. Mengikuti aliran konservatisme, yang aku sendiri muak telah sekian lama berada di dalamnya, atau terbang bebas, dengan resiko terjatuh jauh sewaktu-waktu.

Aku memilih yang kedua, itu alasan jelas mengapa aku meninggalkanmu. Karena mulai hari ini aku terlanjur memasuki dunia imajiner, aku tak ingin kau terbawa kesana. Itu dunia percobaan, yang sewaktu-waktu bisa mengamuk tanpa sebab yang jelas. Kamu terlalu sempurna. Aku tak ingin memberimu harapan yang hanya sebatas harapan, dan kenyataannya aku belum bisa melangkah kemana-mana. Aku meninggalkanmu bukan karena aku tak lagi sayang sama kamu. Justru itu karena aku tak mau kamu kenapa-napa. Aku selalu mendoakan kamu tetap dalam keadaan baik di luar sana.

Sekali lagi maaf, kalau selama ini aku hanya menjadi "iklan" dalam hidupmu. Aku belum mampu memberi yang terbaik. Aku belum bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Sebaliknya, kau telah memberikan pengaruh besar dalam hidupku. Berkali-kali kau menerbitkan secercah asa dalam pekat kegelapanku. Dan aku akui, itu semua karena aku, bahkan sampai detik ini, masih labil. Kau menunjukkanku arti kedewasaan, perjuangan, ketahanan hidup, apapun. Kalau aku boleh bilang dengan bahasaku sendiri, itu bukan sekedar "survive", tapi "life yang sesuangguhnya". Sayangnya aku belum bisa melakukannya. Bodoh ya aku?.

Satu lagi, aku bukan seperti yang kamu lihat. Dulu aku memang agak berkarakter. Tapi pelan-pelan aku melemah tertelan waktu. Masih banyak hal-hal yang kamu tidak tau tentang aku, karena memang aku tak ingin seorangpun tau. Putaran roda kehidupan menghadapkanku pada pilihan yang dilematis. Aku tau kamu pastinya tak ingin sesuatu seperti ini terjadi. Tapi dunia terlanjur mempunyai hukumnya sendiri. Jikapun akhirnya kita harus berjalan sendiri-sendiri, mungkin takdir sedang menuntun kita untuk menapak arah yang lebih baik. Aku sendiri tak tau apa yang akan terjadi nanti, besok, besoknya lagi, dan seterusnya.

Sudahlah. Biarkan mozaik-mozaik kisah kita tersimpan rapi di bawah debunya masing-masing. Aku tak mau berandai-andai. Ini soal realistis atau bukan. Bukankah kamu yang dulu mengajarkan untuk tetap berpikir realistis dalam keadaan apapun. Aku pergi, tanpa meninggalkan kebencian sedikitpun. Karena aku pergi bukan karena mencari kesenanganku sendiri. Tapi aku beranjak lebih karena aku tak ingin melukai atau mengecewakan orang-orang yang ada di sekitarku, orang-orang yang menyayangiku. Biarlah aku karam dalam lautan takdirku sendiri. Sekali lagi, maafkan aku.

Karya : Luqman el hakim


    Teruntuk Selma Azlic

Aku rindu kamu. Aku rindu canda tawamu yang memecah keheningan. Aku rindu celotehanmu yang mengusir kepenatan. Apa kau di sana baik-baik saja?, aku harap begitu, atau lebih dari itu. Aku rindu senyummu yang kadang setengah sinis itu. Aku rindu kau menertawakan kebodohanku, lalu kau mengajariku dan ternyata kamu sama-sama bodohnya, lalu kita tertawa lepas seolah-olah tak ada orang lain yang memperhatikan. "kalau ada yang terganggu, nanti tinggal minta maaf aja", ucapmu enteng.

Aku rindu kamu. Aku rindu semua tentang kamu, kau tau itu?. Setiap jengkal lantai yang pernah kau injak, masih ada tandanya disini. Bahkan mereka masih tertata rapi. Setiap waktu setiap saat dirimu berdansa di dalamnya. Dansa yang aku anggap ramai, bahkan ketika orang lain sedang di cekam ketakutan sekalipun. Jejak-jejak yang pernah kau lalui, kursi dimana kita terbiasa duduk santai di atasnya, menjemput senja, mengantar matahari pulang ke peraduannya, semua masih sama. Bahkan meja yang tempo dulu pernah kau tumpahkan kopi pekat padanya, hari ini bekasnya masih tertera.

Aku merindukanmu. Apa kabarmu sekarang?. Sedang apa?. Masih ingat aku-kah?. Kalau tak bersamaku, kamu bersama siapa?. Masih suka mengagetkan dengan menepuk bahu-kah?. Lantas siapa sekarang yang kamu kagetkan?. Dandananmu masih serapi dulukah?. Apa ada yang berubah dengan dirimu?. Sedewasa apa kau sekarang?. Masih semangat seperti dulu, atau malah tambah enerjik lagi?. Kurang lebih pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang menggelayut dan rela antri ribuan kilometer untuk disampaikan padamu, yang entah lewat mana aku harus melayangkannya. Aku tak tau. Jujur aku kembali buram semenjak kepulanganmu. Tapi pada suatu waktu, seseorang harus kembali ke asalnya masing-masing bukan?.

Tapi sampai sekarang ada yang belum hilang. Di sini (menunjuk dada). Ada yang masih membekas. Ada banyak memori yang tertinggal. Mengapa tak sekalian kau membawanya pergi jauh?. Mengapa kau meninggalkannya?. Mengapa?. Kau pernah hadir dalam hidupku, cukup lama. Sampai-sampai, kala itu, aku sangat terbiasa denganmu, dan tak pernah mampu memikirkan apa jadinya kalau kita harus terpisah satu sama lain. Ah, kala itu, kalau membicarakan tentangnya tak akan berujung. Air mukamu saja itu sudah cukup mampu memadamkan api emosi yang entah seberapa besarpun kobarannya. Kau bukan orang sombong, tapi kau tak pernah menghindar dari tantangan. Kau banyak mengajariku tentang bagaimana cara menganyam molekul-molekul kehidupan, sehingga menjadi satu kesatuan yang indah dan berwarna, atau apalah, aku bahkan tak menemukan diksi yang tepat untuk menyebutnya.

Apapun itu, aku merindukanmu. Kau pernah meramaikan hidupku. Kita pernah dekat, sangat dekat, lebih dari sekedar sahabat, entah apa pastinya, itu juga aku tak tau. Yang jelas, di saat aku sedang terlempar ke dalam zona paling naif seperti sekarang ini, dimana aku sama sekali tak bisa membangkitkan motivasi dari diriku sendiri, aku selalu membayangkan kau sedang duduk di sampingku, mengumbar senyum dan berucap singkat, "kehilangan orang yang kita sayangi itu adalah bagian dari hidup. Kamu harus bisa menghidupkan duniamu sendiri, dan aku yakin kamu pasti bisa".

Karya : Luqman el hakim

Semoga cerpen diatas, bermanfaat bagi sahabat semua

0 comments: