Hukum Nikah Siri Tanpa Wali

Ada banyak alasan manusia untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, tidak jarang itu semua terjadi hanya karena dorongan nafsu belaka. Seperti contohnya nikah siri tanpa wali. Dengan beralasan, "Saya belum di perbolehkan menikah oleh orang tua karena masih terlalu muda, tapi saya sudah 'kebelet', dan saya tidak mau terjerumus dalam perzinaan. Makanya saya nikah siri tanpa wali."

Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum nikah siri tanpa wali. Menurut Imam Al Qurtubi berkata dalam tafsirnya, "Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai nikah yang berlangsung tanpa wali, namun kemudian keduanya mendapat ijin dari walinya sebelum bercampur."

Imam Malik dan sahabat-sahabatnya kecuali Abdul malik berkata, "Yang demikian itu tidak apa-apa, jika memang ijin dari wali itu tidak sampai berlarut dalam jangka waktu yang lama. Baik dia sudah bercampur atau belum. Ini jika nikah itu terjadi tanpa wali dan bukan wanita itu yang menikahkannya sendiri.

Jika wanita itu menikahkan dirinya sendiri dan melakukan akad nikah tanpa wali, baik yang dekat maupun yang jauh dari kaum muslimin, dengan alasan apapun walaupun telah berjalan lama dan wanita itu telah melahirkan anak, nikah yang demikian itu tetaplah tidak sah selamanya.

Namun walau demikian, anak yang dilahirkannya adalah menjadi anaknya (sang ibu) dan baginya tidak ada hukuman. Pernikahan itu hendaknya segera difasakh. Dalam hal itu Ibnu Nafi' meriwayatkan dari imam malik ; Pernikahan semacam ini difasakh tanpa talak." Saya katakan ; Insyaallah, inilah yang benar."

Bagaimana hukumnya wanita yang dinikahkan oleh walinya yang jauh sementara yang lebih dekat hadir.

Imam Asy-Syafi'i berkata, "Nikah yang semacam ini adalah batil."
Imam Malik berkata, "Nikah yang semacam ini boleh saja."
Ibnu Abdul Barr mengatakan ; "Jika wali yang dekat tidak melakukan protes apapun dan tidak menolak atas pernikahan itu, maka pernikahan tu sah."

Namun jika dia memprotes dan wanita yang dinikahkan itu adalah wanita janda yang baligh dan yatim, serta tidak ada orang yang mendapat wasiat, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara pendapat Imam Malik dan sahabat-sahabatnya dengan sekelompok ulama Madinah. Ada diantara mereka yang mengatakan bahwa yang demikian bahwa yang demikian itu tidak apa-apa dan pernikahan tersebut dianggap sah, sebab bagaimana pun juga pernikahan itu terjadi dengan izin walinya.

Sementara yang berpendapat bahwa ini tidak boleh, adalah karena perwalian itu dilakukan secara berurutan dari yang paling dekat, meskipun dikatakan bahwa ini adalah mustahab dan bukan sesuatu yang wajib. Demikianlah madzhab Imam Malik dalam pandangan sahabat-sahabatnya. Dan inilah pendapat yang menjadi Ismail bin Ishaq dan para pengikutnya.

0 comments: