Teologi Islam Modern dan Ilmu Pengetahuan

Teologi Islam Modern dan Ilmu Pengetahuan merupakan bahasan yang kiranya urgent untuk diperbincangkan oleh ilmuwan muda Islam.Sembari memperingati hari lahir seorang ilmuwan astronomi Eropa yang banyak belajar dari buku-buku sarjana Islam, Nicolaus Copernicus, penulis tak kuasa membendung hasrat dan gelisah akan kondisi kekinian teologi Islam yang kaitannya dengan sains modern. Copernicus adalah salah seorang "ahli bid'ah" umat Katolik yang dihukum mati karena teori Heliosentrisnya. Gereja menjatuhi hukuman mati kepadanya karena dia menentang ajaran Geosentris yang ada di gereja. Ajaran yang telah memakan banyak korban. Keyakinan yang berdarah. Selain Copernicus, Galileo juga harus kehilangan nyawa akibat menentang dogma gereja yang diyakini selama beratus-ratus tahun ini. Lantas bagaimana dengan Islam masa kini?

Saat itu adalah abad ke-13 Masehi, Islam tengah menikmati hasil dari Perang Salib yang berlangsung beratus-ratus tahun yang berujung pada perjanjian damai dengan umat Kristen Eropa. Umat Islam pun diberi kesempatan bernafas dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai karya-karya ilmuwan pendahulu mereka kembali dikaji dan dieksplorasi. Namun ada sebuah musibah. Saat itu, 25 judul buku telah dialihbahasakan dari bahasa Arab ke bahasa Latin di Salerno, Sisilia, tanpa pernah dituliskan pengarang aslinya. Buku-buku itu adalah karya-karya ilmuwan Muslim dalam bidang astronomi, matematika, fisika, dan lain-lain.

Tapi itu bukan masalah yang penting untuk dibicarakan hari ini. Kejadian itu adalah masa lalu. Bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa kembali ke sana untuk memperbaikinya. Hari ini kita, umat Islam dipaksa untuk berhadapan dengan realitas pemikiran modern, berjibaku langsung dengan sains dari Barat. Teori Evolusi, teori Big Bang, teori pemekaran alam semesta, teori Big Crunch, teori genetika, teori Relitivitas, Gravitasi, teori sub-partikel atom, penemuan "partikel tuhan" Bosson Higgs, rekayasa genetika, dan lain sebagainya yang tentu saja siap sedia kapan saja untuk menguji bangunan fondasi filsafat Islam, yang dalam hal ini adalah tauhid dengan segala pernak-perniknya. Bangunan teologi yang dibangun atas dasar dogmatisme teks-teks agama akan berkonfrontasi langsung terhadap sains Barat yang memiliki argumentasi ilmiah yang akurat hasil penelitian ratusan ilmuwan selama puluhan tahun.

Ini adalah sebuah tantangan yang mahabesar dan pertanyaan maharumit. Sebuah kesangsian penulis pun merambat nakal di otak dan memunculkan satu pertanyaan, bisakah sarjana-sarjana teologi Islam, menjawab tantangan dan pertanyaan seputar penciptaan alam semesta? Soal awal mula kehidupan? Soal rekayasa genetika? Soal ruang dan waktu? Esensi alam? Logika eksistensi? Kompromisasi teori kiamat dengan teori kekekalan energi? Dan masih banyak lagi pertanyaan rumit yang sudah pasti harus dihadapi seorang teolog Islam mempertahankan ajaran tauhid.

Jawaban berbagai pertanyaan di atas tadi hanya mentok pada kajian-kajian yang dilakukan oleh para pseudoscientist seperti Harun Yahya dan Zakir Naik. Meskipun itu patut dihargai, namun pemaksaan korelasi antara teks agama (al-Qur'an dan Hadits) akan sangat beresiko besar pada perubahan-perubahan hukum alam, sementara kita yakin bahwa teks agama tidak akan pernah berubah. Ijtihad untuk mengkorelasikan beberapa teori yang dikemukakan ilmuwan Barat dengan teks al-Qur'an dan Hadits justru memunculkan banyak lagi kesangsian dan pertanyaan, bila memang al-Qur'an dan Hadits adalah pedoman hidup umat Islam, kenapa realitas kebenarannya justru dibuktikan oleh orang-orang di luar Islam? Lantas kemana saja sarjana-sarjana Islam itu selama ini? Ini sangat paradoksial.

Dan masalah terbesar adalah pemahaman filsafat Islam kini hanya terhenti di kubangan pembacaan teks-teks falsafi masa lalu dari para filsuf-filsuf Islam abad pertengahan. Pemahaman ini hanya seperti obituari bagi para sarjana-sarjana Muslim masa itu. Bahkan teori yang mereka ajukan pun diendapkan hanya dalam buku-buku filsafat yang bersifat doktrinatif. Sangat jarang kita jumpai keberanian seorang sarjana Muslim kontemporer dalam menganalisa ulang teks-teks falsafi para ilmuwan Islam. Bahkan buku-buku analitik yang membahas teks-teks falsafi dianggap bid'ah dan meraka yang mempelajarinya adalah orang liberal. Kondisi kita sekarang ini nyaris sama dengan kondisi Vatikan pada masa lalu.

Keberanian pembaharuan metode berpikir umat Islam pun seperti dikubur hidup-hidup di surau-surau, pondok-pondok pesantren, dan kampus-kampus Islam modern. Mereka berhenti pada titik keyakinan dogamtis yang berasal dari retorika agama (khathabiyah). Padahal ilmu pengetahuan manusia terhadap syariat agamanya dibangun oleh tiga pilar utama yaitu; (1) teks-teks retoris doktrinatif (2) dialektika logis, dan (3) penelitian demonstratif.

Kembali ke ranah sains dan teologi, kita kini berdiri di atas dua pilihan; kemunduran peradaban seiring retorika agama yang semakin menguasai alur pikiran ilmuwan Islam hingga akhirnya dikotomi ilmu pengetahuan (agama dan non-agama) pun tak bisa dielakkan. Atau keberanian melangkah lebih ke depan, hingga kita menemukan satu penafsiran baru bagi teks-teks agama yang menjadi landasan pacu teologi Islam.

Ibaratkan sebuah pesawat, landasan pacu haruslah bersih dari segala kotoran agar pesawat bisa lepas landas dengan mulus. Namun seberapa pun bersihnya landasan pacu, pesawat tidak akan pernah bermanfaat adanya bila tidak pernah diterbangkan.


Imam Al-Ghazali pernah berujar, "Syariat (teks agama) itu seperti cahaya, dan akal itu seperti mata. Apa guna mata tanpa ada cahaya? Lantas apa guna cahaya tanpa ada mata yang menangkapnya?

0 comments: