Artikel Pendidikan Di Indonesia, Koreksi Sistem dan Solusinya

Membincang tentang pendidikan di Indonesia. Perlu kiranya kita mempertanyakan kembali sistem pendidikan yang selama ini diajarkan disekolah. Seperti kita ketahui bahwa 2 Mei adalah hari Pendidilkan Nasional. Tampaknya bulan yang pas bagi bangsa Indonesia untuk mengorekasi sistem pembelajaran yang menunjukkan banyak catatan sekaligus perlunya suatu pembenahan. Bagaimana tidak, dunia pendidikan di Indonesia masih menunjukkan wajah yang memprihatinkan. Pendidikan seolah menjadi tumbal sekaligus korban kepentingan para praktisi elite pendidikan hampir di semua jajaran birokrasi kekuasaan.

Dari yang paling membingungkan, seperti kebijakan coba-coba (trial and error) terhadap sistem pendidikan yang pas bagi masyarakat Indonesia seperti apa, jelas ini menunjukkan ketidak-sungguhan sekaligus ketidak-mampuan pemerintah mengenal tipologi mayarakat terkait kegiatan belajar-mengajar yang ada.

Di era kemajuan peradaban yang pesat dan luasnya informasi dewasa ini, ilmu pengetahuan yang legal-formalnya direpresentasikan dalam bentuk institusi pendidikan dapat disetarakan dengan kebutuhan primer sebagaimana kebutuhan makan. Pendidikan sejatinya barometer untuk mengukur manusia terkait masalah kecerdasan, intelektualitas, dan kemampuan bernalar. Ia juga dapat membentuk manusia menjadi makhluk yang berkeadaban dan memajukan peradaban.

Dari tinjauan historis dan rentang waktu, perjalanan pendidikan di Indonesia menunjukkan grafik yang unik dan menarik. Bahwa pada masa penjajahan, pendidikan diatur dan dikelola secara ketat oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Politik Etis pun menjadi bentuk balas budi atas semua kolonialis-imperialis selama ini. Meskipun begitu, diskriminasi jelas sesuatu yang sangat kentara, larangan Bumi Putera untuk meraih pendidikan dan hanya kaum bangsawan yang berhak mendapatkannya adalah situasi penggambaran saat itu.

Kemudian kemerdekaan pun akhirnya tercapai, Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno cukup memberikan angin segar bagi ruang kegiatan belajar. Sukarno adalah tipe orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Dalam kongres ke-7 IPPI di Istora Senayan, Sukarno bercerita panjang yang hemat kata menyeru kepada generasi muda untuk menanamkan kesadaran imajiner terkait soal cita-cita besar apa yang seharusnya diperjuangkan demi membangun Indonesia. Konsep sosialisme yang mendasari pendidikan saat itu, membentuk anggapan bahwa pendidikan bukan ditentukan derajat kelas sosialnya.

Orde Baru hadir untuk mengkebiri kebebasan berfikir. Kultur belajar pada masa Orde Lama dilarang dengan alasan membahayakan kehidupan sosial di masyarakat. Pembatasan terhadap buku-buku pemikiran yang berbau komunis-sosialis benar-benar tidak diperbolehkan. Yang sejatinya kebebasan berkumpul dan berpendapat dalam proses kegiatan belajar, justru dianggap kejahatan subversif yang dapat mengganggu stabilitas. Pandek kata, pendidikan masa ini memang sengaja direkayasa sedemikian rupa untuk politik pencitraan dan kepentingan pemerintah saat itu.

Gerbang reformasi pun akhirnya terbuka, menutup rapat-rapat masa pemegang kekusaan sebelumnya tepat pada saat bulan pendidikan tahun 1998. Bangsa Indonesia mencoba memasuki era pembebasan. Perbaikan pun mulai dilakukan dengan cukup serius hampir di semua lini tata kepemerintahan, termasuk di bidang pendidikan. Dari perspektif emansipasi dan kesetaraan hak, dunia pendidikan menunjukkan wajah yang cukup menggembirakan. Secara bertahap namun pasti mulai ada pengakuan betapa gender tidak dianggap lagi sebagai batu sandungan bagi seseorang untuk meraih pendidikan secara layak.

Moh Yamin dalam buku ini berusaha menguraikan konsep pendidikan yang diilhami dari Paulo Fraire dan Ki Hajar Dewantara untuk menciptakan manusia yang berkualitas dan mampu berfikir cerdas. Artinya sistem pendidikan ini dapat membentuk pola pikir seseorang menjadi kritis terhadap banyak hal. Ini dimaksudkan untuk menghindarkan seseorang dari pembodohan oleh siapapun, tak terkecuali pemerintah dan praktisi pendidikan yang erat dengan banyak kepentingan.

Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, perspektif kearifan dalam dunia pendidikan sudah seharusnya diperhatikan dan diimplementasikan. Bahwa konsep “jer basuki mawa beya” harus benar-benar dijauhkan dari dunia pendidikan menjadi platoform dari kearifannya. Artinya seberapa jauh keberhasilan suatu institusi pendidikan dalam menelurkan manusia pintar itu ditentukan seberapa besar dana dan biaya yang harus dibayarkan.

Jika hal ini terjadi, maka akan tercipta kesenjangan dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akses pendidikan seolah hanya untuk bagi mereka yang kaya. Suasana ini akan terulang kembali seperti zaman penjajahan dulu. Dan yang lebih menyakitkan, institusi pendidikan akan mulai kehilangan tujuan mulianya. Bukan difungsikan untuk sarana berkembangnya ilmu pengetahuan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, melainkan menjadi komoditas komersial sebagai alternatif jalan baru memperbanyak aset kekayaan.

Fenomena perlombaan menciptakan universitas bertaraf internasional (world class university) tentunya dengan estimasi biaya mahal di kota-kota besar menunjukkan dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda masalah yang serius. Hal ini semakin diperparah dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah dalam bentuk UU BHP yang semakin menegaskan bahwa teori untuk menciptakan pendidikan berkualitas harus diiringi dengan biaya besar. Bahwa kemudian pendidikan yang layak dan ilmu pengetahuan hanya diperuntukkan bagi mereka yang berduit dianggap fenomena kewajaran sekaligus pembenaran adalah hal yang menakutkan bagi dunia pendidikan.

Tidakkah kita belajar pada film Laskar Pelangi? Untuk terciptanya manusia yang berkualitas dan cerdas kenyataanya tidak ditentukan oleh status sosial, mewahnya fasilitas, dan besarnya biaya pendidikan. Melainkan ketekunan, semangat, dan cinta adalah elemen penting bagi seorang dapat terhindar dari kebodohan dan miskinnya ilmu pengetahuan

Jalan baru atas masalah dunia pendidikan di negeri ini adalah tuntutan lahirnya kearifan oleh institusi pendidikan maupun pemerintah. Hal ini dapat dilihat bagaimana sejarah Ki Hajar Dewantara dalam mempelopori terbentuknya lembaga pendidikan melalui Taman Siswanya. Tut Wuri Handayani tampaknya menjadi cahaya atas kebuntuan ini, bahwa pendidikan yang baik adalah hak dasar manusia tanpa ditentukan oleh kelas dan kasta.

0 comments: