Cerpen Kehidupan Gadis - Gadis Mall


Cerpen kehidupan kali ini akan bercerita tentang liku-liku kehidupan gadis mall.cerpen yang memberikan anda gambaran tentang pergaulan gadis-gadis masa kini. Gaya hidup gadis mall mungkin sangat bervariatif. Langsung saja simak cerpen berikut

 Gadis - Gadis Mall


Aku semakin yakin bahwasannya dosa terbesar anak manusia adalah diam.  Menutup mulut atas apa yang jelas-jelas tampak, mereka menganggap apa yang dilihatnya sebatas wawasan, bukan tanggungjawab. Jangankan bertindak, mengangkat suara pun tidak. Mereka hanya menggelengkan kepala, entah tidak percaya atau sekedar prihatin sejenak, selepas itu kembali diam. Membatukan segala, menghancurkan segala, mendurhakakan segala. Dosa dari segala dosa. Diam.

Perkenalkan, namaku Cinta. Tidak perlu kalian tanyakan kenapa orangtuaku menamaiku demikian. Barangkali sebagian dari kalian merasa geli bila namaku disebutkan, atau mungkin timbul kesan menggairahkan, seksi, sintal, dan sensual. Bagiku tidak begitu penting. Maaf, betul, bagiku kesan kalian tidak begitu penting. Seperti apapun kesan yang muncul dalam benak kalian, yang jelas keistimewaanku melebihi apa yang mampu kalian bayangkan. Bahkan, tidak jarang aku berpikir kenapa Tuhan menganugerahkan kecantikan sempurna ini kepadaku bila Ia mencatatku ke dalam golongan orang-orang yang diam. Ah, semoga saja tidak! Setidaknya dengan bercerita seperti ini, aku mulai mengusir diam jauh-jauh dari kehidupan, dan berani berbuat sekecil apapun tindakan.

Terlepas dari kecantikan dan kesintalan fisik yang kumiliki, terus terang, kadang-kadang aku juga merasa geli dengan namaku sendiri: Cinta.

Mumpung belum terlalu jauh aku bercerita, kalian bisa berhenti di sini dan mulai menyelesaikan urusan lain yang lebih penting. Aku tidak keberatan. Sama sekali tidak keberatan. Namun bila memang membaca cerita ini adalah pilihan, baik kebutuhan atau sekedar keingin-tahuan, aku ingin mengajukan sedikit permintaan: Aku mohon dengan sangat selama membaca ini, sebisa mungkin bayangkanlah betapa cantiknya diriku, bertubuh semampai, berdada montok, berpantat semok, berkulit putih, bibir tipis, gigi rapi dan bersih, hidung mancung, pipi lesung, alis tajam, rambut halus dan berombak, berpostur cukup tinggi. Semua kesempurnaan yang dimiliki ratu-ratu yang kalian baca dari dongeng-dongeng, ada padaku. Sebisa mungkin bayangkankanlah! Atau bila kesusahan, tentu otak kalian menyimpan paras paling cantik dari seorang gadis, anggap saja dia Cinta, diriku, orang yang sedang bercerita pada kalian saat ini. Namun perlu aku ulangi, sehebat apapun fantasi kalian, kecantikanku yang sesungguhnya melampaui apa yang mampu kalian bayangkan. Silahkan tidak percaya! Toh, secantik apapun diriku tidak akan berlangsung lama, seperti halnya segala ciptaan.

Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku mengajukan permintaan tersebut, tidak perlu aku paparkan lebih jauh, tapi bila kalian meluangkan waktu dan merasa nyaman mengikuti cerita ini, di akhir cerita kalian akan menemukan jawabannya. Aku yakin akan hal itu. Baiklah, kemudian, seperti yang telah kukemukakan di awal tadi, aku memiliki keyakinan bahwasannya dosa terbesar anak manusia adalah diam. Kalian mungkin terkejut dan tidak percaya, itu hak kalian, namun dari keyakinan tersebut aku ingin memulai cerita ini. Sekali lagi silahkan berlalu, sebelum menyesal sudah membuang waktu dengan cerita murahan seperti ini.

“Cin, entar sore anterin guwe ke Mobile Shop, ya! Guwe penasaran dengan BB model terbaru, katanya sih Touch Screen. Kalau harga dan modelnya cocok, aku sudah bosan dengan BB yang ini.”

Yang barusan kalian dengar adalah suara Kasih, penghuni kamar sebelah. Tidak terhitung berapa kali ia ganti ponsel dalam setahun, demikian juga dengan komputer-lipatnya. Separuh hidupnya berada di dunia maya, ia betah berjam-jam menundukkan kepala sembari memainkan dua jempolnya pada tombol-tombol ponsel, dalam keadaan demikian, bisa dipastikan telinganya tertutup rapat mendengarkan lagu-lagu R&B terbaru. Kamar Kasih penuh dengan benda-benda mewah. Sejak kecil ia selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Bukan sekedar dimanja, tapi benar-benar dimanja. Ketika ia minta kamera saku, ayahnya membelikannya DSLR. Ingin ini diberi segini, ingin itu mendapat segitu. Dan seterusnya…

“Kita lihat saja nanti,” jawabku, “soalnya kalau jadi si Lovi mau ngajak guwe lihat pameran busana musim panas di mall.”

Lovi juga teman setempat-tinggal, hobinya pasaran, tidak ada unsur unik sama sekali. Ia suka dandan, koleksi pakaian mewah, parfumnya berderet, lipstik warna-warni, jumlah tas dan sepatunya tidak terhitung. Ia paling betah berlama-lama di depan cermin, bahkan kalau perlu, membaca pun harus di depan cermin, supaya sesekali  bisa memuji kecantikannya sendiri dengan menggerak-gerakkan kedua bibirnya.

“Cin, entar malam tidak usah masak! Restoran Itali buka cabang baru di daerah Downtown, katanya sih menunya lebih banyak dari yang biasa kita kunjungi.  Sepulang dari Mobile Shop atau pameran busana kita bisa rame-rame kesana! Guwe yang traktir, deh!”

Nah, yang baru saja bersuara namanya Missy. Ia memiliki postur tubuh paling besar di antara kita, tentu kebutuhan konsumsinya lebih banyak. Wisata kuliner adalah hobi yang paling digemari. Ia mampu menyebutkan sembilan jenis makanan dari negara berbeda dalam waktu sembilan detik. Berat badan tidak begitu penting baginya, kepuasan lidah dan perut adalah segala-galanya. Ia merasa hidupnya seimbang karena seiring kecintaannya terhadap makanan ia juga terbilang piawai memainkan peralatan dapur. Betul, kami bertiga mengakui kelezatan masakan-masakannya. Aku sendiri heran, ia hafal lebih dari sepuluh resep masakan terkenal di dunia.

Mudah-mudahan Tuhan memaafkanku lantaran becerita pada kalian tentang pribadi orang lain. Baik itu pribadi buruk maupun sebaliknya. Perlu diketahui, kita berempat terbilang pelajar berprestasi karena kerajinan kita dalam belajar, kita juga muslimah yang taat dengan perintah-perintah agama menurut batas pemahaman kita masing-masing, tidak pernah berniat berbuat jahat pada orang lain, tidak suka mengganggu ketentraman orang lain; ungkapan sederhananya, tidak peduli dengan urusan orang lain. Ah, semoga aku tidak bermuluk-muluk bercerita tentang orang-orang di sekelilingku, ada hal yang jauh lebih penting untuk kusampaikan selain kehidupan pop kami. Atau lebih mudahnya, kalian bisa menyebut kami Gadis-Gadis Mall: Sekumpulan gadis yang tidak memiliki banyak kepentingan dengan kehidupan luar, lebih suka dengan kemewahan dan memanjakan diri sendiri ketimbang mencampuri nasib orang lain, kepentingan kita adalah diri kita sendiri, kita tidak punya tanggung jawab apa-apa kecuali memenuhi kebutuhan masing-masing. Kita adalah gadis-gadis diam.

Menyedihkan sekali, diriku adalah pendosa terhebat di mataku sendiri.

Diam adalah emas, kata mereka. Bukan diam semacam ini yang kumaksudkan, melainkan diam adalah sumber malapetaka. Aku selalu membenarkan ungkapan orang bijak bahwasannya segala bentuk peperangan, penindasan, pemerasan, bencana kelaparan, buta huruf, dan berbagai kecacatan sosial yang terjadi, bukan semata akibat ulah tangan orang-orang tidak baik; namun, lebih, dikarenakan, sikap, diam, orang baik-baik. Lalu, bagaimana aku bisa menganggap diam itu perkara wajar, sementara ia adalah dosa terbesar umat manusia? Sejak dahulu nabi-nabi selalu menekankan, bahwa sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik budi pekertinya dan yang bisa memberi manfaat bagi orang lain; cinta sejati terletak pada uluran tangan seseorang ketika ia memberikan apa yang paling ia cintai kepada orang lain yang jelas-jelas lebih membutuhkan; surga paling indah dijanjikan pada mereka yang menyantuni anak yatim dengan penuh kasih-sayang; Tuhan akan membalas pahala berlipat-lipat pada mereka yang memberi makan orang-orang kelaparan; pada mereka yang membebaskan budak; pada mereka yang menyisihkan harta miliknya untuk kepentingan masyarakat; pada mereka yang berjuang demi negara; pada mereka yang mati membela kebenaran; pada mereka yang bertindak demi kepentingan bersama. Bukan pada mereka yang diam, atau orang baik-baik yang mementingkan diri sendiri.

Maaf, sekali lagi maaf, kalau aku terlalu berapi-api dalam bercerita. Jalan terbaik adalah, barangkali, anggap saja aku ini orang gila yang ngomong sendiri tidak jelas kemana arahnya, atau si bodoh yang tengah menceritakan kebodohannya, atau mungkin lebih tepatnya gadis lugu yang belajar marah dengan cara mengutuk dirinya sendiri. Ah, entah, mungkin luapanku yang berapi-api sejak tadi dikarenakan saat ini aku sedang datang bulan. Kita kaum hawa mudah kesal dalam keadaan begini. Harap maklum! Toh, sejak awal tadi sudah kusarankan segera meninggalkan cerita ini kalau ada kesibukan yang lebih penting.

Oke, sepertinya kalian tidak merencanakan apa-apa saat ini dan memilih mengikuti kelanjutan cerita ini. Terima kasih! Supaya adil, sebagai ganti, aku akan menceritakan sesuatu yang beberapa waktu lalu kudengar dari Kasih, tentang fakta yang pernah menghebohkan dunia media beberapa tahun silam. Atau barangkali kalian sudah lama mendengarnya? Kalau memang demikian, izinkan gadis bodoh ini kembali memutar kenangan yang dulu pernah meracuni ingatan kalian:

Tahun 1993, ketika terjadi bencana kelaparan hebat di Sudan, dunia terhibur oleh sebuah foto yang diambil Kevin Carter, seorang wartawan asal Afrika Selatan. Foto tersebut memperlihatkan seorang gadis kecil kelaparan, sementara tidak jauh di belakangnya, seekor burung pemakan bangkai berparuh tajam tampak berang menunggu kematian gadis tersebut. Diberitakan, gadis malang tersebut tengah berada dalam perjalanannya menuju perkemahan yang membagikan bahan pangan. Ia tampak merangkak, untuk berdiri tegak saja tidak mampu, sementara lokasi perkemahan masih berkisar satu kilometer di depannya. Sungguh mengerikan! Betapa menakutkan!

Setelah bercerita kepadaku sambil memperlihatkan foto tersebut dari sebuah majalah, Kasih tidak memberi komentar apa-apa kecuali: “Lihat Cin, tidak salah guwe menekuni seni fotografi. Foto tidak memperlihatkan apa-apa kecuali hal yang benar-benar nyata, ia merekam kejadian dengan jujur. Suatu saat guwe yakin bisa memperoleh kesempatan merekam kejadian fenomenal semacam ini.”

Setelah itu Kasih kembali tersenyum asik dengan ponsel dan sederet lagu R&B-nya, sama sekali tidak sadar kalau cerita dan gambar yang ia perlihatkan telah membangun sungai kecil yang mengalir dari sudut kedua mataku. Kemudian, setelah kutelisik, nama Kevin Carter semakin tenar setelah karya tersebut mendapat penghargaan bergengsi. Ia mengaku setelah mengambil foto tersebut berlalu begitu saja, mencari sasaran lain. Namun sejak saat itu, ia tidak mampu berdamai dengan pikirannya sendiri, mungkin karena ia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anak itu kemudian. Entah, barangkali lebih tepatnya ia menyesal telah diam. Bagaimana ia bisa berdamai dengan pikirannya sendiri-ketika depresi tidak lagi dapat dihindari, kecemasan-kecemasan, penyesalan, juga keprihatinan? Faktor-faktor kejiwaan inilah yang kemudian dijadikan praduga sementara orang atas keputusannya bunuh diri tiga bulan setelah menerima penghargaan. Kutipan dari catatan harian yang ia tinggalkan: “Saya berharap semoga selanjutnya manusia semakin peka terhadap dunia di sekeliling mereka, tidak mudah terbutakan oleh kepentingan dan kesenangan diri sendiri.”

Kisah di atas adalah satu dari sekian kejadian serupa yang tidak terhitung, terjadi dari waktu ke waktu, hari demi hari, baik siang maupun malam. Di setiap tempat, di segala penjuru, di sekitar sini, di sekeliling kalian, tidak jauh dari kasur empuk yang tengah kurebahi, dekat dengan kursi goyang yang kalian duduki. Dalam berbagai bentuk, dengan bermacam gaya. Kalau kalian tidak percaya, silahkan keluar membawa kamera, dengan segera kalian akan menjadi seorang Kevin Carter yang profesional. Kemudian, keputusan tetap milik kalian, selamanya diam, semakin peka, atau mulai melakukan tindakan? Ah, sudahlah! Sepertinya ceritaku semakin ngelantur, sebenarnya bukan ini yang hendak kusampaikan, aku hanya ingin menceritakan BETAPA DIAMNYA DIRIKU DAN TEMAN-TEMANKU DI SINI, BETAPA BELANJA BAGI KITA TELAH MENJADI CANDU. Kekayaan orang tua telah membentuk pribadi manja dalam diri kita. Betul-betul manja. KITA DIKELILINGI BARANG-BARANG YANG KITA INGINKAN, BUKAN YANG KITA BUTUHKAN.

Betapa besar dosa diam yang telah kuperbuat. Betapa sungguh di dalam harta yang kumiliki terdapat hak milik orang lain, tentu pada waktuku pula terdapat jatah untuk berbagi tangan dengan orang lain.

Benda-benda elektronik yang kumiliki, pakaian-pakaian mewah, peralatan rias yang berjajar rapi, berbagai model sepatu, pernik-pernik, hingga hal-hal kecil di luar kebutuhan namun terlanjur kubeli; tidak hanya memperlihatkan betapa cantik diriku, namun juga menampakkan betapa diam hidupku. Lalu pada tanah mana lagi aku harus berpijak? Pada bahu siapa aku harus bersandar ketika penderitaan orang lain turut aku rasakan? Ah, sungguh, ajarkan padaku sebaik-baik cara mengusir diam!

Aku sangat meyakini bahwasannya kebaikan serta keunggulan manusia tidak ditentukan dari agama yang dipeluk, jabatan yang disandang, ras atau warna kulit, budaya, apalagi pandangan berpolitik; namun keduanya akan tampak dari sejauh mana seseorang berbakti dan berkorban demi kepentingan bersama.

“Cin, ngelamun mulu sih lu kerjaannya! Ke Mobile Shop-nya sekarang saja, yuk! Biar entar sore guwe bisa ikutan kalian nge-mall.”

Pembaca yang budiman, maaf, sayang sekali aku harus pergi, semoga lain waktu bisa kembali bercerita pada kalian.

1 comment:

  1. Kunjungan balik yah ke Dus Makanan.
    Jika minat untuk memesan kunjungan balik ke http://www.greenpack.co.id/

    ReplyDelete