Hukum Riba Dalam Islam

Dengan semakin majunya transaksi ekonomi akhir-akhir ini,kiranya perlu untukmengetahui bagaiman hukum riba menurut pandangan islam.secara umum transaksi keuangan dianggap sah menurut syariat jika tidak mengandung unsur tertentu seperti riba (bunga), gharar (tipu muslihat), qimâr (judi) dan lain sebagainya. Maya menambahkan bahwa, larangan atas riba ini bukan hanya terdapat dalam Islam, tapi juga terdapat dalam semua agama samawi, dan terekam dalam sejarah sepanjang tradisi peradaban manusia. Lalu apa riba itu?
Sekilas Definisi Riba Antar Mazhab


Selanjutnya Maya memulai dengan pembahasan tentang definisi riba. Secara etimologi riba berarti pertumbuhan atau tambahan (ziyâdah). Sebagaimana firman Allah swt. Dalam QS. Al-Hijr : 05:

(اهتزت وربت)  yang artinya: menjadi subur dan menumbuhkan. Yakni tumbuh dan berkembang.
Sedangkan menurut istilah para Imam mazhab fikih Islam sebagai berikut:

1. Syafi’iah: mengatakan bahwa riba adalah akad atas imbalan tertentu, tidak sama dalam ukuran syariat ketika akad, atau dengan penagguhan antara kedua belah pihak atau salah satunya.
2. Hanafiah: mengemukakan bahwa riba adalah tambahan atas harta pokok (modal) tanpa penyeimbang yang bernilai dalam kaca mata syariat, yang disyaratkan oleh salah satu pihak pelaku akad dalam pengembalian.
3. Hanabilah: berpendapat bahwa riba adalah tambahan dalam suatu tertentu.

Apakah semua tambahan atas harta pokok dinamakan riba?Jawabannya tidak, sebab tambahan yang diberikan oleh peminjam dengan kerelaan hati tanpa persyaratan tergolong akhlak mulia yang dianjurkan, termasuk ihsan (berbuat baik) atau ‘husnul qadha’ (baik dalam membayar). Jelas mahasiswa jurusan Syari’ah Islamiyah tingkat 4 ini dengan penuh semangat.

Sekilas Hukum Riba


Haram hukumnya jika pada suatu transaksi terdapat praktek riba. Hal ini telah tertera pada nash Alquran Sunnah, Ijmak ulama dan Qiyas. Sebenarnya, diharamkannya riba melalui Alqur’an secara gradual. Tapi akan kami sebutkan ayat dari fase pengharam terakhir saja.

Al quran: ”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah swt. dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah swt. dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS.Al-Baqarah:278-279)

As Sunnah: “Dari Ubadah bin as-shamit berkata,Rasulullah saw. bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang satu jenis, sama(kadarnya), dan ada serah terima, maka jika bagian-bagiannya (yang diperjualbelikan) berbeda, juallah sesuai dengan yang kamu kehendaki jika ada serah terima.”


Macam-macam Riba


Riba fadli: Riba fadhli adalah pertukaran dua barang ribawi yang sejenis dengan ada kelebihan atau tambahan pada salah satunya

Riba Nasi’ah: pertukaran dua barang ribawi yang satu jenis maupun beda jenis, dengan menangguhkan penyerahan keduanya atau salah satunya. Baik tambahan itu berupa nominal maupun rill (nyata), jenis riba nasi’ah banyak terjadi di bank konvesional pada zaman modern ini.

Adapun menurut Syafi’iyah riba terbagi menjadi tiga: riba fadl, nasi’ah, dan yad. Riba yad adalah pembelian barang dengan menangguhkan penyerahan salah satu barang atau keduanya tanpa menyebutkan waktunya, atau pertukaran barang berlain jenis seperti gandum dan kurma tanpa diserahkan pada saat akad. Jenis ini (yad) termasuk riba nasi’ah menurut Hanafiah, yaitu syarat penyerahan barang pada saat akad, di dalamnya ada penangguhan dalam penyerahan salah satu barang atau keduanya. Dalilnya:

 Yang artinya: Dari Umar bahwa Nabi saw. Bersabda: emas dengan emas riba kecuali sini dan sini, yakni ambillah dan berikanlah. (HR.Bukhori dan Muslim)

Kesimpulan: Riba nasi’ah adalah penangguhan hutang dengan penambahan atas jumlah asalnya (ini adalah riba jahiliah), atau penangguhan penyerahan atas salah satu barang ribawi sejenis. Adapun riba fadhl adalah penambahan pada salah satu barang ribawi yang sejenis maupun beda jenis diserahkan secara langsung pada akad.

Barang-barang yang Mengandung Unsur Riba


Jumhur ulama sepakat komoditas yang mengandung unsur riba terdapat pada enam jenis barang yaitu: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam. Sebagian ulama membatasi riba hanya pada enam barang tersebut. Namun mayoritas ulama berpendapat riba juga terjadi pada selain enam barang tersebut, asalkan didalamnya mengandung ‘illat (sebab) salah satu barang yang disebutkan dalam hadis diatas, hal itu karena hukum berdasarkan kesamaan sebab didalamnya. Dari sini para ulama secara panjang lebar membahas ‘illat (baranng ribawi untuk tolak ukur (qiyâs) barang-barang lainnya yang tidak disebutkan dalam hadis.

Sementra, ‘illat (sebab) riba adalah: sifat yang terdapat pada barang yang sesuai dengan barang ribawi yaitu (emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam). Para Ulama berbeda pendapat dalam sifat barang yang melanggar hukum.

Hanafiah: mengatakan bahwa ‘illat (sebab) riba fadhl adalah takaran atau timbangan pada barang sejenis. Adapun illat pada emas dan perak adalah timbangan dan sejenis. Maka tidak termasuk illat riba apabila tidak terdapat dua sifat yaitu kadar dan sejenis. Maka dari itu, barang sejenis (yang ditakar dan ditimbang) merupakan barang ribawi.
Lalu, maya melanjutkan, sesungguhnya illat pada riba nasi’ah atau riba jahiliah adalah salah satu sifat yang terdapat pada illat riba fadhl yaitu takaran atau timbangan yang sama dan satu jenis

Malikiyah: mengatakan bahwa illat diharamkannya penambahan pada emas dan perak adalah merupakan (tsamaniyah mutlaqah) atau alat tukar untuk barang-barang lainnya.

Illat ribawi dalam barang selain emas dan perak adalah al iqtiyat wa a liddikhor (dapat dijadikan bahan makanan pokok dan dapat disimpan).

Syafi’iyyah mengatakan bahwa illat ribawi pada emas dan perak adalah mata uang ( tsamaniyah muqoyyadah, atau dalam kata lain illat ribawi dalam alat tukar dan mata uang hanya terdapat dalam emas dan perak, tidak mencakup hal selainnya)atau alat tukar. Adapun illat pada empat barang sisanya (gandum, jewawut, kurma dan garam) adalah (at thu'm) makanan yakni bahan makanan, bahan makanan meliputi tiga hal yaitu Makanan pokok, buah-buahan, bumbu-bumbuan dan obat-obatan.

Hanabilah mengatakan bahwa ada tiga riwayat dalam illat riba, riwayat yang paling masyhur adalah seperti mazhab Abu Hanifah yakni takaran atau timbangan dengan barang sejenis merupakan illat riba, riwayat kedua sama dengan pendapat madzhab syafi’iyyah, dan riwayat ketiga yaitu illat ribawi yang terdapat pada selain emas dan perak adalah makanan yang ditakar dan ditimbang, maka tidak ada riba pada makanan yang tidak ditakar dan ditimbang seperti semangka, buah pir, apel dll. Dan tidak pula pada barang yang tidak dimakan seperti besi, timah dll.
Dzohiriyyah mengatakan bahwa illat riba tidak masuk dalam ranah qiyas, yakni khusus pada barang yang disebutkan dalam hadis saja.

Kesimpulan: illat ribawi yang terdalam dalam bahan makanan menurut imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal adalah takaran dan timbangan, menurut imam Malik adalah bahan makanan yang dapat disimpan dan dijadikan bahan makanan pokok, dan menurut imam Syafi’i adalah makanan.

Illat ribawi dalam emas dan perak menurut madzhab Hanafi adalah dapat ditimbang, menurut madzhab maliki adalah alat ukar secara mutlak dan menurut madzhab Syafi'i adalah keistimewaan yang terdapat dalam emas dan perak yang dapat dijadikan standar nilai dan alat tukar menukar.

Syarat-syarat Pertukaran antara Barang Ribawi engan yang Lain


Kesamaan antara kedua barang yakni takaran dengan takaran, timbangan dengan timbangan dan jumlah dengan jumlah.

Adanya barang saat akad, agar tidak menangguhkan penyerahan salah satu barang dari majlis akad, yakni tidak menyebutkan penangguhan dalam akad serah terima, agar menyerahkan kedua barang pada saat akad sebelum salah satu pihak meninggalkan yang lain.

Adapun pertukaran antara kedua barang berlainan jenis seperti emas dan perak dibolehkan dengan syarat adanya barang dan adanya serah terima pada waktu akad, tidak disyaratkan sama dalam jumlah.

Walhasil, transaksi barang ribawi dibagi menjadi tiga. Pertama, Transaksi barang ribawi satu jenis, misalkan beras dengan beras, uang rupiah dengan uang rupiah. Dalam transaksi tersebut diatas ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: sama dalam nominal (alat tukar),  sama dalam jumlah banyak sedikitnya (ditimbang/diakar), dan kedua barang tersebut diserahkan dalam tempat transaksi alias tidak ditangguhkan. Kedua, transaksi barang ribawi beda jenis, misalkan uang dengan beras, gandum dengan garam. dalam transaksi yang kedua ini hanya disyaratkan terjadinya penyerahan dalam tempat transaksi agar terhindar dari riba yad. Ketiga, transaksi barang ribawi dengan barang-barang non ribawi, tidak disyaratkan ketiga hal tersebut.

Riba pada Perbankan Konvensional


Riba pada perbankan konvensional dapat masuk kategori riba nasi'ah, riba fadl, ataupun juga riba yad, tergantung dari deskripsi transaksi yang ada dalam bank yang bersangkutan. Kurang tepat jika kita mengatakan bahwa riba yanga ada dalam bank konvensional hanya riba nasi'ah saja. Transaksi utang-piutang dalam bank dengan adanya syarat dari bank untuk mengembalikan uang dalam jumlah lebih banyak masuk dalam riba fadl. Jika pihak nasabah tidak mampu mengembalikan uang yang dihutang dalam tempo yang telah ditentukan dan pihak bank menambahkan nominal tertentu sebagai sangsi akan keterlambaan pengembalian uang, maka riba ini termasuk riba nasi'ah. Dan jika penyerahan uang tidak dilakukan dimajlis akad, misalkan saja penyerahan uang kepada nasabah ditangguhkan dua hari setalah kesepakatan maka masuk dalam kategori riba yad.

Hikmah Diharamkannya Riba


Sangat jelas, banyak kemudlaratan yang ada pada transaksi yang didalamnya menerapkan praktek-praktek riba. Diantaranya,

Riba menyebabkan permusuhan antar individu dan menghilangkan jiwa tolong menolong antar sesama. Padahal Islam sangat mendorong adanya perbuatan tolong menolong sesama manusia.

Riba mendorong terbentuknya kelas elite yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta seperti vampir yang setiap saat mengisap orang lain
Riba merupakan perantara terjadinya penjajahan dibidang ekonomi dimana si kaya menidas si miskin
Dalam segi moral riba dapat menimbulkan sifat egois dan invidualis, bakhil, cemas dan gelisah, dan materialistik.

Penutup

Riba adalah suatu perkara yang dipraktekan oleh masyarakat  semenjak zaman jahiliah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang secara tegas mengharamkan riba. Riba dapat diartikan dengan tambahan yang disyaratkan dalam trasaksi bisnis tanpa adanya usaha dan penyeimbang yang dibenarkah syariah terhadap penambahan tersebut. Penambahan diatas menunjukkan bahwa dengan segala macam bentuknya, termasuk sistem bunga bank yang berlaku saat ini adalah haram.

Riba pada umumnya dan sisitem bunga bank pada khususnya telah menimbulkan beberapa dampak negativ diantaranya menghancurkan prinsip-prinsip Islam dalam hak kepemilikan, merusak moralitas, melahirkan benih kebencian dan permusuhan, kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin, monopoli sumber dana. Semua akibat tersebut telah memicu ketidak stabilan ekonomi.

Sebagaimana yang pernah diulas sebelumnya riba dan bunga bank adalah racun perekonomian, yang dapat merusak, menghancurkan dan mematikan siapapun yang menggunakannya, oleh karena itu kita harus menghilangkan racun pada perekonomian ini.Hal ini merupakan tugas umat Islam dalam mengupayakan terwujudnya sistem perekonomian syariat yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Wallahu a’la wa a’lam

0 comments: