Stephen Hawking dan Kemajuan Islam

Sejarah kemajuan islam nampaknya lekat dengan pakar fisikawan Stephen Hawking, mengapa? ketika penulis membaca A Brief History of Time karya Stephen Hawking sungguh banyak memberi inspirasi bagi saya. Teringat sejurus kala itu ketika saya masih duduk di bangku Aliyah, salah seorang guru Kimia bercerita dengan penuh antusias, "Sekarang, fisikawan paling keren di dunia adalah Stephen Hawking. Seorang berkebangsaan Inggris yang mendedikasikan hidupnya demi kosmologi: sebuah diskursus yang mulai dimuaki para pengakaji; rumit dan benar-benar imaginary." Sekejap, ambisi masa kecil tiba-tiba menyeruak: aku ingin jadi seorang Lang Ling Lung, tokoh jenius yang mampu mencipta alat-alat ajaib yang melampaui zamannya, dalam komik Donal Bebek. Entah kenapa, ambisi ini tiba-tiba menguap dan muncul kembali setelah mendengar biografi saintis lumpuh itu—dan ternyata kembali lagi menguap. Mungkin benar juga Sophie's World yang bertutur dengan sangat elegan, "The only what we require to be good philosophers is the faculty of wonder." Dan karakter ini alamiah dimiliki anak kecil yang berusaha digali kembali oleh para filosof, di saat manusia dewasa menganggapnya lelucon.

Tentu bukan hanya karena buku ini memang international best-seller, atau ketokohan sang penulis yang digambarkan berkursi roda pada covernya, yang membuat saya tertarik. Bagi saya ada poin lain yang sungguh menarik saya untuk berpikir ulang menyangkut diskursus yang terbebankan secara ad hoc sebagai seorang azhari: diskursus Islam. Saya mulai berpikir ulang membaca fenomena kemunduran Islam sekaligus potensi kemajuannya. Saya pun mulai heran, mengapa seorang atheis yang mendemokan ke-atheis-annya ini dengan sangat ilmiah lagi bermoral memicu saya merumuskan kemajuan Islam? Bukankah atheisme jelas tak akur dengan monoteisme Islam?

Sejak didengungkan Rennaissance di Eropa—yang berembrio dari berbondongnya sarjana Yunani hijrah ke Italia untuk selanjutnya membentuk Humanistic Period: tepat saat Dinasti Ottoman meruntuhkan Emperium Bizantium pada 1453—umat Islam mulai mengalami keterpurukan fatal. Logika kekuasaan dan perluasan wilayah yang diperankan Dinasti Ottoman setelah mampu menyatukan berbagai negara kecil Islam (baca: duwailât) dalam satu panji ternyata tak berbanding lurus dengan kemajuan Islam; persatuan atau internasionalisasi Islam jelas tak mencerminkan kemajuan. Setelah era kebangkitan Eropa, banyak sarjana muslim yang mulai bertanya-tanya: mengapa mereka maju sedang kita terpuruk? Persis seperti ungkapan Abul Hasan al-Nadwi dalam Mâdzâ Khasir al-'Âlam bi al-Hinthâtht al-Muslimîn?: Limâdzâ Ta'akkhar al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jelas menuntut jawaban, dan memang benar terbukti sarjana Islam dari berbagai disiplin mencoba menjawabnya—dengan subjektivitas akut tentunya. Para pakar fikih mulai meraba-raba dan menemukan "semacam jawaban" yang agaknya cukup elegan: berijtihad kembali sama seperti di era Imam Empat Madzhab. Al-Shan'âni kemudian al-Syaukâni jelas mewakili pendapat ini. Berikutnya, Muhammad bin Abdul Wahhab dengan paradigma tekstualis-literalisnya juga menawarkan hal serupa: memurnikan aqidah. Selanjutnya, Muhammad Abduh—meski sedikit mendekati ketepatan—mencoba merivitalisasi paradigma fikih yang terkesan kolot dan tradisional untuk menyesuaikan tuntutan modernitas. Pandangan otokritis paling pedas juga dilayangkan Malik Bennabi dengan menegaskan bahwa bangsa Arab memang memiliki potensi terjajah! Ide terakhir jelas membuat marah bangsa Arab pada umumnya, meski mereka luput: maksud implisitnya bukan seperti itu, tapi upaya mendorong introspeksi diri bangsa Arab untuk kemudian menemukan cacat dan memperbaikinya.

Pandangan Muhammad Abduh yang kemudian menjadi gerakan masif Pan-Islamisme di bangsa Arab—meski tak sepenuhnya tepat menurut saya—cukup memberi efek positif. Kecintaan dan kekagumannya pada filsafat serta pergumulannya yang intens dengan para filosof Perancis khususnya, memberi contoh paling kongkret para pengagumnya untuk kemudian merambah dan mengais-ngais filsafat kembali: perangai yang jelas dimusuhi di era skolastik. Berbondong-bondong kemudian generasi muda mulai memamah filsafat Barat dan menumbuhkan gerakan filsafat masif pada setiap karya. Saya kira sebuah analogi yang tepat bahwa ketika dulu bangsa Eropa mendapat pencerahan dari Ibnu Rusydi (Averroes) untuk mengenal filsafat Aristoteles melalui filosof Yahudi ternama Maimonades, dan kemudian melahirkan Averroesme Latin sebagai pendamai bentrok antara ilmuwan dan gereja, saat ini generasi muda Islam mulai beralternatif mengambil filsafat Eropa untuk ditanam lagi ke dunia Islam. Dengan tujuan yang sama juga: menaburkan benih-benih rasionalitas filsafat demi kemajuan bangsa.

Terlepas dari segala efek positif di atas, saya ingin menambahkan—untuk tak berkata mengoreksi—bahwa apa yang dibutuhkan sekarang bukan sekedar mengambil filsafat dari Barat untuk ditanam di Timur, atau menumbuhkan rasionalitas persis sama dengan Barat, karena peradaban tak bisa dipindah atau bahkan dicontoh. Tiap peradaban memiliki karakter masing-masing yang untuk kemudian menjadikannya berdaya jual layaknya hukum ekonomi menjelaskan. Meski, harus diakui juga, bahwa hipotesa ini jelas tak menafikan peran borrowing and influence pada setiap peradaban. Singkatnya, peradaban yang menggurita jelas tak muncul dari ruang hampa dengan sim salabim abra kadabra: tiba-tiba ada dengan independensi mutlak dari peradaban lain. Saya sempat heran menggambarkan cara berpikir kaum fundamentalis yang dengan pongahnya berkata bahwa peradaban Islam yang dulu gilang-gemilang sama sekali tak terpengaruh dan tak membutuhkan peradaban lain; ia sepenuhnya peradaban wahyu, peradaban Nabi dan peradaban ajaib yang turun dari langit. Saya lebih senang menyebut abstraksi ini sebagai peradaban ilusi. Saya kira tak perlu membuktikan fakta ini karena sejarah telah bertutur banyak mengubur ilusi ini.

Tepatnya, peradaban besar adalah hasil akumulasi peradaban sebelumnya dengan penambahan karakteristik yang ekslusif. Jalan menujunya—selain dengan sedikit meniru kelebihan peradaban lain—adalah reparasi ulang karakter destruktif pada setiap peradaban sehingga tak menghambat laju pertumbuhan. "Tuhan menurunkan penyakit sekaligus obatnya pada manusia", kata sebuah hadits. Dengan analogi hermeneutis, paling tidak, kita bisa menyimpulkan bahwa penyakit peradaban dapat diobati dari dalam dan dengan obat internal.

Apa penyakit dan obat peradaban Islam? Menjawabnya, saya ingin menceritakan sedikit paparan Stephen Hawking dalam karya populernya ini. Ia bertutur bahwa manusia adalah makhluk yang paling aneh sekaligus paling dahsyat. Makhluk ini adalah satu-satunya ciptaan yang tak pernah rela untuk sekedar disebut tak tahu atau bodoh. Sehingga, batok kepalanya selalu terisi pertanyaan-pertanyaan yang anehnya tak semuanya mampu dia jawab memuaskan. Pertanyaan aneh-dahsyat ini diantaranya: sejak kapan alam ini ada? Darimanakah alam ini berasal? Mulai kapan manusia mendiami alam ini? Apakah alam ini memiliki permualaan? Para filosof mulai era Yunani sampai sekarang selalu tak mencapai kata sepakat mengenai ini. Aristoteles, misalnya, meyakini bahwa alam raya sepenuhnya qadim: tak memiliki permulaan. Para filosof Yunani, setelah mengamati bahwa segenap isi alam selalu mengalami perubahan yang tiada henti dan kemusnahan yang silih berganti, biasanya mengkompromikannya dengan semacam superstitions: manusia mulai mendiami alam ini setelah terjadi banjir super besar berkali-kali dan dalam rangkaiannya manusia tumbuh mendiaminya dengan sendirinya.

Ada perdebatan Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason mengenai kasus ini yang diungkapkan cukup jenaka oleh Stephen Hawking. Kant menyebut bahwa keyakinan alam tak memiliki permulaan adalah absurd; jika alam tak memiliki permulaan, pastinya ia berawal pada sebuah peristiwa yang sebelumnya tak masuk cakupan waktu. Membingungkan! Sebaliknya, keimanan alam memiliki permulaan dihadapkan dengan sebuah paradoks yang tak kalah rumit: kenapa ia muncul pada waktu tertentu bukan di lain waktu? Tentu, jawaban teologis agama sama sekali tak memenuhi hasrat intelektual para filosof.

Sebenarnya, jauh sebelum para filosof Eropa membahas kasus ini, para Mutakallimin dan Filosof Islam telah membahasnya dengan sangat lengkap dan berulang-ulang bahkan sampai mencapai titik jenuh dan membingungkan. Al-Kindi, Al-Fârâbi, Ibnu Sînâ, Ibnu Rusyd dan Al-Râzi—untuk tak menyebut semuanya karena terlalu banyak—telah mencantumkannya dalam pelbagai karya mereka. Bahkan Al-Ghazâli "berhasil" memaparkannya sekaligus mengkritiknya dengan sangat lengkap dalam Tahâfut al-Falâsifah. Meski kitab terakhir, sebenarnya, tak merepresentasikan pandangan hakekat Al-Ghazâli seputar filsafat—sebagaimana tesis Sulaimân Dunyâ—namun kitab ini menjadi bukti paling otentik bagaimana sebuah pertanyaan filosofis yang sangat fitrah dipertanyakan, sekaligus dijawab, seputar alam raya menjadi panggung pemecah-belah, pengkafiran, pembid'ahan dan pencerai-berai umat Islam. Parahnya, pertanyaan ini berubah menjadi seram dan menakutkan sehingga memalingkan para sarjana Islam klasik untuk mendalami lagi filsafat. Muncul kemudian sosok semacam Ibnu Taimiyah, Ibnu Shalah dan Al-Suyûthî mengharamkan filsafat secara mutlak sehingga umat Islam benar-benar antipati dari filsafat. Seolah pertanyaan filosofis ini menjadi tanda atheisme dan heretisme golongan tertentu. Inilah fakta filsafat dalam peradaban Islam. Tegasnya, filsafat berubah menjadi sangat negatif di lingkungan Islam.

Bagaimana nasib filsafat di Barat? Anehnya, di Barat, filsafat justru menjadi pencerah sekaligus pendorong kemajuan. Tekhnologi yang membludak besar-besaran di sana sebenarnya berawal dari pertanyaan-pertanyaan "nakal" filosofis yang kemudian mendapat follow-up yang cukup sehingga berubah menjadi alat-alat ajaib yang mencengangkan. Dengan pertanyaan berputar-putar: apakah alam itu qadim atau hadits, para filosof Barat menjadikannya semacam modal riset untuk membuktikannya, dengan berbagai cara. Mereka tak cukup hanya berpusing-pusing ria menekuni beragam teori tanpa ada usaha pembuktian yang riil—apalagi jadi ajang pengkafiran—sebagaimana di lingkungan Islam. Pada tahun 1924 seorang astronom America, Edwin Hubble, berusaha membuktikan bagaimana posisi planet bumi dan galaksi Bimasakti di antara planet dan galaksi lain. Ia kemudian tercengang karena ternyata planet bumi mengalami pembengkakan jarak yang relatif konstan terhadap planet dan galaksi lain. Dari sini muncul teori The Expanding Universe (Alam Mengembang) bahwa alam mengalami pembengkakan diameter sejak ratusan juta tahun yang lalu sejak peristiwa Big Bang. Kemudian, jika ditarik balik, maka berkonklusi bahwa alam berawal dari ukuran kecil tak sebesar sekarang yang berimplikasi secara logis memiliki permulaan. Sebuah capaian tekhnologi super dahsyat yang berawal dari teori filsafat sederhana.

Pertanyaan yang wajar saya ajukan di sini adalah mengapa satu diskursus ilmu menjadi negatif dalam peradaban tertentu dan positif di peradaban lain? Apakah ini bermula dari karakter peradaban yang berbeda? Atau ada yang salah dalam salah satu konstruk peradaban? Saya jawab dengan tegas bahwa kedua peradaban jelas berbeda diukur dan dipandang dari apapun. Sebagaimana telah saya sebut bahwa tiap peradaban memiliki karakter yang khas. Namun, saya meyakini, ini bukan dikarenakan karakter khas perdaban tertentu sehingga ia tak cocok ditanami benih-benih filsafat. Tapi, ada penyakit destruktif yang menginggapi peradaban yang tak cocok tanam tersebut. Dan jelas, penyakit adalah sebuah new comer: pendatang baru yang sejatinya tak selalu lekat dengan karakter khas peradaban.

Penyakit selalu bersarang. Dengan diagnosa ini, saya mulai menduga bahwa diskursus teologi dalam Islam terserang penyakit kronis. Dengan pelbagai pertimbangan yang tak mungkin saya sebutkan di sini, saya meyakini, ada sedikit kekurangtepatan dalam tujuan pembentukan teologi dalam Islam. Saya selalu membaca dalam semua kitab standar klasik ilmu kalam bahwa ia didekasikan demi al-difâ' 'an al-dîn: pembentengan terhadap agama. Inilah tujuan asli ilmu kalam dalam Islam. Sayangnya—selepas percampuran ilmu kalam dengan filsafat karena pelbagai faktor yang rumit—ilmu kalam tak lagi bisa mengimbangi dan mentralisir "karakter baru" yang tersemat padanya; ia adalah hasil kawin silang logika Islam dengan Yunani yang jelas tak terhindarkan. Sejumlah premis ini menjadi alasan bagi sebagian kaum fundamentalis untuk segera melepaskan dan mencopot sampai akar-akarnya logika Yunani dari logika Islam. Saya katakan: hal ini sangat mustahil. Mengapa? Karena logika adalah semacam benda cair (liquid) yang tak mungkin terjadi pemisahan yang ekstrim antara mana yang asli dengan yang baru. Nyaris seperti air putih yang telah bercampur dengan gula; tak mungkin kita akan memisahkan gula dari air setelah tercampur. Selain itu, sejarah pembentukan ilmu kalam juga bertutur banyak bahwa pencampuran ini adalah niscaya di zamannya. Karena logika murni tak lagi mampu menandingi gaung filsafat Yunani yang telah menggema di seantero daerah ekspansi Islam. Bahkan sebelum Islam memasuki daerah ini. Logika pendatang ini adalah semacam suplemen obat guna menyembuhkan penyakit yang sama sekali baru akibat akulturasi budaya. Jika logika kaum fundamentalis ini dituruti, alih-alih tidak menyembuhkan, malah menjadi obat usang yang sama sekali tak menyembuhkan. Apakah kita akan membacakan ayat-ayat Quran dihadapan orang yang sama sekali tak percaya Quran?

Bagi saya, apa yang diperlukan bukan sekedar urusan pemisahan ini dari itu. Namun, bagaimana kita mensiasati formula baru ini agar kembali efektif. Saya kira kita harus kembali menaksir ulang tujuan teologi—yang sudah bercampur logika baru ini—sehingga tak terkesan bersifat negatif-apologetis (salbi); tujuannaya hanya sekunder: membentengi, bukan tujuan primer: mencapai hakekat pengetahuan.

Aplikasi gampangnya begini: pembelajaran teologi atau ilmu kalam tak hanya ditujukan untuk sekedar upaya membentengi, menjawab pertanyaan atau menolak syubhat dari luar. Namun lebih ditujukan pada tujuan ilmu sendiri (hadf al-'ilm dzâtihi). Dengan demikian, tak ada kata berhenti untuk mencari setelah berhasil mengalahkan "musuh". Namun terus dilakukan penggalian filosofis tiada henti dengan follow-up dan pembuktian melalui pelbagai perangkat modern demi menguak keindahan alam raya, kemahakuasaan Sang Pencipta dan mengais mutiara dan rahasia alam raya sebagai salah satu implementasi berhamba pada-Nya. Ini pelajaran paling besar yang saya dapatkan dari membaca karya seorang atheis ini: Stephen Hawking dalam A Brief History of Time.

0 comments: