Dominasi Nalar Politik Praktis

 "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya."
[Minke, Jejak Langkah]

Hukum tersudut untuk sekedar berujar kebenaran, di sementara massa mengasumsikan kemenangan sebagai pra-syarat realisasi keinginan masyarakat. "Bukankah demokrasi ialah oleh, dari, dan untuk rakyat?!", demikian ujaran sinis yang muncul. Keinginan tersebut pula yang "konon" legitimatif oleh dogma kemustahilan publik untuk berkonsensi dalam kekeliruan. Inilah realitas yang kita saksikan beberapa waktu lalu, seiring prosesi pemilihan hingga akhir pelantikan Presiden PPMI 2010-2011. Persoalan kemudian tentu bukan lagi sebatas sengketa antara politik argumentatif versus politik kuantitas. Lebih dari itu ialah adanya persentuhan paradigmatis organisasi, oleh nalar politik praktis.

Kedudukan yang sarat kekuasaan menjadi  obyek rebutan, daripada harus disikapi secara kekeluargaan yang merupakan karakter organisasi Masisir. Chaos ! Inilah dampak nyata yang telah kita saksikan begitu paradigma kekeluargaan melepuh, lalu didominasi oleh nalar politik praktis dalam menyikapi sirklus kepemimpinan organisasi Masisir: PPMI.

Di sini penulis tidak akan menganalisa lebih jauh muara nalar politik praktis, namun lebih korektif membaca konsekuensi pada alur dinamika Masisir. Sebagai upaya antisipasif rongrongan nalar dominan, Masisir harus kembali menguatkan konstruksi paradigma keorganisasiannya guna mempertahankan identitas sebagai organisasi kemahasiswaan.

Impotensi Imajinasi Sosial

Kemelut paradigmatik dalam komunitas sosial yang bernama Masisir ini, serius mengaburkan pandangan publik terkait karakter dan pola interaksi organisasi. Permusyawaratan sebagai yang melandasi dan acuan dinamika interaksi antar organisasi terjebak dalam asumsi-asumsi politis. Oleh dari itu, fundamen permusyawaratan yang mengacu pada pola interaksi kebersamaan, solidaritas, kekeluargaan, terdesak ke dalam "ruang ilusi". Pragmatisme politik praktis dihadap-tentangkan secara langsung dengan janji organisasi sebagai penyokong produktifitas dan ruang kreasi insan akademik.

Maka penting kiranya untuk menilik Sociological Imagination yang diasumsikan oleh C. Wright Mills (1916-1962) sebagai, pertautan antara proses mengerti untuk kemudian merubah masyarakat. Mills memandang imajinasi sosial sebagai bentukan kreativitas dan kritisisme masyarakat dalam memahami pertautan intim antara jatidiri dan sejarah: inter-relasi antara ruang individu dengan ruang publik sosial, untuk kemudian membentuk masa depan yang lebih memadai.

Sengketa asumtif publik dalam menilai pola interaksi organisasi—dan tidak mustahil berimbas pada interaksi individu, tentu melukai imajinasi Masisir untuk mewujudkan konstruksi sosial yang lebih berkualitas pada episode-episode kemudian. Pun merongrong sistem yang telah, dan tengah dijalankan organisasi, tanpa ada analisa kritis: sebatas wujud traumatik sosial. Chaos sebagai dampak Sidang Pleno I beberapa waktu lalu sudah sepantasnya menjadi pelajaran penting. Faktor apa yang kiranya memicu terjadinya chaos?

Jawaban dari pertanyaan ini akan ditemukan hanya jika berani membedah "ruang ilusi" yang tersebut di atas. Dalam hal ini Masisir harus lebih instrokpeksionistis melihat ke "dalam" agar bisa mengenali identitas diri. Sehingga dengan serta merta berani mengenyahkan benih-benih halusinatif yang mungkin mengaburkan kesadaran. Identitas itu ialah masyarakat pelajar, dan benih-benih halusinatif yang dimaksudkan ialah politik praktis. Dan nyata, silang pandang terhadap pemaknaan atas kepeminpinan tidak bisa dihindarkan: mereka yang mempertahankan identitas memaknai kepemimpinan dalam porsi keorganisasian sehingga kokoh berpijak pada UU yang telah disepakati, sementara sebagian yang terkena bias politik praktis lebih memaknai kepemimpinan sebagai kursi "kekuasaan".

Sejurus kemudian Masisir memasuki musim baru; politis. Instansi Kekeluargaan dipandangan sebagai yang serupa dengan partai, instansi PPMI pun akan diasumsikan sebagai wilayah 'basah'; sebagai muara kepentingan meraup massa misalnya.

Tiadanya penguasaan atas jatidiri dan sejarah olehkarena keterpesonaan terhadap iming pragmatis paradigma baru (politik praktis, Red), sudah barang tentu bakal menjadi benih kejumudan dan rapuhnya kerangka sosial yang kita huni bersama: sosial kemahasiswaan. Lantas apa yang harus dilakukan?

Pengokohan Paradigma

Dalam pengertian yang populer, paradigma adalah asumsi tentang bagaimana semestinya kehidupan berlaku, atau cara pandang terhadap sesuatu. Paradigma inilah yang akan menjadi piranti pembentukan konsepsi hidup—dalam pada ini konsepsi sosial, teori, norma, dan tatanan yang diidamkan. Pada saat yang berkesinambungan, paradigma harus mampu menata baik imajinasi sosial.

Di sini paradigma berperan untuk mengerti secara baik situasi, untuk kemudian menciptakan solusi untuk problematika yang ada. Kita dikenalkan dengan Thomas Kuhn (1970) sebagai tokoh kompeten dalam hal ini. Juga tokoh klasik serupa Hippocrates yang terkenal dengan Humoral Theory of Diseas-nya. Olehkarena itu dengan menilik dimensi fungsional, paradigma ialah yang harus memiliki unsur idealitas, futuristik, sekaligus realistis. Yakni, paradigma sebagai carapandang hidup harus prospektif dalam konstruksi imajinatifnya, sekaligus mampu menjawab problematika sosial "kesekarangan". Pragmatisme, baik secara epistemis ataupun sebagai pola hidup, harus dimaknai secara baik sehingga tidak menuntun manusia pada jurang materialis samasekali.

Munculnya partai politik, yang secara simbolik bisa dibuktikan dengan—misalnya-- adanya atribut-atribut politik, harus dipandang sebagai fenomena untuk kemudian dipersepsikan secara lebih mendalam. Dengan alasan, pertama, bahwa Masisir memiliki jatidiri, yakni sebagai komunitas kemahasiswaan yang tentu kontra-asasi dengan karakter partai politik. Kedua, bahwa politik praktis tidak mendapatkan legitimasi historis untuk tetap mengembangkan sayapnya dalam ruang sosial Masisir.

Pertanyaan penting yang muncul kemudian ialah, paradigma yang merupakan konstruksi nalar olehdari proses pemahaman atas sejarah dan realitas dalam ruang sosial Masisir sudah melepuh dari idealitasnya? Sehingga nalar politik praktis menjadi alternatif yang jutru dominan dikonsumsi?[]

0 comments: