Alexandria; Kemolekan Pengantin Mediterania

Mendengar kata Alexandria, yang terbayang pertama kali dalam pikiran penulis adalah sosok Alexander Agung dari Macedonia. Seorang raja terbesar Yunani yang telah menaklukkan hampir separuh dunia. Namanya sering diidentikkan dengan Dzul Qornain yang disebutkan dalam al-Qur'an. Hal itu telah menjadi perdebatan para sejarahwan Muslim. Ada yang mengatakan bahwa Dzul Qornain tidak lain adalah Alexander itu sendiri. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan Ibnu Hisyam (w. 218 H/834 M) yang dinisbatkan kepada catatan sejarahwan Islam pertama kali; Ibnu Ishaq, mengenai sejarah turunnya surat al-Kahfi. Kutipan pernyataannya itu dapat dijumpai di catatannya; Sirah Ibnu Hisyam sebagai berikut; "Dzul Qornain adalah Alexander Agung, raja Persia dan Yunani. Atau raja Timur dan Barat.  Sebab itulah dia dinamai Dzul Qornain (Raja yang memiliki 2 mahkota)." Pernyataan ini diikuti oleh para failusuf Islam; seperti al-Farabi, Ibn Sina dan al-Kindi yang notabene adalah pengagum karya-karya Aristoteles yang juga diduga kuat menjadi penasehat sang raja.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Dzul Qornain bukan lah Alexander the Great yang selama ini diyakini oleh kebanyakan orang. Pendapat tersebut dimotori oleh Abu al-Kalam Azaad; seorang cendikiawan Islam India yang lahir pada kesepuluh akhir abad ke-19. Dia mengatakan bahwa raja Cyrus Agung dari Persia lah yang karakteristiknya sesuai dengan Dzul Qornain yang ada di dalam al-Qur'an. Pendapatnya itu juga diamini oleh dua pemimpin tertinggi (Grand Syeikh) al-Azhar;  Syeikh Mutawally Sya'rawy (w. 1998 M) dan Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi (w. 2010).

Terlepas dari perdebatan di atas, Alexander Agung lah yang telah meninggalkan bukti-bukti sejarah autentik di Mesir yang bertahan hingga saat ini. Bukti-bukti tersebut adalah simbol betapa Alexandria pada dahulu kala pernah menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Sehingga dengan menginjakkan kaki di kota itu, seolah-olah pembaca akan dibawa kembali ke era hellenistik. Sebuah era di mana filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan serta segala macam kebudayaannya mulai menyebar dan berasimilasi ke negara-negara taklukkan sang raja, dan Alexandria sebagai ibukotannya.

Untuk mengenal lebih dalam tentang itu, maka pada bulan Juli lalu, Tebuireng Center periode 2011-2012 mengadakan sebuah agenda acara wisata ilmiah ke kota ini. Sehingga, selain bisa menikmati keeksotisan dan kemegahan kota yang dikelilingi oleh hamparan laut Mediterania, penulis juga mendapatkan beberapa informasi menarik tentang sejarah, legenda, ilmu pengetahuan yang tidak hanya didapat melalui peninggalan-peninggalan Alexander Agung saja, tetapi juga melalui peninggalan-peninggalan dinasti-dinasti lain yang pernah berkuasa.

II 
Sabtu tanggal 14 Juli kami berangkat dari sekretariat TC (Tebuireng Center) yang terletak di distrik 10th (Hay Asyir) ke stasiun kereta api kota Ramses. Kami serombongan yang berjumlah sekitar 17 orang berharap-harap tidak ketinggalan kereta menuju Alexandria, karena jika mengikuti jadwal keberangkatan yang tertera di tiket, kami telah kehilangan 5 menit. Beruntung sekali bapak penjaga stasiun bilang bahwa kereta yang kami nanti-nanti belum datang. Setelah sekitar 3 menit, kerata yang kami tunggu tiba, perasaan kami pun lega. Entah kenapa kereta yang kami naiki diberi nama Faransawi, atau kereta Perancis. Barangkali modelnya, jenis atau pembuatnya adalah dari perancis, kami tidak tahu. Selain Faransawi, ada juga kereta yang namanya Turbine, dan Isbania (Spanyol) yang tentunya dengan pelayanan dan fasilitas berbeda. Dan ada juga, kereta yang jenisnya sama dengan kereta KRL di Indonesia. Setelah memasuki gerbong, kami menentukan tempat duduk masing-masing sesuai dengan nomer yang ada di tiket. Penulis sendiri mendapatkan tempat duduk di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan.

Jarak tempuh antara Kairo dan Alexandria sekitar 220 km dengan 5 stasiun setiap propinsi yang kami singgahi. Waktu untuk menghabiskan jarak tersebut sekitar 5 jam. Sambil menikmati pemandangan pedesaan yang sama sekali berbeda dengan kebisingan kota Kairo, penulis mencari-cari informasi tentang sejarah Alexandria.

Selain menjadi propinsi terbesar kedua setelah Kairo, Alexandria juga menjadi gerbang peradabaan dan kekayaan bangsa Mesir. Kota tersebut adalah pelabuhan terbesar yang ada di sepanjang 32 km pantai laut Mediterania. Ia tidak hanya menangani hampir 80% ekspor dan impor negara, tetapi juga menjadi simbol kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban. Di dalamnya akan kita jumpai Alexandria bibliotika, salah satu perpustakaan tertua dan terbesar yang pernah ada di dunia. Gara-gara perpustakaan ini, Alexandria mendapat prediket sebagai salah satu kota dari tujuh keajaiban dunia kuno. Ada yang bilang Alexander Agung sendiri yang meletakkan batu pondasi perpustakaan tersebut. Akhirnya terbayang dalam pikiran penulis, bagaimana buku dan ilmu pengetahuan, kedudukannya penting sekali dalam penaklukkan dunia, seperti Alexander yang memperhatikan buku-bukunya. Selain perpustakaan ini, terdapat sebuah katakombe (bangunan bawah tanah) yang diberi nama Saradib Kom el Shoqafa. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada masa abad pertengahan, yaitu ketika dinasti Nerva-Antonin dari Romawi berkuasa (Abad kedua Masehi). Dengan adanya katakombe ini, Alexandria juga mendapatkan kehormatan dipanggil sebagai salah satu kota dari tujuh keajaiban dunia abad pertengahan. Maka wajar jika kota ini dijuluki; "pengantin laut Mediterania." Karena menjadi pengantin adalah menjadi raja sebab  diistimewakan, serta menjadi penghubung berkumpulnya berbagai peradaban.

Sambil menikmati matahari yang seolah-olah jatuh ke hamparan ladang yang hijau propinsi Tanta. Penulis melanjutkan pencarian informasi tentang berdirinya kota yang juga pernah menjadi ibukota pertama dalam sejarah Mesir kuno sebelum dinasti Islam berkuasa atasnya.

Didirikan pada tahun 331 sebelum Masehi oleh raja Alexander dengan Dinocrates sebagai kepala arsitekturnya. Sang raja menjadikan namanya sendiri sebagai nama kota yang baru ia dirikan. Sebelum menginjakkan kaki dan membangun kota tersebut, Alexandria adalah sebuah kota kecil yang bernama Rhacotis. Dengan didirikannya kota baru ini, raja Alexander menaruh harapan besar bahwa Alexandria akan mampu menggantikan kota Naukratis yang ada di Yunani sebagai pusat kebudayaan Hellenistik. Hal itu barangkali karena letak geografisnya yang dikelilingi laut Mediterania; laut yang menghubungkan belahan bumi Barat dan Timur. Dan juga diharapkan, Alexandria mampu menjadi penghubung antara Yunani dan lembah sungai Nil yang makmur. Beberapa bulan setelah pendirian kota, Alexander meninggalkan Mesir dan kekuasaan atasnya diserahkan sementara kepada Cleomenes yang ditunjuk sebagai penguasa wilayah Arab. Saat Alexander meninggal dunia pada usia yang cukup muda; 32 tahun di atas tahta Nebucadnezar II di Babylonia, kekuasaannya diteruskan oleh salah satu jenderalnya; Ptolemy. Ptolemy ini lah yang kemudian mendirikan dinasti Ptolemik (305-30 SM) yang juga dikenal dengan dinasti Hellenistik kedua atau juga bisa disebut dengan dinasti ke-Fir'aun-an terakhir yang ada di Mesir.

Sekitar pukul 21.00 waktu setempat, kami telah sampai di penginapan. Beruntung, penginapan yang kami huni dekat sekali dengan pantai. Setelah makan malam usai, kami pun istirahat supaya bisa menyongsong mentari pagi menyembul dari balik laut yang terbentang.

Pukul setengah lima pagi, penulis sudah tak tahan ingin menyusuri pantai Alexandria seraya melihat matahari terbit. Sekitar 15 menit dari penginapan, penulis telah sampai di pinggir pantai dengan jalan kaki. Namun sayang, kami hanya bisa duduk-duduk di atas batas pembatas antara pantai dan jalan raya, karena untuk memasuki pantai harus mengeluarkan beberapa kocek uang kepada penguasa kedai. Apalah nasib, tak dapat melihat mentari,  maka suara deburan ombak sebagai pengganti.

Suara-suara deburan ombak itu mengingatkan kami kepada dentuman-dentuman meriam yang meletus pada Perang Terakhir antara Republik Romawi dengan dinasti Ptolemik (30 SM). Sebuah perang yang di dalamnya tidak hanya mengandung unsur kekuasaan belaka, tetapi juga ada intrik politik serta kisah percintaan antara Mark Anthony dan ratu Cleopatra VII. Kisah sang ratu ini yang sering diceritakan dalam novel dan film-film.

Berbicara tentang Cleopatra VII memang tidak akan ada habisnya. Bagaimana kecantikan dan kecerdikannya mampu meluluhkan hati Mark Anthony yang dengan segenap jiwa dan raga mau membelanya. Saat para senator republik Romawi mendeklarasikan perang kepada  dinasti Ptolemik Mesir, Mark Anthony beserta pasukannya memberontak keputusan itu dan berperang membela pihak Cleopatra. Akhirnya perang pun meletus di atas teluk Ionian yang juga bagian dari laut Mediterania yang dikenal dengan battle of Actium  (Actium, salah satu daerah kekuasaan Romawi yang terletak di Yunani). Perang ini dimenangkan oleh kubu Republik Romawi yang dipimpin oleh Octavianus (63 SM-14 M). Sebab kekalahan ini lah Cleopatra VII dan Mark Anthony berkomitmen untuk melakukan bunuh diri, sebelum kemudian dinasti Ptolemik dianeksasi oleh kekuasaan Romawi.

Setelah kemenangannya itu pada tahun 31 SM, Octavianus mendirikan dinasti kekaisaran Romawi menggantikan sistem Republik yang telah berlangsung hampir 500 tahun. Octavianus kemudian mengganti namanya dengan Augustus lalu menjadikan Mesir sebagai salah satu provinsi kerajaan Romawi yang dikenal dengan Aegyptus.

Karena menjadi salah satu pelabuhan inti yang ada di laut Mediterania, Alexandria tidak hanya dihuni oleh penduduk pribumi Mesir saja, tetapi juga dihuni oleh orang-orang Yunani, serta orang-orang Yahudi yang diduga sudah ada sejak masa Alexander berkuasa (sekitar awal abad ketiga sebelum Masehi). Di Alexandria ini orang-orang Yahudi diberi kesempatan untuk menerjemahkan kitab sucinya yang berbahasa Hebrew ke bahasa Yunani  (penerjemahan ini dikenal dengan istilah Septuaginta) yang nantinya banyak dikutip dalam kitab Perjanjian Baru. Pada masa kerajaan Romawi berkuasa di Mesir, seringkali terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh orang-orang Yahudi. Tercatat terdapat tiga kali gelombang peperangan; perang Yahudi-Romawi pertama (66-73 M), Perang Kitos (115-117 M), pemberontakan Bar Kokhba (132-135 M). Pada peperangan tersebut banyak korban berjatuhan dari pihak Romawi dan Yahudi serta tempat-tempat peribadatan. Hal itu membuat geram pemerintahan Romawi sehingga memutuskan untuk melakukan genosida secara besar-besaran terhadap penduduk Yahudi yang tinggal di wilayah Yudea serta melarang untuk memeluk agama Yahudi di seluruh kekuasaan kekaisaran Romawi.

Selain katakombe kom el-shoqafa, salah satu peninggalan penting kekaisaran Romawi di Alexandria yang masih ada hingga saat ini adalah altar teater Roma. Altar ini diperkirakan selesai dibangun pada awal abad ke-4 Masehi. Ditemukan kembali secara kebetulan di kawasan Kom el-Dikkah saat melakukan penggalian tanah tempat didugannya jasad Alexander the Great dikubur. Penggalian ini dilaksanakan oleh delegasi arkeolog Polandia pada tahun 1960.
Setelah sekitar 649 tahun berkuasa atas Mesir, kekaisaran Romawi jatuh di tangan dinasti Sassanid pada tahun 619 M. Namun sayangnya kekuasaan dinasti ini tidak berlangsung cukup lama, karena Heraklius, kaisar Bizantium yang menjadi kelanjutan dari kekaisaran Romawi terakhir mampu merebut kembali daerah kekuasaannya yang ada di Mesir pada tahun 629 M.

Pada masa kekuasaan Byzantium yang hampir satu dekade ini, sebenarnya ada motif luhur yang ingin direalisasikan oleh raja Heraklius. Hal tersebut mengingat bahwa keputusan konsili Kalsedonia yang memenangkan kesepakatan gereja Byzantium pada tahun 451 M telah melahirkan protes besar-besaran dari kubu gereja-gereja timur (dikenal dengan paham Myaphisitisme) yang berpusat di Mesir. Akhirnya muncul niat mulia dari raja Heraklius untuk menyatukan dua kubu gereja yang sedang bertikai ini, terutama Alexandria yang menjadi tempat penyebaran paham Kristen Ortodok tersebut. Sehingga raja pun memberikan mandat untuk tidak melakukan kekerasan kepada para paus Myapisite yang sebagian besar tinggal di Alexandria. Namun sayang, niat yang begitu luhur itu sulit terealisasi di alam realita. Raja Heraklius lebih mengedepankan orang-orang Kristen Byzantium yang berbahasa Yunani dalam pemerintahannya daripada orang-orang Kristen Ortodok Mesir yang berbahasa lokal.

Salah satu peninggalan dinasti Byzantium yang masih bisa kita nikmati di Mesir ini adalah menara Babel yang terletak di Fustat, Ibukota Mesir kedua yang bersebelahan dengan masjid 'Amr bin Ash.

Di bawah perintah khalifah Umar bin Khattab, pada bulan Desember tahun 639 M, panglima 'Amr bin 'Ash bersama 4.000 pasukannya menuju Mesir. Pasukan ini diberi nama pasukan Rashidun yang kebanyakan berasal dari kabilah 'Ak. Al-Kindi mengatakan kebanyakan pasukan tersebut berasal dari kabilah Ghafik. Selain orang-orang Arab dikatakan bahwa pasukan ini juga terdiri dari orang-orang Byzantium dan Persia yang sudah memeluk Islam. Menyadari perintahnya yang dipikir ceroboh karena mengharapkan Mesir yang luas itu dapat ditaklukkan dengan hanya 4.000 pasukan, Khalifah Umar memerintahkan 'Amr melalui sahabat 'Uqbah untuk kembali pulang, seraya menulis sebuah nota catatan;
"Jika Anda menerima surat ini ketika Anda telah menyeberang perbatasan Mesir, maka Anda boleh melanjutkan tugas. Semoga Allah selalu memberkati Anda, dan saya pun akan mengirimkan bala bantuan yang mungkin diperlukan."

Sahabat 'Uqbah menjumpai pasukan 'Amr bin Ash saat mereka ada di daerah Rafah, sebuah daerah yang berdekatan dengan perbatasan Mesir. Menebak isi yang mungkin ada di dalam surat tersebut, 'Amr memerintahkan para pasukannya untuk mempercapat langkah. Berbalik ke arah 'Uqbah, 'Amr bin 'Ash berkata kepadanya bahwa ia akan menerima surat itu jika para pasukan telah menyelesaikan perjalanan pada hari itu. Sahabat 'Uqbah pun menyutuinya dan ikut berbaris bersama para pasukan. Pada malam hari, pasukan berhenti untuk bermalam di Shajaratein, sebuah lembah kecil yang terletak di dekot kota el-'Arish. 'Amr mengetahui bahwa mereka sudah berada jauh melewati perbatasan Mesir, lalu kemudian dia mendekati 'Uqbah dan menerima surat tersebut. Setelah membaca surat, disepakati bahwa surat telah diterima dan dibaca di tanah Mesir. Kemudian sahabat 'Amr pun membalas surat Khalifah Umar;
"Kami telah membaca surat Paduka ketika telah mencapai perbatasan Mesir. Maka izinkan kami memenuhi takdir kami untuk melanjutkan mencari rahmat Allah."

Pada bulan Maret 641 M, pasukan Rashidun berhasil menaklukkan Mesir setelah 14 bulan mengepung kota Alexandria. Pada pengepungan ini, dikabarkan bahwa Raja Heraklius telah meminta bala bantuan ke Konstantinopel. Namun saat mempersiapkan pasukan tersebut, Heraklius telah meninggal dunia, sehingga bantuan pun gagal terlaksana. Setelah pasukan Byzantium tak berkutik dan Mesir sudah dikuasai sepenuhnya, 'Amr bin 'Ash memindah pusat pemerintahan dari Alexandria ke Fustat.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi saja. Matahari mulai meninggi dan teriknya kian terasa. Penulis segera melangkahkan kaki menuju penginapan untuk mengikuti rombongan yang hendak mengunjugi benteng Qaytbay dari dinasti Islam Mamaluk, lalu kemudian dilanjutkan mengunjungi makam Imam al-Busyiri; pengarang sya'ir burdah sekaligus makam gurunya; Syeikh Abu al-Abbas al-Mursy yang juga menjadi murid kesayangan sultan al-awliya'; Imam Abu al-Hasan al-Syadzily.

0 comments: