Makna Ketakutan (Khauf ) dalam Persepsi Imam Ghazali di Ihya Ulumuddîn

Sebagai seorang teosof (teolog sekaligus sufi), Al-Ghazali mempunyai konsentrasi yang lebih terhadap kebahagiaan akhirat. Berekspedisi menggeluti berbagai macam ilmu, dari metode rasionalitas sampai ke metode intuisi, Al-Ghazali mendapuk kehidupan akhirat sebagai tujuan manusia yang sebenarnya. Hal ini mulai kentara melalui karya-karyanya pasca skeptis selama 2 bulan. Lebih jauh lagi, ia menyatakan kenikmatan yang tak ada bandingannya, adalah saat-saat bertemu dengan Sang Pencipta kelak di akhirat.

Perhatian lebih terhadap kehidupan akhirat ini terlihat jelas pada muqadimah kitab Ihya Ulumuddîn. Dengan persepektif kehidupan akhirat sebagai pondasi, ia membagi kitab tersebut menjadi empat bagian yang kesemuanya ditujukan untuk kebahagiaan di dunia sebagai buahnya, dan di akhirat sebagai tujuan utamanya.

Empat bagian ini tidak bisa terlepas dari pembagian Al-Ghazali terhadap ilmu itu sendiri. Ia membagi ilmu yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan akhirat menjadi dua: ilmu muâmalah, dan ilmu mukâsyafah. Ilmu mukâsyafah sejatinya yang menjadi ilmu hakikat, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang tertentu (khawâs dan para ârifîn). Selain itu, ilmu mukâsyafah ini hanya diterangkan secara implisit oleh nabi sebagai pembawa risalahnya.

Sedangkan di dalam ihya’, seluruh pembahasannya hanya khusus pada ilmu-ilmumuâmalah (praktis). Karena ilmu muâmalah ini lah yang bisa dijangkau oleh seluruh kalangan umat. Ia kembali membagi ilmu muâmalah itu menjadi dua : ilmu dzhaîr dan ilmubathin, ilmu tentang keadaan-keadaan hati dan akhlaq.

Al-Ghazali membagi lagi ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia (ilmudzâhir) menjadi dua: perbuatan yang berkaitan dengan ibadah, dan perbuatan yang berkaitan dengan adat. Adapun ilmu batin, ia menggolongkannya menjadi akhlak terpuji(mahmûd) kemudian mengistilahkannya dengan munjiyât, dan akhlak yang tercela(madzmûm) dengan istilah muhlikât.

Pembagian ilmu yang bercabang-cabang ini memiliki posisi penting untuk memetakan jenis ilmu, agar supaya tidak terjebak pada pengeneralisiran ilmu. Dalam bagian munjiyâtyang masih berada pada kategori ilmu batin yang terpuji, terdapat suatu keadaan hati  yaitu ketakutan (khauf) yang akan menjadi pokok bahasan tulisan singkat ini.

Imam Ghazali mendefinisikan khauf sebagai suatu keadaan terluka dan terbakarnya hati yang disebabkan datangnya sesuatu yang tidak disenangi, sebagai konsekwensi atas apa yang telah diperbuat pada waktu yang akan datangn. Di sini, khauf mempunyai posisi seperti raja’ (pengharapan) yang bersifat maqâm dan hâl. Disebut maqâm, jika mempunyai sifat yang tetap  dalam diri. Dan dikatakan hâl jika berupa sifat yang muncul dan cepatnya hilang dari diri.

Hati yang takut ini terkadang berupa pengetahuan atas sebab-sebab yang mengkibatkan pada sesuatu tidak disenangi. Sebagaimana seseorang yang telah membunuh akan merasa takut melihat balasan yang berupa pembunuhan atas dirinya (qishâs) misalnya. Pengetahuan tentang akibat dari pembunuhan inilah yang disebut ilmu yang menimbulkan terluka dan terbakarnya hati dan takut. Begitu juga dengan pengetahuan tentang akibat dari perbuatan maksiat yang akan dibalas dengan seberat-berat azab di dunia ataupun di akhirat.
Semakin banyak pengetahuan tentang akibat yang akan diperoleh, semakin kuat pula rasa takut yang akan timbul. Semakin banyak pengetahuan tentang pedihnya azab yang akan turun kepada para pelaku maksiat, semakin kuat rasa takut untuk menjauhi maksiat tersebut.

Demikian juga dengan sedikitnya pengetahuan. Selanjutnya, rasa takut tersebut dianalogikan dengan cambuk untuk mempercepat jalan keledai. Dengan cambukan yang kuat, keledai bisa berjalan dengan cepat. Aplikasinya ada pada amal manusia. Rasa takut berfungsi untuk meningkatkan amal soleh seorang hamba. Cambuk rapuh yang tidak bisa membuat suatu kemajuan pada amal, hanya berupa rasa takut yang sia-sia atau bisa juga disebut dengan takut yang pura-pura.

Terkadang, ketakutan itu muncul bukan karena pengetahuan tentang akibat perbuatan. Rasa takut itu bisa juga datang karena suatu sifat yang membuatnya menjadi hal yang menakutkan. Seperti kuku dan taring yang ada pada harimau. Sifat dari kuku dan taring yang pada umunya untuk menyerang mangsa inilah yang menyebabkan harimau ditakuti. Sifat-sifat Allah yang berupa al-Qahâr, al-Jabbâr, Syadidul Adzâb yang merupakan wujud dari sifat yang membuat-Nya menjadi dzat yang ditakuti.

Terkadang juga, rasa takut timbul dari sesuatu yang tercipta sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagaimana banjir yang akan merusak dan menenggelamkan bangunan-bangunan. Begitu juga dengan kebakaran, gunung meletus, gempa bumi dan semua jenis bencana alam.
Demikianlah yang seharusnya diaplikasikan pada rasa takut kepada Allah. Baik terhadap sifat-sifat yang menjadikannya ditakuti berupa ancaman-ancaman siksa yang pedih maupun pada diri-Nya yang memang pantas untuk ditakuti mengingat Dia-lah yang maha berkehendak.

Seandainya Dia mengahancurkan seluruh alam raya dan mengazab semua makhluq yang ada di dalamnya, tidak ada yang bisa mencegah-Nya, Dia maha berkuasa. {لا يسأل عما يفعل وهم يسألون} maka akan menjadi kuatlah rasa takut kepada Allah. Orang yang paling takut terhadap Allah adalah orang yang mengetahui Tuhannya dan dirinya sendiri. Dalam hal ini, nabi Muhammad Saw. Menamakan dirinya sebagai orang yang paling menakuti Tuhannya: {انا أخوفكم لله} begitu juga firman Allah : {انما يخشى الله من عباده العلماء} .

Ketika telah sempurna pengetahuan (makrifat) tentang Allah, akan mewariskan/menghasilkan kuatnya rasa takut kepada-Nya. Kuatnya rasa takut tersebut akan membekas dari hati menuju ke tubuh yang akan menghasilkan airmata, atau lebih dahsyat lagi, berupa kematian sebab ketakutan. Dari tubuh, kemudian menuju ke perbuatan berupa penjauhan diri dari perbuatan maksiat dan mematuhi segala perintah-Nya. Orang yang telah merasa takut seperti ini dikenal dengan sebutan wara.

Dikatakan: orang yang takut bukanlah orang yang mengusap airmatanya, melainkan yang menjauhi larangan-larangan-Nya. Abu al-Qâsim al-Hâkim berkata: “orang yang takut pada sesuatu akan bersegera menjauhinya, sedangkan orang yang takut pada Allah akan bersegera menuju kepada-Nya, dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Al-fadhli bin ‘Iyadh pun ikut berargumen: “ketika engkau ditanya: apakah kau takut kepada Tuhanmu? Jika kau menjawab: tidak, maka, kau telah kafir. Dan jika kau menjawab: iya, maka sungguh kau telah berbohong.” Dari sinilah, ketakutan itu diibaratkan dengan cambuk yang akan membangkitkan semangat untuk beramal.

Setelah melalui tubuh, kemudian rasa takut kepada Allah tersebut berujung pada sifat. Dengan kondisi yang demikian, maka mulai muncullah sifat khusyûk, hina dan rendah diri kepada-Nya. Tingkatan wara’ yang bertambah dengan semakin kuatnya rasa takut sehingga menjauhi hal-hal yang syubhat, tidak jelas halal-haramnya, disebut dengantaqwa. Dan ketika khauf itu bertambah lagi sehingga segala konsentrasi dari kehidupannya hanyalah Allah, kemudian meninggalkan segala perkara dunia, pada tingkatan inilah seseorang baru bisa disebut sebagai al-shidq. Takutnya orang terhadap suatu kemaksiatan, biasa terdapat pada orang-orang saleh. Sedangkan takutnya parashiddiqîn, adalah takutnya mereka kepada Allah setelah mengenal-Nya, bukan karena ancaman-ancaman dibalik perbuatan dosa.

Seandainya para pelaku kemaksiatan itu mengetahui (ma’rifât) pada Allah, niscaya mereka juga tidak akan takut dengan azab-Nya. Mereka akan takut disebabkanma’rifâtullâh itu sendiri. Itulah sebabnya hal yang paling ditakuti oleh orang yang arif billahadalah tertutupnya hijab antara dia dengan Allah. Yang dimaksud takut kepada Allah menurut tingkatan para arifin ini adalah bukan takut terhadap Allah sebagai zat yang menakutkan, akan tetapi mereka takut akan tertutupnya hijab antara dia dengan Allah.

Yang perlu diingat, tidak semua khauf itu terpuji. Al-Ghazali memaparkan; terkadang rasa takut itu lemah, rasa takut yang lemah ini sangat sedikit manfaatnya, hanya mengingatkan sebentar kemudian kembali ke keadaan lupa. Menangis sebentar, kemudian maksiat kembali dijalankan. Analoginya seperti sebuah cambuk yang tidak berpengaruh pada keledai. Cambukan tersebut tidak bisa mempercepat gerak keledai karena keroposnya kayu yang digunakan. Rasa takut yang seperti inilah yang dianggap sebagai rasa takut yang sia-sia.

Ada pula yang berlebihan (ifrâth). Rasa takut yang berlebihan ini akan menghasilkan sebuah keputus asaan. Karena begitu besarnya rasa takut yang dialami, orang yang begitu takut tersebut hanya bisa diam, putus asa tanpa perbuatan nyata untuk bergerak lebih dinamis. Karena dahsyatnya, rasa takut ini bisa juga menyebabkan kematian. Sebagaimana cambukan yang seharusnya untuk mendidik, terlalu keras ditujukan kepada seorang anak kecil yang tentu saja bisa mengakibatkan kematian. Takut yang berlebihan ini disifati dengan takut yang tercela.

Demikianlah tulisan singkat ini membahas tentang khauf dalam kacamata Imam Al-Ghazali. Seperti disebutkan di awal tulisan ini, bahwa paling nikmatnya sesuatu adalah kebahagiaan bertemu dengan Allah. Dan segala sesuatu yang bisa menjadi jalan (wasilah)untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan perkara yang bernilai positif. Dan khaufadalah salah satu dari wasilah-wasilah itu. {فاعتبروا يا أولول ألباب}[]

0 comments: