Tafsir Al Quran Saintifik; antara Qur'anisme dan Empirisme

Tema Al Qur'an dan sains menjadi salah satu topik terpenting dalam pengkajian para pegiat islamologi muslim maupun non-muslim, banyak dari mereka mengkaitkan substansi ilmu empiris dengan Al Qur'an. Dr. Muhammad Ali Ridla'iy menyebutkan, ada kira-kira seribu ayat yang mereka angkat untuk dijadikan cermin utama dalam pengusungan ayat-ayat Al Qur'an pada ranah pengkajian tersebut. secara keseluruhan, semua ini memicu munculnya metode baru dalam tafsir yang disebut tafsir ilmiah (scintific interpretation), biasanya mereka mengajukan sejumlah pengantar untuk masuk ke dalam persoalan tersebut. sebagai contoh, apakah seluruh ilmu pengetahuan manusia terdapat dalam Al Qur'an? Apa maksud dari adanya tanda-tanda ilmiah dalam Al Qur'an? Dan lain sebagainya. Sehingga untuk menuntaskan kaji otentitas Al Qur'an untuk dipercocokan dengan sains, mereka membutuhkan berjilid-jilid buku.

Di sisi lain, tidak sedikit pula Ulama yang tidak membenarkan penggunaan pendekatan metode ilmiah ini dalam memahami ayat-ayat Al Qur'an, sehingga mereka menganggapnya tafsir bi al ra'yi yang dilarang oleh berbagai dalil pijakan para mufassir terdahulu.

Ilmu empiris, antara keyakinan dan dugaan

Jika mau jujur, ilmu-ilmu ini merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman manusia selama berabad-abad. hingga pertengahan kedua dari abad xx M, ilmu-ilmu ini diklasifikasikan menjadi dua bagian; teori-teori ilmiah yang tidak mapan, dan hukum-hukum ilmiah. Teori-teori tersebut berubah menjadi hukum tetap jika dilakukan pengamatan terus-menerus dan pengalaman yang berulang-ulang. Setelah filsafat menghegemoni segala teori ilmiah, jelas bahwa bagaimana ilmu-ilmu alam tidak dapat mencapai tingkat hukum aksioma dan tetap. Ilmu-ilmu tersebut tidak lain hanyalah mitos yang berguna, dipakai dalam wilayah alam dan kehidupan. Ketika ilmiah dibentuk, kita tentu berbenturan dengan persoalan yang ingin dipecahkan. Setelah itu,kita membuat dugaan mengenai cara pemecahan masalah tersebut. pada tahap ketiga, kita menarik kesimpulan dari persoalan-persoalan yang dapat diamati dan dialami dari metode tersebut. kemudian pada fase ke empat, kita berusaha menggugurkan persoalan-persoalan tersebut. jika tidak gugur, maka masalah-masalah tersebut tetap berada dalam wilayahnya sampai digantikan dengan teori yang lebih baik.
Dari sini, sebuah kepastian dalam ilmu-ilmu empiris bukanlah sebuah kepastian dalam arti "kredentif" dan hanya berimplikasi pada sebuah keyakinan "subyektif". Maka, jika pun memang ingin dipaksakan menggunakan metode tafsir saintifik, harus dibedakan dulu antara sebuah aksioma-empirik dan sains-metodik yang selama ini jarang diungkap secara obyektif oleh pegiat tafsir ilmiah saat-saat ini.

Contoh singkat saja, ketika membicarakan tentang metode kaum teolog, filosof, gejala-gejala alam maupun sosial, bahkan soal penemuan-penemuan baru, terkadang para pegiat tafsir ilmiah ini secara langsung menghubungkan dengan ayat-ayat Al Qur'an demi mengungkap sebuah fakta dan kebenaran ayat Al Qur'an, sementara Al-Thaba'thaba'i dalam Al mizan fi tafsiri Al mizan juz 1 hal 7-8 mengatakan : "cara seperti itu dalam mengkaji, lebih tepat disebut aplikasi(tathbiq), bukan interpretasi(tafsir)".

Pandangan Ulama tentang tafsir saintifik
Awal mula munculnya jenis tafsir ini terjadi di abad II H. kemudian terus berkembang dengan cepat sebagai salah satu metode tafsir. Hingga para sarjana dalam disiplin sains mulai menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan ilmu-ilmu empiris sekalipun tujuan dari masing-masing mereka berbeda-beda. Metode tafsir tersebut muncul, karena beberapa factor, diantaranya:
1. Perhatian Al Qur’an terhadap sains. Menyebut contoh-contoh ilmiah dan mendorong untuk merenungkan ayat-ayat ketuhanan yang ada di langit, bumi dan seisinya.
2. Adanya penerjemahan dan publikasi karya-karya ilmiah dalam bidang ilmu alam dan filsafat di Yunani, Romawi dan Iran di kalangan kaum Muslimin di abad II H.
3. Adanya keyakinan bahwa seluruh ilmu alam ada dalam al-Qur’an, dan dimungkinkan ilmu-ilmu itu dilahirkan darinya.
4. Adanya perhatian terhadap ilmu-ilmu alam dan temuan-temuan baru untuk menegaskan kemukjizatan Al-Qur’an.
5. Adanya dominasi aliran empiris di Eropa dan pengaruhnya terhadap pemikiran umat islam, di samping adanya sejumlah orang yang menyimpang dan orang-orang yang hanya menukil secara berlebihan dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan mengaplikasikannya terhadap sains.
6. Adanya perasaan sarjana Muslim bahwa mempertahankan Al-Qur’an dalam menghadapi syubuhat Barat yang mengklaim adanya kontradiksi sains dengan agama adalah kewajiban untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan sains.

Maka, ada tiga pendapat mengenai masalah tersebut.

Pertama: Pendapat yang Mendukung:

Biasanya, mereka adalah yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir dan filsafat. antara lain:
1. Ibn Sina (270 – 428 H), seorang dokter dan filosof Iran terkenal. Ia mengatakan ketika menafsirkan kata “al-arasy” dalam firman Allah yang berbunyi:
ويحمل عرش ربك فوقهم يومئذ ثمانية
Kata arasy menurut Ibnu Sina adalah bintang dari segala bintang (bintang kesembilan dalam astronomi Ptolemeus). Sementara malaikat (yang disebutkan jumlahnya saja dalam ayat tersebut, yaitu tsamaniyyah) artinya delapan bintang (bulan, matahari, venus, meskuri, saturnus, yupiter, mars, dan bintang yang tetap.
2. Abu Hamid Al-Ghazali (m. 505 H) meyakini adanya banyak ilmu dalam al-Qur’an seperti yang ia sebutkan dalam buku “Jawâhir al-Qur’ân” bahwa banyak ilmu seperti kedokteran, astronomi, geografi, fauna, anatomi, sihir dan lain sebagiannya ada dasarnya dalam al-Qur’an. Ia memberikan banyak contoh dari ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hubungannya dengannya dengan ilmu-ilmu lain.
3. Al-Fakhr al-Râziy (m. 606 H). Ia mengaplikasikan masalah-masalah ilmiah terhadap al-Qur’an. Mengenai bumi itu diam, ia mendasarkan pada ayat al-Qur’an:
الذى جعل لكم الأرض فراشا
Dialah yang menjadikan bumi hamparan untuk kalian semua.
Ia menjelaskan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan astronomi kuno karya Ptolemeus dan para sarjana India kuno, China, Babilonia, Mesir, Romawi dan Syam di bagian belakang ayat tersebut.
4. Ibn Abi al-Fadl al-Mursiy (570 – 655 H). ia berkeyakinan bahwa al-Qur’an memuat ilmu-ilmu generasi awal dan belakang. Ia berusaha menghasilkan ilmu kedokteran, debat, arsitektur, aljabar dan wawancara, dari al-Qur’an. Ia memberikan bukti-bukti dari ayat-ayat al-Qur’an mengenai perjahitan, perdagangan, perburuan, perbesian, tanaman dan lain-lain.
5. Jalâl al-Dîn al-Suyuthi (m. 911), pengarang buku al-Itqân fi Ulûm al-Qur’an”. Dia meyakini juga bahwa al-Qur’an memuat seluruh sains. Ia memberikan sebuah contoh dari al-Qur’an untuk itu. Ia mengatakan bahwa usia Nabi Muhammad 63 tahun, sebab ayat al-Qur’an “wa lan yu’akhkhir allah nafsan idzâ jâ’a ajaluha”. Ayat tersebut urut-urutannya dalam al-Qur’an yang ke 63.
Banyak juga Ulama kontemporer yang menggunakan metode tafsir ini, termasuk Abd al-Rahman al-Kawâkibiy (m. 1320 H) menerapkan al-Qur’an terhadap ilmu-ilmu empiris dalam banyak tempat dari buku “Thabâ’i’ al-istibdâd wa mashâri’ al-isti’bâd”. Ia menunjukkan mengenai terpisahnya bulan dari bumi (sesuai dengan teori-teori modern) dengan ayat-ayat al-Ra’d ayat 31, al-Qamar ayat 1.
6. Abd al-Razzâq Nawfal, penulis Mesir terkenal. Ia memiliki banyak tulisan tentang tafsir ilmiah. Di antaranya: al-Qur’an wa al-Ilm al-Hadîts (Al-Qur’an dan sains Modern),Islâm wa al-Ilm al-Hadîts (Islam dan sains Modern), Bayn al-Dîn wa al-Ilm (Antara Agama dan sains), dan lain sebagainya.
7. al-Sayyid Hibbah al-Dîn al-Syahrastâniy (1301 – 1369 H). Dalam bukunya “al-Islâm wa al-Hay’ah (Islam dan Astronomi) ia menunjukkan bahwa bumi itu bergerak berdasarkan ayat “alladzi ja’ala lakum al-ardl mahda“. Ia berkeyakinan bahwa dukungan dan penegasan sains dan temuan-temuan melalui agama dan para sarjana akan menyebabkan keimanan manusia akan bertambah kuat.

Sebagian di antara mereka ada yang menjeneralisir bahwa semua ilmu pengetahuan ditelurkan oleh isyarat-isyarat yang termuat dalam Al Qur'an, ada pula yang menjadikannya sekedar hipotesis, dan ada yang membebankan teori-teori sains terhadap al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Abdurrazzâq Nawfal dalam menafsirkan ayat:
هو الذى خلقكم من نفس واحدة وجعل منها زوجها

Ia mengatakan: “Yang dimaksud dengan “al-nafs al-wahidah” adalah proton, dan pasangannya adalah elektron. Masing-masing dari keduanya membentuk unsur atom. Ia menganggap hal tersebut sebagai salah satu jenis kemukjizatan ilmiah (al-Qur’an). Dan jelas, corak yang ketiga ini merupakan tafsir bi al ra'yi.

Kedua: pendapat yang menolak:
1. Abu Ishaq al-Syathibiy (790 H) dalam bukunya “al-Muwâfaqât” menolak tafsir ilmiah dan menyanggah argumen-argumen mereka yang mendukungnya. Ia mengatakan: Bangsa Arab ketika al-Qur’an turun memiliki ilmu pengetahuan seperti perbintangan, pengetahuan tentang waktu-waktu turunnya hujan, pengobatan, retorika, eloquen, perdukunan, geomansi, ramalan, dan lain sebagainya. Islam telah mengklasifikasikan ilmu-ilmu tersebut menjadi dua, ilmu yang haqq dan bathil. Dia juga mengatakan: “banyak orang yang berlebih-lebihan di dalam memberikan klaim terhadap al-Qur’an. Mereka mengkaitkan terhadap al-Qur’an semua ilmu yang dikatakan milik generasi terdahulu atau belakangan seperti ilmu-ilmu alam, pendidikan, logika, ilmu huruf dan ini tidak benar”. Setelah itu, ia beragumen mengenai hal itu, ia mengatakan: ‘Tak seorangpun di antara ulama salaf yang mengklaim seperti itu. Al-Qur’an muncul hanya untuk menjelaskan masalah-masalah akhirat dan masalah-masalah sekunder.
Setelah itu, ia menolak argumen yang diajukan oleh para pendukung tafsir ilmiah. Mereka menggunakan ayat yang bebrunyi: “tibyâna likulli syay’in”, dan ayat “mâ farrathnâ fi al-kitâb min syay’in”. Ia mengatakan: ayat-ayat tersebut berkaitan dengan masalah taklîf dan peribadatan. Yang dimaksud dengan “al-kitâb” dalam ayat kedua adalah Lauh Mahfudh. Sementara itu yang berkaitan dengan masalah permulaan surat, ia mengatakan: “masalah nilai huruf (adad al-jumal, ada yang menyebut Hisâb al-Jumal)—menerapkan huruf-huruf abjadiyah terhadap al-Qur’an tidaklah past. Pengetahuan masalah ini diperoleh dari ahli kitâb, dan masalah permulaan surat termasuk masalah mutasyabihat.
Termasukal-Syaikh Mahmud Syaltut (1893 – 1963) mantan Syaikh al-Azhar. Ia menyerang dengan keras terhadap jenis tafsir ini dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Risâlah” yang terbit tahun 1941 M. Ia mengatakan: Pandangan seperti ini terhadap al-Qur’an tidak disangsikan keliru. Sebab, Allah tidak menurunkan al-Qur’an agar al-Qur’an menjadi sebuah kitab yang berbicara kepada manusia mengenai teori-teori sains, seluk beluk seni dan jenis-jenis pengetahuan. Ini sudah barang tentu salah karena pandangan tersebut mendorong orang yang terkait dan yang menafsirkannya untuk melakukan interpretasi atas al-Qur’an dengan interpretasi yang dipaksakan dan bertentangan dengan kemukjizatan, tidak diterima oleh cita rasa yang sehat. Ini salah, karena hal tersebut akan menjadikan al-Qur’an dipusingkan dengan masalah-masalah sains di setiap ruang dan waktu. Sains tidak mengenal kepastian, statik dan kata akhir. Bisa saja yang sekarang dalam pandangan sains benar akan tetapi besok sudah menjadi khurafat. Jika kita menerapkan al-Qur’an terhadap masalah-masalah ilmiah yang berubah-ubah itu, tentu kita menjadikan al-Qur’an akan jatuh bangun bersama masalah-masalah tersebut dan akan terjebak dalam kekeliruannya, serta tentunya kita akan menjerumuskan kita sendiri ke dalam situasi yang menyulitkan dalam membela al-Qur’an.
Sikap kita?

Dari uraian di atas, penulis hanya mampu menyampaikan sedikit pertimbangan tentang Al Qur'an dan sains untuk dijadikan patokan dalam menyikapi tafsir saintifik yang sangat berguna di satu sisi, tapi juga berpotensi pandangan-pandangan monokular pada sisi lain. Maka, Al Qur'an tidak perlu diback up dengan penemuan-penemuan ilmiah sekalipun itu penting sekali untuk memberitahukan kepada mereka yang hanya mau menerima kebenaran Al Qur'an dengan standar sains. Karena sains selamanya bersifat relatif, sehingga tidak patut jika Al Qur'an terbatasi oleh relativitas riset ilmiah para pegiat sains. Al Qur'an jauh lebih luhur dari sekedar kecocokan sains, karena Al Qur'an pasti sesuai dengan fakta dan bahkan memberikan sindiran terhalus kepada mereka yang belum mengetahui ilmunya, bahwa sejak 14 abad silam Al Qur'an sudah mengungkap fakta-fakta itu yang baru diketemukan mulai ramai sekitar abad 19 dan 20 M.

Jadi kesimpulannya adalah, penulis yakin bahwa Al Qur'an boleh saja berbeda dengan sains dan tehnologi, akan tetapi Al Qur'an tidak mungkin berlainan dengan fakta.

0 comments: