Selayang Pandang Sastra Angkatan Balai Pustaka


Pada Kesempatan kali ini penulis hendak mengulas tentang karya sastra angkatan balai pustaka.Sebenarnya angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka” pada tahun 1920-1950. Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel, dan drama) dan puisi yang menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang mungkin pada masa itu terlalu memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti kehidupan cabul, dan dianggap memiliki misi politis. Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan bahasa sunda, dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak, dan bahasa Madura.


A.      Pendahuluan

Pada diskusi yang lalu (24 Maret 2013) kita telah sedikit banyak meraba sejarah lahir dan berkembangnya sastra Melayu sebagai cikal bakal sastra Indonesia modern. Pijakan hal itu  adalah usaha para kritikus sastra, terutama dari H.B. Jassin yang memandang perlu adanya periodesasi sastra Nusantara.

Namun demikian, periodesasi sastra, terlepas dari penting tidaknya usaha ini dilakukan, telah memberikan kesan bahwa pemetaan sejarah sastra di Indonesia hanya didasarkan kepada pembabakan waktu muncul dan berkembangnya karya sastra saja. Ini bagi penulis akan menyempitkan gerak untuk menelaah sejarah sastra secara keseluruhan, dan bahkan bisa jadi akan mempersempit makna pluralitas yang menjadi pedoman rakyat Indonesia dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam bersastra dan menelaahnya. Karena harus kita sadari bahwa bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu telah memiliki kekayaan sastra dan sastrawan yang begitu melimpah. Kekayaan ini telah menjadi salahsatu faktor penting pembentukan jati diri bangsa. Bukankah slogan negara kita yang berbunyi; "Bhineka Tunggal Ika" diambil dari mahakarya sastra; Kakawin Sutasoma yang disusun oleh Mpu Tantular?[1] Sayangnya, mahakarya sebesar ini akan sulit sekali ditempatkan, bahkan bisa jadi tidak memiliki tempat dalam penelitian sejarah sastra yang menggunakan periodesasi a la H.B. Jassin. Maka, dikhawatirkan dengan adanya pemahaman yang seperti ini, pemetaan sastra Indonesia yang hanya melalui pembababakan zaman, akan menghilangkan kekayaan yang telah lama kita miliki.

Jika kita mau membandingkan usaha H.B Jassin dengan usaha para kritikus Arab tentang pemetaan sejarah sastra, akan kita dapati beberapa perbedaan. Salahsatunya bisa kita jumpai melalui upaya Ibnu Salam al-Jamhi yang mengklasifikasikan sastra Arab dengan tiga pendekatan. 1.) Melalui pembabakan waktu; yang dibagi menjadi sastra era Jahiliyyah (sebelum kedatangan Islam), dan sastra yang muncul setelah kedatangan Islam. 2.) Melalui klasifikasi tempat di mana sastra lahir. 3.) Melalui jenis-jenis karya sastra atau motif dan temanya; haja', ghazal, dsb.[2]

Upaya Ibnu Salam ini ternyata hampir sama dengan apa yang telah dilakukan oleh A. Teeuw yang memaparkan metode penelitian sejarah sastra melalui empat pendekatan; 1.) Pendekatan sejarah umum, 2.) Pendekatan dengan mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dari keduanya, 3.)  Sejarah bahan-bahan dengan penelitian sumber-sumber (pendekataan ini seringkali memusatkan perhatian kepada motif atau tema yang ada dalam karya sepanjang zaman.) dan, 4.) Lebih melihat kepada asal-usul karya sastra daripada struktur dan fungsinya.[3]

Tentu kesemua usaha di atas memiliki sisi-sisi kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam artian jika kita menelaah sejarah sastra se-Indonesia dengan semua pendekataan yang ada, kita tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Tetapi sejatinya, usaha-usaha tersebut haruslah diapresiasi dengan selalu melakukan tela'ah terus menerus terhadap karya sastra dengan semua sisi-sisi pendekatannya. Karena pada kenyataannya, perkembangan karya sastra dan kritik sastra di Indonesia tidak berjalan dengan seimbang. Bahkan boleh dikata bangsa Indonesia masih belum memiliki teori-teori sastra tersendiri dalam menela'ah karya sastranya.[4]

Sungguh ironi bukan?! Bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan sastra serta sastrawan yang begitu melimpah, tetapi tidak memliki alat untuk mengaji dan menganalisanya. Jika W.S. Rendra mendefinisikan kesusastraan sebagai ekspresi yang mengungkapkan liku-liku pikiran, batin, dan naluri manusia. Maka, bagaimana mungkin kita bisa memahami liku-liku pikiran, batin dan naluri bangsa Indonesia tanpa memiliki alat pemahaman dan analisa terhadap kesusastraannya sendiri? Lebih jauh lagi Rendra menyatakan bahwa bangsa Indonesia memang sudah mampu melahirkan karya tulis yang unggul sejak abad ke-10 Masehi. Yang berarti Indonesia telah lebih dulu mengenal sastra daripada bangsa-bangsa Eropa. Tapi sayangnya, pendekatan pemahaman ilmiah-analitis terhadap karya-karya kesusastraan terlambat dikenal oleh bangsa kita.[5]

Periodesasi sastra menurut kacamata H.B. Jassin dipilih sebagai metode pengajian sejarah sastra dalam diskusi ini, barangkali salahsatunya adalah karena disamping memudahkan kita melihat peta sejarah sastra Indonesia, kita juga akan mudah melihat pergolakan-pergolakan serta perubahan-perubahan sosial-budaya-politik Indonesia yang menjadi anasir penting dalam pembentukan karya sastra. Lebih dari itu, periodesasi sastra H.B. Jassin ini lah yang menurut kami sedikit lebih komprehensif dan gamblang menggambarkan pergerakan sastra Indonesia daripada periodesasi sastra yang dicetuskan para kritikus sastra lainnya.[6]

Setelah kita mendiskusikan tahapan sastra Indonesia yang pertama, yaitu sastra Melayu atau sastra lama. Maka, pada diskusi kali ini kita akan membahas tentang sastra Indonesia modern yang ditandai dengan kemunculan angkatan Balai Pustaka (era 1920-an).

Pembahasan tentang sastra angkatan Balai Pustaka dalam makalah ini tidak akan lepas dari; 1.) Sejarah berdirinya Balai Pustaka dan faktor-faktornya. 2.) Pengaruh 'asing' terhadap sastra Balai Pustaka 3.) Menentukan karakteristik sastra Balai Pustaka dengan tela'ah Poskolonialisme. 5.) Tokoh-tokoh sastra dan karya-karyanya. 6.) Penutup.

B.      Sejarah Berdirinya Balai Pustaka dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya

1.     Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya Balai Pustaka
Awalnya adalah sebuah keinginan pemerintah Hindia-Belanda untuk mendirikan perpustakaan yang menyediakan beberapa buku pilihan bagi warga pribumi sebagai akibat dari politik etis yang dicetuskan Van Deventer.

Keinginan ini kemudian direalisasikan pemerintah melalui Departemennya van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Urusan Pendidikan dan Agama) dengan membentuk sebuah komite yang diberi nama Commissie voor Inlandsche School en Volklectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada tanggal 14 September 1908. Salahsatu tugas komite tersebut adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam menyeleksi dan memilah naskah-naskah yang akan diterbitkan sebagai buku bacaan untuk perpustakaan dan masyarakat.

Dalam beberapa tahun kemudian komite ini mengalami perkembangan pesat sehingga memerlukan kantor tersendiri untuk menampung kegiatannya. Akhirnya pada tanggal 22 September 1917, pemerintah Hindia-Belanda menjadikannya sebagai sebuah badan usaha penerbitan milik pemerintah yang diganti nama menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkslectuur) atau yang kemudian disebut dengan 'Balai Pustaka.'

Di samping memilah dan menyeleksi naskah-naskah yang diterbitkan, badan usaha ini juga melakukan penterjemahan dan penyaduran beberapa karya sastra Eropa, mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda.[7] Salah satu tujuan dari penterjemahan ini adalah 'membelandakan' cara berpikir orang-orang pribumi. Maksudnya adalah membuat citra 'mesias' pemerintah Hinda-Belanda di mata kaum pribumi dengan hadir sebagai penolong mereka dari lembah kebodohan dan keterbelakangan. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan I.J. Brugmans; "Peradaban 'Barat' harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.[8]"    

Tujuan pencitraan 'mesias' ini juga bisa kita jumpai di berbagai macam karya sastra yang lahir saat itu. Di mana orang-orang Belanda dihadirkan sebagai sosok penolong yang baik hatinya, sedang pihak pribumi yang menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat dicitrakan sebagai orang yang serakah, fanantik, dan culas hati. Contoh kasusnya bisa kita lihat dalam novel 'Sitti Nurbaya' karya Marah Rusli di mana Syamsul Bahri seorang pemuda yang sudah tersentuh oleh pendidikan Belanda dianggap sebagai orang yang berpikiran maju dan selaras dengan modernitas. Bagaimana dalam novel itu, dengan pendidikan dari Belanda, Syamsul Bahri akan bisa terangkat martabatnya dan akan dengan mudah mengatasi persoalan-persoalan hidup yang dijalani;…"Anak laki-laki yang dipanggilnya Sam oleh temannya tadi, adalah Syamsul Bahri, anak Sultan Mahmud Syah, Penghulu di Padang; seorang yang berpangkat dan berbangsa tinggi. Anak ini duduk di kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang. Oleh sebab ia seorang anak yang pandai, gurunya telah memintakan kepada Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.[9]"  

Sedang sosok datuk Meringgih, seorang saudagar pribumi dicitrakan sebagai sorang yang kikir, gila perempuan, dan buruk hatinya. Berikut salahsatu penggalan yang menggambarkan sosoknya; "….Sungguhpun Datuk Meringgih seorang yang kaya raya, tetapi tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon khabarnya, tatkala mudanya ia sangat miskin. Bagaimana ia menjadi kaya sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri. Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu, ialah ia sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah ia rasanya berbunuhan. Jika ia hendak mengeluarkan duitnya, dibolak-baliknya uang itu beberapa kali….Hanya untuk satu perkara saja ia tidak bakhil, yaitu untuk perempuan.[10]"  

Pencitraan yang digambarkan di atas ternyata tidak hanya kita jumpai di roman Sitti Nurbaya saja, tetapi juga terdapat di kebanyakan karya sastra angkatan Balai Pustaka lainnya. seperti; Azab dan Sengsara (1920), Muda Taruna (1922), Asmara Jaya (1928), Sengsara Membawa Nikmat, dan Salah Asuhan.

Selain bertujuan menghadirkan citra 'mesias', hadirnya Balai Pustaka juga diharapkan mampu meminimalisir semangat nasionalisme rakyat Indonesia yang digemborkan melalui bacaan-bacaan swasta berbahasa melayu pasar/rendah. Bagaimana bacaan-bacaan swasta yang kebanyakan diterbitkan oleh orang-orang peranakan terutama peranakan Tionghoa dibredel dan dilarang beredar oleh pemerintah Hindia-Belanda, serta menjadikan buku-buku dan karya sastra yang legal terbit adalah dari penerbitan Balai Pustaka saja. Pemerintah waktu itu memang sengaja membangun citra bahwa peranan penerbit swasta sebagai; "Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit yang tidak bertanggungjawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar.[11]" Jadi, penjamin mutu bahan bacaan dan karya sastra waktu itu semua berpusat kepada Balai Pustaka. 

Dari pemaparan di atas, akhirnya muncul kejanggalan dalam benak penulis, kenapa kemunculan Balai Pustaka yang sifatnya 'politis', dan digunakan sebagai alat serta tunduk kepada kekuasaan kolonial dijadikan H.B. Jassin sebagai penanda kemunculan sastra Indonesia modern? Bukankah pada waktu itu karya-karya sastra yang lebih nasionalis lebih banyak berserakan di luar Balai Pustaka? Dan juga bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra swasta adalah bahasa yang lebih dikenal akrab di masyarakat dan digunakan oleh hampir semua penerbit dan surat kabar waktu itu daripada bahasa Melayu Tinggi yang dipakai Balai Pustaka yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja, yaitu kalangan menengah ke atas[12]?

Setidaknya ada beberapa hipotesa yang bisa kami tawarkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama: Terlepas dari tujuan-tujuan politis tadi, penggunaan bahasa Melayu di dalam terbitan Balai Pustaka, jika ditinjau dari pembinaan dan pengembangan bahasa, Balai Pustaka telah merintis pemasyarakatan bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal munculnya bahasa Indonesia. Berkaitan dengan itu, H.B. Jassin menggambarkan kaitan antara bahasa Indonesia dengan Balai Pustaka sebagai berikut;
"Bahasa Melayu modern adalah bahasa Melayu Balai Pustaka yang berdasarkan bahasa Melayu Klasik. Bahasa Melayu modern inilah yang disebut orang kemudian juga bahasa Indonesia modern atau bahasa Indonesia saja. Antara bahasa Melayu Balai Pustaka dan bahasa Melayu persuratkabaran yang sebelum perang seolah-olah ada perbatasan. Perbatasan itu kemudian lambat laun menghilang dengan adanya sikap demokratis dalam penggunaan bahasa, sehingga penggunaan bahasa Balai Pustaka sesudah perang tak ada lagi bedanya dengan bahasa Indonesia yang dipakai di luarnya.[13]"

Kedua: Mau tidak mau harus diakui bahwa kemunculan Balai Pustaka merupakan tanda semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang semakin menggelora. Semangat inilah yang pada nantinya merumuskan Indonesia sebagai sebuah kesatuan yang disebut negara.  Semangat ini mulanya dipicu melalui buah pikir anak-anak bangsa yang ingin bangkit dari ketertindasan yang dituangkan melalui surat kabar dan karya sastra, salahsatunya melalui surat kabar Medan Prijaji yang merupakan surat kabar pribumi pertama di Indonesia. Sehingga, melihat itu pihak kolonial Belanda ketakutan dan harus mewaspadai segala gerak-gerik yang dilakukan orang-orang pribumi dengan mendirikan sebuah badan yang bisa mengontrol buah pikiran tersebut. Ketakutan pemerintah Belanda akan semangat nasionalisme ini dapat kita saksikan dalam 'Tetralogi Buru' karangan Pramudya Ananta Toer.

Pada era Balai Pustaka, semangat nasionalisme tidak lagi bersifat kedaerahan. Tetapi sudah menyeluruh ke Nusantara. Meskipun kebanyakan tema-tema yang diangkat dalam sastra Balai Pustaka adalah tema dan latarnya kedaerahan, pemberontakan terhadap adat istiadat, kawin paksa, dsb. tetapi sesungguhnya tokoh-tokoh yang dihadirkan adalah 'karikaturis.' Dengan tokoh-tokoh 'karikaturis' ini para sastrawan Balai Pustaka mamanfaatkan keberadaan lembaga tersebut untuk menyelusupkan ideologi kebangsaan mereka[14]. Semangat Ideologi ini salahsatunya bisa kita saksikan melalui puisi karya M. Yamin, angkatan Balai Pustaka yang lahir pada tahun 1903, sebagai berikut.

INDONESIA TUMPAH DARAHKU[15]

Bersatu kita teguh
Bercerai kita runtuh

Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
…….

Ketiga: Meski pada perkembangannya, bahasa Melayu dibagi menjadi 2 oleh pemerintah Hindia-Belanda guna mempermulus tujuan-tujuan liciknya, sesungguhnya bahasa Melayu tinggi yang dipakai Balai Pustaka dan Melayu rendah yang digunakan persuratkabaran adalah dari sumber yang sama. Sehingga kedua pengguna bahasa ini tidak risih disatukan dalam satu wadah; Sumpah Pemuda. Karena pada kenyataannya kongres pemuda yang dilaksanakan pada tahun 1928 itu tidak hanya diikuti oleh organisasi-organisasi yang berbahasa Melayu tinggi dari pribumi saja, tetapi ada juga organisas-organisasi kaum peranakan yang menggunakan bahasa Melayu Pasar.

Masyarakat Tionghoa juga dicatat sebagai salahsatu peserta dalam kongres tersebut, diantaranya adalah; Keww Tiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. Serta patut dicatat juga Johan Muhammad Tjia yang berpartisipasi sebagai panitia yang memprakarsai munculnya Sumpah Pemuda sebagai perwakilan Jong Islametien Bond. Inilah yang dimaksud Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan bahwa perbedaan antara bahasa Indonesia dan ragam bahasa yang disebut sebagai bahasa Melayu Tionghoa hanya bersifat temporer dan sangat kecil. Perbedaan terbesar di antara keduanya hanya  pada ejaan, tetapi perbedaan ini pun berangsur-angsur menghilang.[16]
Di sinilah penulis semakin memahami sebuah slogan yang berbunyi; "Proses kemajuan tidak bisa dihalang-halangi oleh kekuatan."
2.       Faktor-faktor yang Memengaruhi Berdirinya Balai Pustaka
Setelah membincang tentang latar belakang dan motif didirikannya Balai Pustaka, dapat disimpulkan ada dua faktor yang memengaruhi berdirinya lembaga penerbitan tersebut;
a.       Politik Etis
Politik etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa[17]. Salahsatu pencetus politik ini adalah Conrad Theodor van Deventer, seorang ahli hukum Belanda. Kartini memainkan peran yang sangat penting bagi van Deventer untuk merealisasikan pemikirannya tersebut. Selain alasan kemanusiaan tentang ketertinggalan penduduk pribumi yang menopang kemajuan negeri induk, van Deventer meyakinkan publik Belanda bahwa cara itu juga akan membebaskan mereka dari kemungkinan kebangkrutan yang dialami kolonial Spanyol pada awal abad ke-19 di benua Amerika[18].

Dikisahkan dalam perjalanan hidupnya di Indonesia, van Deventer pernah bertemu Kartini sebelum dia dipingit ke Jepara. Dari Kartinilah van Deventer bersama isterinya mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang diberi nama Yayasan Kartini (1913) dan kemudian Sekolah Kartini (1915) yang menampung ribuan perempuan pribumi dalam pendidikan modern di Hindia-Belanda.

Salahsatu isi dari pemikiran politik etis adalah edukasi, di mana pemerintahan Hindia-Belanda diwajibkan untuk memperluas bidang pengajaran dan pendidikan bagi pribumi. Maka dibukalah sekolah, perpustakaan, penerbitan dan otomatis Balai Pustaka termasuk di dalamnya.

Meski politik etis ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, tapi pada kenyataannya terjadi beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pemerintah Hindia-Belanda. Memang para pribumi diizinkan untuk bersekolah, tetapi perlakuan antara anak totok Belanda, peranakan, dan pribumi dibeda-bedakan. Seolah-olah ada perbedaan kasta di dalamnya. Perlakuan ini tidak sesuai dengan slogan kebangkitan Eropa; Liberte, Egalite, Fraternite yang dielu-elukan Belanda. Perlakuan diskriminasi ini bisa kita lihat dalam salah satu surat Kartini;
"Orang-orang Belanda itu mentertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang kepada kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusahan terhadap kami. Tapi memang tidak setiap guru dan murid membenci kami. Banyak juga yang mengenal dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi kepada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak menerimanya.[19]"

Tidak berhenti di situ saja, pendirian sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya didirikan oleh pemerintah kolonial untuk bisa mendapatkan pegawai yang murah, yang dengan sukarela mau mengabdi kepadanya. Dikatakan juga bahwa pendirian Balai Pustaka juga memiliki banyak perhubungan dengan riwayat pengajaran di Indonesia. Balai Pustaka Sewajarnya (1908-1942) mengatakan; "Asal mula mendirikan sekolah-sekolah di Jawa bukanlah karena hendak memberi pengajaran yang selayaknya kepada rakyat, melainkan hanya memenuhi kebutuhan pemerintah dalam di dalam soal pegawai negeri, dengan putusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, Gubernur Jenderal diberi kuasa: "Akan mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia, f25000,- banyaknya dalam setahun untuk belanja sekolah-sekolah buat orang Jawa, terutama akan mendidik mereka yang akan jadi pegawai negeri."[20]"

Barangkali bagi Kartini dan para sastrawan Balai Pustaka pada zamannya menghadapi dilema yang sulit di atasi. Di satu sisi mereka bisa saja dikatakan penghianat karena dianggap telah berkomplot dengan orang-orang Belanda. Tapi di sisi lain, bukankah untuk mengetahui bahaya modernitas yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda; sang srigala berbulu domba, adalah dengan mendekati dan mengenalinya?

Sebenarnya sosok Kartini dan para sastrawan pra kemerdekaan, termasuk sastrawan Balai Pustaka telah disimbolkan dalam sosok Minke di 'Tetralogi Bumi Manusia' karya Pramudya. Minke seorang pemuda pribumi namun sudah mendapat didikan Belanda, jiwanya terombang-ambing di dalam ganasnya arus modernitas, banyak ajaran-ajaran kebaikan di dalamnya tapi sayangnya tidak diimbangi dengan tindakan yang nyata, hukum hanya diperuntukkan untuk melindungi segelintir orang, hukum yang memihak kepada kekuasaan bukan kepada kepentingan dan cita-cita bersama, membuatnya berfikir kembali bahwa jiwa, hati nurani, dan raganya haruslah untuk rakyat. Lebih jelasnya Pram menyatakan dalam pengantar memoar Panggil Aku Kartini Saja; ”Dalam hal ini patut pula diperingatkan, bahwa dugaan yang bukan-bukan itu tidak lain daripada anakronisme historik, karena nasionalisme pertama-tama, yang timbul di negeri-negeri jajahan, selamanya hasil daripada perkenalan dari dekat dengan dunia Barat yang menjajahnya, karena nasionalisme sampai pada waktu itu merupakan pengertian dan istilah yang khas Barat. Maka penguasaan asal pengertian dan istilah ini mau tak mau juga mesti melewati pergaulan dengan Barat.[21]"
b.      Keberadaan Sastra Oposisi
Faktor kedua yang memengaruhi munculnya Balai Pustaka, adalah keberadaan surat kabar dan sastra-sastra oposisi yang lebih dulu ada. Sebenarnya keberadaan sastra inilah yang memiliki peranan penting dalam mengobarkan api semangat kebangsaan rakyat Indonesia. Bahasa yang dipakainya adalah bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari.

Kebanyakan sastra-sastra oposisi ini dihasilkan oleh orang-orang peranakan terutama peranakan Tionghoa. Bahkan ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Claudine Salmon, seorang pakar dari Perancis yang mengatakan bahwa novel Indonesia yang pertama kali bukanlah 'Azab dan Sengsara' karya Mirari Siregar, angkatan Balai Pustaka, tetapi novel yang sudah terbit 35 tahun sebelumnya, 'Tjit Liap Seng (Bintang Tuju)' karya Lie Kim Hok seorang peranakan Tionghoa asal Bogor[22]. Namun, pada perkembangannya sastra-sastra tersebut dimarginalkan karena politik pemerintah kolonial. Kebijakan politik ini bisa kita lihat melalui pernyataan Dr. D.A.R. Rinkes, kepala Balai Pustaka pertama; "….janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik…hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tau membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.[23]"

Keberadaan sastra oposisi yang dimarginalkan ini dihidupkan kembali oleh Pram dengan usaha mengumpulkan karya-karya tersebut yang diberi judul 'Antologi Indonesia Tempoe Doeloe.' Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah usaha untuk mengurai kembali secara tidak langsung politik sastra di masa lalu. Pramudya memunculkan kembali nama-nama penulis yang sekarang ini terlupakan dan tak tercatat dalam sejarah sastra.

Dalam antalogi tersebut Pramoedya menghadirkan beberapa nama pengarang beserta karyanya seperti; F. Wiggers dengan karangannya; 'Soeropati Hakim Pengadilan.' Tio Le Soei dengan; 'Peter Elberveld' (Satoe Kedjadian jang Betoel di Betawi). F.D.J. Pangemanan yang menulis dua cerita, yaitu; 'Tjerita Rossina' dan 'Tjerita si Jonat'. G. Francis dengan kisahnya yang terkenal 'Tjerita Njai Dasima' serta H. Kommer dengan cerita 'Kong Ho Nio' dan 'Tjerita Nji Paina' yang kesemuanya berkarya di awal abad ke-20[24].

Sayangnya, sastra-sastra oposisi ini tidak mendapatkan tempat di dalam kajian sejarah sastra Indonesia. Bahkan orang sekelas A. Teeuw dan H.B. Jassin tidak menyinggungnya. Apalagi sistem pengajaran pelajaran Indonesia telah banyak mengadopsi cara-cara yang dipakai pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga, sastra model seperti ini akan selalu dimarginalkan di negerinya sendiri, bahkan tidak dikenal. Padahal kalau kita mau membaca sejarah dengan jeli, banyak para pendiri bangsa kita, terutama Bung Karno sering juga membaca sastra-sastra model ini. Semoga saja usaha yang dilakukan orang-orang semacam Pramoedya membuat kita menyikapi sejarah sastra secara adil dengan menghadirkan karya-karya yang memang ada pada masanya.
C.      Pengaruh 'Asing' Terhadap Sastra Balai Pustaka
Sejarah sastra di Indonesia bahkan di dunia tidak akan lepas dari pengaruh-pengaruh 'asing' yang menyertainya. Itu dikarenakan sistem sastra dalam suatu bahasa tertentu sifatnya adalah terbuka terhadap anasir-anasir 'luar' yang bersinggungan dengannya.

Pada diskusi yang lalu, kita telah membaca dan membahas bagaimana sastra Melayu banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan Islam yang berkuasa[25]. Bahkan memengaruhi bentuk-bentuk karya sastranya. Jenis sastra pantun, talibun, gurindam, peribahasa, hikayat, dsb. Semuanya adalah hasil dari pengaruh kebudayaan Islam terhadap sastra Melayu.

Berbeda dengan sastra Melayu, sastra Balai Pustaka mengalami perubahan yang drastis dari akarnya. Perubahan ini terjadi karena bangsa Indonesia sudah dikenalkan dengan unsur-unsur modernitas dan pemikiran yang terjadi di Eropa. Pergerakan Cina yang dipelopori Dr. Sun Yat Sen, dan negara-negara jajahan lain yang ingin merdeka pun juga memiliki peran yang signifikan.

Dalam prosa, Jenis roman adalah karya sastra yang diidentikkan dengan angkatan Balai Pustaka, dan penggunaan tulisan Latin sudah mulai menyebar menggantikan aksara Jawi atau huruf pegon yang dipakai dalam sastra Melayu. Roman menggantikan jenis prosa hikayat, dongeng, sage, wira carita. Jenis roman sendiri merupakan hasil dari gerakan romantisme yang muncul di Eropa pada abad ke-18. Ciri-ciri dari sastra romantisme salah satunya adalah menonjolkan perasaan daripada rasio, realisme-historis, kembali ke alam, membangkitkan rasa nasionalisme, penerimaan terhadap nilai-nilai kelas menengah ke bawah, dsb.  Sebab ini lah roman sangat cocok sekali ditulis pada era imperialisme-kolonialisme sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap penindasan. Pengenalan sastrawan Balai Pustaka kepada jenis roman bisa jadi karena mereka lebih banyak bergumul dengan terjemahan-terjemahan sastra Eropa.

Namun demikian, boleh dikata perubahan bentuk sastra Melayu ke ide-ide romantik di Indonesia sudah dimulai sejak masa sastra peralihan yang dipelopori Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1769-1854). Perubahan itu bisa kita lihat dengan membandingkan isi yang dipakai dalam sastra Melayu dengan sastra yang dipakainya, sebagai berikut[26];

Sastra Melayu
Berkisah tentang sesuatu yang fantastis; penuh keajaiban, dunia yang antah berantah dan tokoh-tokoh yang hidupnya seperti dewa.
Pusat penceritaan adalah istana atau orang-orang istana.

Sastra Peralihan
Berkisah tentang realitas sehari-hari. Tokohnya orang-orang biasa, termasuk pengarang. Peristiwa yang diceritakana adalah peristiwa yang menarik.
Pusat penceritaannya adalah orang-orang biasa.

Di dalam puisi, angkatan Balai pustaka dianggap sebagai cikal bakal munculnya puisi baru. Pada angkatan ini mulai terjadi pembaruan puisi, baik dari segi bentuk, isi, maupun bahasa. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kelompok pemuda yang mulai tidak menyukai puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu. Para pemuda menganggap puisi lama yang bersifat statis itu tidak sesuai dengan jiwanya yang bersifat dinamis dan ingin bebas. Mereka menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya. Ada tiga orang yang dianggap sebagai perintis puisi baru, yaitu Mr. Moh. Yamin, Rustam Effendi, dan Sanusi Pane.

Puisi angkatan Balai Pustaka ini cenderung beraliran romantik dan impresionisme. Dalam aliran romantik, perasaan lebih ditonjolkan, sedangkan pertimbangan rasio sering dinomorduakan. Kecenderungan isi puisi yang beraliran romantik adalah menggambarkan keindahan alam, gunung, dan sebagainya. Sebagai contoh, kumpulan puisi “Tanah Air” yang ditulis oleh Moh. Yamin. Dalam puisi tersebut, Yamin melukiskan secara emosional kecintaannya pada tanah airnya. Sedangkan dalam aliran impresionisme, pengarang mengolah kesan-kesan yang timbul dari kenyataan di dalam batinnya, kemudian pengarang membuat pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam puisi. Sebagai contoh puisi yang menggunakan aliran ini adalah puisi “Teratai” karangan Sanusi Pane. Dari segi isi, puisi angkatan Balai Pustaka cenderung berisi tentang ungkapan perasaan pribadi seorang menusia (pengarang)[27].

Untuk lebih jelasnya mari kita bandingkan contoh jenis puisi yang dipakai dalam sastra Melayu dengan sastra Balai Pustaka.

Petikan Syair Dagang
Oleh; Hamzah Fansuri

Hai sekalian kita yang kurang
nafsumu itu lawan berperang
jangan hendak lebih baiklah kurang
janganlah sama dengan orang

Amati-amati membuang diri
menjadi dagang segenap diri
baik-baik engkau fikiri
supaya dapat emas sendiri

Dengan puisi 'Sajak' Karya Sanusi Pane;

SAJAK

Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya.
Tanya pertama ke luar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengingat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam, bukan nan dicari
Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani

D.      Tela'ah Poskolonialisme Sebagai Salahsatu Metode Pendekatan Sastra Balai Pustaka
Sastra Balai Pustaka adalah sastra yang lahir di era kolonialisme. Sastra Indonesia yang lahir di era kolonialisme tidak akan lepas dari pengaruh pemerintah Hindia-Belanda yang sedang berkuasa saat itu. Kolonialisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) diartikan sebagai penguasaan suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Di sini mengindikasikan bahwa kolonialisme selalu menyinggung  tentang bangsa penjajah dan yang dijajah, atau tidak keluar dari dominasi. Penjajahan Belanda atas Indonesia tidak hanya berhubungan dengan sumber daya alam yang dimilikinya, namun juga konstruksi budaya dan identitasnya. Jadi, watak dan karekter anak bangsa yang salahsatunya digambarkan dalam karya sastra mereka tak pernah lepas dari keterpengaruhan ini.

Sudah sewajarnya jika karya-karya yang lahir di era kolonialisme ini ditela'ah dengan menggunakan kacamata poskolonialisme. Tela'ah Poskolonial menjadi populer setelah dikenalkan oleh Edward Said setelah menerbitkan bukunya yang berjudul Orientalisme pada tahun 1978. Tela'ah poskolonial mencoba mengungkapkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan pada saat atau setelah kolonialisme. Poskolonial berusaha membangkitkan kesadaran bahwa dalam narasi oriental tersembunyi ideologis yang secara terus-menerus memisahkan dunia Barat dengan dunia Timur[28].

Poskolonial sangat relevan untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji dalam poskolonial sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan di antaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan; perbudakan penduduk, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural lain[29].

Karakteristik yang terdapat dalam karya sastra era kolonialisme tidak lepas dari 2 unsur yang saling berkaitan, yaitu; 1). Hegemoni, dan 2). Mimikri. Hegemoni adalah kekuasaan yang dicapai melalui kombinasi paksaan dan kerelaan antara kolonial dan bangsa jajahannya. Sedang mimikri atau tindakan menirukan yaitu tindakan menirukan suatu kelompok dalam bangsa terjajah yang mirip dengan penjajah tetapi masih beda dengan penjajah.
Dalam analisanya tentang hegemoni, Gramsci menjabarkan tentang karakteristiknya yang tidak bisa keluar dari lima hal;
  1. Anarkisme; yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan dan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu pemerintahan beserta perangkatnya harus dihilangkan. Dalam perkembangannya anarkisme dibagi menjadi dua; anarkisme positif dan anarkisme negative.
  2. Feodalisme; sebuah bentuk hubungan sosio-ekonomis dengan pola hubungan tuan-hamba yang menghubungkan sistem kepemilikan budak dan penumpukan kekayaan.
  3. Humanisme; menganggap individu rasional sebagai nilai yang paling tinggi. Humanisme dapat diartikan sebagai yang berorientasi kepada sesame, bersifat manusiawi. Menekankan hubungan yang seimbang antar sesame.
  4. Militerisme; diartikan sebagai suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanan dari kekuatan militernya.
  5. Otoritarianisme; adalah pandangan yang mendukung ketaatan buta terhadap suatu otoritas sebagai sumber pengetahuan dan pengaruh hidup (keyakinan politis) yang benar.
Sedang mimikri, menggambarkan sebuah proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna dengan kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang 'tidak tepat' dan 'salah tempat'. Dengan demikian mimikri menjadi strategi kebudayaan yang memungkinkan adanya proses transformasi budaya luar untuk memberi pengayaan terhadap budaya lokal[30].

Jadi menurut pemaparan di atas, maka karakteristik yang terdapat di dalam karya-karya Balai Pustaka selalu berkaitan dengan kedua unsur tersebut. Untuk lebih jelasnya Anda bisa menerapkan teori di atas dalam Siti Nurbaya karya Marah Rusli misalnya, atau Salah Asuhan, Belenggu, Sengsara Membawa Nikmat atau puisi-puisi karya Sanusi Pane, M. Yamin, dsb. Atau bisa Anda gunakan terhadap roman-roman Pramudya Ananta Toer, karena kebanyakan karya sastranya bersettingkan zaman penjajajahan. Selamat mencoba!
E.       Tokoh-tokoh Angkatan Balai Pustaka dan Karya-karyanya
Pada bagian ini, penulis hanya bisa menghadirkan dua jenis karya sastra yang berkembang di era Balai Pustaka; yaitu Roman dan Puisi saja. Kami belum berani mengulas secara mendalam apakah cerpen atau naskah sudah mulai dikenal pada masa itu. Atau apakah jenis puisi stanza atau soneta sudah marak. Ini dikarenakan keterbatasan kemampuan kami dalam membaca literatur-literatur yang ada. Atau barangkali dari literatur-literaturnya yang tidak tersedia.

Berikut beberapa tokoh sastrawan Balai Pustaka beserta karya-karyanya;
  1. Bidang prosa (baca roman) :
    1. Marah Rusli [Siti Nurbaya-1922, La Hami-novel-1952, Anak dan Kemanakan-1956, Memang Jodoh-otobiografi, Gadis yang Malang-terjemahan-1922].
    2. Merari Siregar [Azab dan Sengsara-novel-1920, Cerita Si Jamin dan Si Johan-saduran-1918].
    3. Nur Sutan Iskandar [Apa Dayaku karena Aku Perempuan-1922, Cinta yang Membawa Maut-1926].
    4. Aman Datuk Madjoindo [Si Cebol Rindukan Bulan-novel-1932, Menembus Dosal-1932].
    5. I Gusti Nyoman Panji Tisna [Ni Rawit Ceti Penjual Orang-1935, Sukreni Gadis Bali-1935].
    6. Suman Hs [Kasih tak Terelai-novel-1929, Percobaan Setia-1931].
    7. Abdul Muis [Salah Asuhan-novel-1928, Pertemuan Jodoh-1933]
    8. Tulis Sutan Sati [Sengsara Membawa Nikmat-1928, Memutuskan Pertalian-1932]
  2. Bidang Puisi:
    1. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. [Tanah Air, 1922, Indonesia Tumpah Darahku, 1928].
    2. Sanusi Pane [Sajak, Teratai, Taj Mahal, Kepada Krysna, Wijaya Kesuma, Arjuna, Kembang Melati, Melati, Tanah Bahagia, Majapahit, Candra, Candi Mendut, Kesadaran, Pagi].
    3. Roestam Efendi [Percikan Permenungan, 1926].

F.       Penutup
Bahwasanya usaha untuk menela'ah karya sastra dari berbagai pendekatannya seharusnya disemarakkan secara terus menerus. Ini dikarenakan, sastra selain berfungsi sebagai media perekam sebuah peristiwa, ia juga menjadi saksi pergolakan-pergolakan zaman. Sastra tidak hanya menawarkan plot, penokohan, setting, rima, irama, dsb. Tetapi ia juga menyajikan sebuah gambaran sosial, ekonomi, politik, agama, bahkan juga mimpi. Penela'ahan ini lah barangkali yang dimaksud Bung Karno dengan slogannya; "JASMERAH!" Jangan Lupa Sejarah! Karena dengan menela'ah sastra, kita tidak hanya memperhatikan atau tahu ilmu pengetahuan tentang sejarah saja, tetapi kita juga akan mengetahui bagaimana gambaran pergolakan zaman yang dihadapi bangsa serta memahami bahkan menentukan kemana bangsa kita harus melangkah. Lalu bagaimana mungkin kita bisa mengetahui, memahami, dan menentukan jika tidak tahu alatnya?

*Disampaikan pada diskusi SAMAS (Sajak Masisir) 31 Maret 2013

[1] Bunyi dari kutipan slogan tersebut berasal dari pupuh 139, bait 5, yang berbunyi;
Jawa Kuna
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Alih bahasa
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu,, tidak ada kebenaran yang mendua.
Lebih lengkapnya lihat di; wikipedia.org, Kakawin Sutasoma

[2] Mandur, Muhammad. El-Naqd el-Manhaji Inda el-Arab, Maktabah el-Usrah, Kairo, 2007, hal.12-13

[3] A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya, Jakarta Pusat, 1984. Hal. 311-318.

[4] Lihat, sastra-indonesia.com ; Sejarah Perkembangan Teori dan Kritik Sastra Indonesia, Maman S. Mahayana. Dibaca pada 29-03-2013 Pukul; 07:38 WK.

[5] Lihat, wawancara 'Pikiran Rakyat' dengan W.S. Rendra di; kisahmuallaf.wordpress.com ; Rendra; Islam itu Agama yang Sempurna. Dibaca pada 29-03-2013, pukul; 08:05 WK.

[6] Menurut B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu (1) Sastra lama.purba, (2) Sastra pengaruh Hindu dan Arab, (3) Sastra Indonesia baru, dan (4) Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih bisa dirinci menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, dan (c) Pujangga Baru
Menurut Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi 2. yaitu sastra lama dan (2) sastra baru. Sastra lama mencakup (a. dinamisme, (b) Hinduisme, (c) Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru dibedakan menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, (c) Pujangga Baru, dan (c) Sastra angkatan 45.
Menurut JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Sastra Melayu, dan (2) Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu dibedakan menjadi 3 (a) Purba, (b) Hindu/Islam, (c) Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi (a) Balai Pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angk. 45, dan (d) sesudah Angk. 45.
Menurut Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni (1) sastra lama (…. – 1920), (2) Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan (3) Sastra Indonesia Modern (1945 – …..)
Menurut HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni (1) Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan (2) Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian (a) Balai pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angkatan 45, dan (d) Angkatan 66.
Lain Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia menjadi 2, yakni (1) sastra Melayu atau sastra lama, dan (2) sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi 2 yaitu (a) masa kebangkitan, dan (b) masa perkembangan. Masa kebangkitan masih dirinci menjadi 3 (i) periode 20, (ii) periode 33, dan (iii) periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2, yaitu (i) periode 45 dan (ii) periode 50
Ajib Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu (1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan. Masa kelahiran dirinci menjadi 3 yaitu (a) awal abad XX s/d 1933, (b) 1933-1942, dan (c) 1942 – 1945. Sedangkan masa perkembangan dibedakan juga menjadi 3, yaitu (a) 1945 – 1953, (b) 1953 – 1960, dan (c) 1960 – ….
lebih lengkapnya bisa dilihat di; mbahnur.wordpress.com/2010/02/11/periodisasi-sastra-indonesia/

[7] lihat, wikipedia.org, Balai Pustaka

[8]Maman S. Mahayana; Politik dalam Sastra Zaman Balai Pustaka; mahayanamahadewa.com, dalam-sastra-zaman-balai-pustaka

[9] Rusli, Marah, Siti Nurbaya, Kasih tak Sampai. Balai Pustaka (pdf), hal. 12

[10] Ibid. hal. 16.

[11] Maman S. Mahayana. Loc. cit

[12] melayuonline.com, latar belakang sejarah kesusastraan melayu masa pengaruh tionghoa

[13] M. Moeliono, Anton. Tela'ah Bahasa dan Sastra. Yayasan Obor Indonesia(google books), hal. 260.

[14] Maman S. Mahayana. Loc. cit

[15] Sumber: Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air, Oyon Sofyan, editor halaman 15

[16] melayuonline.com, loc. cit

[17] wikipedia.org, Politik_Etis

[18] loka-majalah.com, archives/642

[19]  Toer, Pramudya Ananta, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, Utan Kayu, Jakarta Timur, cet. 4, 2009, hal. 62.

[20] Maman S. Mahayana, Loc. cit

[21] Toer, Pramudya Ananta, Op cit, hal, 13-14.

[22] goodreads.com, sastra indonesia awal

[23] Maman S. Mahayana. Loc. Cit

[24] sastra-perlawanan.blogspot.com, archive 2009_03_01

[25] Umar, Abdullah, Sastra Melayu dan Perannya dalam Revitalisas Kesusasteraan Indonesia, bag. C. Islam Sebagai Awal Penggerak Transfigurasi Kesusasteraan Melayu. Disampaikan pada 24-03-2013.

[26] lokalbahasasastra.blogspot.com, kesusastraan-peralihan-kesusastraan

[27] naszinsky.blogspot.com, v-behaviorurldefaultvmlo_02

[28] Yunita, Vivi, dkk. Unsur Poskolonial dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Padang, hal. 2

[29]  Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Tekhnik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postsrukturalisme Wacana Naratif. Denpasar : Pustaka Pelajar.

[30] Yunita, Vivi dkk. Op cit. hal. 3

0 comments: